Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam kajian ushul al-fiqh, terdapat istilah al-hakim, mahkum fihi dan
mahkum alaihi. Dalam perkembanganya istilah-istilah tersebut mempunyai
pengertian yang berbeda-beda menurut para ulama’, sehingga perlulah kita
mengetahui serta memahami apa itu al-hakim, mahkum fihi dan mahkum
alaihi. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar
belakang sendiri. Ushul al-fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum,
perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang; al-
hakim, mahkum fihi dan mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat para
ulama dalam pengertian serta penggunaanya dalam hukum islam. Di antara
masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalaam kajian syari'at
Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni
siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap
Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang
berkaitan dengaannyasar bahwa hukum syara’ itu ialah kehendak Allah
tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa
pembuat hukum (lawgiver) ialah Allah SWT.
Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang
disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber
utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran
itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum
yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya. Harus kita ketahui bahwa
dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak
pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada
diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu
masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami
masalah-masalah tentang hukum syar’i.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hakim?
2. Apa pengertian Mahkum Fihi?
3. Apa pengertian Mahkum Alaih?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Hakim.
2. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Fihi.
3. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Alaih.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hakim
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya
dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum,
yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk
segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian
hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab,
kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim
atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di
pengadilan. Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk
pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan
menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah;
al-Hakim adalah Allah). Allah berfirman pada surah al-An’am : 57

              

           

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al


Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa
(azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik".
Semua ulama sepakat menyatakan, hanya Allah SWT yang berhak
mencipta dan mentapkan perintah dan larangan, dan sejalan dengan itu,
hamba-hamba-Nya wajib tunduk dan mematuhi perintah dan larangan-
Nya.Dalam konteks penetapan hukum, di lingkungan ulama ushul fiqh

3
dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan
Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud
dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan
hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah
SWT, Tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan
tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-
Syari (pembuat syariat). 1
Dalam istilah al-hakim dan asy-syari selain bermakna Allah SWT
pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah SAW
bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan
syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-
aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam
konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah SAW yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw
(wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang
tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah). Dari definisi hukum dan penjelasan
satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah
‫اﻟﺤﺎﻛﻢ ھﻮ واﺿﺢ اﻻﺣﻜﺎم وﻣﺜﺒﺘﮭﺎ وﻣﻨﺸﺌﮭﺎ وﻣﺼﺪرھﺎ‬
Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan
hukum dan yang membuat sumber hukum.
‫اﻟﺤﺎﻛﻢ اﻟﺬى ﯾﺪرك اﻻﺣﻜﺎم وﯾﻈﮭﺮھﺎ وﯾﻌﺮﻓﮭﺎ وﯾﻜﺸﻔﮭﺎ‬
Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha
berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah SWT Dialah pembuat hukum dan
menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh
semua mukallaf. Adapun yang menjadi dasar munculnya teori tersebut adalah
firman Allah SWT pada surah;
1. Al-An’am:57

1
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 87-88.

4
           

Menetapkan hukum itu hanyalah Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya


dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.
2. Al- Maidah;49,44 dan 45

      

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa


yang diturunkan Allah.

          

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,


Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.

          

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang


diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.2
Dari pengertian hakim yang berbeda diatas, dapat diambil pemahaman
bahwa diantara para ahli ushul, terjadi perbedaan tentang status hakim. Hal
ini disebabkan dari adanya dua keadaan yaitu;
a. Hakim sebelum Nabi Muhammad SAW terutus sebagai Rasul
Yang menjadi persoalan dikalangan para ahli ushul dalam
kaitannya dengan maslah ini adalah siapa yang menemukan dan
memperkenalkan serta yang memperjelas hukum?. Persoalan ini
ditanggapi oleh para ahli berbeda-beda, yaitu;
1) Menurut Ahli al-Sunnah wa Al-Jama’ah berpendapat bahwa
pada masa sebelum nabi Muhammad saw terutus sebagai rasul

2
Muhammad Ma’shum Zaini, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah Jombang, 2008),
hlm. 166-167

5
itu tidak ada hakim dan tidak ada syara’, sementara akal
pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk
menemukannya,sebab akal hanya mampu menetapkan baik-
buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul, sebab Allah
berfirman dalam Surat Al-Isra’;15

      

Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang


rasul.
Oleh karena itu Allah-lah yang menjadi hakim, sedang yang
menjelaskan hukum-hukum yang berasal dari hakim adalah
syara’,padahal syara’ saat ini belum ada. Karena itu, Allah
mengutus Rasul-Nya untuk menyampaikan ketetapan hukum-
hukum-Nya sebab Allah berfirman pada syrat An-Nisa’;165

        

2) Menurut kelompok Mu’taliziyyin, berpendapat bahwa yang


menjadi hakim saat itu adalah Allah SWT, hanya saja akal
sudahn memiliki kemampuan untuk menentukan hukum-
hukum Allah,bahkan akal mampu menjelaskannya. Dari
persoalan ini para Ushul menyebutnya dengan menggunakan
istilah “At-Tahsin wa At-Taqbih”. Tahsin yaitu semua
perilaku yang dianggap sesuai dengan watak kemanusiaan,
seperti rasa manis,menolong orang yang sedang celaka dan
sebagainya. Sedangkan Taqbih adalah semua perilaku
perbuatan yang tidak sesuai dengan watak kemanusiaan,seperti
menyakiti orang lain,mencuri dan sebagainya.3

3
Rumah Ilmu: Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi, Mahkum Alaihi diakses dari
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.com/2014/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-danmahkum.html,
pada tanggal 17 Oktober 2016 pukul 21:37

6
b. Hakim setelah Nabi Muhammad saw menjadi Rasul.
Dalam menanggapi masalah ini, para ahli ushul bersepakat
untuk menyatakan bahwa Hakim adalah syari’ah yang diturunkan
dari Allah melalui rasul-Nya, Muhammad saw. Oleh karena itu
segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah
halal dan segala sesuatu yang hukumnya telah diharamkan oleh
Allah adalah haram. Dengan demikian, at-tahsin adalah segala
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didalamnya terdapat
kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih
adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan
didlamnya terdapat kemadlaratan bagi kelangsungan hidup
manusia.

B. Pengertian Mahkum Fih


Mahkum fih berarti ‘perbuatan orang mukallaf sebagai tempat
menghubungkan hukum syara’’. Misalnya dalam surat al-Maidah;1

            

            

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu


binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu (yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang
mukallaf yaitu perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat
tersebut.4
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Mahkum
Fih ialah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan
4
Ibid

7
hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukshah, sah, serta batal.
Misalnya firman Allah:

ِ ‫ﯾﺂاَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ ا َﻣﻨُ ْﻮ اﺑَﺎ ْﻟ ُﻌﻘُ ْﻮ‬


‫ج‬
Artinya :
"hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih ialah
menyempurnakan janji sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya ialah wajib.
Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat :
1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat
mengerjakan tuntutan itu sesuai yang diperintahkan. Dalam nash Al-Qur'an
belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara
menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka
Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut :
ِ
َ ُ‫ﺻﻠﱡ ْﻮا َﻛ َﻤ َﺎرأَﻳْـﺘُ ُﻤ ْﻮﻧﻰ ا‬
‫ﺻﻠﱢﻰ‬ َ
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang
menunauikan shalat".
2. Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang
yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu
mengeluarkan undang-undan atas dasar keputusan majelis kabinet dan
dengan persetujuan parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui
bahwa undang-undang itu keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat
hukum sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.5
3. Perbuatan yang di-taklif-kan harus bersifat mungkin, atau ia berada dalam
kemampuan mukallaf untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Karena
mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak
diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan

5
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pusaka Setia, 2000), hlm. 329.

8
terwujud. Perbuatan yang dituntut ialah perbuatan yang mungkin (bisa
dilakukan). Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
4. Dapat diusahakan oleh hamba dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa
sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khitab itu.
5. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan
untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini,
kecuali dua perkara yaitu
a. Nazar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak
mungkin dikerjakan dengan maksud taat, karena tidak diketahui
wajibnya sebelum dikerjakan.
b. Pokok bagi iradah taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap
iradat mendapat pahala, karena karena kalau memang dikehendaki
niscaya terlaksana juga iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang tersebut diatas, bercabanglah beberapa
masalah lain, yaitu
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak
sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan
olehnya.Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang
tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang
berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh
Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama
berpendapat, bahwa boleh dibebankan kepada hamba sesuatu yang
diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap
rasa iman.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada
dua macam:
1) Kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilaksanakan. Kesulitan yang keluar dari pada

9
kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.
Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup. Rasulullah SAW bersabda
kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil berdiri
menghadap matahari.
‫ﺲ‬ ‫ﺻ ْﻮ َﻣﻚَ َوﻻَ ﺗَﻘُ ْﻢ ﻓِﻰ اﻟ ﱠ‬
ِ ‫ﺸ ْﻤ‬ َ ‫اَﺗِ ﱠﻢ‬
Artinya :
"Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
2) Tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan,
hanya terasa lebih berat dari pada yang biasa. Kesulitan yang sudah
menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan kesulitan itu
masih ada batas-batas kemampuan mereka. Contoh : manusia
mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.
d. Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya
kesukaran yang luar biasa6
Dalam setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan,
karena beban (taklif) itu ialah menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.
Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam:

C. Pengertian Mahkum Alaih


1. Pengertian Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah
Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi obyek tuntutan hukum
syara’. Mahkum ‘alaih berarti ‘orang mukallaf (orang yang layak dibebani
hukum taklifi). Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum alaih ( ‫ ) اَ ْﻟ َﻤ ْﺤ ُﻜ ْﻢ َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ‬ialah seseorang yang dikenai khitab
allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf ( ُ‫) اَ ْﻟ ُﻤ َﻜﻠﱠﻒ‬. Secara etimologi,
mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf
disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf ialah orang yang

6
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 186-187.

10
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.7
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan
hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:
a. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia
mampu memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah dengan kemampuannya sendiri atau melalui
perantara. Hal ini penting, sebab seseorang yang tidak mampu
memahami dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak mungkin melaksanakan
apa yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk memahami
dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash
taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan
penggerak untuk bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa
ditemukan oleh indera zhahir, oleh karenanya syari’ mengimbangi
dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan sesuatu yang riil,
yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat
baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-
petunjuk taklif. Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup
dalam kategori mukallaf.
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat
memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-
Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui
beberapa jalan, yaitu:
1) Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa
bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
2) Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk
mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan
As Sunnah.

7
Alim El-choy: Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum Alayh, diakses dari
http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html, pada
tanggal 20 Oktober 2016 pukul 09:37

11
3) Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk
mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan
Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.8
b. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan
yang ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna
Shalahiyah/ kecakapan. Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa
terwujud dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi, sebagaimana
dikutip oleh az-Zuhaili mengatakan bahwa para cendikiawan Muslim
sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf
adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif
adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil,
layaknya batu padat dan hewan. Ulama ushul membagi jenis
kecakapan ini menjadi dua bagian yaitu:
1) Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak
dan kewajiban. Pijakan utama dari konsep ahliyah al-Wujub ini
adalah adanya kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka
orang tersebut bisa disebut sebagai ahliyah al-Wujub. Ahliyah ini
terbagi menjadi dua, yaitu ahliyah al-Wujub Naqishah dan
Ahliyah al-Wujub Kamilah. Jenis ahliyah yang pertama adalah jika
seorang itu cakap untuk menerima hak saja bukan kewajiban,
seperti janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia
masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa
menerima kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sedangkan
yang kedua adalah ketika seorang itu mampu menerima hak
sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada setiap manusia.
2) Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak.
Artinya, tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun
ucapan, secara syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran
syar’an). Terkait dengan konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga
jenis klasifikasi, yaitu: Pertama, Seseorang tidak mempunyai

8
Ibid

12
kecakapan bertindak sama sekali seperti orang gila dan anak
kecil. Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak
namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum
sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh). Ketiga,
Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna
seperti seorang yang telah berakal dan baligh.9
2. Korelasi antara hakim, mahkum fihi dan mahkum alaih
a. Korelasi antara hakim dengan mahkum fihi
Hubungan antara hakim dengan mahkum fihi ialah bahwa
hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek
yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila
tanpa adanya mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila
mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran berkaitan
dengan hokum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.
b. Korelasi antara hakim dengan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa
hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih ialah
subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi
apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata,
dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik
berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan
sesama mahkum alaih maka yang menghukumi ialah hakim.10

9
Kumpulan Makalah: Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih, diakses dari http://makalah-
ugi.blogspot.com/2014/05/hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html, pada tanggal 17 Oktober
2016 pukul 21:29
10
Ibid

13
BAB III
KESIMPULAN

Al-Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum, yang


memunculkan hukum, dan yang membuat sumber hukum atau yang
menemukan hukum, yang menjelaskan hukum, yang memperkenalkan hukum
dan yang menyingkap hukum. Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT.
Namun, dengaan adanya manusia maka untukk menegakkan hukum-Nya,
Allah mengutus Rasul untukk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian
setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat
muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan
dengan perintah syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan atau
meninggalkan, maupun memilih pekerjaan yang bersifat syarat, sebab,
halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal. Mahkum fih ialah objek hukum
yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengaan hukum syar'i, yang
bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta
halangan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya
berhubungan dengan hukum syara. Mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang menjadi
obyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih berarti orang mukallaf (orang
yang layak dibebani hukum taklifi).

14
DAFTAR PUSTAKA

Dahlan, Abd Rahman. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta; Amzah.


Zainy, Muhammad Ma’shum. 2008. Ilmu Ushul Fiqh. Jombang; Darul Hikmah
Jombang
Umam, Chaerul. Dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung; CV. Pusaka Setia.
Jumantoro, Totok dan Amin, Samsul Munir. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
Amzah.
Rumah Ilmu. Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi dan Mahkum Alaihi. dalam
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.com/2014/04/hakim-mahkum-
bihimahkum-fihi-dan-mahkum.html/ diakses pada 17 Oktober 2016
Kumpulan Makalah. Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih. dalam
http://makalah-ugi.blogspot.com/2014/05/hakim-mahkum-fih-dan-
mahkum-alaih.html/ diakses pada 17 Oktober 2016
Alim El-choy. Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum Alayh. dalam
http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-
mahkum-alayh.html/ diakses pada 20 Oktober 2016

15

Anda mungkin juga menyukai