Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENGERTIAN HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM ALAIH


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Drs, H. A. WAHID Hs, M,Pd,I

DISUSUN OLEH:

MOH. KODDAS LAWI

LUTFILLAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB

STAI SYAICHONA MOH. CHOLIL BANGKALAN

2021

Kata Pengantar
segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan kasih sayang dan petunjuknya kepada kita,
semoga kita semua senantiasa dalam lindungan-Nya. Tak lupa sholawat serta salam kita haturkan
kepada junjungan kita hatmil anbiya Nabi Agung Muhammad SAW,para sahabat, thabi’in,tabi’ut
thabi’in serta ummat islam yang senantiasa mengikuti sunnah Beliau hingga yaumul jaza amin.
Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs, H. A. WAHID Hs, M,Pd,Iselaku
dosen yang telah memberikan kesempataan kepada kami untuk menjelaskan Hadist tentang metode
pendidikan Suatu kebanggaan bagi kami yang telah diberi kepercayaan oleh bapak pengampu untuk
menjelaskan hal tersebut.
Maka dari itu,kami sebagai pihak yang di tugaskan mencoba memaparkan beberapa ilmu
yang kami ambil dari beberapa sumber, berbentuk makalah yang akan kami presentasikan.
Dalam makalah ini terdapat beberapa pelajaran penting yang wajib diketahui oleh kami
khususnya dan mahasiswa pada umumnya.kami juga mengucapkan mohon maaf bila terdapat
kesalahan dalam segi penulisan. Kritik dan saran sangat kami harapkan.

Kwanyar, 30 Mei 2022

Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar…………………………………………………………. i                       


Daftar Isi…………………………………………………………………..ii
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang………………………………………………………1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………………1
C.     Tujuan……………………………………………………………… 1

Bab II Pembahasan
A.    Apa Pengertian Hakim…………………………………2
B.     Apa Pengertian Mahkum fih…………………3
C. Apa Pengertian Mahkum Alaih…………………3

Bab III Penutup


A. Kesimpulan………………………………………………………… 5
B. Saran………………………………… 5
Dafta Pustaka……………...……6                                                     

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Latar Belakang Masalah
Dalam kajian ushul fiqh, terdapat istilah ahakim, mahkum fihi danmahkum alaihi. Dalam perk
embanganya istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbedbeda menurut para ulama’, sehingga 
perlulah kitamengetahui serta memahami apa itu alhakim, mahkum fihi dan mahkumalaihi. Karena se
mua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar belakang sendiri. Ushul alfiqh merupaka
n alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman lebih dalam penggunaanya. Konsep dasar tentang; 
alhakim, mahkum fihi dan mahkum alaihi penuh perbedaan pendapat paraulama dalam pengertian ser
ta penggunaanya dalam hukum islam. Di antaramasalah yang sangat penting yang harus dijelaskan da
laam kajian syari'atIslam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yaknisiapakah S
ang Pembuat Hukum ( AlHakim) itu. Sebab pengetahuan terhadapAl Hakim akan membawa pengetah
uan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengaannyasar bahwa hukum syara’ itu ialah kehend
ak Allahtentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgi
ver ) ialah Allah SWT.Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yangdisebut Al-
Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumberutama bagi hukum Islam, sekaligus j
uga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quranitu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan 
hukum-hukumyang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa Pengertian Hakim ?

2.      Apa Pengertian Mahkum fih ?

3. Apa Pengertian Mahkum Alaih ?

C.    Tujuan
1.      Untuk menetahui Pengertian Hakim
2.      Untuk mengetahui Pengertian Mahkum fih
3. Untuk mengetahui Pengertian Mahkum Alaih

1
BAB II
PEMBAHASAN
A.    PENGERTIAN HAKIM
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hakim
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah
mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-
Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang
kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini ialah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas
perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian[1][1][1] :

َ ‫اض ُع ااْل َحْ َكام َو ُمثَبَّتُهَا َو ُم ْنثُِئهَا َو َم‬


‫ص ِّد ُرهَا‬ ِ ‫َو‬
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
ْ َ‫ك ااْل َحْ َك ِام َوي‬
ُ ‫ظهَ ُر هَا َويُ َعرِّ فُهَا َويَ ْك ِش‬
‫ف َع ْنهَا‬ ُ ‫الَّ ِذيْ يُ ْد ِر‬
Artinya: “Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
Pengertian hukum menurut ulama ushul fiqh ialah Firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim ialah Allah.  Para ulama telah sepakat
bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim ialah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang)
yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut mereka ialah khitab (pernyataan) al
syari’( Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun
hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’).[1][2][2] Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan
firman Allah:

Artinya: Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-Qur’an ) dari Tuhanku
sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan adzab) yang kamu
tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu)  hanyalah hak  Allah. Dia
menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum ialah
Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-
beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.[1][3][3] Mereka ialah
para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini tidak ada
perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka ialah Allah SWT.
Yang menjadi perselisihan ialah tentang siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan
mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik
buruknya suatu perbuatan.[1][4][4]
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi
hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada
hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung
keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[1][5][5]
Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum diutusnya rasul dan seruannya sampai
kepada seseorang atau komunitas, seluruh perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada
perbuatan itu tidak berlaku sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak
ada sanksi padanya. Baik menurut golongan ini ialah perbuatan yang mukallaf diperintahkan untuk
melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk ialah yang dilarang melakukannya oleh syari’.
Dengan lain ungkapan penentuan baik buruk sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan
akal manusia.
Kekuasaan kehakiman yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW juga dapat kita lihat
dengan jelas dalam al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 105:

Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu dan janganlah kamu
menjadi (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang berkhianat.
 Dari arti ayat di atas jelas diutusnya Rasul oleh Allah Swt di samping sebagai Kepala Negara,
juga sebagai pengendali kekuasaan kehakiman (Hakim) yang memutus perkara yang timbul dalam
masyarakat. Nabi Muhammad Saw sebagai Hakim sedangkan pewaris para Nabi ialah ulama, maka
ulama itu ialah kepercayaan para Rasul, oleh karena itu Hakim dalam kapasitasnya sebagai
pengendali keadilan dan kebenaran ialah ahli waris para Rasul. Sedangkan ahli waris dan
kepercayaan para Rasul itu ialah ulama, dengan demikian tidak dapat disangkal lagi bahwa Hakim itu
ialah ulama.

B.       Mahkum Fih

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‫فيه‬  /‫المحكم‬ ialah objek hukum, yaitu
perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukshah, sah, serta batal.[1][6][6]

Misalnya firman Allah:

ِ ‫ ابَا ْل ُعقُ ْو‬ ‫يآاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْو‬


‫ج‬
Artinya : "hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."

Dalam firman Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih ialah menyempurnakan janji sebab
bertalian dengan ijab, maka hukumnya ialah wajib :

Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat :

1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai yang
diperintahkan. Misalnya,  firman Allah SWT :   َ‫صلوة‬
َّ ‫اَقِ ْي ُم ْوا ال‬
Artinya : "Dirikanlah shalat"

Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat,            syarat-syaratnya, dan cara-cara
menunaikannya. Sebab nash Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-
Qur'an tersebut:
َ ُ‫ارَأ ْيتُ ُم ْونِى ا‬
‫صلِّى‬ َ ‫صلُّ ْوا َك َم‬
َ
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".

Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali
setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[1][7][7]

2.      Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang yang wajib diikuti hukum-
hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan undang-undan atas dasar keputusan majelis
kabinet dan dengan persetujuan parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu
keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.

3.      Perbuatan yang dituntut ialah perbuatan yang mungkin (bisa dilakukan).

Dari syarat ini bercabanglah 2 (dua) hal :

a.         Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya :
mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.

Pendapat ulama ushuliyah: "Satu orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak bisa diperintah dan tidak bisa
dilarang".[1][8][8]

b.      Menurut syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau mencegahnya.

Contoh :

ْ ‫م ُم‬/ْ ُ‫الَتَ ُموتُنَّ اِالَّ َواَ ْنت‬


‫سلِ ُم ْو َن‬
Artinya: "Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.S. Al-Baqarah : 132).

Lahirnya ialah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati dalam keadaan Islam.[1][9]
[9]

Dalam setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan, karena beban (taklif) itu ialah
menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.

Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam :

1.      Kesulitan yang sudah menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan kesulitan itu masih ada batas-
batas kemampuan mereka.

Contoh: manusia mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.

2.      Kesulitan yang keluar dari pada kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.

Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup.

Rasulullah SAW bersabda kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil berdiri menghadap matahari.
[1][10][10]

‫س‬ َّ ‫ص ْو َمكَ َوالَ تَقُ ْم فِى ال‬


ِ ‫ش ْم‬ َ ‫اَتِ َّم‬
Artinya: "Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
C.    Mahkum Alaih

Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih (   ‫اَ ْل َم ْح ُك ْم َعلَ ْي ِه‬  )
َ ‫اَ ْل ُم‬  ).
ialah seseorang yang dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf ( ُ‫كلَّف‬

Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga
mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf ialah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah
Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[1][11][11] 

Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan dua syarat:

Pertama: Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-
undang yang dibebankan dari al-Quran dan as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena orang
yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya
tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan
adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya
oleh akal mereka. Karena akal itu ialah alat untuk memahami dan menjangkau.[1][12][12]

Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara
dari al-Quran dan as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa jalan,
yaitu:

a.         Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.

b.         Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan
Al-Qur’an dan As Sunnah.

c.         Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna
menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.[1][13][13] 

Dalil kewajiban itu berdasarkan :

ِ ‫اَن يَ ْبلُ َغ الشَّا ِه ُد ِم ْن ُك ُم ال َغاِئ‬   


‫ب‬
Artinya: “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.[1][14][14]

Kedua: Mukallaf ialah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan kepadanya. Pengertian ahli menurut
bahasa ialah kelayakan atau layak, (seperti bila) dikatakan: “fullan ialah ahli (    ‫رعلى الوقف‬//‫ل النظ‬//‫فالت أه‬    )
(layak) memelihara wakaf”, artinya ialah ‫صالح له‬ = “layak baginya”

Sedangkan menurut ulama usul: ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian yaitu: ahli wajib dan ahli
melaksanakan

a.         Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)

ِ ‫اَ ْهلِيَّةُ ال ُو ُج ْو‬ialah kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.


 ‫ب‬

1)      Yang dimaksud dengan hak ialah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.

2)      Kewajiban ialah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. [1][15][15]

Jadi, ahliyyatul wujub itu ialah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam  keputusan seseorang
untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.         Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)

 ‫اَ ْهلِيَّةُ ْاالَدَا ِء‬    ialah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’[1]
[16][16]. Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara
akad  atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf
mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa
diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas
orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk
fisik dan harta.

E.     Korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum alaih

1.         Korelasi antara hakim dengan mahkum fih

Hubungan antara hakim dengan mahkum fih ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan
mahkum fih ialah objek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya
mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran
berkaitan dengan hukum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.[2][17][18]

2.         Korelasi antara hakim dengan mahkum alaih

Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan
mahkum alaih ialah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya
hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran
baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang
menghukumi ialah hakim
BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya manusia maka untuk
menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian
setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk
menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih ialah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum
syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan,
dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.

B.     SARAN
Alhamdulillah makalah yang penulis buat telah selesai. Penulis sangat bersyukur kepada
Allah SWT. Yang telah memberikan penulis kesabaran dan kesehatan dalam mengerjakan makalah
ini. Dan kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu
dalam pembuatan makalah ini.
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang
penulis miliki. Walaupun demikian semoga maklah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta,  2000
Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000
Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen
Agama RI, 1985
Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008
Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010

                                     

Anda mungkin juga menyukai