Anda di halaman 1dari 9

ISLAM RASIONAL : PENDEKATAN BURHANI

Disusun Oleh :
Khairul Annuar (21200011018)
Nurmalisa Dara Vonna (21200011033)
Dosen Pengampu : DR. Moh. Mufid
Mata Kuliah : Islam Teks dan Konteks
Pascasarjana Interdisciplinary Islamic Studies UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

A. Pendahuluan
Di antara gejala-gejala eksistensi manusia yang dialami, satu hal yang
amat mencolok dan amat penting ialah pengetahuan. Karena pengetahuan
merefleksikan eksistensinya secara menyeluruh, manusia terpaksa merefleksikan
pengetahuannya juga. Bagian filsafat yang dengan sengaja berusaha menjalankan
refleksi atas pengetahuan manusia itu disebut ‘epistemologi’ atau ajaran tentang
pengetahuan.

Secara etimologis, epistemologi merupakan bentukan dari dua kata dalam


bahasa Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan Logos yang juga
berarti pengetahuan atau informasi. Dari pengertian secara etimologis tersebut
dapatlah dikatakan bahwa epistemologi merupakan pengetahuan tentang
pengetahuan.

Bidang epistemologi ini menempati posisi yang sangat strategis, karena ini
membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengeahuan berkaitan erat
dengan hasil yang dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya
kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada
warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.

Secara umum epistemologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan


yang kuat, yaitu Bayani, Irfani, dan Burhani. Dalam pemetaan pemikiran
epistemologis ini, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer asal
Maroko, memiliki andil besar dalam menjadikan epistemologi ini sebagai kajian
Ilmiah, dalam bukunya “Takwin al-‘Aql al-‘Arabi’’ (Formasi Nalar Islam) ia
mengatakan bahwa budaya dan tradisi pemikiran Islam pada masa keemasan
mengandung tiga struktur epistemologi yang saling bersaing, yakni : bayani
(eksplanasi), burhani, irfani. Epistemologi bayani bertitik tolak pada teks-teks
keagamaan dengan menggunakan pendekatan konservatif, epistemologi burhani
menggunakan pendekatan filsafat, sedangkan epistemologi irfani menggunakan
pendekatan mistis. Maka dalam pembahasan ini penulis mencoba memaparkan
epistemologi Islam Burhani beserta penjelasannya.

B. Pembahasan

Pendekatan Burhani adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera,


percobaan dan hukum-hukum logika. Untuk mengukur benarnya sesuatu adalah
bedasarkan komponen-komponen alamiah manusia berupa pengalaman dan akal
tanpa teks wahyu suci. Sumber pengetahuan pendekatan burhani adalah nalar
realitas yang empiris yang berkaitan dengan alam, sosial dan humanitis. Ilmu
diperoleh sebagai hasil dari penelitian, percobaan dan eksperimen, baik
dilaboratorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun yang
bersifat sosial.

Pendekatan burhani menggunakan berfikir induktif, yakni generalisasi dari


hasi-hasil penelitian empiris.pendekatan burhani merupakan pendekatan rasional
argumentatif atau pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui
instrumen logika dan metode diskursif (batiniyah). Pendekatan ini menjadikan
realitas maupun teks dan hubungan antar keduanya sebagai sumber kajian. 1

Epistemologi burhani adalah epistemologi yang mendasarkan


pengetahuannya pada dua kekuatan manusia yaitu pengalaman inderawi dan
penalaran rasio. Epistemologi ini merupakan perolehan dua pengetahuan dengan
dua metode gabungan deduktif dan induktif. Epistemologi ini menekankan proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan

1
Januar Eko Prastio, 2020, Akuntabilitas Semaan Al-Qur’an & Dzikrul Ghofilin, Malang :
Peneleh, Hal. 139.
dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata. Proses yang dimaksud ada
tiga yaitu proses , pertama, eksperimentasi atau mendalami yakni pengamatan
terhadap realita, kedua , proses abstraksi yang terjadinya gambaran atas realitas
tersebut dalam pikiran, ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-
kata.2

Berkaitan dengan ketiga proses diatas untuk mendapatkan ilmu burhani,


pembahasan tentang silogisme demonstratif atau qiyas burhani menjadi sangat
signifikan. Qiyas, atau lebih tepatnya qiyas jama’i, yakni mengumpulkan dua
proposisi yang disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya dengan
bantuan terminus medius atau term tengah sehingga diperoleh sebuah konklusi
(natijah) yang meyakinkan menuju sesuatu yang penting.3

Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan


menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagaimana dipraktekkan oleh para
ilmuan Barat. Karna itu menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka
di butuhkan dua ilmu penting, yaitu :

1. ilmu al-lisan, yang membicarakan lafaz-lafaz kaifiyyah, susunan dan


rangkaiannya dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkai dalam diri manusia. Tujuannya untuk menjaga lafadz al-dalalah
yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut.

2. ilmu mantiq, yang membahas masalah mufrodat dan susunan yang


dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi
dan hubungan yang tetap diantara sesuatunya, atau apa yang tidak
mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum
darinya. Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang

2
Moh, Asror Yusuf, 2020, Kontruksi Epistemologi Toleransi di Pesantren, Bandung : CV
Cendikia Press, Hal. 113.
3
Abid al-Jabiri, 1191, Taqwin al-Aql al-‘Arabi, (Bayrut : Al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi), Hlm.
420.
digunakan untuk menentukan cara kerja akal atau cara mencapai
kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.

Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal yang dilakukan
lewat dalil-dalil logika. Pendekatan ini menjadikan realitas teks maupun konteks
sebagai sumber kajian, realitas tersebut meliputi realitas alam (kauniyyah), realitas
sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtima’iyyah), maupun realitas budaya
(tsaqafiyyah). Dalam pendekatan ini, teks dan konteks berada dalam satu wilayah
yang saling berkaitan. Teks tidak berdiri sendiri, selalu berkitan dengan konteks
yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus konteks darimana teks itu dibaca
dan ditafsirkan, sehingga pemahaman lebih kuat.4

Burhani menyadarkan diri pada rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima jika ia sesuai dengan logika
rasional. Jadi sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.
Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan
tehadap informasi-informasi yang masuk lewat indera, yang dikenal dengan istilah
tasawwur dan tashdiq.5 Menurut epistemologi burhani untuk mendapatkan
pengetahuan harus menggunakan aturan silogisme terlebih dahulu dilakukan
tahap-tahap berikut : (1) tahap pengertian (ma’qulat), (2) tahap pernyataan
( ‘ibarat),(3) tahap penalaran (tahlilat).

Epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas


alam, sosial, humanitas, maupun keagaman. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi
burhani disebut dengan al-‘ilm al-khushuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun dan
disistematisasikan lewat premis-premis logika atau al-mantiqi, tidak lewat otoritas
teks, dan tidak pula lewat otoritas instuisi.6

Premis-premis logika tersebut disusun melalui kerja sama antara proses


abstraksi dan pengamatan inderawi yang shahih atau dengan mengunakan alat-alat
4
Peribadi, dkk, 2021, Epistemologi Pergerakan Intelektual Dari Masa ke Masa, Insramayu Jawa
Barat : CV Adanu Abimata, Hlm. 17-18.
5
Mehdi Haeri Yazdi, 1994, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, Bandung : Mizan,
Hlm. 51-53.
6
Rahmat, 2018, Pengantar Studi Islam Interdisipliner, Yogyakarta : Bening Pustaka, Hlm.100-
103.
yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera seperti alat-alat
laboratorium, proses penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam.
Peran akal disini sangat menentukan, karena fungsinya selalu diarahkan mencari
sebab akibat. Sementara tolak ukur validitas kelimuannya diekankan pada
korespodensi, yaitu kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan oleh akal
manusia dengan hukum alam. Selain itu ditekankan pula aspek koherensi, yakni
keruntutan dan keteraturan berfikir logis, serta upaya yang terus menerus
dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan-temuan, rumus-
rumus dan teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh akal manusia.7

Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci,
burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang akan dilakukan lewat
dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistimologi ini adalah bahwa bayani
menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu’ kepada yang asal, irfani
menghasilkan pengetahuan melalui proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani
mengahasilan pengetahuan melalui prinsi-prinsip logika atas pengetahuan
sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.8

Epistimologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia


secara naluriyah, inderawiyah, eksperimentasi, konseptualisasi. Fungsi dan peran
akal dalam epistimologi burhani adalah sebagai alat analitik-kritis. Jadi
epistemologi burhani ini adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
ilmu pengetahuan itu adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai
kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang
agama sekalipun akal mampu mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk
(tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak
dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti mu’tazilah dan ulama-ulama
moderat.

7
Amin Abdullah, At-Ta’wil al-ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci, Al-
Jami’ah Journal of Islamic Studies . Vol 1, No. 2. (Juli-Desember 2001), Hl,. 378-380.
8
Al-Jabiri, 1989, Asykaliyat al-fikr al-Arabi al-Mu’asshir, (Beirut ,Markaz Dirasah Al-Arabiyah),
Hlm. 59.
Epistemologi burhani disebut juga dengan pendekatan ilmiah dalam
memahami agama atau fenomena keagamaan, epistemologi burhani dapat
menggunakan pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat dan
bahasa. Dalam filsafat, baik filsafat Islam maupun Barat istilah yang sering kali
digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran yang menyatakan bahwa akal (reason)
merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuaan, walaupun belum
didukung oleh fakta empiris. Sementara dalam ilmu tafsir istilah yang sering
digunakan pada makna burhani adalah tafsir bi al-ra’yi.9

Jika melihat pernyataan Al-Qur’an, maka akan dijumpai sekian banyak


ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam
menimbang ide yang masuk kedalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara
tetang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta’qilun, tatafakkarun, tadabbarun,
dan lain-lain. Ini membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan
kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.

George Maksidi mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap


sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya
bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal
budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampan. Konsep
epistemologi burhani yang mengedepankan rasionalisme dalam pemahaman
syari’ah, menurut ibn Rusd tidak bertentangan dengan wahyu. Menurutnya sisi
rasionalitas dari perintah-perintah agama beserta larangan-larangannya dibangun
atas landasan moral keutamaan atau fadillah.

Bagi ibn Rusyd, bila dalam permukaan tampak perbedaan atau


pertentangan, maka hal itu merupakan kekeliruan dan kesalahpahaman dalam
menafsirkan keduanya. Hal itu disebabkan tidak dipakainya rasionalisme dalam
penafsiran agama. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama tidaklah menafikan
metode burhani atau rasionalisme, tetapi malah menganjurkannya, agar menjadi
sarana yang efektif bagi kalangan ulama atau kaum rasionalis untuk memahami
agama secara rasional.10

9
Dhabi, Muhammad Husayn, 2000, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo : Maktabah Wahbah.
10
Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah fi ‘Aqaa’id al-Millah , (Beirut : Muassat, 1995), Hlm. 178.
Epistemologi burhani ini dibangun pertamakali oleh Aristitoteles yang
populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia, Tuhan.
Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan menote analitik. Dengan demikian
dapat dikemukakan bahwa Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi
daripada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita
dewasa ini yang melihat persoalan alam bukan lagi persoalan proposisi metafisika
karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang
valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan
alam.11

C. Penutup
Kesimpulan
Epistemologi burhani adalah epistemologi yang mendasarkan
pengetahuannya pada dua kekuatan manusia yaitu pengalaman inderawi dan

11
Ibn Khaldun, Abu Zyd ‘abd al-Rahman ibn Muhammad, Al-Muqaddimah, Kairo : Lajnah al-
Bayan al- ‘Arabi, 1958.
penalaran rasio. Epistemologi ini merupakan perolehan dua pengetahuan dengan
dua metode gabungan deduktif dan induktif. Epistemologi ini menekankan proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas, sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga disinilah ditempatkan kata-kata. Proses yang dimaksud ada
tiga yaitu proses , pertama, eksperimentasi atau mendalami yakni pengamatan
terhadap realita, kedua , proses abstraksi yang terjadinya gambaran atas realitas
tersebut dalam pikiran, ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-
kata.

Epistemologi burhani berusaha memaksimalkan akal dan


menempatkannya sejajar dengan teks suci dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam epistemologi burhani ini, penggunaan rasionalitas tidak terhenti hanya
sebatas rasio belaka, tetapi melibatkan pendekatan empiris sebagai kunci utama
untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.

D. Daftar Pustaka

Abid al-Jabiri, 1191, Taqwin al-Aql al-‘Arabi, (Bayrut : Al-Markaz al-Tsaqafi al-
Arabi).
Al-Jabiri, 1989, Asykaliyat al-fikr al-Arabi al-Mu’asshir, (Beirut ,Markaz Dirasah
Al-Arabiyah).

Amin Abdullah, At-Ta’wil al-ilmi : Kearah Perubahan Paradigma Penafsiran


Kitab Suci, Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies . Vol 1, No. 2. (Juli-
Desember 2001).
Dhabi, Muhammad Husayn, 2000, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Kairo : Maktabah
Wahbah.
Januar Eko Prastio, 2020, Akuntabilitas Semaan Al-Qur’an & Dzikrul Ghofilin,
Malang : Peneleh.
Ibn Rusyd, Manahij al-Adillah fi ‘Aqaa’id al-Millah , (Beirut : Muassat, 1995).
Ibn Khaldun, Abu Zyd ‘abd al-Rahman ibn Muhammad, Al-Muqaddimah, Kairo :
Lajnah al-Bayan al- ‘Arabi.
Moh, Asror Yusuf, 2020, Kontruksi Epistemologi Toleransi di Pesantren,
Bandung : CV Cendikia Press.
Peribadi, dkk, 2021, Epistemologi Pergerakan Intelektual Dari Masa ke Masa,
Insramayu Jawa Barat : CV Adanu Abimata.
Mehdi Haeri Yazdi, 1994, Prinsip-Prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam,
Bandung : Mizan.
Rahmat, 2018, Pengantar Studi Islam Interdisipliner, Yogyakarta : Bening
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai