Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

KEILMUAN DALAM ISLAM ( EPISTIMOLOGI BURHANI)


Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

PENGANTAR STUDI ISLAM

Dosen pengampu :

Jamal Ghofir, S.Sos.I,.M.A

Disusun Oleh :

1. Dian dwitasari
2. Nabilatus Salma

Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini


Fakultas Tarbiyah
Institute Agama Islam Nahdlatul Ulama 2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling
mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja
tanpa ada sebuah dinamika ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim
dikenal dengan epistemologis.
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos.
Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah
teori tentang pengetahuan. Dan juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-
muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan.

Bidang epistemologis ini menempati posisi yang posisi yang yang sangat strategis,
karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan
hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya dalam
mentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu
pengetahuan yang dihasilkan.

Secara umum epistemologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat.
yaitu Bayani, Irfani dan Burhani. Berbeda dengan dua epistemology sebelumnya, bayani
dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, Burhani sama sekali mendasarkan dari
pada teks, juga tidak pada pengalaman . Burhani menyandarkan dari apa kekuatan rasio ,
akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa
diterima. Sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemology
ini, seperti Irfani mengahasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan rohani kepada
Tuhan dengan penyatuan universal , Burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-
prinsip logika atas penegetahuan sebelumnya yang telah di yakini kebenarannya.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Burhani ?


2. Bagaimana Metode Epistemologi Burhani ?
3. Bagaimana fenomologi Burhani sebagai pendekatan kajian Islam ?
4. Bagaimana Karakteristik Epistemologi Burhani ?

1.3 Tujuan

1. Memahami pengertian Burhani


2. Memahami metode yang digunakan Epistemologi Burhani
3. Memahami fenomologi Burhani dalam kajian Islam
4. Memahami apa saja karakteristik yang ada dalam Epistemologi Burhani

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Epistemologi Burhani

Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah;
clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang
mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan
penjelasan). Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk
menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan
menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau
telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah
aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

Istilah burhani yang mempunyai akar pemikiran dalam filsafat Aristoteles ini, digunakan
oleh al-Jabiri sebagai sebutan terhadap sebuah system pengetahuan (nidlam ma’rifi) yang
menggunakan metode tersendiri di dalam pemikiran dan memiliki pandangan dunia tertentu,
tanpa bersandar kepada otoritas pengetahuan lain.

Jika dibandingkan dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana
bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untuk
membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam hal ini
Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh
pengetahuan dan sekaligus bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan.
Maka burhani lebih bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan
akal di dalam mencapai pengetahuan.

Burhani, baik sebagai metodologi maupun sebagai pandangan dunia, lahir dalam alam
pikiran Yunani, tepatnya dibawa oleh Aristoteles yang kemudian terbahas secara sistematis
dalam karyanya Organon, meskipun terminology yang digunakan berbeda. Aristoteles
menyebutkan dengan metode analitis (tahlili) yakni metode yang menguraikan pengetahuan
sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya, sedangkan muridnya sekaligus komentator
utamanya yang bernama Alexander Aphrodisi memakai istilah logika (mantiq), dan ketika
masuk ke dunia Arab Islam berganti nama menjadi burhani.

Burhani yang lebih mengedepankan rasio atau akal daripada naskh. Realitas dan
kenyataan kebenaran akan ditelusuri melalui metode burahani, disamping juga menggunakan
pendekatan fenomenologi. Metode burhani sebagaimana ditawarkan oleh al jabiry adalah
salah satu yang memberikan kontribusi pada khazanah pemikiran Islam.

Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih
berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak
pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan
lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai
dengan logika rasional.1

2.2 Metode Epistemologi Burhani sebagai Sebuah Pendekatan

1
Muhammad Rusydi, Epistemologi Bayani Muhammad Abid al-Jabiri 2009
Dalam bahasa Arab Al Burhan bersumber dari kata tsulatsy yang berarti kembali
sembuh setelah adanya perubahan dari sakit, yang kemudian mendapat tambahan hamzah
yang berarti datang dengan membawa bukti atau petunjuk. Bentuk masdarnya berarti bukti
atau petunjuk, bukti yang pasti dan penjelas.2 Bahasa latinnya berarti demontratio yang
berarti al isyara atau (isyarat/tanda), al – washf (sifat), al –bayan (penjelasan), al –idzhar
(menampakkan). Maka bisa diartikan secara umum bahwa burhani adalah pembuktian untuk
pembenaran atas suatu hal. Pendekatan ini, jika dilihat dari triple pendekatan studi islam
menurut Mukti ali, yakni Naqli, aqli dan kasyf, maka pendekatan burhani termasuk dalam
pendekatan aqli, sedangkan Amin abdullah menegelompokkan pendekatan tersebut kedalam
kajian historisitas.3

Epistemologi burhani bersumber pada realitas, baik realitas alam, sosial, humanitas
maupun keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi burhani disebut sebagai ilmu al
husuli, yakni ilmu yang di konsep,disusun dan disistemasikan lewat premis-premis logika
atau al mantiq dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan lewat otoritas intuisi.
Dengan pemahaman premis-premis logika keilmuan yangbtersusun melalui kerja sama antara
proses abstraksi dan pengamatan indra yang benar dan atau menggunakan alat-alat yang
dapat membantu dan menambah kekuatan indra seperti alat-alat laboratorium, proses
penelitian lapangan dan penelitian literer yang mendalam. Peran akal pikiran sangat
menentukan di sini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab-akibat. Hal ini
bertujuan mencari sebab-akibat yang terjadi pada peristiwa-peristiwa alam, sosial,
kemanusiaan, dan keagamaan, akal pikiran tidak memerlukan teks-teks keagamaan untuk
lebih memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih
memadai apabila digunakan pendekatan-pendekatan seperti sosiologi, antropologi,
kebudayaan dan sejarah.

Tolok ukur validitas keilmuan nalar burhany yang ditekankan adalah korespondensi (al-
muthabaqah baina al-‘aqli wa nizam al thabi’ah) yakni kesesuaian antara rumus-rumus yang
diciptakan oleh akal manusia dengan hukum-hukum alam. Selain korespodensi juga
ditekankan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis) dan upaya yang terus
menerus dilakukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan temuan temuan, rumus-rumus.
dari teori-teori yang telah dibangun dan disusun oleh jeri payah akal manusia ( pragmatik).

2.3 Karakteristik Epistemologi Burhani

Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara pikir filsafat di
mana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas
pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan
atau ekspresinya. Hal ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’
dating lebih dahulu daripada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian
intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-
kata. Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya
dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan
pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.

Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhani bermula dari
proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna
2
Muhammad Abid al – jabirib, al-Aql al Araby hlm. 383
3
Ahmad kazemi Moussavi Shifts of Lauguage and Turns in Worldview hlm.98
sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di
sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi
dan sarana berpikir di samping sebagai simbol pernyataan makna.

Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap


yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani. Silogisme
yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani) selalu bertujuan untuk
mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum
sufistaiyah (sophis). Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga
syarat: pertama, mengetahui sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas
terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap
realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam
pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

Berkaitan dengan cara ketiga untuk mendapatkan ilmu burhani di atas, pembahasan
tentang silogisme demonstrative atau qiyas burhani menjadi sangat signifikan. Silogisme
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sullogismos yang merupakan bentukan dari
kata sullegin yang artinya mengumpulkan, yang menunjukkan pada kelompok, penghitungan
dan penarikan kesimpulan. Kata tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi qiyas
atau tepatnya adalah qiyas jama’i yang karakternya mengumpulkan dua proposisi-proposisi
(qadliyah) yang kemudian disebut premis, kemudian dirumuskan hubungannya hubungannya
dengan bantuan terminus medius atau term tengah atau menuju kepada sebuah konklusi yang
meyakinkan. Metode ini paling popular di kalangan filsuf Peripatetik. Sementara Ibn Rusyd
mendefinisikan demonstrasi dengan ketentuan dari satu argument yang konsisten, tidak
diragukan lagi kebenarannya yang diperoleh dari premis yang pasti sehingga kesimpulan
yang akan diperoleh juga pasti, sementara bentuk dari argument harus diliputi oleh fakta
akali. Jadi silogisme demonstratif atau qiyas burhani yang dimaksud adalah silogisme yang
premis-premisnya terbentuk dari konsep-konsep yang benar, yang meyakinkan, sesuai
dengan realitas (bukan nash) dan diterima oleh akal.

Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap
pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).

Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola
pikir burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi.
Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten
antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu
pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi. Kebenaran tidak akan terbentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, tetapi atas hubungan antara putusan-
putusan itu sendiri. Dengan perkataan lain bahwa kebenaran ditegakkan atas dasar hubungan
antara putusan baru dengan putusan lain yang telah ada dan diakui kebenarannya dan
kepastiannya sehingga kebenaran identik dengan konsistensi, kecocokan dan saling
berhubungan secara sistematis.4

BAB III
PENUTUP

4
Muhammad mushlih, Filsafat Ilmu 2005
Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah;
clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration. pengertian
umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.

Dengan mengandalkan kekuatan olah rasio,burhani telah berjasa mengembangkan


pemikiran filsafat islam. Juga telah membantu perkembangan epistemologi lain,seperti
bayani lewat pemikiran fiqh seperti yang dilakukan al-Ghazali. lewat al-mustashfa fi ulul al-
fiqh, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibn Arabi.

Burhani yang lebih mengedepankan rasio atau akal daripada naskh. Epistemologi
Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks
suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman.
Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil
logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang iasesuai dengan logika
rasional

Metode dan pendekatan apapun sepanjang tidak bertentangan dengan syariat bisa
digunakan untuk pemahaman studi Islam, baik yang digagas oleh pemikir Muslim atau
bahkan yang diadopsi dari filsuf Barat.

DAFTAR PUSTAKA
Rusydi, Muhammad, 2009, Epistemologi Bayani Muhammad al-Jabiri, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.

Muslih, Muhammad, 2005, Filsafat Ilmu, Yogyakarta

Syukur,Suparman, 2015, Studi Islam Transformatif, Pendekatan di Era Kelahiran, perkembangan


dan Pemahaman Kontekstual. Semarang.

Syukur, Suparman, 1997, Pandangan Epistemologi Ibn Rusyd dan Implikasinya dalam Pemahaman
Metafisika Islam, Semarang IAIN Walisongo.

Anda mungkin juga menyukai