Anda di halaman 1dari 10

Makalah Al-Hakim (Pembuat Hukum)

AL-HAKIM

)PEMBUAT HUKUM)

MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Ushul Fiqh

Dosen Pengampu: Dr. H. Saefudin Zuhri

Kelas: PAI 1C

Oleh:
1. Lutfi Ardiana Sari (123111096)

2. Muhammad Abduh K (123111098)

I. PENDAHLUAN
Sebagaimana telah diterangkan tentang makna hukum dan beberapa bagiannya yang
merupakan pokok pembahasan dalam ilmu Fiqh, berikut ini pembahasan beralih pada
sumber hukum, yakni al-Hakim (pembuat hukum).

Pengertian tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu mengisyaratkan pada al-
Hakim (pembuat hukum), karena terminologi hukum menurut ulama Ushul adalah firman
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik itu berupa tuntutan,
pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Definisi ini secara pasti menunjukkan bahwa al-
Hakim dalam fiqh Islam adalah Allah SWT. Sebab pada dasarnya syari’at itu merupakan
undang- undang keagamaan yang bertolak dari wahyu samawi. Dengan demikian jelas
bahwa al-Hakim di sini adalah Allah SWT. Sedang semua sistem ta’rif tentang hukum-
hukum di dalamnya tidak lain merupakan metode (manhaj)untuk mengenal hukum Allah
dan peraturan- peraturan agama-Nya yang bersifat samawi.[1]

II. RUMUSAN MASALAH


1. Apa pengertian al-Hakim?

2. Bagaimana pendapat beberapa golongan mengenai tahsin ‘aqliy dan taqbih ‘aqliy?

3. Apa fungsi akal dalam penetapan hukum?

III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Hakim

Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:

‫وا ضع االحكام ومثبتها ومنثئها ومصدرها‬


Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.

‫الذي يدرك االحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها‬


Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum.

Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan
peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu
dalam bentuk sunnah.[2]

Para ulama berprinsip:

‫ان الحكم االهلل‬


Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (QS. Al-An’am [6]: 57).

Berdasarkan pernyataan di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’
ialah

‫حطا ب هللا المتعلق بافعال المكلفين طلبا او تخيرا او وضعا‬


Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik dalam bentuk
tuntutan atau boleh pilih atau penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab atau mani’.

Pernyataan di atas didasarkan firman Allah SWT:

‫إن الحكم إالهلل يقص الحق وهو خير الفصلين‬


Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan kebenaran dan
Dia Pemberi keputusan yang terbaik. (QS. Al-An’am [6]: 57)
Adapun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum Rasul diutus. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa
sebelum Rasul diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia
dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau
karena sifatnya.[3]

Golongan Al-Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum datangnya syara’, maka tidak


diberi sesuatu hukum perbuatan- perbuatan mukallaf. Titik persoalan antara golongan
Mu’tazilah dan Al- Asy’ariyah adalah tentang apakah perbuatan itu menjadi
tempat adanya pahala dan siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun syara’ belum
menerangkannya, sedangkan golonngan jumhur ulama berpendapat bahwa tidak
disiksa atau tidak diberi pahala manusia sebelum datangnya syara’, kecuali akal bisa
mengetahui baik buruknya sesuatu perbutan.[4]

Adapun dalil yang digunakan jumhur ulama adalah firman Allah SWT:

‫وما كنا معذبين حتى نبعث رسوال‬


Tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang Rasul. (QS.
Al-Isra’ [17]: 15)

Adapun dalil yang digunakan golongan Mu’tazilah adalah firman Allah SWT:

‫قل اليستوى الخبيث والطيب‬


Katakanlah (Muhammad), tidaklah sama yang buruk dengan yang baik. (QS. Al-
Ma’idah [5]: 100)

2. Tahsin ‘Aqly wa Taqbih ‘Aqly (Baik dan Buruk menurut Akal)

Ada perbedaan pendapat tentang tahsin ‘aqly wa taqbih ‘aqliy:[5]

a. Golongan Mu’tazilah

Menurut pendapat kaum Mu’tazilah, bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga
bagian:

1) Sesuatu yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak (wajib)


memerintahkannya.

2) Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak


memerintahkannya.
3) Sesuatu yang ada di antara baik dan buruk. Bagian ini boleh (jaiz)
diperintahkan dan boleh dilarang. Jika diperintahkan maka nilai kebaikannya
adalah karena perintah (lil-amr), dan jika dilarang maka keburukannya
adalah karena larangan (lin-nahy).

Demikian ketetapan madzhab Mu’tazilah yang mendasari adanya hukum wajib


atassesuatu yang baik dan yang buruk menurut dzatnya. Sesuatu yang wajib
menurut dzatnya (esensinya) dengan sendirinya mewajibkan seseorang untuk
mengerjakannya, meskipun dia tidak mengetahui hukum syara’. Demikian pula
sesuatu yang buruk menurut dzatnya, menuntut seseorang untuk menjauhinya
walaupun dia sendiri tidak mengetahui larangan dari syara’. Dan pendapat
mereka ini didasarkan atas tiga alasan:[6]

1) Ada perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, di
mana keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat pujian. Hal itu disebut
perbuatan yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih). Di sisi lain ada juga
perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang berakal, bisa karena akal
yang menuntut untuk tidak melakukannya, atau karena memang perbuatan
itu sendiri menimbulkan celaan orang. Hal itu disebut perbuatan yang buruk
karena dzatnya (qabih li dzatih).

2) Baik dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan
mengetahui keduanya merupakan suatu kepastian. Oleh karena itu,
seseorang dengan kekuatan akalnya pasti mengetahui bahwa dzalim itu
buruk, adil itu baik, dan bahwa bohong itu buruk meskipun menguntungkan,
dan jujur itu baik meskipun terkadang merugikan.

3) Kalaulah ada hal yang yang secara esensial tidak mengandung sifat baik dan
buruk yang masing- masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu
mengakibatkan bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga
tidak akan dapat dibedakan antara seorang nabi dengan seorang pendusta.

Dari pandangan dan alasan- alasan madzhab Mu’tazilah, akhirnya menimbulkan


tiga konsekuensi logis sebagai berikut:[7]

a. Bahwa ahli fatrah (manusia pada zaman antara dua nabi) serta orang yang
belum dijangkau oleh atau belum mengetahui aturan syara’ berarti dituntut
untuk melakukan sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih) dan
sekaligus dituntut agar meninggalkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya
(qabih li dzatih). Oleh karena tidak halal bagi mereka berbuat dusta.
Sebaliknya, wajib bagi mereka untuk bersikap adil, dan mereka pun akan
dikenakan sanksi (hukuman/ siksaan) bila berlaku dzalim dan akan diberi
imbalan pahala bila bersikakp adil.

b. Apabila tidak ada nash maka seseorang (umat manusia) dengan petunjuk
akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty
maupun qabih dzaty. Dan yang demikian itu kelak akan diperhitungkan.

c. Bahwa Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk
menurut dzatnya (qabih dzatnya) dan melarang sesuatu yang baik menurut
dzatnya (hasan dzatnya).

b. Golongan Maturidiyah

Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula
oleh ulama Hanafiah.

Dalam ketentuan ini kaum Maturidiyah dan Hanafiah sependapat dengan


kaum Mu’tazilah, tetapi setelah itu terjadi perbedaan pendapat di antara mereka.
Kaum Hanafiah berpendapat bahwa tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala
hanya dengan keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan
siksa itu berdasar dari ketentuannash. Oleh karena itu akalan-sich tidak dapat
menentukan hukum- hukum di luar daerah nash, bahkan ia mesti merujuk kepada
nash atau mengacu kepadanya, baik dengan jalan qiyas atau dengan
pertimbangan kemaslahatan (al-Istihsan). Semua ini menunjukkan bahwa akal
secara keseluruhan pasti merujuk kepada nash. Dengan demikian akal an-sich
tidak mempunnyai kemampuan atau kekuatan taklif dan penetapan hukum,
tetapi ia tentu memerlukan bantuan syara’.[8]

Sementara itu asy-Syaukani dalam Irsyadul-Fuhul menjernihkan pendapat


ulama Maturidiyah, dengan mengatakan: “Bahwa pembahasan dalam hal ini
cukup panjang (luas). Adapun mengingkari kemampuan akal dapat menilai suatu
perbuatan itu tergolong baik atau buruk, adalah suatu kesombongan dan
kebohongan. Sedang orang yang mengakui kemampuan akal yang menilai bahwa
perbuatan yang baik itu mendapatkan pahala dan perbuatan yang buruk itu
mendapatkan siksa dia bukanlah seorang muslim. Kemampuan final yang dimiliki
oleh akal hanya terbatas menilai bahwa yang baik itu akan mendatangkan pujian
bagi perbuatan orang yang melakukannya, dan sebaliknya bahwa perbuatan yang
buruk itu akan mendatangkan cercaan bagi pelakunya. Jadi tidak sampai pada
kesimpulan bahwa perbuatan- perbuatan itu ada hubungannya dengan
keharusan memperoleh pahala dan siksa.” (Irsyadul Fuhul, hal. 8)

c. Golongan Asy’ariyah
Pendapat golongan Asy-‘ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, yang
berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial) tidak
ada yang baik maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan
ditentukan oleh kehendak Allah dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatu pun yang
membatasi kehendak-Nya. Dia adalah Pencipta sesuatu dan Dia pula yang
menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang Dia perintahkan itulah
yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif
(pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah
larangan Syari’ (Allah) semata. Tiada pahala dan siksa melainkan dikaitkan dengan
kepatuhan atau pelanggaran aturan Syari’. Dan tak ada perhitungan karena
perintah akal, tetapi semua yang diperhitungkan hanyalah berupa perintah dan
larangan Syari’ yang Maha Bijaksana.

Pendapat kaum Asy’ariyah ini berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah dan
Maturidiyah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tak ada sesuatu pun
yang baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga tak ada
taklif (pembebanan hukum) kecuali dari Syari’ (Allah) semata.[9]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha berpendapat


bahwa al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak dapat
memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu
yang hasan dzatyserta yang qabih dzaty.

3. Fungsi Akal Dalam Penetapan Hukum

Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk menggali dan


mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan dorongan
kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir, dan jika sampai ke suatu daerah
(masalah) yang berada di luar jangkauan kemampuan akal maka wahyu membantu
memberi tahukannya kepada akal.[10]

Hal yang harus diperhatikan mengenai fungsi akal dalam penetapan hukum, yaitu:[11]

1) Bila telah ditetapkan, bahwa akal menurut Jumhur Fuqaha tidak punya wewenang
mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan- pembebanan huhkum (at-
taklifat), tidaklah berarti bahwa akal tidak ada fungsinya. Bahkan akal sangat
berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang
diberikan oleh Allah SWT.

Sementara itu harus dicarikan pula hukum- hukum Allah pada setiap kasus baru
yang keterangan hukumnya tidak ada dalam nash yang jelas (sharih). Maka pada
saat itulah akal dapat difungsikan untuk menggali nash- nash syara’, dan untuk
menjelaskan kaidah- kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam
menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum terhadap kasus- kasus baru yang
dijumpai.

2) Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa sumber- sumber hukum itu Mazhab as-
Shahaby, al-Istihsan, al-Mashlahah waz-Dzara’i, dan seterusnya semuanya
merujuk kepada satu sumber hukum yaitu nash- nash Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karena itu Syafi’i dengan tegas menyatakan: “Hukum tidak digali melainkan dari
nash atau yang terkandung dalam nash.”

Atas dasar itulah dapat ditetapkan bahwa semua sumber hukum itu merujuk
kepada nash. Bahkan di antara para penyusun Ushul Fiqh ada yang
mengembalikan semua sumber- sumber hukum itu kepada Al-Qur’an, dan semua
sumber ini dianggap bermuara dam kembali kepadanya. Adapun Sunnah
merupakan keterangan Al-Qur’an dan sebagai penjelas terhadap kemujmalannya.

IV. KESIMPULAN
Al-Hakim ialah pembuat serta yang menetapkan hukum. Adapun yang menetapkan
hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik
dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah.

Pendapat beberapa golongan mangenai tahsin ‘aqly wa taqbih ‘aqly:

a. Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia selalu diwarnai


baik atau buruk, bermanfaat atau mudarat. Apabila seseorang mengerjakan kebaikan
atau kejahatan (menurut pertimbangan akalnya) tentu akan diberi ganjaran pahala
atau dosa.

b. Golongan Maturdiyah , tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan
keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar
dari ketentuan nash.

c. Golongan As’ariyah, al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak
dapat memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu
yanghasan dzaty serta yang qabih dzaty.

Fungsi akal dalam penetapan hukum: Akal sangat besar peranannya sebagai alat
untuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi
pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan
pemakalah sendiri. Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur
serta menambah iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami selanjutnya.

Terima kasih,

DAFTAR PUSTAKA

Zah Zah, Muhammad Abu. 2007. Ushul Fiqh.Jakarta: Pustaka Firdaus.

Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Daly, Peunoh. 1987. Filsafat Hukum Islam.Jakarta.

[1] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 87

[2] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76

[3] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76

[4] Ibid, hlm. 77

[5] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 89

[6] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 90

[7] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 91

[8] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 92

[9] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 93

[10] Peunoh Daly, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: 1987), hlm. 106

[11] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 94
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Al-Hakim (pembuat hukum/Allah SWT)
merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa
pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, apakah ada yang menentukan
hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi
pelanggarnya selain wahyu. Dan apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu
menentukan baik buruknya sesuatu sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala
dan orang yang berbuat jahat dikenakan sanksi.
Adapu mengenai kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam
pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam.
Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang
berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia
sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat
mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, yakni Rasul.
Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama,
sebagaimana yang akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama yaitu:
ُ‫اضع‬ ُِ ‫ص َدرهَا َوم ْن ِشئ َها َومثْبِت َها األحْ ك‬
ِ ‫َام َو‬ ْ ‫َو َم‬
Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
‫ظ ِهرهَا األحْ كَامُ يد ِْركُ الذِى‬ ْ ‫َع ْن َها َوي ْك ِشفُ َوي ْع ِرف َها َوي‬
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan”[1]
Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan
mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan
dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun
yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal,
‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas
bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal
ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
ُّ ِِ‫لل‬
‫إَل ََلح ْك َُم‬ ُِ
Artinya: “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”
1. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat
bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak
mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap
hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi
Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun
sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta
menjelaskannya sebelum datangnya syara’.[2]
2. Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah
Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. apa yang telah dihalalkan oleh Allah
hukumnya haram. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut
hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih
(buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.

Anda mungkin juga menyukai