Pendahuluan
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang
keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, Al-Auza’i, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu
Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-
Mubarakfury, Ahmad Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah Ashhaabul-Hadits (para ahli
hadits). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini
menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa
mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan
para shahabatku di hari ini”. [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724]. Dalam lain riwayat beiau besabda :
“Dan ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari shahabat Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan].[2][2]
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah (sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir
“Adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi
Ashhaabul-Hadits disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, yaitu kelompok yang mendapatkan pertolongan (dari
Allah) dalam menegakkan al-haq sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ال تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق ال يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر اهلل وهم كذلك
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang
menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah (yaitu datangnya hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang hadits di atas beliau menjawab :
} هم { ان لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فال أدري من
[2]
[3]
“Apabila kelompok yang mendapatkan pertolongan itu bukanlah Ashhaabul-Hadits, maka aku tidak tahu siapakah
mereka…” [Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi hal. 1 dengan sanad shahih] [4][4].
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari
hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya.
Bila kemudian ada permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli
“….Demikian pula dalam perkara yang berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati
oleh para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya. Mereka itu adalah ulama hadits, karena
mereka mengetahui keadaan nabi mereka, yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan
beliau, dan memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih bertaqlid pada
perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu
khusus dan ilmu umum. Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang lain,
apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan
mereka atas sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak
meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain mereka yang tidak mempunyai
perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal.
373 melalui perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal. 70-71; Maktabah Sahab].
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi
sampainya kepada kita.[6]) [7][7]) Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan.
Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut
[4]
[5]
[7]
kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi
tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada
sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Ada empat syarat satu
2. Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
4. Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar,
atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka
dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir.
Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu
bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena - dalam hal penerimaan - yang
terpenting bagi mereka adalah keshahihan riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits :
”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan
mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan
2. Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits
tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang
lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena
adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan
ketika berdo’a. [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4].
[8]
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang.
Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”. Hadits ahad
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut
istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah
(tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.[9][9] Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi :
{ إن اهلل ال يقبض العلم انتزاع\\ا ينتزع\\ه من العب\\اد ولكن يقبض العلم بقبض العلم\\اء ح\\تى إذا لم يب\\ق عالم\\ا اتخ\\ذ الن\\اس رؤوس\\ا جه\\اال فس\\ئلوا ف\\أفتوا بغ\\ير علم
} وأضلوا فضلوا
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan
melepaskan ilmu dengan mengambil (mewafatkan) para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang
alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits
adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi
shallallaahu bersabda :
} والناس أجمعين { ال يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده
”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya,
serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits
yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi
itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau
lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai
hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
1. Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan
terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
[9]
”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh
Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id
meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi
melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang
2. Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya,
bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi
pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja
yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas
radliyallaahu ‘anhu :
}رأسه المغفر { أن النبي صلى اهلل عليه وسلم دخل مكة وعلى
”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas
kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan
dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu. [10][10]
Itulah garis besar penjelasan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir dan
ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah diterima atau ditolaknya satu khabar/hadits.
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan
atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan
validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dla’if
(apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir
merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian,
dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
1. Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
[10]
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dlarury (aksiomatik).
Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk
mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita
akan adanya Makkah dan Madinah berada di Saudi Arabia, matahari itu panas, es itu dingin, dan lainnya; tanpa
membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits ahad
bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah
diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, serta selamat dari ‘illat
(cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan)[11], maka hadits tersebut
adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai
Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahihnya.
Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di
dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari illat hadits.
Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama hadits yang terpercaya dan teliti,
Hadits-hadits ahad yang mempunyai qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i
أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم ال اتفاق األمة عليه لكن اتفاق األئمة عليه الزم من ذلك وحاصل معه
التفاق األمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خالفا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه ال يفيد
في أصله إال الظن
“Para ahli hadits sering menyebut hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan (shahih muttafaq ‘alaih). Maksudnya
adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan. Akan tetapi,
kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima
hadits-hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim
[
adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang
menafikkkannya dimana mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali dhann ”
ِ الش ُ َج: ت بِ ِه قراِئ ُن ؛ منها ِ َّ ُ ِم ْنها ما َأ ْخرجه: ٌف بال َقراِئن أنواع
. ْأن َّ اللت ُهما في هذا ْ احُت َّفْ ُ فِإ نَّه،َم َي ْبلُ ْغ َح َّد المتواتِ ِر َّ حيح ْي ِهما
ْ مما ل َ ص َ الش ْيخان في ََ َ ُّ َالم ْحت
ُ والخَب ُر
َ
ِ ِ ُّ ِ ِ ِ ِ ِإ
ِ َّلقي وح َدهُ َأقوى في فادة ِ
ِّ وهذا الت، تاب ْي ِهما بال َقبُول ِ ِ
العلم من ُم َج َّرد َك ْث َرة الط ُرق القاصرة َع ِن ُ وَتل َِّقي. حيح على غي ِرهما
َ العلماء ك ِ الصَّ ُّم ُهما في تَ ْميي ِز
ُ وَت َقد
التَّواتُ ِر
“Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin
karena : a) Kemuliaan keduanya (Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang
memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk
menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-
yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak
diketahui kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang
mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-
Inilah yang disebut dengan ilmu dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu dlarury
dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta
diamalkan; baik masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari Ahlus-Sunnah wal-
Jama’ah.
Terdapat khilaf ‘ulama tentang pembahasan : “Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann ?”.
Pembahasan ini menghasilkan khilaf yang banyak dan polemik yang panjang. Ada sebuah hasil penelitian yang
[12]
dilakukan oleh Al-Ustadz Abu Hamzah A. Hasan Bashari yang berjudul Khabar Ahad ‘indal-Ushuliyyin [13]
[13] di
bawah bimbingan Dr. Ahmad Al-Khatm As-Sudani Al-Ushuli yang dilakukan pada tahun 1413 di Universitas Imam
Muhammad bin Su’ud Jakarta (LIPIA) terkait dengan bahasan ini. Secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :[14]
1. Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh
Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w.
243 H), dan Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm
} معا { أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم يوجب العلم والعمل
"Bahwasannya khabar wahid yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus" [Al-Ihkaam fii Ushuulil-
2. Hadits ahad adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai qarinah-qarinah.
Adapun qarinah-qarinahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain
menambahkan bahwa hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qath’i meskipun tidak
dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-
Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb (w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari
Hanafiyyah; Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab
(432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu
banyak untuk disebutkan); dan ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.
3. Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara mutlak.
Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok
Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah [15]
[15].
[13]
[15]
Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibn ‘Abdis-Salaam
(577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).
Itulah garis besar perbedaan pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin atau
dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya
Perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat
dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat bahwa hadits ahad wajib
diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan
وأما إذا انضم، واعلم أن الخالف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر اآلحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه
وال نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع اإلجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد.إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فال يجري فيه الخالف المذكور
العلم ألن اإلجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته األمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث
......صحيحي البخاري ومسلم فإن األمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول
”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad
memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang
lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku
perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati
bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu
telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh
umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan hadits itu dan ada pula yang menta’wilkannya. Yang termasuk
dalam jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih – Bukhari dan Muslim – karena
kaum muslimin telah sepakat menerima hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang
tidak mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka menta’wilkannya. Dan ta’wil adalah termasuk
bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
Kesimpulan di point ini, secara umum hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan
dhanniyyatul-hadits tidak bermakna lagi setelah hadis itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para
ulama ahli hadits. Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama
terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan
atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan
sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan
satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka
ditolak. Pembagian mutawatir dan ahad ini bermanfaat dalam pembahasan ta’arudl (pertentangan) antara satu hadits
dengan hadits lain. Jika ada satu hadits yang dibawakan oleh satu orang perawi yang menyelisihi perawi lain yang
lebih kuat atau lebih banyak, maka hadits itu adalah lemah. Jika perawinya merupakan perawi lemah lagi tidak
tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits munkar. Jika perawinya adalah tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits
Tidak ada pembedaan antara masalah aqidah dan hukum dalam penerimaan hadits ahad yang shahih. Allah telah
berfirman :
ْخَي َرةُ ِم ْن َْأم ِر ِه ْم ُُ َ ْ ُ ََ َ ََو َما َكا َن لِ ُمْؤ ِم ٍن َوالَ ُمْؤ ِمنَ ٍة ِإذَا ق
ِ ضى اللّهُ ورسولُهُ َأمراً َأن ي ُكو َن لَهم ال
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [QS.
Al-Ahzaab : 36].
Kalimat amran [ً ]َأ ْمراdalam ayat di atas adalah umum yang meliputi semua perkara, baik masalah aqidah atau hukum,
yang sampai pada kita melalui jalan mutawatir ataupun ahad. Hal yang sama tercermin dalam firman Allah :
ْانت ُهوا
َ َول فَ ُخ ُذوهُ َو َما َن َها ُك ْم َع ْنهُ ف
ُ الر ُس
ّ َو َمآ آتَا ُك ُم
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [QS.
Al-Hasyr : 7].
ِ صيبهم َع َذِ ِ ِ ِ ِ ِ
يم
ٌ اب َأل
ٌ َ َفلْيَ ْح َذ ِر الّذ
ْ ُ َ ُين يُ َخال ُفو َن َع ْن َْأم ِره َأن تُص َيب ُه ْم ف ْتنَةٌ َْأو ي
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
Ayat-ayat di atas (dan juga masih banyak ayat yang lainnya) menunjukkan keumuman wajibnya menerima khabar
yang berisi perintah, larangan, aqidah, hukum, dan yang lainnya. Pengkhususan atas pembedaan antara masalah
aqidah dan hukum serta mutawatir dan ahad; sama sekali tidak ditunjang dengan dalil yang kuat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu orang (yang dalam segi periwayatan dinamakan
ahad) kepada satu negeri untuk menyampaikan masalah aqidah dan hukum sebagaimana perkataan beliau ketika
فإن هم أطاعوك لذلك، إلى أن يوحدوا اهلل ـ وأني رسول اهلل: فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن ال إله إال اهلل ـ وفي رواية،إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب
.......فأخبرهم أن اهلل فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة
“Sesungguhnya kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari apa yang
kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah – dalam
lain riwayat : ajakan untuk mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika
mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam
Hadits di atas mengandung satu pelajaran bahwa penyampaian satu khabar oleh satu orang yang terpercaya [16]
[16]
adalah wajib untuk diterima. Khabar yang disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal dari Nabi kepada penduduk Yaman
ولو جاز ألحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد واالنتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد
.....إال وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد
“Seandainya diperbolehkan bagi seseorang awam untuk mengatakan sesuatu dalam pembahasan ilmu khusus :
‘Kaum muslimin telah bersepakat dulu dan sekarang atas tetapnya khabar wahid (hadits ahad) dan berhenti di
atasnya (yaitu menjadikannya hujjah)’; dimana ia tidak mengetahui seorangpun dari fuqahaa kaum muslimin yang
dari fuqahaa kaum muslimin bahwa mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-
[16]
[18]
فال يجوز عندي عن عالم أن يثبت خبر واحد كثيرا ويحل به ويحرم ويرد مثله إال من جهة أن يكون عنده حديث يخالفه أو يكون ما سمع من سمع منه أوثق
عنده ممن حدثه خالفه أو يكون من حدثه ليس بحافظ أو يكون متهما عنده أو يتهم من فوقه ممن حدثه أو يكون الحديث محتمال معنيين فيتأول فيذهب
إلى أحدهما دون اآلخر
“Menurut pandanganku, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad, kemudian ia
menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi ia juga menolak hadits sepertinya (dalam
beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang
riwayatnya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dari orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang
berbeda [19]
[19], atau orang yang meriwayatkannya bukan hafidh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu
dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung
kemungkinan dua makna sehingga dita’wil dan salah satu maknanya diambil”. [idem].
Di sini Imam Asy-Syafi’i menetapkan bahwa hadits-hadits yang shahih harus diterima secara keseluruhan baik dalam
masalah aqidah maupun hukum. Imam Asy-Syafi’i tidak membedakannya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa
khabar/hadits ahad dalam semua permasalahan agama (termasuk aqidah dan hukum), dimana beliau berkata :
على ذلك جميع أهل السنة، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده، ويعادي ويوالي عليها، وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في االعتقادات
“….Dan semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela,
mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه واألثر في جميع األمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو
أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا اال الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة ال تعد خالفا
“Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqh dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui –
untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang 'adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’)
untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar
[19]
[20]
[21]
atau ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan
Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Abul-Mudhaffar As-Sam’any Asy-Syafi’i berkata : “Sesungguhnya hadits, jika benar dari Rasulullah shallallaau ‘alaihi
wasallam, diriwayatkan oleh para imam yang tsiqah (terpercaya), dan orang belakangan mereka menyandarkan
kepada orang terdahulu (dari) mereka hingga kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diterima umat;
maka hadits itu mewajibkan ilmu dalam apa yang berkaitan dengan ilmu. Ini adalah perkataan kebanyakan Ahli
Hadits dan orang-orang yang menekuni As-Sunnah. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak
membuahkan ilmu dengan sendirinya, dan harus diriwayatkan secara mutawatir karena ilmu yang ada padanya;
adalah sesuatu yang diada-adakan oleh Qadariyyah dan Mu’tazillah yang bertujuan menolak hadits-hadits” [Risalah
Al-Intishaar li-Ahlil-Hadits yang diringkas oleh As-Suyuthi dalam Shaunul-Manthiq wal-Kalam hal. 160-161].
Masih banyak nukilan para ulama Ahlus-Sunnah yang senada (untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad
dalam perkara aqidah dan hukum) baik secara manthuq maupun mafhum seperti Abu Hanifah [22][22], Malik bin
lainnya. Dan sungguh, sebagian orang telah membuat kedustaan bahwa para ulama Ahlus-Sunnah bersepakat untuk
Apabila mereka menganggap bahwa sebagian ulama Ahlus-Sunnah telah berpendapat bahwa hadits ahad
menghasilkan dhann , padahal aqidah tidak boleh ditetapkan melalui dhann. Konsekuensinya, hadits ahad tidak bisa
Kita jawab : Pada hakikatnya mereka telah mengatakan apa-apa yang tidak pernah dikatakan oleh ulama Ahlus-
Sunnah. Memang benar bahwa sebagian di antara mereka berpendapat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan
dhann. Namun mereka tidak pernah berpendapat bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan dalam masalah ‘aqidah.
[22]
[23]
[24]
[25]
[26]
[
1. َ dalam bahasa Arab bisa mempunyai dua pengertian. Jika ia digunakan dalam hal yang
Kata dhann { ّ}ظن
condong pada kesalahan (marjuh), maka maknanya adalah “taksiran” dan “perkiraan”. Namun jika ditujukan
pada hal yang condong pada kebenaran (rajih), maka yang dimaksud adalah ilmu dan keyakinan. Dinukil
“Dhann adalah keyakinan kuat disertai adanya kemungkinan lain yang berlawanan. Dipergunakan juga dalam
arti yakin dan syakk (keraguan) [lihat Taajul-Arus 9/271]. Al-Qurthubi berkata :
}هو بمعنى اليقين { الظن الشرعي الذي هو تغليب أحد الجانبين أو
“Dhann menurut syara’ adalah mengutamakan salah satu dari dua hal yang berbeda, atau terkadang dipakai
dengan makna yakin” [Fathul-Bari 10/481]. Ringkasnya, kata dhann bisa bermakna keraguan dan keyakinan
[lihat Lisaanul-‘Arab 13/272]. Silakan juga untuk melihat penjelasan Ibnul-Atsir dalam kitab An-Nihayah fii
Gharibil-Hadits 3/162-163.
2. Terkait dengan butir 1, maka sebagaimana telah dijelaskan bahwa dhann tersebut bisa diterima dan
diamalkan (dalam semua perkara syari’at) jika diiringi indikasi-indikasi yang mengarah pada keyakinan.
Indikasi ini terletak pada penelitian yang dilakukan pada hadits ahad. Ketika sebuah hadits dikatakan
shahih, maka pengertiannya bukanlah syakk (keraguan), tapi keyakinan. Dan inilah ilmu nadhary.
ِ ّذين يظُنّو َن َأّن ُهم مالَقُو رب ِهم وَأّن ُهم ِإل َْي ِه ر
ِ ِِ ِ ِ ِ و
اجعُو َن َ ْ َ ْ َّ ّ َ الصالَة َوِإّن َها لَ َكب َيرةٌ ِإالّ َعلَى الْ َخاشع
َ َ ين* ال ّ ِاستَعينُواْ ب
ّ الص ْب ِر َو ْ َ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini), bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. [QS. Al-Baqarah : 45-46].
َ الصاب ِر
ين َ َ ْ َين يَظُنّو َن َأّن ُه ْم ُمالَقُواْ الل ِّه َكم ّمن فَِئ ٍة قَلِيل ٍَة غَلَب
ِ ّ ت فَِئ ٍة َكثِيرةً بِِإ ْذ ِن الل ِّه واللّهُ َم َع ِ َ َق
َ ال الّذ
“Orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini) bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa
banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah
menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka, serta mereka mempunyai “dhann” ( telah mengetahui) bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam
taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [QS. At-Taubah :
118].
Dan ayat yang lainnya. Di situ menunjukkan bahwa tidak semua dhann itu adalah tercela dan tidak bisa
digunakan sebagai dasar dalam syari’at. Bahkan dhann dalam ayat-ayat di atas dipakai dalam hal-hal
Kesimpulan di point ini adalah bahwa : Hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Pendapat
yang mengatakan bahwa hadits ahad hanyalah dikhususkan dalam masalah hukum dan tidak berlaku untuk masalah
aqidah adalah pendapat yang lemah dan tidak mempunyai pijakan yang kuat [29]
[29], serta merupakan pendapat dari
Sunnah yang berpegang demikian, khilaf tersebut tidaklah mu’tabar dan tidak mempengaruhi ijma’ Ahlus-Sunnah.
Janganlah kita mudah terpengaruhi oleh klaim-klaim pihak tertentu yang mengatakan bahwa permasalahan ini masih
khilaf di kalangan Ahlus-Sunnah (yang dikesankan seolah-oleh merupakan khilaf mu’tabar) [31]
[31]. Kalangan Ahlus-
Sunnah memang berbeda pendapat mengenai hadits ahad apakah menghasilkan ilmu yaqin atau dhann
(sebagaimana telah disinggung sebelumnya). Namun mereka tidak berbeda pendapat tentang penerimaan dan
pengamalan hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum [32]
[32]. Dan sekali lagi, satu pembahasan
Catatan kaki :
[28]
[29]
[30]
[31]
[32]
[1]
[1] Beberapa catatan dan koreksi atas penjelasan materi yang disampaikan oleh seorang pengajar dari Hizbut-Tahrir yang diberikan pada
tanggal 13 Januari 2008 M di Masjid Al-Hijri Ciomas Permai mengenai Ilmu Hadits, khususnya pembahasan hadits mutawatir dan hadits
ahad.
[2]
[2] Hadits ini dengan keseluruhan jalan periwayatannya adalah shahih. Telah dishahihkan oleh banyak ulama hadits seperti : At-Tirmidzi,
Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Kasyaf, Al-Albani dalam Ash-Shahiihah, dan yang
lainnya.
[3]
[3] Dinukil melalui perantara kitab Minhajul-Firqatin-Najiyyah wath-Thaaifah Al-Manshurah oleh Ibnu Zainu, Cet. 9.
[4]
[4] Silakan disimak perkataan para ulama dalam kitab tersebut tentang eksistensi Ashhaabul-Hadiits !
[5]
[5] Penyebutan para Ahli Hadits secara khusus dalam cakupan makna Ashhaabul-Hadits merupakan penisbatan yang dilakukan oleh para
ulama Ahlus-Sunnah. Silakan lihat kitab Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi.
[6]
[6] Sebagian ahli hadits tidak membaginya menjadi dua, namun menjadi empat : mutawatir, masyhur, ‘aziz, dan gharib. Tidak ada
perbedaan mendasar dalam permasalahan ini, karena hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib termasuk klasifikasi hadits ahad.
[7]
[7] Sebenarnya pembagian hadits muatawatir dan ahad tidaklah dimulai oleh kalangan ahli hadits di kalangan awal (tidak ada asalnya dari
kalangan Ashhaabul-Hadiits). Namun, pembagian itu dimulai oleh kalangan ahli ushul dan ahli kalam. Pembagian tersebut pertama kali
dilakukan oleh Abdurrahman bin Kaisan Al-Asham yang kemudian diikuti oleh muridnya yang bernama Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim.
Ibrahim bin Isma’il ini adalah seorang Jahmi (penganut paham Jahmiyyah – paham sesat yang telah dikafirkan para ulama). [Lihat Al-
Mukhtarah fii Ajwibatil-Musthalah oleh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i hal. 63-64; Maktabah Sahab]. Maka, kita tidak akan temukan pembagian
ahad dan mutawatir ini di kalangan ulama ahli hadits terdahulu. Kalaupun misal sebagian ulama menyebutkan ahad dan mutawatir, itu
bukanlah seperti maksud yang dimaui kalangan ahli ushul. Namun hal itu semata-mata hanya dilihat dari jumlah perawi saja. Hal itu
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
tercermin sebagaimana dalam kitab Ar-Risalah karangan Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyebutkan khabar wahid atau khabar ahad, namun
maksud beliau semata-mata hanyalah penekanan pada jumlah perawi saja yang menyampaikan hadits yaitu satu orang. Hal itu dipertegas
dengan penjelasan Al-Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy ketika mensyarah kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karangan Imam Ath-Thahawi Al-
Hanafy :
وإن كان قطعي- فالمتواتر، متواتر وآحاد: القائلين بأن األخبار قسمان، يشير الشيخ رحمه اهلل بذلك إلى الرد على الجهمية والمعطلة والمعتزلة والرافضة
! فإن األدلة اللفظية ال تفيد اليقين، لكنه غير قطعي الداللة- السند
“Syaikh rahimahullah (yaitu Imam Ath-Thahawi) mengisyaratkan kepada bantahan terhadap Jahmiyyah, Mu’aththilah, Mu’tazillah, dan
Rafidlah yang mengatakan bahwa khabar itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. (Mereka mengatakan :) adapun khabar
mutawatir, meskipun sanadnya telah qath’i namun dilalahnya tidak qath’i, maka dalil-dalil lafdhiyyah tersebut tidak menghasilkan keyakinan”
Berbeda halnya dengan Ushuliyyun yang mendefinisikan sebagai hadits/khabar yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.
Pembagian hadits antara ahad dan mutawatir dari kalangan Ushuliyyun ini kemudian diikuti oleh sebagian kalangan Ahli Hadits
muta’akhkhirin, seperti Ibnul-Atsir Al-Jazri dalam muqaddimah kitab Jami’ul-Ushul dan juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-
Kifayah fii ‘Ilmir-Riwayah. Imam As-Suyuthi berkata : “(Termasuk di dalamnya) yaitu masyhur (yaitu mutawatir yang dikenal dalam ilmu fiqh
dan ushul-fiqh, dan tidak ada disebutkan oleh Muhadditsin) dengan nama khusus yang mengesankan maknanya khusus pula. Meskipun
terdapat perkataan Al-Khathib, yaitu Al-Baghdadi, namun dalam perkataannya tersebut terkesan ia mengikuti selain Ahli Hadits. Demikianlah
[8]
[8] Syarat ini menjadi sangat penting, sebab Ahlus-Sunnah menolak riwayat para perawi Syi’ah Rafidlah yang ekstrim walau jumlah mereka
banyak. Hal itu dikarenakan bahwa perawi Syi’ah Rafidlah adalah para pendusta yang telah banyak membuat kesepakatan (ijma’) dalam
dusta. Misalnya ijma’ mereka tentang kafirnya Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ijma’ ini tentu saja tidak kita anggap.
[9]
[9] Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai
Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin
[8]
[9]
Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun
Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-Hakim dan
Ibnu Hibban).
Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”Tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan
sanad hasan).
[10]
[10] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28.
[11]
[11] Hadits syadz adalah hadits yang dibawakan oleh perawi yang terpercaya ( tsiqah) yang menyelisihi perawi yang lebih terpercaya
darinya, baik dari segi hafalannya, jumlahnya, atau yang lainnya sehingga periwayatannya dimenangkan.
[12]
[12] Seorang muhaddits, mufassir, dan pakar ushul dari Mesir. Beliau adalah salah seorang ulama Al-Azhar yang disegani di masanya.
Beberapa karya beliau di antaranya : Tahqiq Al-Ihkam li-Ibni Hazm, Tahqiq Alfiyatul-Hadits lis-Suyuthi, Syarh Musnad Imam Ahmad (belum
selesai), Tahqiq Al-Kharaj li Yahya bin Adam, Tahqiq Ar-Raudlatin-Nadliyyah li-Shiddiq Hasan Khan, ‘Umdatut-Tafsir, Takhrij Tafsir Ath-
[13]
[13] Dimana beliau mendapatkan predikat Cum Laude (mumtaz)
[14]
[14] Diramu dengan tulisan ‘Utsman ‘Ali Hasan yang berjudul Manhajul-Istidlal ‘alaa Masaailil-I’tiqad ‘inda Ahlis-Sunnah.
[15]
[15] Maksudnya adalah kalangan yang mengambil madzhab fiqh dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah namun beraqidah
[10]
[11]
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[16] Yaitu shahabat Mu’adz bin Jabal. Ia adalah seorang diri, yang berarti apa yang disampaikan kepada penduduk Yaman adalah
khabar/hadits ahad.
[17]
[17] Sebagian orang belakangan menyanggah pendalilan itu dengan alasan bahwa pengutusan Mu’adz (dan juga para shahabat yang
lain) oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah untuk tabligh saja. Bukan untuk diyakini. Mereka juga mengatakan bahwa
pengutusan beliau tersebut hanyalah sebatas keperluan dakwah saja, dan ini terkait dengan masalah amal/huku saja. Tidak berkaitan
dengan masalah aqidah. Menolak dakwah Islam tidak termasuk kekafiran [lihat selengkapnya dalam kitab mereka yang berjudul Ad-
Kita jawab : “Wallaahi (demi Allah), perkataan mereka adalah perkataan yang sungguh kontradiktif yang tidak pernah dinukil dari ulama
salaf. Mereka membuat-buat alasan yang tidak pernah terdengar dari para ulama kita yang mu’tabar terdahulu. Dakwah Islam meliputi
aspek aqidah dan hukum sekaligus. Memisahkan antara keduanya adalah sesuatu hal yang tidak bisa diterima oleh aqli (akal) apalagi naqli
(dalil). Dakwah pada hakikatnya merupakan penyampaian khabar/hadits, yaitu khabar dari Rasulullah untuk beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Menolak apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan dosa. Bila mereka mengatakan bahwa
menolak dakwah Islam (yang di dalamnya mencakup masalah aqidah) tidak dapat menyebabkan kekafiran, tentu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak akan mendoakan kehancuran Kisra’ (raja Persia) ketika ia merobek-robek surat yang berisi ajakan masuk Islam
[sebagaimana hadits yang dibawakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dengan banyak jalan dan syawahidnya]. Banyak hal yang bisa
[18]
[18] Perhatikanlah uslub bicara Imam Asy-Syafi’i. Perkataan beliau tidaklah mengandung pembolehan orang awam berkata-kata pada hal-
hal khusus dalam agama yang ia tidak mengetahuinya. Perkataan beliau merupakan pengibaratan dikarenakan penerimaan dan
pembenaran khabar ahad merupakan satu keharusan bagi setiap muslimin tanpa terkecuali.
[19]
[19] Dalam Ilmu Hadits, termasuk dalam bahasan kriteria hadits syadz.
[20]
[20] Yang aneh adalah bahwa ada sebagian orang menisbatkan satu kedustaan kepada Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau membedakan
antara masalah ‘aqidah dan hukum pada penerimaan hadits ahad. Dalam perkataannya yang masyhur Imam Asy-Syafi’i ketika ditanya oleh
Sa’id bin Asad tentang hadits Ru’yah (melihat Allah ketika hari kiamat – ini masalah aqidah) beliau menjawab : “Hai Ibnu Asad, hukumlah
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
aku baik aku hidup atau mati, bahwa setiap hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam aku berpendapat
dengannya, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung” [Manaqib Asy-Syafi’i 1/421]. Apakah di sini beliau rahimahullah mensyaratkan
mutawatir ? Bahkan dalam kitab Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i membuat judul khusus : Al-Hujjatu fii Tatsbiiti Khabaril-Waahid.
[21]
[21] Perlu diketahui bahwa Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr adalah salah seorang ulama yang berpendapat bahwa khabar/hadits ahad
membuahkan amal, tidak membuahkan ilmu (yaqini). Namun beliau tetap mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad baik
ليس في االعتقاد كله في صفات اهلل وأسمائه إال ما جاء منصوصا في كتاب اهلل أو صح عن رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم أو أجمعت عليه األمة وما جاء {
} من أخبار اآلحاد في ذلك كله أو نحوه يسلم له وال يناظر فيه
“Tidaklah setiap masalah aqidah tentang sifat Allah dan Asma’-Nya, kecuali telah tertulis dalam Kitab Allah, atau ada riwayat shahih dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau umat telah menyepakatinya. Dan hadits-hadits yang datang tentang itu semua atau sejenisnya
diterima tanpa dibantah” [Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadllihi hal. 203; Maktabah Al-Misykah]. Padahal sebagian hadits-hadits yang berbicara
[22]
[22] Abu Hanifah berkata : “Hadits tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah” [ Al-
Fiqhul-Akbar hal. 92]. Apabila Abu Hanifah berpendapat bahwa hadits ahad tidak dipakai dalam masalah ‘aqidah, tentu beliau tidak
menganggap sesat orang yang mengingkarinya. Hadits tentang mi’raj adalah hadits ahad yang berisi tentang aqidah.
[23]
[23] Tidak ternukil secara manthuq (tekstual) perkataan Imam Malik dalam kitabnya dalam permasalahan ini. Akan tetapi telah sah nukilan
dari para pembesar madzhab Malikiyyah bahwa Imam Malik menerima segala konsekuensi yang ada pada hadits ahad (baik pada masalah
‘aqidah ataupun hukum). Ibnul-Qayyim menukil perkataan Ibnu Khuwaiz Mindad (seorang pembesar madzhab Malikiyyah) :
أنه يفيد العلم أيضا وهو أحد روايتين عن مالك اختره جماعة من أصحاب منهم محمد بن خوازمنداد
“Bahwasannya hadits ahad memberikan ‘ilmu (yakin) dan ini merupakan salah satu riwayat dari Malik yang dipilih oleh sebagian besar dari
shahabat-shahabatnyaa, diantaranya Muhammad bin Khuwaiz Mindad” [lihat secara lengkap pada Mukhtashar Ash-Shawaiq Al-Mursalah
2/362-363 dan 376]. Hal serupa juga dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Musawwadah fii Ushuulil-Fiqh (hal. 220) dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam
At-Tamhid (1/7-8).
[21]
[22]
[23]
[24]
[24] Sebagian orang membawakan satu riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dari Al-Atsram bahwa beliau menolak
menggunakan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Padahal para pembesar madzhab Hanabilah telah menyangkal dan melemahkan riwayat
ini karena bertolak belakang dengan perkataan-perkataan beliau dalam masalah aqidah, baik yang beliau tulis sendiri, yang ditulis anaknya
[25]
[25] Sebagian orang mengatakan bahwa Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau tidak menerima hadits ahad dalam masalah ‘aqidah
dimana perkataan beliau ini dinisbatkan pada kitab Fathul-Bari [sebagaimana tercantum dalam buku mereka yang berjudul : Al-Istidlal bidh-
Dhann fil-‘Aqidah karya Fathi Salim hal. 72]. Perkataan ini adalah tidak benar, sebab Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (3/234) hanyalah menukil
perkataan Al-Kirmani dan sama sekali tidak ada isyarat untuk membenarkannya. Ini adalah hal yang biasa dalam uslub penulisan Ibnu Hajar
dalam Fathul-Bari. Diamnya beliau atas suatu nukilan perkataan tidaklah selalu menunjukkan kesepakatan beliau. Sebab, Ibnu Hajar
“Terkadang juga terjadi pada hadits ahad yang terbagi menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib memberikan pengertian ilmu nadhary
dengan beberapa ketentuan sesuai dengan pendapat yang terkuat. Berbeda dengan orang yang menolak hal itu” [selesai]. Di sini beliau
tidak membedakan antara aqidah dan hukum. Bukti lain yang memperkuat adalah ketika beliau menjelaskan dalam kitab Fathul-Bari
beberapa tanda-tanda sughraa dan kubraa hari kiamat (yang diantaranya banyak merupakan hadits ahad) dengan penjelasan yang berisi
penerimaan dan tuntutan untuk membenarkan serta mengimaninya. Lihat selengkapnya dalam Asyratus-Sa’ah karya Yusuf bin ‘Abdillah Al-
[26]
[26] Imam Nawawi juga tidak luput dari penisbatan dusta ketika beliau diklaim mendukung pendapat untuk menolak hadits ahad dalam
lingkup ‘aqidah. Ketika beliau menegaskan bahwa khabar ahad itu menghasilkan dhann, maka sama sekali beliau tidak pernah mengatakan
bahwa khabar ahad bukan merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Jikalau saja mereka menyibukkan membaca kitab Syarh Shahih
Muslim karangan beliau, niscaya akan menemukan bahwa menerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Misalnya tentang
hadits kairnya orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (Shahih Muslim no. 203). Beliau menjelaskan : “Di dalam hadits tersebut [yaitu
hadits : ” – إن أبي وأب\\اك في الن\\ارSesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia
dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak
memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa
dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian
siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang
[24]
[25]
[26]
lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii
Waalidayil-Musthafaa oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H]. Perhatikan, di situ An-Nawawi memberikan penjelasan
dengan isyarat penerimaan dan pembenaran tentang aqidah status orang tua Nabi. Padahal hadits tersebut adalah ahad !
Dan yang sangat jelas adalah perkataan An-Nawawi ketika mengomentari tentang hadits Tamim Ad-Daari yang menceritakan tentang Dajjal
dan Jassaasah dalam Shahih Muslim no. 2942; dimana beliau mengatakan : “Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang”
[Syarh Shahih Muslim 18/81]. Bukankah ini masalah ‘aqidah ? Contoh lain masih banyak.
[27]
[27] Seperti yang dikatakan (secara dusta) oleh Mahmud Syaltut : “Para ahli ilmu sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah
terhadap masalah aqidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib” [lihat Fataawaa oleh Mahmud Syaltut hal. 62]. Ironisnya,
perkataannya ini banyak ditaqlidi oleh sebagaian orang yang hendak mempopulerkan permasalahan ini. Laa haula walaa quwwata illaa
billaah ! Sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul-Qayyim : “Demikianlah kebiasaan ahlul-kalam (rasionalis), yaitu mengatakan ijma’ tanpa
[28]
[28] Namun sungguh sangat aneh ketika mereka (yang menolak hadits ahad dalam masalah ‘aqidah karena hanya mengahsilkan dhann
saja) menggunakan ayat-ayat yang berisi celaan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah karena mengikuti dhann seperti dalam QS.
An-Nisaa’ : 157, Al-An’am : 116, atau An-Najm : 23. Apakah dhann orang mukmin disamakan dengan dhann orang kafir ? Apakah dhann
yang dimiliki para perawi hadits dan ulama hadits yang mereka ini adalah orang-orang shalih disamakan dengan dhann orang-orang fasik
dan kafir ? Apakah akan disamakan orang yang berilmu dengan orang yang jahil ? Allaahul-Musta’an……
[29]
[29] Kami tambahkan tentang kelemahan pendapat ini :
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penentuan jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir adalah satu hal yang
nisbi. Tidak ada jumlah pasti yang merupakan kesepakatan para ahli ilmu. Maka, batasan antara masalah ‘aqidah dan hukum
pada hadits nabawi pun sebenarnya sangat tipis atau bahkan bisa dikatakan tidak ada. Jika mereka misalnya berpandangan
bahwa satu hadits dikatakan mutawatir jika jumlah perawi dalam setiap thabaqah adalah 4 orang, sedangkan kita menyepakati 10
orang; tentu ini akan berkonsekuensi bahwa satu hadits dapat dianggap aqidah oleh orang tertentu dan sebaliknya bagi orang
lain. Taruhlah misal jumlah perawi yang meriwayatkan berjumlah 6 orang. Sungguh ini sangat tidak masuk akal sehat. Bagaimana
syari’at bisa membolehkannya bervariasinya macam 'aqidah yang ada di dalam tubuh umat Islam ?
Pada tataran riilnya, satu riwayat mutawatir akan kembali pada riwayat ahad. Riwayat mutawatir hanya diketahui oleh orang-
orang tertentu saja yang mengkhususkan diri dalam meneliti hadits. Ketika – misalnya – ada orang yang menukil perkataan Al-
[27]
[28]
[29]
Hafidh Ibnu Hajar bahwa riwayat anu merupakan riwayat mutawatir, bukankah kita ketika menerima penjelasan dari Ibnu Hajar
sebenarnya merupakan rantai riwayat ahad (yaitu antara orang tersebut dengan Ibnu Hajar - apalagi cara pengambilan
Dan hal itu juga terjadi perawi hadits ! Misalnya, hadits tentang Dajjal yang merupakan hadits mutawatir yang diriwayatkan lebih
dari 20 orang shahabat Nabi. Hadits tersebut tentu akan dikatakan mutawatir jika semua riwayat tersebut telah terkumpulkan.
Namun, bagi perawi yang berada pada satu atau dua jalur riwayat, tentu akan menganggap hadits tersebut adalah ahad.
Konsekuensinya, aqidah tentang kedatangan Dajjal hanya diimani oleh generasi belakangan dan tidak diimani oleh generasi
[30]
[30] Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr di atas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menambahkan : “Dan pendapat ini
adalah pendapat orisinil dari kaum Mu’tazillah dan sebagian Asy’ariyyah/Maturidiyyah [ ---- bukan pendapat Ahlus-Sunnah ---- ], yang
diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Qadli Abdul-Jabbar dimana ia berkata : “Diperbolehkan mengambil hadits ahad jika sampai kepada kita
dengan syarat-syaratnya, namun tidak boleh diambil untuk msalah aqidah” [Syarh Ushulil-Khamsah hal. 769]. Hal senada juga dikatakan
oleh Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrur-Razi, dan yang lainnya. Dan di masa sekarang, hal itu dikibarkan oleh
Muhammad ‘Abduh, Sayyid Quthb, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul-Karim ‘Utsman, Muhammad Al-Ghazali, Taqiyyuddin An-
Nabhani, dan yang lainnya. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan ulama telah membantah mereka.
Catatan : Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Fakhrur-Razi akhirnya kembali pada aqidah Ahlus-Sunnah di akhir
kehidupannya.
[31]
[31] Seperti misal tulisan Umar Bakri Muhammad (di luar negeri lebih dikenal dengan Syaikh OBM – sekarang mukim di Inggris) atau Fathi
Muhammad Salim. Dan kemudian tulisan kedua orang ini banyak diikuti (ditaqlidi) banyak orang tanpa penelitian.
[32]
[32] Lihat lebih lengkap pada kitab Irsyaadul-Fuhul karangan Asy-Syaukani dan Al-Ihkaam karangan Al-Amidi.
[33]
[33] Sebenarnya banyak yang hendak dituliskan terkait dengan beberapa syubhat yang mereka lontarkan. Barangkali ada ikhwah lain
[30]
[31]
[32]
[33]