AL-HAKIM
)PEMBUAT HUKUM)
MAKALAH
Kelas: PAI 1C
Oleh:
1. Lutfi Ardiana Sari (123111096)
I. PENDAHLUAN
Sebagaimana telah diterangkan tentang makna hukum dan beberapa bagiannya yang
merupakan pokok pembahasan dalam ilmu Fiqh, berikut ini pembahasan beralih pada
sumber hukum, yakni al-Hakim (pembuat hukum).
Pengertian tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu mengisyaratkan pada al-
Hakim (pembuat hukum), karena terminologi hukum menurut ulama Ushul adalah firman
Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik itu berupa tuntutan,
pilihan ataupun berupa hukum wadh’i. Definisi ini secara pasti menunjukkan bahwa al-
Hakim dalam fiqh Islam adalah Allah SWT. Sebab pada dasarnya syari’at itu merupakan
undang- undang keagamaan yang bertolak dari wahyu samawi. Dengan demikian jelas
bahwa al-Hakim di sini adalah Allah SWT. Sedang semua sistem ta’rif tentang hukum-
hukum di dalamnya tidak lain merupakan metode (manhaj)untuk mengenal hukum Allah
dan peraturan- peraturan agama-Nya yang bersifat samawi.[1]
2. Bagaimana pendapat beberapa golongan mengenai tahsin ‘aqliy dan taqbih ‘aqliy?
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Al-Hakim
Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan
peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu
dalam bentuk sunnah.[2]
Berdasarkan pernyataan di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara’
ialah
Adapun dalil yang digunakan jumhur ulama adalah firman Allah SWT:
Adapun dalil yang digunakan golongan Mu’tazilah adalah firman Allah SWT:
a. Golongan Mu’tazilah
Menurut pendapat kaum Mu’tazilah, bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga
bagian:
1) Ada perbuatan dan perkataan yang harus dilakukan oleh orang berakal, di
mana keadaan si pelaku tidak dicela bahkan mendapat pujian. Hal itu disebut
perbuatan yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih). Di sisi lain ada juga
perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh orang berakal, bisa karena akal
yang menuntut untuk tidak melakukannya, atau karena memang perbuatan
itu sendiri menimbulkan celaan orang. Hal itu disebut perbuatan yang buruk
karena dzatnya (qabih li dzatih).
2) Baik dan buruk itu adalah dua hal yang dapat dijangkau oleh akal, dan
mengetahui keduanya merupakan suatu kepastian. Oleh karena itu,
seseorang dengan kekuatan akalnya pasti mengetahui bahwa dzalim itu
buruk, adil itu baik, dan bahwa bohong itu buruk meskipun menguntungkan,
dan jujur itu baik meskipun terkadang merugikan.
3) Kalaulah ada hal yang yang secara esensial tidak mengandung sifat baik dan
buruk yang masing- masing harus dikerjakan dan ditinggalkan tentu hal itu
mengakibatkan bolehnya terjadi mu’jizat pada seorang pendusta, sehingga
tidak akan dapat dibedakan antara seorang nabi dengan seorang pendusta.
a. Bahwa ahli fatrah (manusia pada zaman antara dua nabi) serta orang yang
belum dijangkau oleh atau belum mengetahui aturan syara’ berarti dituntut
untuk melakukan sesuatu yang baik menurut dzatnya (hasan li dzatih) dan
sekaligus dituntut agar meninggalkan sesuatu yang buruk menurut dzatnya
(qabih li dzatih). Oleh karena tidak halal bagi mereka berbuat dusta.
Sebaliknya, wajib bagi mereka untuk bersikap adil, dan mereka pun akan
dikenakan sanksi (hukuman/ siksaan) bila berlaku dzalim dan akan diberi
imbalan pahala bila bersikakp adil.
b. Apabila tidak ada nash maka seseorang (umat manusia) dengan petunjuk
akalnya dituntut untuk melakukan sesuatu, baik yang berupa hasan dzaty
maupun qabih dzaty. Dan yang demikian itu kelak akan diperhitungkan.
c. Bahwa Allah SWT sungguh tidak mungkin memerintahkan sesuatu yang buruk
menurut dzatnya (qabih dzatnya) dan melarang sesuatu yang baik menurut
dzatnya (hasan dzatnya).
b. Golongan Maturidiyah
Pendapat golongan Maturidiyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan dianut pula
oleh ulama Hanafiah.
c. Golongan Asy’ariyah
Pendapat golongan Asy-‘ariyah yang dipegangi oleh jumhur ulama ushul, yang
berpendapat bahwa segala sesuatu itu menurut dzatnya (secara esensial) tidak
ada yang baik maupun yang buruk. Semuanya mutlak tergantung dan
ditentukan oleh kehendak Allah dalam aturan syara’. Tidak ada sesuatu pun yang
membatasi kehendak-Nya. Dia adalah Pencipta sesuatu dan Dia pula yang
menciptakan baik dan buruk. Oleh karena itu segala yang Dia perintahkan itulah
yang baik, dan segala sesuatu yang Dia larang itulah yang buruk. Tiada taklif
(pembebanan) karena keputusan akal, tetapi taklif hanya berdasar pada perintah
larangan Syari’ (Allah) semata. Tiada pahala dan siksa melainkan dikaitkan dengan
kepatuhan atau pelanggaran aturan Syari’. Dan tak ada perhitungan karena
perintah akal, tetapi semua yang diperhitungkan hanyalah berupa perintah dan
larangan Syari’ yang Maha Bijaksana.
Pendapat kaum Asy’ariyah ini berbeda dengan pendapat kaum Mu’tazilah dan
Maturidiyah. Mereka menetapkan bahwa sesungguhnya tak ada sesuatu pun
yang baik menurut dzatnya atau yang buruk menurut dzatnya, dan juga tak ada
taklif (pembebanan hukum) kecuali dari Syari’ (Allah) semata.[9]
Hal yang harus diperhatikan mengenai fungsi akal dalam penetapan hukum, yaitu:[11]
1) Bila telah ditetapkan, bahwa akal menurut Jumhur Fuqaha tidak punya wewenang
mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembebanan- pembebanan huhkum (at-
taklifat), tidaklah berarti bahwa akal tidak ada fungsinya. Bahkan akal sangat
berfungsi, hanya saja batas kemampuan fungsionalnya sesuai dengan yang
diberikan oleh Allah SWT.
Sementara itu harus dicarikan pula hukum- hukum Allah pada setiap kasus baru
yang keterangan hukumnya tidak ada dalam nash yang jelas (sharih). Maka pada
saat itulah akal dapat difungsikan untuk menggali nash- nash syara’, dan untuk
menjelaskan kaidah- kaidah umum syar’i yang dapat menjadi pedoman dalam
menganalogikan dan menerapkan prinsip hukum terhadap kasus- kasus baru yang
dijumpai.
2) Hal lain yang perlu diingat ialah bahwa sumber- sumber hukum itu Mazhab as-
Shahaby, al-Istihsan, al-Mashlahah waz-Dzara’i, dan seterusnya semuanya
merujuk kepada satu sumber hukum yaitu nash- nash Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh
karena itu Syafi’i dengan tegas menyatakan: “Hukum tidak digali melainkan dari
nash atau yang terkandung dalam nash.”
Atas dasar itulah dapat ditetapkan bahwa semua sumber hukum itu merujuk
kepada nash. Bahkan di antara para penyusun Ushul Fiqh ada yang
mengembalikan semua sumber- sumber hukum itu kepada Al-Qur’an, dan semua
sumber ini dianggap bermuara dam kembali kepadanya. Adapun Sunnah
merupakan keterangan Al-Qur’an dan sebagai penjelas terhadap kemujmalannya.
IV. KESIMPULAN
Al-Hakim ialah pembuat serta yang menetapkan hukum. Adapun yang menetapkan
hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik
dalam bentuk wahyu Al-Qur’an maupun wahyu dalam bentuk sunnah.
b. Golongan Maturdiyah , tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan
keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar
dari ketentuan nash.
c. Golongan As’ariyah, al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak
dapat memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu
yanghasan dzaty serta yang qabih dzaty.
Fungsi akal dalam penetapan hukum: Akal sangat besar peranannya sebagai alat
untuk menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi
pengarahan dan dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang telah kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca dan
pemakalah sendiri. Dan semoga apa yang telah kita diskusikan menambah rasa syukur
serta menambah iman kita kepada Allah SWT. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penyusunan makalah ini, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat
kami harapkan guna memperbaiki makalah ini dan makalah- makalah kami selanjutnya.
Terima kasih,
DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Totok, dkk. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.
[1] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 87
[2] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76
[3] Totok Jumantoro, dkk, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah), hlm. 76
[5] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 89
[6] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 90
[7] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 91
[8] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 92
[9] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 93
[10] Peunoh Daly, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: 1987), hlm. 106
[11] Muhammad Abu Zah Zah, Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), hlm. 94
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya Al-Hakim (pembuat hukum/Allah SWT)
merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih karena berkaitan dengan siapa
pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam, apakah ada yang menentukan
hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi
pelanggarnya selain wahyu. Dan apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu
menentukan baik buruknya sesuatu sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala
dan orang yang berbuat jahat dikenakan sanksi.
Adapu mengenai kedudukan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam
pandangan Islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat Islam.
Masalahnya adalah bahwa Allah sebagai pembuat hukum berada dalam alam yang
berbeda dengan manusia yang akan menjalankan hukum itu. Apakah manusia
sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat
mengenalnya melalui perantara yang ditetapkan Allah untuk itu, yakni Rasul.
Mengenai hal tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama,
sebagaimana yang akan diuraikan oleh penulis dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti. Pertama yaitu:
ُاضع ُِ ص َدرهَا َوم ْن ِشئ َها َومثْبِت َها األحْ ك
ِ َام َو ْ َو َم
Artinya: “Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.”
Kedua:
ظ ِهرهَا األحْ كَامُ يد ِْركُ الذِى ْ َع ْن َها َوي ْك ِشفُ َوي ْع ِرف َها َوي
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan”[1]
Dari pengertian pertama, yang dimaksud al-hakim adalah Allah SWT. Dialah
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum syar’i bagi seluruh perbuatan
mukallaf.
Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan
dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) maupun
yang berkaitan dengan hukum wad’i (sebab, syarat, halangan, sihhah, batal,
‘azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum diatas
bersumber dari Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW maupun hasil ijtihad para
mujtahid melalui berbagai teori istinbath, seperti qiyâs, ijma’ dan metode
istinbath lainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal
ini, para ulama ushul fiqih menetapkan kaidah:
ُّ ِِلل
إَل ََلح ْك َُم ُِ
Artinya: “Tidak hukum kecuali bersumber dari Allah.”
1. Sebelum Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul
Sebagian ulama ushul fiqih dari golongan Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat
bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara’: sementara akal tidak
mampu mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT dan menyingkap
hukum dari hakim itu adalah syara’, namun syara’ belum ada.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa yang menjadi hakim pada saat Nabi
Muhammad belum diangkat menjadi Rasul adalah Allah SWT. Namun akal pun
sudah mampu menemukan hukum-hukum Allah SWT dan menyingkap serta
menjelaskannya sebelum datangnya syara’.[2]
2. Setelah Muhammad SAW diangkat sebagai Rasul dan menyebarkan dakwah
Islam
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT, yang dibawa oleh Rasulullah SAW. apa yang telah dihalalkan oleh Allah
hukumnya haram. Serta disepakati bahwa sesuatu yang halal itu adalah disebut
hasan (baik), sedangkan segala sesuatu yang yang diharamkan itu disebut qabih
(buruk) karena di dalamnya terdapat kemudharatan bagi manusia.