Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

NASIKH MANSUKH

DOSEN PENGAMPU :

Dr.Hj. Daharmi Astuti,Lc.,M.Ag.

DI SUSUN OLEH :

Devi Indriani (222410256)


Hak Prey (222414354)
Nazhifa (222410266)
Uday Syaddad Putra (222410156)

Mata Kuliah : Ulumul Quran

Kelas I-D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang ,kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya ,yang telah melimpahkan rahmat,hidayah
dan inayah-Nya kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kewirausahaan
yang berjudul “Nasikh Mansukh”

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini,untuk itu kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.terlepas dari semua itu ,kami menyadari bahwa sepenuhnya
bahwa masih ada kekurangan baik dai segi susunan kalimat maupun tata bahasanya.oleh
karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritikandari pembaca agar
kami dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberi manfaat maupun
inspirasi pembaca.

Ttd

Penyusun
Daftar Isi
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN................................................................................................................................4
A. Latar Belakang........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................4
C. Tujuan Masalah.......................................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN...................................................................................................................................5
A. Pengertian Nasikh dan Mansukh...........................................................................................5
B. Syarat-syarat Adanya Nasakh................................................................................................6
C. Hikmah Nasikh dan Mansukh................................................................................................7
D. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Keberadaan Syarat Dalam Proses Nasakh.............8
BAB III...............................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ia meninggalkan dua kitab yang akan
menjadi pedoman manusia hidup di dunia agar tidak tersesat yaitu Al-qur’an dan Al-
hadits. Allah juga menurunkan syariat samawiyah kepada para utusanNya untuk
memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan
mu’amalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan
memelihara keselamatan masyarakat. Tuntutan kebutuhan setiap umat terkadang berbeda
satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk satu kaum pada suatu masa mungkin tidak
cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf
pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalannya sesudah memasuki era
perkembangan dan pembangunan. Dengan demikian hikmah tasyri’ (pemberlakuan
hukum) pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’ pada periode yang lain.
Tetepi tidak diragukan bahwa pembuat syari’at, yaitu Allah, rahmat dan ilmuNya
meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milikNya.
Oleh sebab itu, wajarlah jika Allah menghapuskan sesuatu syari’at dengan
syari’at lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuanNya
yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.
B. Rumusan Masalah
a. Apa Pengertian Nasikh dan Mansukh ?
b. Apa Syarat-syarat adanya nasakh?
c. Apa Hikmah nasikh dan Mansukh?
d. Bagaimana Pendapat para ulama?

C. Tujuan Masalah
a. Untuk mengetahui pengertian Nasikh dan Mansukh
b. Untuk mengetahui Syarat-syarat adanya nasakh
c. Untuk mengetahui Hikmah nasikh dan Mansukh
d. Untuk mengetahui Pendapat para ulama
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh


Nasikh menurut bahasa memilki dua arti yaitu: hilangkan dan hapuskan.
Misalnya dikatakan nasakhat asy-syamsu azh-zhilla, artinya matahari menghilangkan
bayang-bayang dan nasakhat ar-rih atsara al-masyyi, artinya angin menghapuskan jejak
langkah kaki. Kata naskh juga dipergunakan untuk makna memindahkan sesuatu dari
suatu tempat ke tempat lain. Misalnya:nasakhtu al- kitab, artinya, saya menyalin isi
kitab. Didalam Al-quran dikatakan

‫َٰه َذ ا ِكَتاُبَنا َيْنِط ُق َعَلْي ْمُك اِب ْلَحِّق اَّن ُكَّنا َنْس َتْنِس ُخ َم ا ُكْنْمُت َتْع َم ُلوَن‬
‫ِإ‬
Artinya: “ (Allah berfirman), Inilah kitab (catatan)kami yang menuturkan dengan
sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu
kerjakan.” (Al-jatsiyah:29).

Maksudnya, kami (Allah) memindahkan amal perbuatan kedalam lembaran-


lembaran catatan amal.

Sedangkan menurut istilah nakh ialah “mengangkat (menghapuskan) hukum


syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.” Disebutkan disini kata “hukum”,
menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hukum asalnya boleh” (Al-Bara’ah Al-
ashliyah) tidak termasuk yang di naskh. Kata-kata “dengan dalil hukum syara’”
mengecualikan pengangkatan (penghapusan) hukum yang disebabkan kematian atau gila,
atau penghapusan dengan ijma’ atau qiyas. Contohnya:

‫َو ِ ِهلل اْلَم ِرْشُق َو اْلَم ْغِرُب َفَأْيَنَم ا ُتَو ُّلْو ا َفَّمَث َو ْج ُه ِهللا َّن َهللا َو اِس ٌع َعِلٌمْي‬
‫ِإ‬
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah[83]. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
mengetahui. Disitulah wajah Allah” (QS. Al-Baqarah [2] : 115.)

Kemudian di nasakh oleh ayat :

‫َفَو ِّل َو َهْجَك َش ْط َر اْلَمْس ِج ِد اْلَح َر اِم‬


Artinya: “maka palingkanlah mukamu ke arah masjidil haram....” (QS. Al-Baqarah:144).

Ada yang berpendapat inilah yang benar, bahwa ayat pertama tidak
di naskh sebab ia berkanaan dengan sholat sunnah saat dalam perjalanan yang dilakukan
diatas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan daruarat. Dengan demikian, hkum ayat
ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam Ash-Shahihain. Sedang ayat kedua
berkenaan dengan sholat fardlu lima waktu. Dan yang benar, ayat kedua ini menasakh
perintah kehadap Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.

B. Syarat-syarat Adanya Nasakh

Syarat-syarat yang menyebabkan proses nasakh bisa terjadi ada lima:

Pertama, hendaklah hukum yang terkandung dalam nasikh dan mansukh


bertentangan, sehingga tidak mungkin untuk diambil upaya jama’(kompromi). Kalau
keduanya masih mungkin mengalami proses jama’, maka salah satu diantaranya tidak
bisa menasakh yang lainnya. Kasus seperti ini bisa terjadi karena dua kemungkinan:

Hukum yang terkandung pada dalil pertama ternyata tercakup pada dalil yang
kedua, karena maknanya yang lebih umum. Begitu juga dalil yang kedua masih tercakup
pengertiannya pada dalil pertama karena maknanya yang lebih khusus, sebab memang
dalil khas(bersifat lebih khusus) tidak bisa menasakh dalil ‘am(bersifat lebih umum)
akan tetapi harus di jelaskan bahwa sesuatu yang dikhususkan tidak bisa masuk dalam
kategori dalil umum.

Masing-masing dari hukum memiliki kondisi sendiri yang tidak di pengaruhi oleh
kondisi hukum yang lain. Contohnya status haram bagi wanita yang ditalak tiga. Status
haram ini hanya berlaku bagi suami yang telah mentalaknya. Status haram ini hanya
berlaku untuk suami yang mentalak selama sang istri belum ada yang menikahi lagi,
kalaupun ternyata sudah ada suami lain yang menikahi wanita itu maka hukum haram
bagi suami yang mentalak tersebut, tentu saja secara otomatis menjadi hilang. Status
haram itu terangkat sehingga dia mempunyai status baru, mubah untuk menikahi istrinya
yang telah di talak tiga tersebut (jika memang kembali berstatus janda).

Kedua, hendaklah hukum dalil yang mansukh sudah berlaku sebelum digantikan
dengan hukum nasikh. Hal ini bisa terjadi melalui dua cara: Diketahui dari pertimbangan
rasio, bisa diketahui melalui kronologi sejarah, yakni diberitakan bahwa hukum yang
pertama telah ada terlebih dahulu sebelum hukum yang datang terakhir. Sebab sekalipun
ada dua hukum yang sifatnya bertentangan dan tidak mungkin untuk diamalkan secara
bersamaan, namun apabila tidak ada keterangan untuk menyebutkan kalau salah satu dari
dua hukum Itu berlaku lebih dahulu, maka dalam kasus seperti ini tidak boleh ada proses
nasakh (Manna : 2001).

Ketiga, hendaklah hukum yang di nasakh adalah hukum yang di tetapkan melalui
nash syar’i. Kalau hukumnya hanya sebatas ditetapkan oleh tradisi atau kebiasaan, maka
hukum baru yang membatalkan tidak bisa dibilang sebagai nasikh, akan tetapi dianggap
sebagai awal mula dalam pensyari’atan hukum baru. Pendapat ini seperti yang telah
dikemukakan oleh para ulama ahli tafsir yang telah mengatakan kalau praktek thalak
pada masa jahiliyah tidakdibatasi dengan jumlah bilangan yang pasti telah dinasakh.
Menurut mereka, praktek ini diharus dengan firman Allah Ta’ala, “Thalak (yang dapat di
rujuk) dua kali”.(Qs.Al Baqarah(2):229). Tentu saja pendapat seperti ini hanya muncul
dari orang yang tidak paham. Karena seorang yang betul-betul paham akan mengetahui
kalau ayat ini sebenarnya aturan permulaan dalam syari’at Islam, bukan sebagai nasikh
untuk sebuah tradisi Jahiliyah.

Keempat, hendaklah hukum dalil yang berfungsi sebagai nasikh harus berasal
dari nash syar’i, sebagaimana hukum pada dalil yang mansukh. Kalau hukum dalam dalil
nasikh ternyata bukan ditetapkan melalui nash yang di nukil secara syar’i, maka dia tidak
boleh menjadi nasikh bagi dalil yang dinukil (melalui nash syar’i). Oleh karena itulah
jika ada sebuah hukum yang ditetapkan melalui nash syar’i, maka tidak boleh dinasakh
hanya dengan putusan ijma’atau qiyas.

Kelima, hendaklah proses penetapan dalil nasikh minimal setara dengan proses
penetapan dalil mansukh. Akan lebih baik kalau proses penetapannya memiliki status
yang lebih tinggi. Adapun kalau statusnya lebih rendah dibandingkan dengan status
penetapan dalil yang akan dinasakh, maka dia tidak boleh menjadi nasikh bagi sebuah
hukum yang lebih kuat status penetapannya (Rosihon : 2000).

C. Hikmah Nasikh dan Mansukh


Terdapat hikmah yang luar biasa dalam nasikh-mansukh ini, di antaranya:

- Sifat kasih Allah


Secara umum, ayat yang mansukh itu lebih berat daripada yang nasikh. Hal ini
menunjukkan bahwa syariat Nabi Muhammad merupakan syariat yang paling ringan,
hanafiyah-samhah.
Namun adakalanya ayat yang nasikh itu lebih berat. Dalam hal demikian,
Allah telah menyediakan pahala yang lebih besar. Hal ini menunjukkan sifat kasih
Allah yang ar-Rahman dan ar-Rahim.
- Syariat Islam tidak kaku
Dengan memahami nasikh-mansukh dalam al-Qur’an ini pula, kita menyadari
bahwa hukum Allah itu tidak bersifat kaku dan stagnan. Namun dinamis dan selalu
berkembang.
- Hubungan yang erat antara syariat dan dakwah
Hal ini sangat penting untuk kita mengerti, bahwa syariat Islam itu bagian
dari strategi dakwah juga. Syariat dan dakwah merupakan saudara kandung yang
lahir dan tumbuh secara beriringan. Bahkan tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling
menjaga, saling memberi, dan saling menguatkan.
- Memelihara kemaslahatan hamba.
Mencoba mukallaf, dan melakukan percobaan-percobaan dengan mengikut perintah
dan meniadakanya.
- Menanamkan kemauan yang lebih baik kepada umat dan memudahkannya.

D. Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Keberadaan Syarat Dalam Proses Nasakh


Nash Sunnah yang dinukil secara mutawatir, sebagaimana cara Al-Qur’an
dinukil. Apakah nash Al-Qur’an boleh dinasakh dengan nash Sunnah jenis ini? Syaikh
Ali Bin Ubaidillah telah menceritakan dua buah riwayat yang berasal dari Ahmad.
Dalam riwayat itu disebutkan, kalau Ahmad telah berkata bahwa pendapat yang masyhur
menyebutkan kalau nash Al-Qur’an tidak boleh dinasakh dengan nash Hadits mutawatir.
Pendapat inilah yang dianut oleh Ats-Tsauri dan Asy-Syafi’i.

Sedangkan riwayat kedua dari Ahmad menyebutkan kalau nash Al-Qur’an bisa
dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Pendapat ini telah dianut oleh Abu Hanifah.
Malik berkata bahwa dalil untuk riwayat pertama dari Ahmad, yang menyatakan nash
Al-Qur’an tidak bisa dinasakh dengan nash Hadits mutawatir. Allah SWT berfirman
dalam QS Al Baqarah:106 yang artinya:

“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya”.
Sedangkan dalil yang berasal dari Hadits Rasulullah SAW adalah yang telah
dinukil oleh Ad-Daruquthni dari riwayat Jabir bin Abdullah, dia mengatakan bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Perkataanku tidak bisa dibuat menasakh Al-Qur’an. Al-Qur’anlah yang dapat saling
menasakh antara yang satu dengan yang lain”

Pertimbangan lain kalau nash mutawatir tidak bisa menasakh Al-Qur’an adalah
dilihat dari segi maknanya. Bisa dikatakan bahwa Sunnah memiliki nilai lebih rendah
dibandingkan dengan Al-Qur’an. Nasakh itu pada hakekatnya adalah sebuah upaya untuk
menerangkan nash yang dinasakh. Dengan demikian makna ayat Al-Qur’an diatas sesuai
dengan hakikat nasakh itu sendiri, yakni menerangkan hukum yang sebelumnya telah
diturunkan kepada unat manusia (Nor Ichwan : 2001).

Nash Sunnah yang dinukil secara ahad. Jenis nash Sunnah ini tidak bisa
dipergunakan untuk menasakhkan Al-Qura’an, karena Hadits ahad tidak berkonsentrasi
hukum qath’i (pasti), namun hanya menimbulkan hukum yang bersifat zhann. Dan Al-
Qur’an berkonsekuensi pada hukum qath’i. Sedangkan argumen yang dipergunakan
kelompok ulama yang megatakan boleh menasakh nash mutawatir dengan nash ahad
adalah kisah penduduk Quba’ yang berani merubah arah kiblat ketika mereka hanya
mendengar informasi dari salah seorang sahabat. Untuk mengomentari pendapat ini
maka perlu diberi penjelasan sebagai berikut. Sebenarnya kiblat yang menghadap Baitul
Maqdis tidak ditetapkan di dalam Al Qur’an. Oleh karena itu hukum menghadap kiblat
ke arah tersebut boleh di nashkan meskipun hanya dengan ahad.
BAB III
KESIMPULAN

Nasikh ialah menghapuskan hukum syara’ dengan dalil hokum syara’ yang lain.
Disebutkan kata “hukum” disisni, menunjukkan bahwa prinsip “segala sesuatu hokum
asalnya boleh”. Sedangkan Mansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan. Nasikh
terdapat empat macam bagian, diantaranya:
1) Naskh Al-qur’andengan Al-qur’an
2) Naskh Al-qur’andengan As-sunnah
3) Naskh As-sunnahdengan Al-qur’an
4) Naskh As-sunnahdengan As-sunnah
Fungsi memahami Nasikh dan Mansukh diantaranya sebagai berikut:
1) Memelihara kepentingan hamba
2) Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah
dan perkembangan kondisi umat manusia
3) Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4) Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika Nasikh itu beralih ke hal
yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang kebihringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Jumhur Ulama. Mereka berpendapat Naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal
dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’, berdasarkan dalil-dalil:
1) Perbuatan-perbuatan Allah tidak tergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja
memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain.
Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui kepentingan hamba-hamba-Nya.
2) Nas-nas kitab dan Sunah menunjukkan kebolehan Naskh dan terjadinya.yaitu Firman
Allah:
“Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempa ayat yang lain…” (QS.An-Nahl
[16]:101)
Dalam sebuah hadist shahih, dari Ibn Abbas r.a., umar r.a.berkata : ”Yang paling
paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami adalah Ubai. Namun demikian kami pun
meninggalkan sebagian perkataannya, karena ia mengatakan: “Aku tidak akan meninggalkan
sedikit pun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah SAW, padahal Allah telah
berfirman: Apa saja ayat yang Kami Naskhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya…” (Al-Baqarah [2]:106)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah.

Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa, Jakarta:2001

Manna Khalil Al-Qattan, StudiIlmu-Ilmu Qur’an, PustakaLiteraAntarNusa,


Jakarta:2001.Hlm. 325-334.

Munawaroh, N. R. (2020). Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-qur'an.

Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.

Nor Ichwan, Memahami Bahasa Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung: 2001.hlm.278.

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.

Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,PustakaSetia, Bandung: 2000.Hlm.165-166.

Sigit Bayu Aji, Z. H. (2013). Nasikh dan Mansukh. Retrieved from Kumpulan Makalah:
https://www.kumpulanmakalahmahmud.com/2013/12/nasakh-dan-mansukh-
pengertian-syarat.html

Anda mungkin juga menyukai