Anda di halaman 1dari 11

TUGAS FIKIH

AL HAKIM DAN MAHKUM FIH

Nama Anggota:
1. Akhmad Zulfa
2. Nor Azizah
3. Siti Aisyah
4. Syahriyanti
5. Winda hastuti
Kelas : XII MIA 1
Pengertian Al-Hakim
1. Pengertian Al-Hakim

a. Al-Hakim
Al-Hakim adalah dzat yang mengeluarkan hukum. Dia adalah Allah,
maksudnya dialah sebagai sumber hukum. Allah adalah dzat yang
menyuruh,melarang , mewajibkan, mengharamkan, memberi pahala atau
siksa. Dengan demikian Al-Hakim adalah Allah disebut juga syari.
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian:

Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.


Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan
hukum.
.
Adapun yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan
peraturannya kepada para Rasul, baik dalam bentuk wahyu Al-Quran maupun
wahyu dalam bentuk sunnah.[2]
Para ulama berprinsip:

Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (QS. Al-Anam [6]: 57).
Berdasarkan pernyataan di atas, maka ahli ushul menetapkan bahwa hukum syara
ialah

Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik dalam
bentuk tuntutan atau boleh pilih atau penetapan sesuatu sebagai syarat, sebab
atau mani.
Pernyataan di atas didasarkan firman Allah SWT:

Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia
Pemberi keputusan yang terbaik. (QS. Al-Anam [6]: 57)
B. Metode Mengetahui Hukum Allah
Menurut mazhab Mutazilah bahwa hukum hukum Allah buisa diketahui
melalui akal tanpa melalui rasul dan kitabnya . Karena semua perbuatan
mukallaf yang baik maupun yang buruk mempunyai dampak, yaitu dampak
baik dan dampak buruk. Dampak inilah yang bisa diketahui oleh akal.
Sehingga perbuatan yang berdampak buruk menurut akal itu adalah
perbuatan buruk dan sebaliknya perbuatan yang berdampak baik menurut
akal itu adalah perbuatan baik. Dari sini maka hukum-hukum Allah
mengenai perbuatan mukallaf bisa diketahui melalui akal.
Adapun yang menjadi persoalan adalah siapakah yang menjadi hakim
terhadap perbuatan mukallaf sebelum Rasul diutus. Golongan
Mutazilah berpendapat bahwa sebelum Rasul diutus, akal manusia
itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui
baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena
sifatnya.
C. Kedudukan Hakim Dalam Hukum Islam

Kedudukan Al Hakim dalam hal ini adalah Allah SWT adalah sebagai pembuat
sekaligus menetapkan hukum untuk dipatuhi oleh mukallaf
1. Pengertian Mahkum Fih

Yang dimaksud dengan mahkum fih, seperti dijelaskan oleh Abdul Akrim Zaidan,
adalah perbuatan orang mukallaf yang berkaitan dengan hokum syara. Dalam
pandangan Muhammad Abu Zahrah bahwa esensi mahkum fih itu adalah
berkenaan dengan objek hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik
kaitannya dengan tuntutan untuk berbuat, meninggalkan larangan atau adanya
pilihannya. Secara tegas Zahrah menyebutkan bahwa mahkum fih berkaitan
dengan realisasi atau implementasi dari hukum taklifi. Dengan kata lain mahkum
fih (perbuatan hukum) itu akan dapat dilihat realisasinya dalam lima kategori
ketentuan syara, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari(Allah dan Rosul-
Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan
memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari
itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf
tersebut ditetapkannya suatu hukum.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa mahkum fih itu adalah objek hukum atau
perbuatan hukum yang dilakukan seorang mukallaf yang berkaitan dengan
perintah syari (Allah dan Rasul), baik tuntutan mengerjakan maupun tuntutan
meninggalkannya.
2. Syarat Sahnya Pentaklifan Perbuatan
Perbuatan yang sah untuk dikenakan taklif menurut
syara ada tiga syarat
Pertama, perbuatan itu harus diketahui oleh
mukallaf dengan pengetahuan yang sempurna
sehingga ia mampu untuk melaksanakannya sesuai
dengan tuntunan. Suatu perbuatan itu harus diketahui
betul oleh mukallaf secara sempurna dan ia mampu
melaksanakan perbuatan itu sesuai tuntutan.
Misalnya, nash-nash Al-Quran yang masih mujmal,
belum dapat dibebankan kepada mukallaf kecuali
setelah ada penjelasan (bayan) dari Rasullullah.
Seperti perintah shalat, dalam al-Quran tidak di
jelaskan syarat dan rukunnya, tetapi dijelaskan dalam
hadits-hadits, maka barulah pembebanan hukum
tentang shalat itu dikenakan kepada mukallaf.
Kedua, Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang
harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.Sehingga ia
melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan
perintah Allah semata. Berarti tidak ada keharusan untuk
mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang
jelas, hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai
tuntutan syara.
Ketiga, perbuatan yang ditaklif haruslah bersifat mungkin untuk
dilaksanakan dan ditinggalkan. Perbuatan itu adalah perbuatan yang
dapat dilakukan atau ditinggalkan oleh mukallaf. Dalam konteks ini ada
dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, tidak sah atau tidak
dibenarkan beban yang tidak mungkin dikerjakan. Kedua tidak sah
memberikan beban dimana beban (kewajiban) itu kepada seorang
diperintahkan untuk dikerjakan sementara kepada orang lain dilarang
untuk dikerjakan. Oleh karena itu, suatu perbuatan yang diperintahkan
adalah perbuatan yang dapat dikerjakan oleh mukallaf atau yang dapat
dijangkau oleh mereka
3. Macam-Macam Mahkum Fih

Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi
menjadi tiga macam.
1. Semata mata hak Allah,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan. Dalam hak ini seseorang tidak di benarkan melakukan
pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak ini
semata mata hak Allah.dalam hal ini ada delapan macam.
a) ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b) ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,
seperti:zakat fitrah, karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah.
Simpulan

Al-Hakim ialah pembuat serta yang menetapkan hukum. Adapun yang menetapkan
hukum adalah Allah SWT. Allah yang menurunkan peraturannya kepada para Rasul, baik dalam
bentuk wahyu Al-Quran maupun wahyu dalam bentuk sunnah.
Pendapat beberapa golongan mangenai tahsin aqly wa taqbih aqly:
a. Golongan Mutazilah berpendapat bahwa semua perbuatan manusia selalu diwarnai
baik atau buruk, bermanfaat atau mudarat. Apabila seseorang mengerjakan kebaikan atau
kejahatan (menurut pertimbangan akalnya) tentu akan diberi ganjaran pahala atau dosa.
b. Golongan Maturdiyah , tidak ada taklif (pembebanan) dan pahala hanya dengan
keputusan akal saja, tetapi sesungguhnya urusan taklif, pahala dan siksa itu berdasar dari
ketentuan nash.
c. Golongan Asariyah, al-Hakim (pembuat hukum) adalah Allah SWT dan akal tidak
dapat memberi beban hukum(taklif), meskipun ia mampu menemukan sesuatu yang hasan
dzaty serta yang qabih dzaty.
Fungsi akal dalam penetapan hukum: Akal sangat besar peranannya sebagai alat untuk
menggali dan mengembangkan kandungan wahyu. Dan wahyu memberi pengarahan dan
dorongan kepada akal supaya senantiasa aktif berfikir.
Simpulan
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan
Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat
dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf
mengalami kesulitan-kesulitan. Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat,
puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh
mukallaf. Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya
seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu
pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan
pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf yang telah mampu mengetahui
khitob syari(tuntutan syara) maka sudah di kenakan taklif.

Anda mungkin juga menyukai