Anda di halaman 1dari 13

EPISTEMOLOGI BAYANI

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu Keislaman
Dosen Pengampu:1. Prof. Dr. Suparman Syukur, M.Ag
2. Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag

oleh :
IFA MA’RIFA
NIM : 1703038012

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2018

1
Abstrak : Tulisan ini bertujuan mengulas epistemologi bayani guna memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu Keislaman oleh Dosen Pengampu Prof. Dr. Suparman Syukur, M.Ag dan Dr.
Mahfud Junaedi, M.Ag. Epistemologi Bayani merupakan kajian filsafat yang membahas tentang
ilmu berdasarkan teks (nash). Bayani juga identik dengan pemikiran normative - tekstual.
Epistemologi bayani menaruh perhatian pada transmisi teks dari generasi ke generasi sehingga
mempengaruhi benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Transmisi tersebut jika dianggap
benar maka bisa dijadikan hukum dan sebaliknya jika transmisi teks tersebut salah maka tidak
bisa dijadikan sebagai landasan hukum.

Keywords : bayani; epistemology bayani; normatif- tekstual

Abstrak : This paper aims review epistemology bayani in order to meet the task of philosophy
of science Islamic by lecturer Prof. Dr. Suparman Syukur, M.Ag and Dr. Mahfud Junaedi, M.Ag.
Epistemology bayani is the philosophy discuss about science based text (nash). Bayani also
identical to thinking normative – textual. Epistemology bayani pay attention to the transmission
text from generation to generation so that affect the right harm laws taken. If the transmission of
the right then can be used as the law and vice versa if the transmission of the text any of it could
not be used as alegal basis.

Keywords : bayani; epistemology bayani; normative- textual

HISTORICAL BACKGROUND
Cabang filsafat yang mempelajari tentang ilmu-ilmu pengetahuan, asal dan kaidah
merupakan pengertian dari epistemologi dimana dalam pemikiran tokoh Islam Al-Jabiri
membaginya menjadi epistemologi bayani, burhani dan irfani. Epistemologi bayani sangat terkait
dengan teks. Bayani sering disebut dengan pendekatan normatif karena teks bisa dipandang
menjadi teks normatif. Orang yang normatif hasil realitanya akan berdampak pada keimanannya
yang bagus, doktrinal, tekstual dan berbicara dalam hal apapun akan disangkutkan dengan takdir.
Dampak yang terjadi ini menjadi sebuah tanda-tanda pemakaian bayani. Adanya tanda – tanda
pemakaian bayani ini, implementasinya adalah sampai sekarang masih ada yang berpikir bayani.

2
Orang yang masih berpikir dengan bayani akan tersekat dengan pemikiran-pemikiran bayani
yang akan selalu doktrinal dan tekstual dalam bersikap, sehingga jalan solusinya adalah keluar
atau menambah keilmuan dan pengetahuannya kemudian ditindak lanjuti. Berpikir hanya
menggunakan salah satu pendekatan saja akan ada border atau pembatas untuk melangkah.
Orang yang berpegang kuat dengan bayani maka akan memiliki prinsip “I have religion”.
Menyatukan antara ketiga pemikiran dari Al-Jabiri yaitu bayani, burhani dan irfani sangat
bermanfaat bagi kehidupan karena akan berdampak lebih terang.
Pemikiran bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidak langsung. Pemikiran ini bukan berarti akal atau rasio bisa
bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Epistemologi
bayani lebih dahulu menandai konstruksi dunia intelektual utama ulum an-naqliyyah atau yang
sering disebut dengan ilmu-ilmu istidlali, karena sebagai sebuah proses maupun produk, bayani
berasal dan bermuara pada teks. Latar belakang permasalahan yang tersebut diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : (1) Apa pengertian epistemologi bayani?,
(2) Bagaimana Epistemologi bayani dalam Keilmuan Islam?, (3) Bagaimana Aktivasi
Epistemologi Bayani?.

1. Pengertian Epistemologi Bayani


Pengertian secara etimologis, al-bayan bermakna proses penampakan (al dzuhur dan al
idzhar) serta aktifitas memahami dan memahamkan (al fahm dan al ifham).1kata bayaniy
berasal dari bahasa Arab secara harfiah berarti sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka.
Bayaniy adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash) secara
langsung atau tidak langsung yang dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat
inferensi (istidlal).2 Pengertian secara leksikal-etimologis, terma bayan mengandung
beragam arti, yaitu (1) kesinambungan (al wash); (2) keterpilahan (al fashl); (3) jelas dan
terang (azh zhuhur wa al wudhuh); dan (4) kemampuan membuat terang dan jelas.
Banyaknya ragam arti ini, kiranya dapat disimpulkan bahwa makna generik yang terkandung
dalam term bayan adalah keterpilahan dan kejelasan. Sebagai episteme, keterpilahan dan
kejelasan tersebut yang mewujud dalam bayan ibarat “perspektif” dan “metode” yang sangat
1
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam Dasar dasar Memahani Filsafat kesatuan ilmu
(Unity Of Scirnce), (tt: p, tp), 279
2
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran Perkembangan, dan
Pemahaman Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), 126.

3
menentukan pola pemikiran dalam lingkup “estetik-susatra” dan sekaligus dalam lingkup
“logik-diskursif”. Bayan berubah menjadi sebuah istilah yang tidak sekedar mencakup arti
segala sesuatu yang berkaitan dengan realisasi tindakan “memahamkan”, tetapi juga
mencakup arti segala sesuatu yang mendasari tindakan “memahami”.3
Menurut Al- Jabiri yang dikutip oleh M. Arfan Mu’ammar dan Abdul Wahid Hasan dkk
bahwa membangun epistemologi bayani dengan mengacu kepada kamus Lisan al-Arab
karya Ibn Mandzur sehingga makna al-bayan mengandung empat pengertian yakni al-fasl
wa al-infishal dan al-dzhuhur wa al-idzhar, sedangkan secara terminologis kajian bayani
terbagi dua, yaitu aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-
syarat memproduksi wacana (syurut intaj al-khithabi).4 Terminologi bayani diartikan sebagai
kumpulan kaidah untuk menafsirkan wacana yang terungkap dalam teks, yang merupakan
sumber dari pengetahuan. Secara historis, sistem epistemologi bayani merupakan sumber
epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab.5
Deskripsi bayan di atas menunjukan ada dua pendekatan dalam memahami pengertian
bayan. Pertama, makna etimologis, dan kedua makna terminologis. Namun, kedua
pendekatan tersebut tidak bisa berdiri sendiri, karena munculnya makna bayan secara
terminologis merupakan pengembangan dari makna bayan secara etimologis. Contoh, kata
‫الة‬GG‫ الص‬secara etimologis berarti doa, ketika menjadi arti terminologis kata ‫الة‬GG‫الص‬tersebut
digunakan alqur’an dengan makna baru, yaitu shalat dalam pengertian bacaan yang dimulai
dengan takbir dilanjutkan dengan gerakan-gerakan seperti ruku’, sujud, dan diakhiri dengan
salam. Makna sesungguhnya shalat, dalam pengertian sebagai aktivitas shalat, tetap
dimaknai doa dalam pengertiannya secara etimologis.6
Episteme bayani adalah sistem pemikiran dalam islam yang menekankan aspek
bahasan. Episteme ini, yang menjadi sumber pengetahuan adalah nash (teks) atau penalaran
yang berpijak pada nash (teks). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan bahasa
(dalalah lughawiyyah) dan sebagai konsekuensinya metode yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan adalah ijtihadiyyah-istinbathiyyah-istintajiyyah-istidlaliyyah yang

3
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008), 38.
4
M. Arfan Mu’ammar dan Abdul Wahid Hasan dkk, Studi Islam Perspektif Insider/ Outsider, (Jogjakarta:
IRCiSod, 2012), 58.
5
. Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam Dasar...., 279.
6
Hamdani Muin, “Relasi Sastra dalam Tafsir Bayani” (Semarang: Nadwa Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 4,
No 2, Oktober 2010), 87.

4
bermuara pada qiyas.7 Bayani adalah syarat-syarat untuk memproduksi wacana (syurut intaj
al-khithab) dan bukan sekedar aturan-aturan penafsiran wacana (qawanin tafsir al-
khithabi).8 Bayani yang sumber pengetahuannya adalah teks (nash) yakni alqur’an dan hadis
maka sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya
ketentuan hukum yang diambil. Transmisi teks bisa dipertanggung jawabkan berarti teks
tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan,
maka kebenaran teks tidak bisa dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bisa
dijadikan landasan hukum.
Dominasi pemahaman tekstual ijtihadiyah menjadikan epistemologi keilmuan islam
tidak mampu merespon isu-isu aktual. Hal ini merupakan kelemahan yang paling mencolok
dari epistemologi bayani. Epistemologi bayani ternyata gagap ketika harus menghadapi
tuntutan kekinian, yang berkaitan dengan kultur, dari bangsa lain. Epistemologi bayani
hanya mengandalkan teks tanpa ada upaya pemahaman yang dikaitkan dengan konteksnya.
Sikap defensif menghadap tantangan dari luar dengan argumen yang dogmatik, sekaligus
menyalahkan pihak luar dengan menyatakan pendapat dirinyalah yang paling benar. Akal
difungsikan hanya untuk membenarkan pemahaman teks tersebut masih orosinil dan
seotentik maksud itu sendiri.9

2. Epistemologi Bayani dalam Keilmuan Islam


Epistemologi bayani muncul bukan sebagai entitas budaya yang a historis, melainkan ia
memiliki akar kesejarahannya yang panjang dalam perkembangan budaya dan tradisi
pemikiran Islam-Arab. Bangsa Arab sangat mengagungkan bahasanya, terlebih lagi setelah
bahasa Arab diyakini sebagai identitas kultur wahyu Tuhan.Tradisi bayaniy lebih
mendominasi wacana pemikiran di dunia Arab Islam hingga saat ini. Terbukti bahwa tradisi
pemikiran Arab Islam masih didominasi otoritas teks dan ashl. Munculnya tradisi bayan ini
menurut Al- Jabiri bukan suatu hal yang asal jadi, akan tetapi memiliki akar historinya
dalam sejarah budaya dan tradisi pemikiran Arab. Bahasa Arab diyakini sebagai bahasa

7
Ilyas Supena, Pengesahan Paradigmatik Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, (Semarang: Karya Abadi
Jaya, 2015), 78.
8
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), 188.
9
SamsulBahri, “Bayani, Burhani dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang Muhammad Abid Al
Jabiri,” (Cakrawala Hukum, Vol. 11, No. 1, Tahun 2015), 5-6.

5
wahyu Tuhan. Oleh karena itu, cukup berdasar bila dikatakan bahwa determinan historis
awal mula peradaban Islam adalah sinergi bahasa dan agama.
Segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam lima bagian dan tingkatan, yaitu (1)
Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan
Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya, (2) Bayan yang beberapa
bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunah, (3) Bayan yang keseluruhannya
masih global sehingga butuh penjelasan sunnah, (4) Bayan Sunnah sebagai uraian atas
sesuatu yang tidak terdapat dalam al_qur’an, (5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas
atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun sunnah.10
Mendapatkan pengetahuan, bayani menempuh dua metode. Pertama, Berpegang pada
redaksi (lafadz) teks dengan menggunakan kaidah bahasa arab, seperti nahwu dan sharaf
sebagai alat untuk menganalisa. Kedua, Menggunakan qiyas (analogi) dan inilah prinsip
utama dalam bayani.11 Dalam kajian ushul al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan
keputusan hukum suatu masalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian
hukumnya dalm teks, karena adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi
dalam melakukan qiyas, yaitu (1) adanya al-ashl, yakni nash suci yang memebrikan hukum
dan dipakai sebagai ukuran, (2) al-far’, sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, (3)
hukm al-ashl, ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl, (4) illah, keadaan tertentu yang
dipakai sebagai dasar penetapan hukum ashl.12
Theoretical frame work (kerangka teori) dalam qiyas, yang digunakan berhubungan
dengan relasi antara al-ashl al-faru’ atau relasi antara ujaran atau aspek signified (al-ma’na)
dan signifier (al-lafzh) dalam leksikon Arab. Jika ditangan al-Syafi’i, qiyas dikukuhkan
dalam ilmu fiqh; maka ditangan al-Asya’ari, qiyas diresmikan dalam ilmu kalam.
Konsekuensinya, dalam ilmu kalam pun dikenal basis-basis penalaran epistemologi seperti
yang dilakukan al-syafi’i dalam ilmu fiqh menyangkut al-ushul. Dari sini kemudian muncul
suatu metodologi yang umum berlaku dikalangan mutakallimin Asy’ariyyah, Hambaliah
maupun kalangan Mutazilah; yaitu istidlal bi al-syahid ‘ala al-gayb (penalaran yang
berangkat dari hal yang nyata untuk mengukuhkan sesuatu yang ghaib atau masalah
ketuhanan). Konsep yang digunakan mutakallimin ini sepenuhnya mengadopsi konsep qiyas

10
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 286-288.
11
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 291.
12
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari …., 195.

6
yang dirumuskan al-Syafi’i. Konsep ini pula yang kemudian berlaku dalam studi ilmu
balaghah (ilmu keindahan bahasa) dan ilmu nahwu (gramatika bahasa).13
Teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran,
secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai penegtahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran, meski demikian hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus berdasarkan teks. Rasio dianggap tidak
mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Perspektif keagamaan,
sasaran bidik metode bayaniy adalah aspek eksoteris (syariat).14
Beberapa hal yang terkait dengan nalar bayani, baik sumber, pendekatan, metode dan
lain-lain diantaranya sebagai berikut:
a. Sumber dan pendekatan
1) Sumber epistemologi bayani adalah nash (teks)
2) Pendekatan epistemologi bayani adalah lughawiyah
b. Kerangka dan proses berpikir
1) Kerangka berpikir cenderung deduktif, yaitu berpangkal dari teks.
2) Dalam analisis ilmu fiqih menggunakan qiyas al-‘illah sementara dalam disiplin kalam
menggunakan qiyas al-dalalah
3) Corak berpikir bayani cenderung mengeluarkan makna yang bertolak dari lafadz, baik
yang bersifat ‘am, khas, mushtarak, haqiqah, majaz, muhkam, mufassar, zahir, khafi,
musykil, mujmal, dan mutasyabih.
4) Bersifat diskontinyuitas dan kontigensi, pada terori ini sesungguhnya menafikan teori
kausalitas atau ide tentang adanya hukum alam.
c. Metode pengembangan dalam corak berpikir ini adalah dengan cara ijtihadiyah dan qiyas
d. Fungsi akal ada beberapa macam yang mencakup: a) akal berfungsi sebagai pengekang atau
pengatur hawa nafsu; b) akal cenderung menjalankan fungsi terhadap justifikasi, repetitif
(pengulangan) dan taqlidi; c) otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara akal
menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah
menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana implementasi ajaran teks tersebut
dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi ini.

13
Ilyas Supena, Pengesahan Paradigmatik …., 78.
14
Suparman Syukur, Studi Islam Transformatif …., 126.

7
e. Hasil pemikiran apa pun tidak boleh bertentangan dengan teks. Karena itu, dalam pelajaran ini
jenis argumen yang dibuat lebih bersifsf dialekti (jadaliyah) dan al-uqul al-mtanasifah,
sehingga cenderung defensif, apologetik, polemik, dan dogmatik.
f. Dijadikan sebagai tolok ukur kebenaran ilmu model bayani adalah adanya keserupaan atau
kedekatan antara teks atau nash dengan realitas.15
Cara kerja yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan selalu berpangkal pada teks
dengan berupaya memahami dan menginterpretasikan maksud teks itu. Implikasinya adalah
bahwa tolak ukur validitas kebenaran adalah adanya keserupaan atau kedekatan
(muqarabah) antara teks dengan realitas sehingga semakin dekat realitas dengan sebuah
teks, maka semakin valid pula realitas itu. Epistemologi bayani banyak menaruh perhatian
pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi, hal ini dapat diamati dengan jelas
ketika pengetahuan dalam Islam mengalami proses kodifikasi (tadwin) dalam segala bentuk
pengetahuan yang ada dalam sejarah pemikiran islam, terutama pada masa kodifikasi hadis
dan fiqih. Gambarannya adalah jika proses transmisi teks itu dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya, maka berarti teks tersebut dapat dijadikan argumentasi atas hukum yang
diambil.16

3. Aktivasi Epistemologi Bayani


Aktivasi dan kelahiran bayani dimulai dengan apa yang disebut masa kodifikasi (at-
tadwin), yaitu masa berlangsungnya proyek konstruksi budaya secara masif dalam
pengalaman sejarah peradaban Islam, yakni antara pertengahan abad ke-2 H sampai
pertengahan abad ke-3 H. Pada perkembanganya, peradaban ini telah membentuk kerangka
17
rujukan bagi pemikiran Arab dengan segenap disiplin keilmuan yang beragama. Aktivasi
bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam, tetapi belum merupakan kajian
ilmiah seperti identifikasi keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks. Tahap selanjutnya
adalah mulai munculnya usaha untuk meletakkan aturan penafsiran wacana bayani. Upaya
tersebut terbatas pada pengungkapan karakteristik ekspresi bayani dalam al-Qur’an,
sedangkan dalam bahasa Arab bayani ini terbatas pada tinjauan bahasa dan gramatikanya

15
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 293.
16
Muhyar Fanani, Laporan Penelitian Individual Epistemologi Budi sebagai Epistemologi Khas Indonesia
dalam Perspektif Epistemologi Islam, (tt: p, 2012), 171-172.
17
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 287.

8
saja. Perkembangan bayani itu pada keilmuan dan peletakan aturan penafsiran teks-teksnya,
tetapi baru sekedar upaya penyebaran epistemologi bayani saja.
Al – Jabiri menjelaskan yang dikutip oleh Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub bahwa,
aktivitas nalar bayani terjadi dalam tiga hal : (1) aktivitas intelektual yang bertitik tolak dari
ashl yang disebut dengan istinbath (penggalian pengetahuan dari teks); (2) aktivitas
intelektual (al tafkir) yang bernuara pada ashl yang disebut dengan qiyas; (3) aktivitas
pemikiran dengan arahan dari ashl, yaitu dengan menggunakan metode al- istidlal al bayani.
Epistemologi bayani mempunyai ciri spesifik yaitu selalu berpijak pada Ashl (pokok) yang
berupa nashl (teks). Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni
alqur’an dan hadits. Epistemologi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses
transmisi teks dari generasi ke generasi.18
Metode penalaran dari yang konkret menuju yang abstrak (al-istidhaal bi asy-syahid
‘alal-ghaib), baik struktur, mekanisme maupun fungsinya juga tidak berbeda dengan qiyas.
Metode penalaran ini berusaha memahami yang abstrak (ghaib) dari yang konkret (syahid)
berdasarkan petunjuk (dalil) dan tanda (amarah). Metode penalran yang sangat umum
digunakan dalam kalam ini, ternyata identik dengan cara berpikir yang digunakan para ahli
perbintangan (najamah), tukang ramal (arafah), dan dukun (kahanah) dalam tradisi
keilmuan Arab Jahiliah. Mucul dan lenyapnya bintang tertentu, dihubungkan dengan
prediksi turunnya hujan. Dalam hal ini, relasi antara kemunculan bintang (syahid) dan
turunnya hujan (ghaib) bukan relasi niscaya, melainkan relasi kemungkinan (ihtimal).
Bahkan, derajat kemungkinannya sangat rendah. Pandangan dunia yang mendasarinya
bukan berlandaskan prinsip identitas dan kausalitas, melainkan prinsip diskontinuitas dan
okasionalisme menyebabkan aktivitas akal terbatas pada upaya mendekatkan hubungan
antarrealitas, bukan menguji keniscayaan hubungan antarrealitas. Salah satu implikasinya
dari proses adopsi metode berpikir Arab Jahiliah yang pada dasarnya berlangsung secara
tidak disadari adalah ketika berhadapan dengan teks-teks, terutama teks-teks yang terkait
dengan fenomena alam, ahli bayani tidak lagi bisa melihat secara jelas antara cara
memfungsikan fenomena alam sebagai fungsi simbolis dan cara memfungsikan tanda

18
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 289.

9
sebagai fungsi penalaran terhadap fenomena alam, terutama ketika mengaplikasikan prinsip
muqarabah.19
Sisi sejarah bayani yang berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam,
begitu pula aturan-aturan metode yang ada di dalamnya meliputi :
a. Pada masa Syafi’i ( 767 – 820 M )
Masa ini dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, yaitu bayani berarti
nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan pokok dan yang
berkembang ke cabang. Asy-Syafi’i berhasil membakukan cara-cara berpikir yang
menyangkut hubungan antara lafadz dan makna serta hubungan antara bahasa dan teks
al-Qur’an. Juga berhasil merumuskan aturan-aturan bahasa Arab sebagai acuan untuk
menafsirkan al-Qur’an.
Segi metodologinya yang dikutip oleh Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub,
Syafi’i membagi bayani menjadi: (1) teks yang tidak membutuhkan ta’wil atau
penjelasan dikarenakan telah jelas dengan sendirinya, (2) teks yang membutuhkan
penyempurnaan dan penjelasan, (3) teks yang ditetapkan Allah dan teks tersebut
dijelaskan oleh Nabi, (4) teks yang tidak disebutkan al-Qur’an namun dijelaskan oleh
Nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana teks al-Qur’an, dan (5) teks yang
diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad.
b. Pada masa al-Jahizh ( 868 M)
Menurut al-Jahizh yang dikutip oleh Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, bahwa
bayan adalah makna yang konkrit yang menunjukkan makna yang tersembunyi. Pada
massanya al-Jahizh juga berusaha mengembangkan bayani yang tidak terbatas pada
memahami, sebagaimana yang dilakukan al-Syafi’i. Al-Jahizh mengkritik konsep bayan
Syafi’i, menurutnya yang dilakukan Syafi’i baru sebatas memahami teks. Belum pada
tahap memberikan pemahaman pada pendengar atas pemahaman yang diperoleh, maka
dari itu al-Jahizh membuat para pendengar memahami, menenangkan pendengar,
menuntaskan perdebatan, dan membuat lawan bicaranya tidak berkutik lagi.
Al-Jahizh menetapkan syarat bayan diantaranya adalah: syarat kefasihan ucapan,
seleksi huruf dan lafaz, adanya keterbukaan makna, adanya kesesuaian antara kata dan

19
Ahmad Hasan Ridwan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam, (Bandung: Pustaka Setia,
2011), 344.

10
makna, dan adanya kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang
disampaikan dan mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.20
c. Pada masa al-Syathibi ( 1388 M)
Bayani belum memberikan pengetahuan yang qath’i (pasti) tapi baru derajat
dugaan, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan secara rasional. Padahal penetapan
hukum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat dugaan. Maka al-Syathibi
menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani, antara lain: istintaj, istiqra, dan
maqasid al-Syari’ah. Perkembangan bayani ini lebih sempurna dan sistematis, dimana
proses pengambilan hukum atau pengetahuan tidak sekedar mengqiyaskan furu’ pada
ashl tetapi juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.21

Kritik yang sering dialamatkan atas metode bayani ini, dimana suatu teks belum tentu
diterima secara universal, oleh karena itu ketika berhadapan dengan pertentangan seperti itu,
nalar bayani cenderung dogmatic, defensive, apologetic, dan polemis. Artinya,
menempatkan teks yang dikaji mutlak yang harus dipatuhi, diikuti, diamalkan, tidak boleh
diperdebatkan, apalagi ditolak.22
Bayani hanyan mendasarkan diri pada teks, pemikiran dan epistemologi bayani menjadi
“terbatas” dan terfokus pada hal-hal yang bersifat aksidental bukan substansial sehingga
kurang bisa dinamis mengikuti perkembangan sejarah dan sosial masyarakat yang begini
cepat. Kenyataanya, pemikiran Islam saat ini yang banyak didominasi bayani fiqihiyah
kurang bias merespons dan mengimbangi perkembangan peradaban dunia.23 Pendekatan
bayani, karena dominasi teks sedemikian kuat, peran akal hanya sebatas sebagai alat
pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi sehingga
menggunakan pendekatan bayani saja, tidaklah cukup karena terkadang tidak didapat
penjelasan teks (nash) al-Qur’an maupun al-hadis yang berkaitan dengan seni tradisi.
Misalnya, tradisi hadrah, ruwatan, tingkeban (tujuh bulanan bagi yang hamil), selamatan
atau haul dalam teks atau nash al-quran dan al-hadis sampai kapan pun tidak akan
ditemukan. Tradisi ini Mencukupkan pada pendekatan bayani saja cenderung melahirkan

20
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 295-296.
21
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 297.
22
Mahfud Junaedi dan Mirza Mahbub, Epistemologi Islam …., 302.
23
Khudori Soleh, Filsafat Islam dari …., 198.

11
pandangan keagamaan yang binnar opposition (hitam-putih, halal-haram, sunah-bid’ah),
tertutup, kaku dan intoleran. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan atau perspektif lain
yang lebih bersifat terbuka, luwes dan toleran, yaitu pendekatan burhani dan irfani untuk
melengkapinya.

KESIMPULAN
Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis teks. Sehingga sumber
dari epistemologi bayani adalah teks (nash). Cara kerja yang dipakai untuk mendapatkan
pengetahuan selalu berpangkal pada teks dengan berupaya memahami dan menginterpretasikan
maksud teks itu. Implikasinya adalah bahwa tolak ukur validitas kebenaran adalah adanya
keserupaan atau kedekatan (muqarabah) antara teks dengan realitas. Pendekatan bayani, rasio
dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali jika disandarkan pada teks. Oleh
karena itu, epistemologi bayani banyak menaruh perhatian pada proses transmisi teks dari
generasi ke generasi. Hal ini dapat diamati dengan jelas ketika pengetahuan dalam Islam
mengalami proses kodifikasi (tadwin) dalam segala bentuk pengetahuan yang ada dalam sejarah
pemikiran islam, terutama pada masa kodifikasi hadis dan fiqih. Gambarannya adalah jika proses
transmisi teks itu dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, maka berarti teks tersebut dapat
dijadikan argumentasi atas hukum yang diambil. Tetapi dengan adanya kefanatikan bayani yang
berlebihan menjadikan umat Islam terkungkung pada normativitas sehingga berakibat
kejumudan, maka untuk mengatasinya perlu adanya kolaborasi antara pendekatan bayani dengan
pendekatan burhani dan irfani.

PENUTUP
Demikianlah makalah epistemologi bayani, penulis sadar masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini. Untuk itu, kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan
makalah selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008.


Bahri, Samsul. 2015, Bayani, Burhani dan Irfani Trilogi Epistemologi Kegelisahan Seorang
Muhammad Abid Al Jabiri”, Dalam Cakrawala Hukum, Vol, 11, No, 1.
Fanani, Muhyar. Laporan Penelitian Individual Epistemologi Budi sebagai Epistemologi Khas
Indonesia dalam Perspektif Epistemologi Islam, Tt: p, 2012.
Junaedi, Mahfud dan Mirza Mahbub. Epistemologi Islam Dasar dasar Memahani Filsafat
kesatuan ilmu (Unity Of Scirnce), Tt: P, Tp.
Mu’ammar, M, Arfan dan Abdul Wahid Hasan dkk. 2012, Studi Islam Perspektif Insider/
Outsider, Jogjakarta: IRCiSod, 2012.
Muin, Hamdani. “Relasi Sastra dalam Tafsir Bayani”, Semarang: Nadwa Jurnal Pendidikan
Islam, Vol, 4, No 2, 2010.
Ridwan , Ahmad Hasan dan Irfan Safrudin, Dasar-dasar Epistemologi Islam. Bandung: Pustaka
Setia, 2011.
Soleh, Khudori. Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2016.
Supena, Ilyas. Pengesahan Paradigmatik Epistemologi Ilmu-Ilmu Keislaman, Semarang: Karya
Abadi Jaya, 2015.
Syukur, Suparman. Studi Islam Transformatif Pendekatan di Era Kelahiran Perkembangan, dan
Pemahaman Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.

13

Anda mungkin juga menyukai