Anda di halaman 1dari 7

METODOLOGI PENGEMBANGAN KEILMUAN(EPISTEMOLOGI) DALAM

PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT

Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam Dan Ilmu Pengetahuan

DOSEN PENGAMPU : Drs. M Farid Hamzens M.Si

Disusun Oleh :

Putri Kurniawati 11181010000026

Eugienia Violita 11181010000077

Dwika Putra Aprela 11181010000101

Epistemologi dalam arti yang sempit adalah cara atau metode bagaimana suatu ilmu
dikonstruksi atau dibangun. Dalam arti yang luas, epistemologi yaitu berbagai hal yang terkait
dengan proses suatu ilmu itu disusun, baik dari segi sumber atau bahannya maupun langkah-
langkah yang harus ditempuhnya. Islam mengenal lima metode penelitian (riset) ilmu
pengetahuan yaitu metode riset bayani atau riset ijtihadi untuk ilmu agama; riset
ijbari(eksperimen), riset burhani(observasi) untuk ilmu alam dan ilmu sosial, riset jadali( berpikir
dialektif,analisis, deduktif, reflektif, dan spekulatif) untuk ilmu filsafat, serta riset ‘irfani(
menggunakan hati nurani) untuk ilmu ma’rifat dan semacamnya. Kelima riset ini satu dan
lainnya saling berkaitan, karena potensi yang dimiliki manusia berupa panca indra, akal, dan
intuisi yang digunakan untuk melakukan riset tersebut adalah milik Tuhan.

1. Epistemologi Bayani/ijtihadi

Epistemologi bayani muncul melalui sejarah, budaya dan tradisi dari Arab. Bangsa arab
sangat mengagungkan bahasanya, terlebih lagi setelah bahasa arab diyakini sebagai identitas
kultur dan bahasa wahyu Tuhan. Berdasarkan hal ini, sudah cukup beralasan bahwa faktor
sejarah awal mulanya peradaban islam adalah gabungan dari bahasa dan agama. Seiring dengan
upaya untuk memahami ajaran agama dan memproduksi wacana keagamaan yang dapat
membangun ‘rasionalitas’ keagamaan arab dengan produk intelektual berupa kebahasaan dan
ilmu agama. Bayani bersifat menjelaskan, maka peranan bahasa sangat dominan dan yang
dijelaskan mengenai Al-Qur’an dan hadis yang dapat menghasilkan berbagai ilmu agama, seperti
tafsir, hadis, fiqih, dan sebagainya. Itulah sebabnya riset atau penelitian dari bayani ini banyak
digunakan dalam ilmu agama islam. Cara kerja dari riset atau penelitian bayani ini antara lain:
kesinambungan, keterpilahan, jelas dan terang, kemampuan membuat terang dan jelas.
Adapun istilah ijtihadi diambil dari kata ijtihada yajtahidu ijtihadan yang berarti bazl al-
dzuhdi wa al-isthi’ta’ah fi istimbath al-hukm yaitu upaya mengerahkan segala kesungguhan dan
kesanggupan dalam menetapkan hukum. Istilah ijtihad secara umum sama dengan al-bayani atau
kegiatan yang berkaitan dengan pemikiran rasional dengan sungguh-sungguh yang digunakan
pada semua cabang ilmu agama islam. Namun dalam praktiknya ijtihad digunakan hanya dalam
ilmu fikih. Para pemikir dan yang melahirkan ilmu fikih disebut mujtahid, selain itu pemikir dan
ahli dalam bidang hadis disebut muhaddis dan seterusnya. Contoh-contoh metode penelitian
bayani dsn ijtihadi:

a) Metodologi Tafsir

Pada dasarnya setiap orang memperbolehkan berkomunikasi dan berinteraksi dengan al-
qur’an sesuai dengan pamahamannya, karena isi dari al-qur’an itu sangat kompleks atau terdiri
dari: Menggunakan bahasa arab dan isi atau kandungan dari al-qur’an yang berisikan tentang
situasi atau kondisi tentang masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, oleh karena itu
para ulama memberikan persyaratan kepada mufasir (seorang yang mengartikan ayat). Syaratnya
adalah harus mengimani dalam hati, menyatakan dalam ucapan, dan mempraktikan dalam setiap
perbuatan yang tertera al-qur’an dan menguasai ilmu bahasa arab dengan ilmu lainnya.
Contohnya dalam surat al-ikhlas yang berkenaan dengan ajaran tauhid atau mengesakan Allah
dengan tulus, ikhlas, dalam berbagai sifat, peran, dan fungsi Allah bagi manusia. Surat al-falaq
yang berkaitan dengan kekuasaan Allah yang terdapat di alam jagat raya dan surat an-naas yang
berkaitan dengan kekuasaan Allah yang terdapat pada diri manusia. Dengan begitu, terdapat
hubungan yang saling erat dengan Allah, alam jagat raya dan manusia yang keseluruhannya
saling berkaitan satu sama lain, karena sama-sama sebagai ayat Allah SWT.

b) Metode Fikih

Pada dasarnya sama dengan tafsir, namun dalam praktiknya seseorang akan menjadi
mujtahid. Persyaratan yang harus dimiliki oleh setiap mujtahid dalam fikih yaitu
harus menguasai ilmu ushul al-fiqh dan kaidah fiqhiyah. Ilmu ushul fiqh yaitu ilmu
yang membahas kaidah-kaidah umum dalam pengambilan hukum dengan
menggunakan logika bahasa. Misalnya setiap redaksi kalimat perintah pada dasarnya
menunjukkan perintah yang wajib dikerjakan atau setiap redaksi kalimat larangan
pada dasarnya menunjukkan larangan yang wajib dijauhi. Namun, dari redaksi
kalimat perintah tersebut dilihat dari segi isyaratnya lainnya, apakah disertai dengan
ancaman jika tidak dikerjakan atau tanpa adanya ancaman. Jika perintah tersebut
disertai ancaman bagi yang meninggalkannya, maka perintah tersebut wajib, jika
ancaman ringan maka makhruh, jika tanpa ancaman maka sunah. Selain itu, terdapat
penerapan-penerapan hukum yang dibuat oleh para ulama yang diturunkan dari dalil-
dalil al-qur’an, misalnya kaidah setiap yang darurat menyebabkan yang dilarang
menjadi boleh dilakukan. Contohnya memakan daging babi dalam keadaan darurat
diperbolehkan. Dalam bahasa arab kaidah berarti keadaan darurat menyebabkan yang
dilarang boleh dilakukan. Kaidah ini didasarkan pada ayat-ayat al-qur’an,
misalnya”diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi, barangsiapa yang
dalam keadaan darurat, tanpa niat sengaja dan bermaksud melampaui batas maka
tidak ada dosa baginya”(QS. Al-Maidah [5]: 3). Dengan demikian, kaidah-kaidah
fiqih tersebut bukan hasil dari pemikiran bebas, melainkan hasil pemikiran yang
didasarkan pada al-qur’an dan al-sunnah
2. Epistemologi Irfani

Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan ma’rifah yang berarti
pengetahuan, tetapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau ma’rifat berkaitan dengan
pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman, sedangkan ilmu menunjuk
pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasianalitas (‘aql), karena
itu secara terminologis irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang
diperoleh lewat penyiaran hakikat oleh Tuhan kepada hamba-nya setelah adanya olah ruhani
yang dilakukan atas dasar cinta.

Epistemologi irfani tidak didasarkan secara umum atas teks sebagaimana bayani, tetapi
pada kasyf, yakni terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan dengan olah ruhani,
dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung
kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep, kemudian dikemukakan kepada orang lain
secara logis. Disebutkan juga bahwa irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf.

Menurut Al-Jabiri, pengalaman kasyf tidak dihasilkan melalui proses penalaran


intelektual manusia dimana manusia dituntut aktif dan kritis tetapi dihasilkan melalui
mujahadah dan riyadah (penempaan diri secara moral spiritual). Irfani yang dalam
epistemology islam dikenal dengan sebutan tazkiyah al-Nafs yaitu metode yang mampu
membuat manusia dapat menyaksikan realitas spiritual. Secara metodologis pengetahuan
ruhani diperoleh melalui tiga tahapan:
1. Persiapan: untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus
menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. jenjang kehidupan spiritual
antara lain: taubat, wara, zuhud, faqir, sabar, tawakal, ridha
2. Penerimaan: jika telah mencapai tingkat tertentu dalam jenjang spiritual, seseorang
akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif.
3. Pengungkapan: pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan pada orang
lain lewat ucapan atau tulisan.
3. Epistemologi Jadali
Kosa kata jadali berasal dari bahasa Arab, aljidal yang berarti perdebatan atau
dialektik yang oleh Mulyadhi Kartanegara sebagaimana dikemukakan yaitu upaya
menggali pengetahuan yang dilakukan melalui karya tulis yang disajikan dalam
bentuk percakapan(Tanya jawab) antara dua orang ahli atau lebih berdasarkan
argumentasi yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dialog ilmiah ini
berperan untuk memperkaya peradaban, ilmu pngetahuan, melahirkan pemahaman
yang jernih, wawasan yang luas dan komprehensif serta pengetahuan yang baru.
4. Epistemologi Burhani/ Observasi
Dalam khazanah kosa kata bahasa Arab, kata burhan secara epistemology berarti
argument yang tegas dan jelas. Kata ini sebagai salah satu terminology yang dipakai
dalam ilmu mantik untuk menunjukkan arti proses penalaran yang menetapkan benar
tidaknya suatu proposisi melalui cara induksi yaitu cara pengaitan antar proposisi
yang kebenarannya bersifat postulatif( penyataan yang disepakati benar tanpa perlu
adanya pembuktian). Sistem epistemic burhani bertumpu sepenuhnya pada
seperangkat kemampuan intelektual manusia, baik berupa indra, pengalaman,
maupun daya rasional dalam upaya memperoleh pengetahuan tentang semesta. Secara
fundamental setidaknya terdapat tiga prinsip penting yang melandasi konstruksi
epistemology burhani, yaitu : 1. Rasionalisme (al’aqlaniyyah); 2. Kausalitas (as-
sababiyah); 3. Esensialisme (al-mahiyah) yang dikembangkan lewat penggunaan
metode utama yaitu deduksi dan induksi.
Sebagai sebuah metodologi, al burhan dapat diartikan observasi atau pengamatan
dengan menggunakan pancaindra. Dengan menggunakan pancaindra: penglihatan,
pendengaran, penciuman, perabaan dapat mengenal objek-objek yang ada disekeliling
kita. Observasi sebagai salah satu metode penelitian telah diakui keberadaan, peran,
dan fungsinya oleh para peneliti. Observasi sebagai teknik pengumpulan data
mempunyai ciri yang spesifik bila dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu
wawancara dan kuesioner. Kalau wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi
dengan orang, maka observasi tidak sebatas pada orang tetapi juga objek-objek alam
yang lain. Secara teknis proses observasi dimulai dengan mengidentifikasi tempat
yang akan diteliti. Setelah tempat penelitian diidentifikasi, dilanjutkan dengan
membuat pemetaan, sehingga diperoleh gambaran umum tentang sasaran penelitian.
Kemudian peneliti mengidentifikasi siapa yang akan diobservasi, kapan, berapa lama
dan bagaimana. Lantas peneliti mentapkan dan mendesain cara mereka wawacara dan
mengamati.

Mulyadhi Kartanegara mengatakan bahwa, selain sebagai sumber informasi,


pengamatan indra juga sangat efektif sebagai alat survive karena dengan ini kita
dapatmemperoleh apa yang kita butuhkan. Dalam pandangan Islam, bahwa ketika
seseorang melakukan observasi maka sesungguhnya ia tengah mengamati ayat-ayat
Allah SWT, karena fenomena sosial dan hukum-hukum sosial yang ada di dalamnya
adalah tanda kekuasaan Allah misalnya jika orang berbuat baik, suka menolong, dan
silaturahmi maka ia akan memperoleh berbagai kemudahan da mendapatkan jalan
keluar dari berbagai kesulitan. Hukum yang demikian pasti terjadi, walaupun
waktunya tidak bisa diprediksi dan tidak sama dengan hukum yang berlaku pada
fenomena alam. Selanjutnya jika ada orang yang dizalimi namun orang tersebut tidak
dapat melawannya seperti legenda “Malin Kundang” dalam hadis nabi muahmmad
SAW menegaskan bahwa doa seseorang yang terzalimi dikabulkan oleh Tuhan.
Dengan demikian berlakunya hukum sosial yang ada dimasyarakat itu berkaitan
dengan keimanan kepada Allah SWT, karena hukum-hukum sosial adalah ayat-ayat
Allah SWT. Hal ini berbeda dengan pandangan Barat, bahwa hukum sosial bersifat
positivistic yakni terjadi secara alami, dan terjadi atas usaha manusia, tanpa campur
tangan Tuhan karena itu ilmu-ilmu sosial yang mereka bangun bersifat anthropo
centris, yakni memusat pada manusia semata tanpa campur tangan tuhan.

5. Epistemologi Ijbari/eksperimen
Kosa kata ijbari berasal dari bahasa Arab ajbara yuhbiru ijbaaran yang berarti
memaksa, menekan atau merusak. Orang yang melakukannnya disebut almujbir atau
aljabbar. Sebagaimana halnya penelitian observasi, penelitian eksperimen juga diakui
sebagai salah satu metode penelitian ilmiah. Sebagai sebuah metodologi al ijbari sama
dengan eksperimen atau uji coba yang tahapannya antara lain : 1.menyusun hipotesis
atau daftar pertanyaan, 2. Menyiapkan bahan atau objek yang akan diuji coba, 3.
Menyiapkan peralatan laboratorium yang akan digunakan, 4. Melakukan langkah-
langkah yang ditetapkan, 5. Menganalisis dengan pendekatan komparasi dan 6.
Menyimpulkan. Metode ini digunakan untuk pengembangan ilmu sains atau ilmu
terapan. Gagasan inti dari penelitian eksperimen adalah bahwa fenomena itu dapat
diobservasi, diukur, atau setidaknya disimpulkan dari pengamatan sensorik. Dalam
pandangan islam melakukan penelotian terhadap fenomenal alam ini termasuk
perintah agama, dan dilakukan selain untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, juga
dalam rangka menyaksikan ayat-ayat Allah SWT dn mengangungkannya kebesaran-
Nya. Perlu dikemukakan bahwa sehebat apapun hasil pengamatan indrawi itu adalah
dari usaha manusia yang serba terbatas jangkauaannya dan bisa keliru.Penggunaan
metode ijbari dalam islam masih kurang dibandingkan bayani, irfani dan jadali.

Metode riset bayani, ijtihadi, dan irfani pada umumnya digunakan untuk meneliti ayat-
ayat Alqur’an dan hadits/ilmu hadits, fikih, ilmu fikih, ilmu kalam dan akhlak. Namun, metode
penelitian bayani dan ijthadi yang dikembangkan dalam tafsir/ilmu tafsir, hadis ilmu hadis, fikih
dan ilmu fikih jauh lebih lengkap dan jelas dibandingkan dengan metode yang terdapat dalam
ilmu kalam dan akhlak. Selanjutnya riset ijbari, burhani, banyak digunakan oleh para ilmuwan
muslim dalam bidang kimia, fisika, biologi, famakologi,psikologi,kedokteran. Riset jadali
digunakan dalam filsafat, sedangkan riset irfani digunakan dalam tasawuf.

Adapun pada masyarakat Barat hanya dikenal tiga macam riset, yaitu riset ijbari, burhani,
dan jadali. Sedang riset bayani dan riset ‘irfani yang berbasis pada wahyu dan intuisi tidak
mereka akui, karena mereka menolak campur tangan Tuhan dalam pengembangan ilmu dan
menganggap wahyu bukan bagian dari sumber ilmu. Pengembangan ilmu pengetahuan di Barat
banyak mengandalkan atau hanya mengakui ilmu pengetahuan yang dihasilkan melalui metode
empiris dan positivistik yang bertumpu pada metode observasi, eksperimen dan rasional dengan
objek kajiannya hanya fenomena alam, fenomena sosial, dan filsafat. Objek- objek kajian ini
dipahami secara alami, natural, dalam arti hanya memahami yang tampak(fenomena), tunduk
pada hukum sebab akibat(kausalitas), tanpa memahami adanya Tuhan sebagai pencipta alam dan
hukum-hukum yang ada didalamnya. Dengan demikian ilmu pengetahuan yang dihasilkan
bercorak sekuler.

Kuntowijoyo menguraikan pentingnya dua langkah dalam menyikapi


pertemuan perspektif Barat dan Islam dalam dunia keilmuan. Dua langkah tersebut adalah
integralisasi dan objektifikasi.Integralisasi adalah pengintegrasian kekayaan keilmuan manusia
dengan wahyu(petunjuk Allah dalam al-Qur’an serta pelaksanaannya dalam sunnah(Nabi),
sementara objektifikasi adalah menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua
orang.Secara sederhana, berikut ini adalah gambaran dari ide tersebut.

“Alur pertumbuhan ilmu

Filsafat- antroposentrisme-diferensiasi-ilmu sekular”

Filsafat barat menolak teosentrisme karena menganggap sumber kebenaran adalahmanusia


dengan segala potensinya. Dengan menempatkan manusia sebagai kedudukantertinggi dan
sebagai subjek penuh inilah yang diistilahkan dengan antroposentrisme.Diferensiasi ialah
pemisahan antara ilmu dengan unsur wahyu dana ketuhanan. Sementarailmu sekular mengaku
diri sebagai objektif, value free, bebas dari kepentingan lainnya.

“Alur pertumbuhan integralistik”

Agama- teoatroposentrisme –dediferensiasi- ilmu integralistik


Agama merupakan symbol pengakuan manusia dengan segala potensinya tidak bisa terlepas dari
unsur ketuhanan. Namun di saat bersamaan, pengakuan akan ketuhanandiproses dalam ruang
kemanusiawian manusia. Kesadaran semacam ini yang diistilahkan dengan teoantroposentrisme.
Dedirefensiasi adalah “rujuk kembali” manusia dengan menyatukan agama dengan ilmu. Ilmu
integralistik adalah tujuan dan bentuk dari integrasiyang diharapkan.

Epistemologi sebagai bagian dari filsafat mengalami tarik-ulur dari aneka


ragam pemikiran yang dipengaruhi latar belakang masingmasing. Hal ini wajar sebagaimanaterja
di dalam ruang filsafat yang memang lahir dan berkembang dalam horizon pemikiran;yang
subjektif, universal, radikal, dan kritis.Epistemologi Barat yang berdasar pada semangat
humanism pada
kenyataannya berbenturan dengan epistemologi Islam yang terlahir bukan hanya karena proses
pemikiran yang bersumber pada akal dan indera semata, namun juga mengalamiketerikatan
dengan eksistensi wahyu.

REFERENSI

Nata, Abuddin. Islam dan Ilmu Pengetahuan. 2018. Jakarta : Prenada media Group

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu,Hlm.50.

Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu, Hlm.49-79.

Anda mungkin juga menyukai