Anda di halaman 1dari 7

KELOMPOK 3 USHUL FIQH

AL-HAKIM/AS –SYARI’/PEMBENTUK
HUKUM: PENGERTIAN, DAN
PERDEBATAN TTG SUMBER HUKUM
(KEKUATAN AKAL DAN WAHYU)

Kelompok 3 :

Ivan Soleh Harahap (11200480000019)

Fariz Naufal Susanto (11200480000141)

Dani Firzada (11200480000095)


Sub Discussion :

Pengertian Al
Hakim/As
Syari/pembuat
hukum
Sub Discussion
Perbedaan
pendapat tentang
sumber hukum
Pengertian Al-Hakim
I. Secara Etimologi
•Kata “hâkim" yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia, yang maknanya
sama dengan salah satu dari makna etimologinya dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan
dan menetapkan hukum; yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk
segala sesuatu. Kata hâkim juga digunakan untuk menunjuk pengertian hakim di pengadilan. Untuk
pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab, kata hakim sepadan dengan kata qâdhî (kadi). Dari
segi terminologi fiqh, kata hâkim atau qâdhîjuga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara
di pengadilan.
Secara Terminologi

• menurut terminologi ushul fiqh, kata hâkim menunjuk pihak yang menciptakan dan
menetapkan hukum syariat secara hakiki.Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya
Allah yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-Nya.
• Pembuat hukum dalam pengertian Islam adalah Alloh SWT.dia menciptakan manusia
diatas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan
manusia,baik dalam hubunganya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk
kepentingan hidup di ahirat.baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Alloh SWT,maupun hubungan manusia dengan sesamanya dari alam sekitarnya
Pembuat Hukum (Syâri') satu satunya bagi umat Islam adalah Allah. Hal
ini merupakan manifestasi dari iman kepada Allah, sebagaimana
ditegaskan firman Allah dalam surat al-An'am(6):57;Yusuf(12):40 dan
67: 
‫ان ْال ُح ْكم ااَّل هّٰلِل‬
ِ ِ ُ ِ ِ
“Sesungguhnya tidak ada bukum kecuali bagi Allah.”

Penamaan Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum atau syari' adalah


“pembuat hukum" secara haqiqi atau dalam arti se-benarnya, teoretis dan
praktis, de jure dan de facto. Namun dalam kenyataannya atau secara de
facto ditemukan pula pihak lain yang juga menetapkan hukum yaitu Nabi
Muhammad sendiri dan para mujtahid. Nabi menetapkan hukum syara'
baik dalam keadaan yang mandiri di luar yang ditetapkan Allah atau dalam
sifat "penjelas" terhadap hukum yang ditetapkan Allah. Mujtahid pun
secara praktis menetapkan hukum melalui hasil ijtihadnya dengan
berpedoman kepada hukum yang ditetapkan Allah. Keduanya dapat pula
disebut pembuat hukum atau syari' dalam arti majazi atau bukan dalam arti
sebenarnya. Nabi disebut syari' dalam arti “penjelas" terhadap hukum
syara' dan mujtahid disebut syari' dalam arti “penemu" atal
“perumus"hukum syara'
PERDEBATAN

•Pendapat mayoritas ulama Ahlusunah mengatakan, bahwa satu-satunya yang dapat


mengenalkan hukum Allah kepada ma-nusia adalah Rasul atau utusan Allah melalui
wahyu yang di-turunkan Allah kepadanya. Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah
bahwa bila tidak ada Rasul yang membawa wahyu,maka tidak ada hukum Allah, dan
manusia pun tidak akan mengeta-huinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat
dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau berdosa bila telah datang
Rasul membawa wahyu Allah dan belum ada hal-hal yang demikian sebelum datang
Rasul.

• Kalangan ulama Kalam Mu'tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah

adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia.
Meski demikian, seandainya Rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada
manusia, tetapi melalui akal yang diberikan Allah ke-pada manusia, ia mempunyai
kemampuan mengenal hukum Allah itu.Atas dasar pendapat ini, maka sebelum kedatang-
an Rasul pembawa hukum Allah itu, manusia telah dianggap patuh atau ingkar kepada
Allah dan telah dianggap berhak mendapat balasan (pahala dan dosa).
Titik Perbedaan

Titik perbedaan pendapat dua kelompok itu terletak dalam dua hal:
pertama, nilai baik dan buruk dalam suatu perbuatan, kedua nilai baik
dan buruk itu mendorong manusia untuk berbuat atau tidak berbuat.
Dalam memahami dua hal tersebut terdapat tiga kelompok ulama:
 Kelompok Asy'ariyah (Ahlusunah) berpendapat bahwa suatu perbuatan dari
segi perbuatan itu sendiri tidak dapat dinilai baik atau buruk, oleh karena
akal manusia tidak dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan.
 Kelompok Mu'tazilah yang berpendapat bahwa sesuatu perbuatan dan materi
perbuatan itu sendiri mengandung nilai baik atau buruk. Akal manusia dapat
mengetahui perbuatan itu baik atau buruk.
 Kelompok Maturidiyah bependapat bahwa pada suatu perbuatan dengan
semata melihat pada materi perbuatan itu mempunyai nilai baik dan buruk.
Karena itu akal dapat menetapkan suatu perbuatan itu baik atau buruk.
• Any Question?

Anda mungkin juga menyukai