Anda di halaman 1dari 21

ARTIKEL

PERAN PESANTREN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER

DI INDONESIA

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

PENGANTAR STUDI ISLAM

Dosen pengampu :

Jamal Ghofir, S.Sos.I.,M.A

Disusun Oleh :

1. Dian dwitasari (2113020)

Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini


Fakultas Tarbiyah
Institute Agama Islam Nahdlatul Ulama 2021
PERAN PESANTREN DALAM PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

Dian Dwitasari

Institute Agama Islam Nahdlatul Ulama Tuban

ABSTRAK

Artikel ini menjabarkan tentang peranan pesantren dalam pendidikan karakter di


Indonesia. Artikel ini menggunakan jenis penelitian literatur, dalam penelitian ini pesantren
mampu berperan dalam pembentukan karakter seorang santri dengan didukung oleh elemen
utama pesantren yakni, seorang kiai. Karena semua itu tidaklah terlepas dari peranan seorang
guru/kiai dalam menghasilkan anak didik yang berkarakter atau berakhlak yang mulia.
Peranan pesantren dalam pendidikan karakter yakni pesantren harus memerankan diri sebagai
pengawal dan pelestari nilai-nilai agama; pesantren sebagai lembaga pendidikan, tentu juga
dituntut untuk memerankan diri sebagai pembaru pemahaman keagamaan; dan sebagai
lembaga pendidikan keagamaan dan pendidikan sosial-kemasyarakatan, pesantren juga dapat
mengemban peranan, tugas, misi, dan fungsinya sebagai inspiratory, motivator, dan
dinamistor pelaksanaan pembangunan pada tingkat lokal dan regional di daerahnya masing-
masing.

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang cukup tua dan perkembang seiring
dengan perkembangan Indonesia, sehingga keberadaannya tidak dapat dipisahkan dengan
negeri yang memiliki penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Dikaji dari segi bahasanya
Pesantren berasal dari bahasa Sanskerta, ini menunjukkan keunikan tersendiri, karena
Pesantren telah dikenal sebagai lembaga Pendidikan Ke-Islaman yang paling tua tapi justru
namanya bukan dari bahasa Arab. Perjalanan pesantren dengan kiainya juga tidak lepas dari
penderitaan karena dianggap basis perlawanan masyarakat terhadap penjajah, sehingga
keberadaannya selalu dipantau, gerakannya dibatasi, komunikasinya dihambat demi
membonsai keberadaan pesantren ini. Namun itu semua bukanlah halangan bagi pesantren
untuk berperan aktif dalam mencetak kader-kader bangsa yang bermoral dan berpihak pada
kebenaran.

Kata Kunci : Peran, Pesantren, Karakter.


ABSTRACT

This article describes the role of pesantren in character education in Indonesia. This
article uses a type of literature research, in this research pesantren is able to play a role in
shaping the character of a santri supported by the main element of the pesantren, namely, a
kiai. Because all of that is inseparable from the role of a teacher / kiai in producing students
with noble character or character. The role of pesantren in character education is that
pesantren must act as guardians and preservers of religious values; Islamic boarding schools
as educational institutions, of course, are also required to play themselves as reformers of
religious understanding; and as religious education institutions and social-community
education, pesantren can also carry out their roles, duties, missions, and functions as
inspiration, motivators, and dynamists in the implementation of development at the local and
regional levels in their respective regions.

Islamic boarding schools are educational institutions that are quite old and develop
along with the development of Indonesia, so that their existence cannot be separated from the
country which has the largest Muslim population in the world. In terms of language,
Pesantren comes from Sanskrit, this shows its own uniqueness, because Pesantren has been
known as the oldest Islamic educational institution but its name is not Arabic. The journey of
the pesantren with its kiai also cannot be separated from suffering because it is considered the
basis of community resistance against the invaders, so that its existence is always monitored,
its movement is limited, its communication is hampered in order to foster the existence of this
pesantren. However, this is not an obstacle for Islamic boarding schools to play an active role
in producing moral and truth-oriented national cadres.

Keywords: Role, Islamic Boarding School, Character.


Pendahuluan

Banyak hal yang tengah terjadi pada bangsa ini salah satunya adalah fenomena
merosotnya nilai-nilai moral dalam kehidupan para remaja kita. Tawuran pelajar, maraknya
peredaran narkoba di kalangan siswa, adanya siswa yang terlibat dalam tindakan kriminal,
dan tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya merupakan keprihatinan kita bersama Tidak
hanya di kalangan remaja saja, secara umum bangsa Indonesia dihadapkan berbagai problem
dan krisis kebangsaan yang serius. Berbagai permasalahan silih berganti menyita perhatian
semua anak bangsa. Jika tidak segera ditangani dan diantisipasi, maka problem dan krisis itu
bisa mengarah pada bergesernya karakter (jati diri) bangsa ini, dari karakter positif ke negatif.

Belakangan ini, dalam dunia pendidikan banyak di bicarakan tentang pendidikan


karakter. Munculnya pendidikan karakter sebagai wacana baru pendidikan nasional bukan
merupakan fenomena yang mengagetkan. Sebab perkembangan sosial politik dan kebangsaan
ini memang cenderung menghasilkan karakter bangsa. maraknya perilaku anarkis, tawuran
antar warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, korupsi, kriminalitas, kerusakan
lingkungan dan berbagai tindakan patologi lainnnya merupakan indikasi masalah akat dalam
pembangunan kararter bangsa ini.
Hal tersebut telah menumbuhkan kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk
melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi
penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep-konsep
tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah melangkah jauh dalam
mempraktekannya. Hal ini perlu dilakukan agar kita (umat Islam, yang merupakan mayoritas
warga bangsa ini) tidak asing dengan tradisi keilmuannya sendiri.
Sedangkan, pesantren adalah lembaga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses
wajar perkembangan sistem pendidikan nasional. Makanya, lembaga pendidikan pesantren
memiliki posisi stategis dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai salah satu bentuk
pendidikan, pesantren mempunyai tempat tersendiri dihadapan masyarakat. Hal ini karena
pesantren telah memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan bangsa dan
pengembangan kebudayaan masyarakat.
Berdasarkan penelitian dilakukan oleh Kurniawan yang mengutip dari penjelasannya
mengatakan bahwa orang-orang beranggapan dengan adanya kondisi tersebut, ialah berasal
dari apa yang telah diperoleh dalam ranah pendidikan. Padahal kondisi tersebut terjadi akibat
dari kegiatan pembelajaran yang lebih menekankan pada pengajaran moral dan budi pekerti
yang hanya sebatas dalam teks dan kurang memperhatikan siswanya dalam menghadapi
keadaan di kehidupan sosial yang kontradiktif. Maka, dalam kondisi saat inilah pendidikan
seharusnya dapat memberikan kontribusi (Kurniawan, 2016).

Penelitian yang dilakukan oleh Althof and Berkowitz menyatakan bahwa pendidikan
karakter itu merupakan suatu hal yang sulit untuk diartikan, karena mencakup berbagai tujuan
hasil yang luas, strategi pedagogis serta orientasi filosofis (Althof & Berkowitz, 2006). Oleh
karena itu, dalam era Globalisasi sekarang ini sangatlah memerlukan pendidikan karakter,
karena tujuan dari pendidikan karakter ialah supaya dapat memperluas kecerdasan spiritual,
bahwa kecerdasan spiritual sendiri dapat dipahami sebagai kecerdasan yang paling mendasar
dibandingkan dengan jenis-jenis kecerdasan lainnya seperti kecerdasan intelektual,
emosional, dan kecerdasan sosial (Yaumi, 2014).

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sudah sejak lama mampu


memberikan solusi konkret pendidikan yang identik dengan pesantren yakni, dengan adanya
pendidikan karakter. Pesantren telah berhasil meminimalisir kondisi rusaknya moral atau
karakter, bahkan cara yang dilakukan pesantren dalam menguranginya banyak ditiru oleh
lembaga pendidikan lainnya (Wiranata, 2019). Pesantren merupakan unit dari lembaga
pendidikan Islam yang pertama kali dan pendirinya ialah anggota dari Walisongo yakni
Syekh Maulana Malik Ibrahim (Syekh Maghribi). Pada mulanya pesantren tidak hanya
menekankan pada misi pendidikannya saja, tetapi juga dakwah. Sebagaimana yang
dipaparkan A. Mukti, bahwasanya pada dasarnya pesantren itu merupakan lembaga
pendidikan dan bukanlah lembaga dakwah (Sadhi & Andhin, 2015; Subhan, 2012).
Peran pesantren dalam membentuk karakter seseorang santri yakni dengan

dibutuhkan integrasi pembelajaran antara teori dan praktek, serta penghayatan yang dapat

diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari. Karena, dengan berada atau bertempat di

ranah pesantren, yang notabenenya sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah mampu

menunjukkan ketahanannya yang cukup kokoh dalam menanamkan nilai -nilai karakter

sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan berbagai masalah yang dihadapi

(Syahri, 2019).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini. meneliti atau membahas tentang peran pesantren dalam pendidikan
karakter di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian literatur atau studi
literasi yang didukung dengan adanya permasalahan terhadap maraknya permasalahan
terhadap rendahnya moral yang terjadi di Indonesia. Dalam penelitian literatur, data yang
diperoleh melalui buku, jurnal, dan internet yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Bagian selanjutnya, dalam tulisan ini terdapat dua poin pembahasan yang akan diuraikan
yaitu; pertama, akan menjelaskan tentang pesantren dan pendidikan karakter. Kedua, akan
menjelaskan tentang peran pesantren di Indonesia. Dan pada bagian selanjutnya, akan
menggambarkan secara ringkas tentang kedua poin pembahasan tersebut.

A. Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama atau
wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para
pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya (Dhofier, Zamakhsyari. 1994. Tradisi Pesantren:
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Yogyakarta). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986)
kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti
menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Sedangkan menurut Geertz
pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang
pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca
dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu.
Dalam istilah lain dikatakan pesantren berasal dari kata pe-santri-an, dimana kata
"santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq
yang berarti penginapan. Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah.
Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok
pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka
biasanya disebut lurah pondok. Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga
mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan
hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.
Kata santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti
orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman
Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. Istilah santri juga dalam ada dalam
bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang.

Pesantren disebut sebagai lembaga pendidikan yang besar jumlahnya dan


persebarannya yang luas dari berbagai pelosok negeri yang telah banyak memberikan
sumbangsih dalam pembentukan masyarakat Indonesia yang lebih religius(Alwi, 2016).
Bakhtiar beserta rekan-rekannya telah mengklasifikasi pesantren menjadi dua macam, yaitu:
1. Pertama adalah pesantren salafi, yaitu pesantren yang dalam pembelajarannya
menggunakan bahan ajar dari kitab-kitab Islam klasik. Pesantren dengan
model demikian tidak mengajarkan tentang ilmu pengetahuan umum.
2. Kedua, adalah pesantren khalafi, pesantren model ini dalam pembelajarannya
dengan menggunakan kitab Islam klasik dan juga memasukkan atau
mengajarkan ilmu pengetahuan umum dalam pesantren seperti sekolah pada
umumnya. Klasifikasi menurut Wardi Bakhtiar ini diberikan karena untuk
menghindari penggunaan istilah pesantren modern dan pesantren tradisional
sebagaimana yang sering disebutkan oleh banyak orang.1

1
Tafsir. Pendidikan Dalam Prespektif Islam. 2011
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alwi, pesantren memiliki lima elemen penting,
yakni adanya kiai, santri, masjid, pondok, dan adanya pengajaran kitab salaf, dimana elemen-
elemen tersebut saling berhubungan satu sama lain. Pendapat dari Horikoshi bahwa kiai atau
ulama dalam pesantren merupakan elemen terpenting. Gelar kiai yang telah diberikan oleh
masyarakat Muslim karena masyarakat menganggap bahwa bentuk kealiman seorang kiai
dapat dilihat dalam memberikan pelayanannya kepada masyarakat. Maka dari itu, dapat
berakar pada2 :

a. Kredibilitas moral, yakni dibina dan didukung dengan perilaku yang saleh, dan
pemberian pelayanan pada masyarakat. Akan tetapi terdapat ada satu unsur lagi yang
harus diperhatikan, yakni adanya kemampuan supra-rasional yang dimiliki oleh
sebagian kiai. Unsur tersebut pengaruhnya amat besar untuk mengukuhkan sang kiai
sebagai seorang yang berwibawa,
b. Kemampuan dalam mempertahankan pranata sosial. Dengan demikian, kekuatan
seorang kiai juga ditentukan oleh kemampuan dalam menjaga pranata itu, bahkan
sebagian dari kekuatan pertama (kredibilitas) tadi, dapat hilang jika pranata tersebut
tidak dilestarikan. Misalnya dalam tradisi mencium tangan sang kiai, tradisi karomah
pada kiai, barokah, dan lainnya, apabila tradisi tidak dijaga oleh kiai, maka kekuatan
atau kewibawaan kiai akan berkurang.3
Ryan dan Bohlin menyatakan, bahwa karakter memiliki tiga unsur pokok, yakni dapat
mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Dari paparan tersebut,
dalam dunia pendidikan, karakter dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. 4 Maka di sini,
karakter merupakan nilai yang lahir atau diciptakan dalam diri seseorang yang dikenal
sebagai sifat. Karakter bukanlah sifat bawaan, akan tetapi karakter sendiri itu dibentuk
berdasarkan pengalaman dan pembiasaan. Dalam membangun sebuah karakter yang baik
pastinya memerlukan sebuah usaha penanaman nilai dalam diri seseorang, sehingga karakter
menjadi sifat yang menetap dalam jiwa.

2
Alwi. Pondok Pesantren :Ciri Khas perkembangan dan pendidikannya, hlm 205-219. 2016
3
Tafsir.Pendidikan Dalam Prespektif Islam. 2011
4
Sukatin Penidikan Karakter dalam Prespektif Islam In Jurnal NurEl. 2018 . (2018).
Nilai-nilai yang diharapkan dapat melekat pada pribadi seorang Muslim ialah nilai-
nilai yang tercantum dalam Al-Qur’an- Hadits, serta nilai-nilai yang terkandung dalam
pribadi Rasulullah SAW. karena dalam kepribadian Nabi inilah dapat dijadikan sebagai
pacuan utama dalam proses internalisasi pada character building. Akhlak Rasulullahlah yang
harus dijadikan acuan sebagai platform karakter kenabian dalam pembinaan akhlak mulia
(Shodiq, 2018). Dengan demikian, pendidikan karakter ialah upaya guna membentuk perilaku
seseorang menjadi standar yang lebih baik. Dengan mengetahui adanya karakter, seseorang
dapat memprediksi suatu perubahan yang terjadi pada dirinya terhadap adanya fenomena
yang muncul dalam dirinya ataupun ketika berhubungan dengan orang lain, dalam berbagai
situasi dan kondisi serta dapat mengetahui cara untuk mengendalikannya.

Menurut al-Ghazali ada dua faktor yang dapat menentukan perubahan karakter yang
seolah mengedepankan integrasi dua paham yaitu nativisme dan empirisme. Ini artinya al-
Ghazali lebih cenderung kepada konvergensi antara faktor pembawaan dan pengaruh
lingkungan. Karena pembawaan itu tidak bisa diubah, maka perubahan perilaku itu lebih
didasarkan pada persoalan mujahadah dan riyadah (faktor empiris). Dari penjelasan tersebut
dapat diketahui bahwa dalam pembentukan suatu karakter atau akhlak itu melalui proses di
dua wilayah, lahir dan batin. Membentuk akhlak harus membentuk perilaku luar yang telah
meresap sedemikian rupa dalam jiwa. Karenanya membentuk akhlak atau karakter hanya bisa
dilakukan dengan pembiasaan, hingga melembaga dalam jiwa. Jika perilaku itu baik, maka
kebaikan itu harus meresap dan melembaga dalam jiwa, barulah ia benar–benar disebut
berkarakter yang baik. Maka ukuran akhlak baik adalah baik lahiriah dan batiniyahnya.5

Integrasi antara pesantren dan pendidikan karakter memiliki keterkaitan dengan


keyakinan agama dan bersama-sama menjalani hidup dalam masyarakat yang berbhinneka
seperti di Indonesia. Menurut Lewis and Ponzio, dalam mengembangkan pendidikan karakter
haruslah memberikan pertimbangan yang cermat guna diberikan pada kontribusi dan interaksi
sekolah dan masyarakat atau lingkungannya.6

5
Shodiq. Prophetic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Ahlak Menurut Al-Gazali (I). 2018
6
Lewis, M., & Ponzio, V. Character Education As the Primary Purpose of Schooling for the Future. Jurnal Ilmiah
Peuradeun. 2016
Karena, diranah lingkungan tersebut terdapat nilai keagamaan dan nilai demokrasi
yang harus dipertimbangkan.Jika dipahami secara lebih utuh dan integral, nilai-nilai ini dapat
memberikan sumbangsih yang efektif. Karena, pendidikan di pesantren merupakan dukungan
dasar yang tak tergantikan bagi keutuhan pendidikan karakter.7

Pesantren dibalik eksistensinya yang mampu bertahan selama berabad-abad


dengankarakternya yang khas, ternyata punya elemen-elemen yang terkait dengn sejarah
panjang jatuh bangunya kerajaan di Nusantara-serta sepenggal kisah tentang bagaimana
bangsa ini berdiri. Oleh karena itu patut kita simpulkan-setidaknya kita siratkan- sebuah
keyakinan bahwa apa yang terkandung dalam dalam “perut’ pesantren juga tersirat dalam
keislaman Indonesia, keduanya senantiasa dalam proses relasi. Keduanya saling menjaga,
juga memberi.8
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua dan berakar cukup
kuat di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, pesantren mempunyai keunikan tersendiri yang
berbeda dari lembaga pendidikan lain di tanah air. Salah satunya ialah sistem nilai yang
dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lamanya dan tetap eksis hingga sekarang. 9
Keberadaan Pondok Pesantren hadir bersamaan dengan penyebaran ajaran Islam yabg
disebarkan oleh Wali Songo, khususnya penyebaran Islam di Tanah Jawa. Tidak dapat
dinafiqkan, bahwasanya keberadaan Islam mulai berkembang di Bumi Nusantara ini, berkat
jerih payah para Wali Songo yang mengemban amanah suci dalam mensyiarkan ajaran Islam.
Sebagaimana Sunan Ampel dalam mendirikan Pesantren di Ampel Denta dan mampu
menghasilkan santri-santri yang memiliki intelektualitas pemahaman keagamaan yang kuat
dan luas, sebagai penerus perjuangan membawa misi ajaran Islam yang rahmatan lil „alamin.

Dalam konteks sejarah peradaban Islam. Islam sebagai agama yang dibawa oleh
Kanjeng Nabi Muhammad, menyempurnakan, memperjelas, dan menyarikan agama-agama
yang diturunkan Allah sebelumnya. Islam yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad,
diperoleh lewat wahyu, mujahadah bertapa di Gua Hiro, dan jalan pembersihan qalb-ruh-
sirr-sirrul asrar sampai siap menerima cahaya dari Yang Tunggal.

7
Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan, 1997.
8
Irawan, Aguk. Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara, Dari Era Sriwijaya sampai Pesantren Tebu Ireng dan
Ploso. 2018
9
Yasid, Abu. Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam Transformatif. 2018
Tujuannya untuk menjadi pelopor membawa umat ke jalan rahmatan lil „alamin
yang sadar akan kehidupan dunia dan pertanggungjawabannya di akherat, jalan keselamatan
di dunia dan akherat.

Islam demikian adalah Islam yang datang membawa perbaikan, membawa kasih
sayang, memanusiawikan, merekonsiliasi tradisi yang ada, dan menyelaraskan nilai-nilai
yang ada dengan nilai-nilai Islam. Perwujudanya tidak hendak menghapus apa yang telah ada
di masyarakat, tetapi hendak menyempurnakan, yang bisa hadir di dalam relung para pertapa,
pedagang, petani, dan profesi lain, tanpa kehilangan jati diri dan akar sejarah masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwasanya kehadiran Islam penuh dengan cinta dan kasih sayang bukan
kekerasan. Warisan nilai-nilai yang termaktub di atas selanjutnya diteruskan penerusnya
sampai pada wilayah Nusantara. Selanjutnya dikembangkan oleh para Wali dan Ulama
(Kyai) yang keberadaanya ada pada pesantren10.

B. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Pesantren

Untuk menelusuri pertumbuhan pesantren pada masa awalnya di Indonesia, perlu


dikemukakan terlebih dahulu sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Berdasarkan beberapa
sumber, ada tiga versi yang secara jelas menerangkan sejarah Islam masuk ke Indonesia.
Pertama, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7, di antara bukti-buktinya adalah :
a. Seminar masuknya Islam di Indonesia (di Aceh), sebagian besar adalah
catatan perjalanan al-Mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M.
Terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada
tahun 648 M. diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur
Sumatera.
b. Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954) menjelasakn bahwa
kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M. yang dilakukan oleh
para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatera dalam perjalannya ke
Cina.

10
Jamal Ghofir, 2019. Pesantren Dalam Himpitan Arus Globalisasi dan Radikalisme Agama. STIT Makhdum
Ibrahim https://doi.org/10.51675/jt.v13i1.55
c. Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, telah menjelaskan
bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya
antara tahun 606-699 M.
d. Sayed Naguib al-Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of
Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969) mengungkapkan bahwa
kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
e. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia pernah
mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk
ke Malaya.
f. S. Muhammmad HuseynNainar dalam makalah ceramahnya berjudul, “Islam
di India dan Hubungannya dengan Indonesia” menyatakan bahwa beberapa
sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada
hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
g. WP. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled
From Chinese Sources, menjelaskan bahwa Hikayat Dinasti T’ang
memberitahukan adanya Arab muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun
674), (Ta Shih = Arab Muslim).
h. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preching of Islam a History of The
Propagation of The Moslem Faith menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab
ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M.).
Kedua, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11 M. Satu-satunya sumber ini adalah
makam Fatimah Binti Maimoon dan rombongannya yang ditemukan di daerah Leran Manyar,
Gresik. Pada makam itu terdapat prasasti huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun 1082 M.
Ketiga, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13, di antara bukti-buktinya adalah
1. Catatan perjalanan Marcopolo menyatakan ia menjumpai adanya kerajaan Islam
Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
2. K.F.H. Van Langen, berdasarkan berita Cina telah menyebut adanya kerajaan
Pase (mungkin Pasai) di Aceh pada 1298 M..
3. J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk
Monumenten uit Hindoesten menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada
abad ke 13 M.
4. Beberapa sarjana Barat seperti R.A Kern, C. Snouck Hurgronje, dan Schrieke,
lebihcenderung menyimpulkan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, hal
ini berdasarkan sudah adanya beberapa kerajaaan Islam di kawasan Indonesia.11
Berdasarkan sumber-sumber di atas dapat dinyatakan bahwa argumentasi dan bukti
yang cukup kuat mengenai masuknya Islam ke Indonesia adalah pada Abad ke 7 Masehi. Jika
pada abad 7 tersebut Islam benar-benar mulai masuk ke Indonesia, maka disinyalir pada masa
itu, peradaban Islam di Timur Tengah sedang mencapai kemajuan yang cerah. Sebab, sekitar
abad ke 6-7 Masehi, obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan peradaban Islam,
milsanya, dalam lapangan kedokteran, muncul buku-buku terkenal seperti: Al-Hawi karya al-
Razi (850-923 M.) yang merupakan sebuah Ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan
ilmu kedokteran sampai masanya.12 Meskipun Timur Tengah sedang mengalami kemajuan
dan banyak ilmuwan pada abad tersebut, namun yang membawa Islam ke Indonesia justru
pedagang nomaden (Orang-orang yang setiap musim pelayaran pergi berdagang sesuai
dengan arah mata angin).
Ketika pedagang ini datang, kondisi masyarakat Indonesia masih sangat sederhana
dan banyak dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan alasan inilah penyebaran Islam awal
disesuaikan dengan keadaan masyarakatnya. Hal ini bisa dilihat pada saat Wali Songo yang
menyebarkan ajaran Islam. Kebudayaan masyarakat setempat sering dijadikan modal dasar
bagi mereka untuk menyisipkan ajaran Islam. Misalnya, Sunan Kalijaga menggunakan
wayang sebagai media dakwah. Islamisasi kebudayaan sebagai strategi penyebaran Islam
tersebut tentunya sangat mempermudah penerimaan ajaran yang disampaikan, sehingga Wali
Songo berhasil menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam di Indonesia. Dalam pada itu
di era Wali Songo inilah istilah pondok pesantren mulai dikenal di Indonesia. Ketika itu
Sunan Ampel mendirikan padepokan di Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa.
Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di
antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

11
Tanaya Yuka, “Proses Masuknya Islam di Indonesia (Nusantara)”, diakses pada 28 Oktober 2011.
12
Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh dari Abu Bakr bisa dibaca dalam Lenn E.
Goodman, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 243-265.
Padepokan Sunan Ampel inilah yang dianggap sebagai cikal bakal berdirinya
pesantren pesantren yang tersebar di Indonesia. Salah seorang santri dari padepokan Sunan
Ampel adalah Sunan Giri yang mendirikan pesantren Giri Kedaton. Beliau juga merupakan
penasehat dan panglima militer ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit. Keahlian
beliau di bidang fikih menyebabkan beliau diangkat menjadi mufht se-tanah Jawa. Santri dari
Sunan Giri ini adalah Raden Patah yang kemudian menjadi raja pertama di kerajaan Demak,
yang merupakan putra terakhir dari Raja Majapahit Prabu Brawijaya V. Kerajaan Demak
merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang dibimbing oleh para Wali Songo.
Pada masa Raden Patah pula kerajaan Demak mengirimkan ekspedisi ke Malaka yang
dipimpim Adipati Unus untuk merebut selat Malaka dari tangan Belanda.
Apabila diteliti mengenai silsilah ilmu para Wali Songo tersebut, akan ditemukan
bahwa kebanyakan silsilahnya sampai pada Sunan Ampel. Misalnya, Sunan Kalijaga, beliau
adalah santri dari Sunan Bonang yang merupakan Putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan
Kudus yang banyak menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga. Begitulah pesantren pada masa Wali
Songo yang digunakan sebagai tempat untuk menimba ilmu sekaligus untuk menempa para
santri agar dapat menyebarluaskan ajaran agama Islam, mendidik kader-kader pendakwah
guna disebarkan ke seluruh Nusantara. Hasilnya bisa dilihat, Islam menjadi agama mayoritas
di Indonesia dan bahkan bukan hanya itu, jumlah pengikutnya adalah yang terbanyak di
dunia.13
C. Pesantren Sebagai Akar Pendidikan Islam di Indonesia
Pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh
Timur Tegah ini sudah banyak yang membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah
haji di Mekah dan Madinah. Mekah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat
untuk melakukan ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri
pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adanya perbedaan pendapat ini tidak
berarti pendapat satu yang benar, sementara pendapat lainnya salah.
Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-
unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di
mana Islam berasal.14

13
Adnan Mahdi, 2013. Sejarah dan Peran Pesantren dalam Pendidikan di Indonesia
http://ejournal.staimmgt.ac.id/index.php/paradigma/article/view/12
14
Amin Haedari, dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007
Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan
membahas sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini
bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang
lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi program
pembelajarannya. Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20,
sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren ( waktu itu ) yang dianggap sempit
dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain 15 , terdapat dua hal yang melatar belakangi
tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan
kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan
madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian
dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan.
Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan
keislaman masyarakat . Dalam kenyataannya , pendidikan yang terlalu berorientasi pada
ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau
dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian
kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan pembaharuan
terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh
adalah memperbaharui sistem pendidikannya. Para ahli dimana pun juga, sepakat bahwa
sistem pendidikan yang terkait perlu diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman
tersebut pakar pendidikan mengambil langkah-langkah menuju perbaikan sistem pendidikan
tradisional menuju sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan pola manejemen
sebagai standar mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan supaya madrasah tidak dianggap
sebagai salah satu pendidikan yang “bercirikan” tradisional, sehingga kiat-kiat untuk menepis
anggapan masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang tertata dalam sistem
pendidikan modern.
D. Sistem Pengajaran di Pondok Pesantren
Sistem pengajaran di pondok pesantren merupakan bagian dari stuktur internal
pendidikan Islam di Indonesia yang di selenggarakan secara tradisioanal yang telah
menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam
Indonesia,

15
Mas’ud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002.
Terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah,
bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Abdurrohman mengidentifikasikan
beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut :
1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri
2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai
3. Pola hidup sederhana (zuhud)
4. Kemandirian atau indenpendensi
5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan
6. Disiplin ketat
7. Berani menderita untuk mencapai tujuan
8. Kehidupan dengan tingkat relagiusitas yang tinggi.16
Demikian juga Mastuhu menuliskan, sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam
tradisional, Pondok pesantren mempunyai empat ciri khusus yang menonjol. Mulai dari
hanya memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa Arab,
mempunyai tekhnik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan metode sorogan dan
bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan, serta menggunakan sistem halaqah.17
Metode halaqah merupakan kelompok kelas dari sistem bandongan. Halaqah berarti
lingkaran murid, atau sekelompok santri yang belajar di bawah bimbingan seorang ustadz
dalam satu tempat. Dalam prakteknya, halaqah dikategorikan sebagai diskusi untuk
memahami isi kitab, bukan mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa yang
diajarkan oleh kitab. Sejalan dengan itu, sebagai mana dikemukakan Mahmud Yunus,
halaqah dinilai hanya cocok bagi pengembangan intelektual kelas santri yang cerdas, rajin,
serta bersedia mengorbankan waktu yang besar untuk belajar. Namun demikian, di pondok
pesantren Lirboyo sistem pengajaran secara prinsip dibagi menjadi dua kelompok pertama
klasikal dan kedua non klasikal.

1. Sistem klasikal

16
Abdurahman Mas’ud dkk. Dinamika Pesantren dan Madrasash (Yogyakrta: Pustaka Pelajar, 2002), 14
17
Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa (Jakarta: Pesantren
Nawesea PRESS, 2009),
Sistem pendidikan klasikal adalah sebuah model pengajaran yang bersifat
formalistik. Orientasi pendidikan dan pengajarannya terumuskan secara teratur dan
prosedural, baik meliputi masa, kurikulum, tingkatan dan kegiatan-kegiatannya. Pendidikan
dengan sistem klasikal ini di Pondok Pesantren Lirboyo (baik pondok putra maupun pondok
putri) telah berdiri madrasah hidayatul mubtadi’ien.
Jenjang Pendidikan Madrasah di Pondok Pesantren Lirboyo dibagi menjadi empat
tingkatan, sedangkan penentuan tingkatan ditentukan berdasarkan kemampuan santri dalam
menguasai pelajaran yang telah ditentutan. Pembagian jenjang klasikal sebagai
berikut;
1. Tingkat Madrasah Ibtida’iyah (MI) ditempuh 6 Tahun
2. Tingkat Tsanawiyah (Mts) ditempuh 3 Tahun
3. Tingkat Aliyah (MA) ditempuh 3 Tahun
4. I’dadiyyah (SP) ditempuh 1 Tahun
Madrasah I’dadiyah dikhususkan bagi santri yang mendaftar tidak dari awal tahun
ajaran (bulan Syawal). I’dadiyah merupakan madrasah persiapan bagi santri baru yang nanti
di awaltahun ajaran baru (tahun depan bagi santri baru) akan beralih jenjang pendidikan yang
lain dan santri baru tersebut boleh mendaftar ke jenjang ibtida’yyah, tsanawwiyah maupun
aliyah, tergantung kemampuan santri baru tersebut. Sistem klasikal yang diterapkan sebagai
pembelajaran wajib yang disesuai dengan kemampuan masing-masing santri dalam menyerap
dan memahami keilmuan yang diberikan. Bersifat wajib bagi santri-santri dengan mata
pelajaran yang telah dibakukan sebagai tingkatan-tingakatan pembelajaran. Di mulai pada
pertengahan bulan Syawal sampai pada akhir bulan Rajab di setiap tahunnya. Dengan masa
libur 2 kali dalam 1 tahun yakni 10 hari pada bulan Maulid dan 30 hari di bulan Ramadhan.18
2. Sistem Non Klasikal
Pendidikan non klasikal dalam Pondok Pesantren Lirboyo ini menggunakan metode
weton atau bandongan dan sorogan. Metode weton atau bandongan adalah sebuah model
pengajian di mana seorang kyai atau ustadz membacakan dan menjabarkan isi kandungan
kitab kuning sementara murid atau santri mendengarkan dan memberi makna. Adapun sistem

18
Kholid Junaidi. 2016 . Sistem Pendidikan Pondok Pesantren di Inonesia
http://dx.doi.org/10.24269/ijpi.v2i1.364
sorogan adalah berlaku sebaliknya yaitu santri atau murid membaca sedangkan kyai atau
ustadz mendengarkan sambil memberikan pembetulan-pembentulan, komentar atau
bimbingan yang diperlukan. Kedua metode ini sama-sama mempunyai nilai yang penting dan
ciri penekanan pada pemahaman sebuah disiplin ilmu, keduanya saling melengkapi satu sama
lainnya.
Istilah sorogan digunakan untuk sorogan Al-Qur’an dan sorogan Kitab Kuning. Di
hadapan seorang guru (biasa disebut Penyorog), seorang peserta didik (santri) membaca kitab
kuning beserta maknanya, biasanya menggunakan bahasa Jawa dengan metode pemaknaan
ala “utawi iku”. Sedangkan Penyorog menyimak bacaan, mengingatkan kesalahan dan
sesekali meluruskan cara bacaan yang benar. Dengan metode pemaknaan “utawi iku”
semacam ini, terangkum empat sisi pelatihan
a. Kebenaran harakat, baik harakat mufradat (satu per satu kata) dan harakat terkait i’rab.
b. Kebenaran tarkib (posisi kata dalam kalimat, mirip dengan S-PO- K {Subyek – Predikat
Obyek – Keterangan} dalam struktur bahasa Indonesia).
c. Kebenaran makna mufradat (kosakata).

PENUTUP
Adanya realitas pendidikan di pondok pesantren dalam mencetak santri yang
berkarakter dan berjiwa mulia ditengah-tengah kemerosotan akhlak masyarakat bangsa yang
mayoritas beragama ini, ada baiknya kurikulum di pondok pesantren ditelaah kembali.
Pesantren bukankah lembaga pendidikan yang oleh sebagian masyarakat dinilai kolot, jadul,
udik dan tidak menarik justru mampu untuk dijadikan benteng pengaman dalam memperbaiki
moral bangsa ini.

Berangkat dari kenyataan tersebut di atas, ada baiknya jika pemerintah lebih focus
memperhatikan keberadaan pondok pesantren yang telah dengan totalitas mengambil pilihan
untuk turut serta mencerdaskan anak bangsa di wilayah-wilayah yang kurang menguntungkan
dan tidak didukung adanya sarana prasarana yang memadai, bahkan untuk mencapai
kesejahteraan pengajarnya harus berikhtiar dengan caranya sendiri.
Periode kelahiran Pesantren di Indonesia ini dimulai sejak zaman Wali Songo hingga
pada masa penjajahan. Periode revolusi antara tahun 1959-1965. Periode benteng ideologi
antara tahun 1970-an dan 1980-an. Sedangkan periode media pembangunan umat Islam
dimulai tahun 1990-an hingga sekarang. Dalam bentangan sejarah yang cukup panjang, tentu
pesantren telah banyak memberikan kontribusi bagi pendidikan nasional di Indonesia seperti
menjadi inspirasi dalam perumusan sistem pendidikan nasional, mencetak tokoh intelektual
pendidikan dan model pendidikan karakter.
Sistem pengajaran di pondok pesantren terbagi menjadi dua yaitu sistem pembelajaran
klasikal dan sistem pembelajaran non klaskal. Sistem pembelajaran klasikal diadopsi dari
sistem pendidikan modern yaitu santri dikelompokkan berdasarkan jenjang kelas sesuai
tingkat kemampuannya, Tingkat Madrasah Ibtida’iyah, tingkat Tsanawiyah (Mts),tingkat
Aliyah (MA), tingkat I’dadiyyah (SP). Sedangkan sistem pembelajaran non klasikal langsung
dibimbing oleh kyai dengan system sorogan dan bandongan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman Mas’ud dkk.2002. Dinamika Pesantren dan Madrasash (Yogyakrta: Pustaka


Pelajar), 14

Adnan Mahdi, 2013. Sejarah dan Peran Pesantren dalam Pendidikan di Indonesia
http://ejournal.staimmgt.ac.id/index.php/paradigma/article/view/12

Amin Haedari, Dalam Jurnal Mihrab Vol. II, no 1 Juli 2007

Alwi, B. M. (2016). Pondok Pesantren: Ciri Khas, Perkembangan, dan Sistem Pendidikannya.
Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 16(2), 205–219.
https://doi.org/10.24252/lp.2013v16n2a8

Irawan, Aguk. 2018. Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara, Dari Era Sriwijaya sampai
Pesantren Tebu Ireng dan Ploso. Tanggerang : Pustaka Iiman.

Jamal Ghofir, 2019. Pesantren Dalam Himpitan Arus Globalisasi dan Radikalisme Agama.
STIT Makhdum Ibrahim https://doi.org/10.51675/jt.v13i1.55

Kholid Junaidi. 2016 . Sistem Pendidikan Pondok Pesantren di Inonesia


http://dx.doi.org/10.24269/ijpi.v2i1.364

Lenn E. Goodman, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.

Lewis, M., & Ponzio, V. (2016). Character Education As the Primary Purpose of Schooling
for the Future. Jur
Mas’ud Abdurrahman; Dinamika Pesantren dan Madrasah;2002.

Madjid, Nurcholis, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina,


1997. nal Ilmiah Peuradeun, 4(2), 137. https://doi.org/10.26811/peuradeun.v4i2.92

Shodiq, A. (2018). Prophetic Character Building: Tema Pokok Pendidikan Ahlak Menurut
Al-Gazali (I). KENCANA. www.prenadamedia.com

Sukatin. (2018). Pendidikan Karakter dalam Prespektif Islam. In jurnal Nur El - Islam (ke-4,
Vol. 5, Issue 2). PT REMAJA ROSDAKARYA.

Tafsir, A. (2011). Pendidikan Dalam Prespektif Islam (ke-6). PT REMAJA


ROSDAKARYA.

Yasid, Abu. 2018. Paradigma Baru Pesantren Menuju Pendidikan Islam Transformatif.
Yogyakarta : IRCiSoD.

Yuka. T, “Proses Masuknya Islam di Indonesia (Nusantara)”, diakses pada 28 Oktober


2011.

Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren memadu Modernitas Untuk Kemajuan Bangsa


(Jakarta: Pesantren Nawesea PRESS, 2009)

Anda mungkin juga menyukai