Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH KELOMPOK 11

PRAKTIKUM CRITICAL APPRAISAL


Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Praktikum Critical
Appraisal
Dosen Pengampu: Dr. Minsarnawati, S.K.M., M.Kes

Disusun Oleh:
Kelompok 11
Selawati (11181010000019)
Putri Kurniawati (11181010000026)
Peminatan Epidemiologi Kesehatan Masyarakat 2018

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H / 2021 M

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan Paper Tugas Akhir Mata Kuliah
Praktikum Critical Appraisal dengan judul “Critical Appraisal: Structural equation
modelling of the complex relationship between toothache and its associated factors
among Indonesian children”.
Penyusunan paper ini penulis upayakan semaksimal mungkin dan tidak lupa
penulis ucapkan terima kasih terutama kepada ibu Dr. Minsarnawati, M.Kes selaku
dosen pengampu Mata Kuliah Praktikum Critical Appraisal. Dalam penulisan paper ini,
penulis menyadari banyak sekali kekurangan dari segi penyusunan bahasa dan aspek
lainnya. Oleh karena itu, penulis berharap kritik yang membangun dan saran demi
memperbaiki paper ini. Semoga paper ini dapat diambil manfaatnya dan dapat
menginspirasi para pembaca.

Tangerang, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 2

1.3 Tujuan ............................................................................................................ 2

1.4 Manfaat .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4

2.1 Sistematika Artikel ........................................................................................ 4

2.1.1 Identitas Artikel ............................................................................. 4

2.1.2 Abstrak ........................................................................................... 4

2.1.3 Latar Belakang ............................................................................... 5

2.1.4 Metode Penelitian .......................................................................... 6

2.1.5 Hasil ............................................................................................... 8

2.1.6 Pembahasan ................................................................................. 11

2.1.7 Simpulan dan Saran / Rekomendasi ............................................ 14

2.2 Substansi Artikel .......................................................................................... 14

2.2.1 Description of Evidence ............................................................... 14

2.2.2 Non-Causal Explanations ............................................................ 15

2.2.3 Positive Features of Causation ..................................................... 16

2.2.4 External Validity .......................................................................... 17

2.2.5 Comparison with other evidence ................................................. 18

2.3 Temuan utama, keterbatasan penelitian dan gagasan baru untuk penelitian yang
lebih baik ........................................................................................................... 23

2.3.1 Temuan Utama ............................................................................. 23

2.3.2 Keterbatasan Penelitian................................................................ 24

iii
2.3.3 Gagasan baru untuk penelitian yang lebih baik ........................... 24

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 25

3.1 Simpulan ...................................................................................................... 25

3.2 Saran ............................................................................................................ 25

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penilaian kritis merupakan proses memeriksa secara sistematis bukti penelitian
untuk menilai validitas, hasil, dan relevansinya sebelum menggunakannya untuk
informasi dalam pengambilan keputusan. Penilaian kritis menjadi hal yang penting
bagi praktik klinis yang berbasis bukti mencakup proses sistematis menemukan,
menilai dan bertindak berdasarkan bukti penelitian yang dilakukan. Dengan adanya
penilaian kritis mampu memberikan pemahaman terhadap suatu penelitian sehingga
bisa menjadi referensi dalam pengambilan suatu keputusan. (Hill, A., & Spittlehouse,
2001).
Pemecahan masalah klinik dan keputusan klinik tergantung pada penelitian klinik
yang oleh seorang klinisi diperlukan telaah kritis terhadap hasil-hasil penelitian
klinik. Seperempat abad yang lalu wacana praktik medis berbasis bukti telah
digulirkan, walaupun dengan pelbagai nama seperti epidemiologi klinik, critical
appraisal, atau kajian sistematik. Para dokter dituntut untuk memberikan pelayanan
klinis berdasarkan bukti (evidence), yakni mengambil keputusan dalam pelayanan
terhadap pasien atas dasar bukti yang terbaik, melalui pertimbangan masak, eksplisit
dan cermat. (Kusnanto, H, 2008).
Penelitian dan praktik kesehatan masyarakat selama abad terakhir memperoleh
banyak pencapaian penting dan berkontribusi pada peningkatan harapan hidup
selama 30 tahun. Terlepas dari pencapaian ini, perhatian yang lebih besar pada
pendekatan berbasis bukti dapat membantu. Dalam definisi yang paling sederhana,
kesehatan masyarakat berbasis bukti berarti menerapkan prinsip-prinsip kedokteran
berbasis bukti ke bidang kesehatan masyarakat. dimana hal ini dapat dilakukan
dengan mengumpulkan beberapa penelitian dan melakukan critical appraisal
sehingga keputusan yang diambil dalam tindakan preventif berdasarkan bukti dari
beberapa penelitian yang ada (Lhachimi et al, 2016).

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistematika artikel dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?
2. Bagaimana metodologi atau substansi (Description of evidence based, non
causal explanations, positive features of causation, external validity,
comparison with other evidence) dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?
3. Bagaimana temuan utama, keterbatasan penelitian dan gagasan baru untuk
penelitian yang lebih baik dalam artikel penelitian yang berjudul “Critical
Appraisal: Structural equation modelling of the complex relationship
between toothache and its associated factors among Indonesian children”?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sistematika artikel dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?
2. Mengetahui metodologi atau substansi (Description of evidence based, non
causal explanations, positive features of causation, external validity,
comparison with other evidence) dalam artikel penelitian yang “Critical
Appraisal: Structural equation modelling of the complex relationship
between toothache and its associated factors among Indonesian children”?
3. Mengetahui temuan utama, keterbatasan penelitian dan gagasan baru untuk
penelitian yang lebih baik dalam artikel penelitian yang berjudul “Critical
Appraisal: Structural equation modelling of the complex relationship
between toothache and its associated factors among Indonesian children”?
1.4 Manfaat
1. Untuk mengetahui sistematika artikel dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex

2
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?
2. Untuk mengetahui metodologi atau substansi (Description of evidence based,
non causal explanations, positive features of causation, external validity,
comparison with other evidence) dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?
4. Untuk mengetahui temuan utama, keterbatasan penelitian dan gagasan baru
untuk penelitian yang lebih baik dalam artikel penelitian yang berjudul
“Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children”?

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistematika Artikel
2.1.1 Identitas Artikel
Judul: Critical Appraisal: Structural equation modelling of the complex
relationship between toothache and its associated factors among Indonesian
children
Penulis: Abu Bakar, Valendriyani Ningrum, Andy Lee, Wen-Kuang Hsu,
Rosa Amalia, Iwan Dewanto dan Shih-Chieh Le
Tahun: 2020
Jurnal: Nature Research
2.1.2 Abstrak
Latar belakang: The Indonesian family life survey (IFLS) bermanfaat untuk
merumuskan kebijakan pemerintahan. Berdasarkan sstudi pendahuluan yang
telah dilakukan dengan menggunakan data IFLS menunjukkan adanya
peningkatan prevalensi sakit gigi dari tahun 2007 hingga 2014. Oleh karena
itu, perlu dilakukan analisis faktor-faktor yang berhubungan dengan sakit gigi
dengan menggunakan structural equation modeling (SEM) untuk
mengidentifikasi hubungan langsung dan tidak langsung dari faktor-faktor
dengan sakit gigi.
Tujuan: untuk menganalisis hubungan yang kompleks antara sakit gigi
dengan faktor risikonya.
Metode: Desain studi penelitian ini menggunakan cross-sectional dilakukan
pada data yang diperoleh dari IFLS pada tahun 2014. Data IFLS yang
berkaitan dengan sakit gigi dan prevalensinya dianalisis menggunakan
software STATA, dan hubungan multifaset dianalisis menggunakan structural
equation modeling (SEM).
Hasil: Prevalensi sakit gigi pada anak Indonesia sebesar 15,55% (1.959 dari
12.595). Terdapat hubungan antara dan kesadaran orang tua terhadap kondisi
kesehatan anak (P < 0,005) dan frekuensi konsumsi makanan (P < 0,001).
Tingkat pendidikan orang tua dan daerah tempat tinggal menunjukkan
hubungan tidak langsung dengan sakit gigi, dimediasi oleh status sosial
ekonomi dan kesadaran orang tua terhadap kondisi kesehatan anak (P <
0,001).

4
Simpulan: Terdapat hubungan multifaset antara sakit gigi dan kovariat sosial.
Kesadaran orang tua tentang kondisi kesehatan anak-anak mereka memediasi
beberapa asosiasi tidak langsung, sehingga perlu menyoroti pentingnya
mengenai hal tersebut.
2.1.3 Latar Belakang
Sakit gigi dapat menjadi konsekuensi klinis dari beberapa penyebab
odontogenik termasuk karies gigi yang parah serta faktor nonodontogenik.
Pulpa, jaringan dengan densitas saraf tinggi terutama terminal saraf sensorik,
memainkan peran kunci dalam memediasi sakit gigi odontogenik, responsif
terhadap rangsangan eksternal, dan dalam mendeteksi potensi kerusakan pada
gigi. Sebuah pencarian di database elektronik MEDLINE untuk studi
epidemiologi berkaitan dengan sakit gigi yang disebabkan oleh karies gigi
menunjukkan bahwa sakit gigi sangat umum di antara anak-anak, bahkan pada
populasi dengan tingkat karies gigi yang rendah secara historis. Sakit gigi
secara konsisten dikaitkan dengan pengalaman karies gigi di seluruh populasi.
Kehadiran sakit gigi mempengaruhi pengunyahan, pidato, dan konsentrasi.
Survei nasional kesehatan anak tahun 2007 menganalisis orang tua yang
melaporkan sakit gigi pada anak-anak dan menyimpulkan bahwa 10,7% anak-
anak di Amerika Serikat mengalami sakit gigi dalam 6 bulan sebelumnya. Di
Brazil, prevalensi sakit gigi pada anak-anak antara usia 6 dan 12 tahun adalah
39% dan selama bulan sebelumnya adalah 11%. Sebuah studi cross-sectional
yang dilakukan di 1.862 apotek di London antara November 2016 dan Januari
2017 melaporkan bahwa 6.915 orang tua mengunjungi apotek untuk mencari
obat penghilang rasa sakit untuk anak-anak mereka. Sebagian besar orang tua
(65%) diperlukan obat pereda nyeri untuk meredakan sakit gigi pada anak, dan
sebagian besar (40,6%) mengeluh sakit gigi. Dibandingkan dengan negara-
negara tersebut, Indonesia memiliki karakteristik jumlah penduduk dan indeks
pembangunan manusia yang identik dengan Brasil. Indonesia merupakan
negara berkembang yang terletak di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk
lebih dari 270 juta jiwa. Studi pendahuluan yang telah dilakukan
menggunakan IFLS menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam
prevalensi sakit gigi pada anak-anak Indonesia dari tahun 2007 hingga 2014.
Sakit gigi paling terlihat pada individu dari kelompok sosial ekonomi rendah
dengan akses terbatas ke perawatan gigi. Anak-anak yang lebih besar
5
menunjukkan peningkatan kemungkinan mengalami sakit gigi. Selain itu,
berbagai faktor risiko seperti tingkat pendidikan, kebiasaan merokok, alkohol,
dan ras/etnis telah dikaitkan dengan sakit gigi. Meskipun demikian, hubungan
antara sakit gigi dan jenis kelamin belum dapat diidentifikasi. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi prevalensi sakit gigi. Beberapa faktor telah dikaitkan dengan
sakit gigi dengan analisis bivariat dan regresi multivariat dalam penelitian
sebelumnya. Namun, mereka tidak dapat menentukan apakah hubungan antara
sakit gigi dan faktor-faktor ini secara langsung atau tidak langsung.
Selanjutnya, sakit gigi yang disebabkan oleh karies gigi yang tidak dirawat
secara bersamaan dipengaruhi oleh beberapa variabel.
Kerangka teoritis penelitian epidemiologi konvensional yang
menganalisis faktor sosial kesehatan dapat digunakan dalam epidemiologi
oral. Kerangka ini mengusulkan jalur kausal multifaset antara status sosial dan
kesehatan dengan menghubungkan jalur materi, psikososial, dan perilaku.
Konsekuensi metodologis seperti penggunaan pemodelan bertingkat, analisis
jalur, dan pemodelan persamaan struktural (SEM) disarankan untuk
menjelaskan kerangka kerja. Sebagai pembaruan, penelitian ini, menganalisis
faktor risiko yang terkait dengan sakit gigi menggunakan SEM yang biasa
digunakan untuk menguraikan hubungan kompleks antara hasil dan
kovariatnya. Untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait dengan sakit
gigi, sehingga dilakukan model alternatif dari hubungan multifaset pendidikan
orang tua, daerah tempat tinggal, status sosial ekonomi (SES), kesadaran
orang tua mengenai kondisi kesehatan anak dan frekuensi konsumsi makanan,
dan perilaku/frekuensi menyikat gigi dengan hasilnya (sakit gigi) berdasarkan
kerangka teori sebelumnya untuk karies gigi. Dengan demikian, dapat
menentukan hubungan langsung dan tidak langsung antara sakit gigi dan
faktor-faktor yang terkait. Penelitian ini berasumsi bahwa kesadaran orang tua
tentang kondisi kesehatan anak dan frekuensi konsumsi makanan dan
perilaku/frekuensi menyikat gigi adalah prediktor sakit gigi.
2.1.4 Metode Penelitian
Desain studi
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional dari The
Indonesian family life survey (IFLS) yang dilakukan pada tahun 2014 ini

6
dilakukan oleh Research and Development di Amerika Serikat yang bekerja
sama dengan Population Research Centre, Universitas Gadjah Mada. Survei
tersebut terdiri dari data opensource, yang tersedia secara online. Survei ini
mengumpulkan data tingkat individu, keluarga, dan masyarakat dengan
menggunakan multistage-stratified sampling. Subyek penelitian adalah anak-
anak berusia 2-15 tahun.
Seleksi variabel.
Variabel utama adalah data pengalaman sakit gigi selama empat
minggu sebelumnya, yang diperoleh dari pertanyaan survei IFLS, “Apakah
anak Anda mengalami sakit gigi dalam empat minggu terakhir?”. Selain itu,
kovariat potensial yang dihipotesiskan terkait dengan sakit gigi termasuk usia,
jenis kelamin, daerah perumahan (pedesaan/perkotaan), SES (pendapatan
orang tua), tingkat pendidikan orang tua, kesadaran orang tua mengenai
kondisi kesehatan anak dan frekuensi konsumsi makanan, ras/etnis, dan
perilaku/frekuensi menyikat gigi.
Analisis data
Model persamaan struktural digunakan untuk menganalisis efek
independen dari kovariat setelah disesuaikan untuk efek perancu pada hasil
sakit gigi (tidak = 0, ya = 1). Penelitian ini juga mengkategorikan variabel
independen menjadi dua kelompok dan melakukan pelabelan sesuai dengan
hipotesis yang diajukan. Prediktor berikut dianalisis: usia (2–6 tahun = 0, dan
7–15 tahun = 1), jenis kelamin (laki-laki = 1, dan perempuan = 0), daerah
pemukiman (pedesaan = 1, dan perkotaan = 0) , status ekonomi (kuintil 1 dan
2 dikategorikan miskin = 1, dan kuintil 3, 4, dan 5 dikategorikan kaya = 0),
tingkat pendidikan orang tua (tidak berpendidikan dan hanya pendidikan dasar
yang dikategorikan tingkat pendidikan rendah = 1, dan pendidikan menengah
dan perguruan tinggi dikategorikan sebagai pendidikan tinggi = 0),
Semua data dianalisis menggunakan perangkat lunak STATA, versi
16.0. Perintah survei STATA digunakan untuk menyesuaikan dengan desain
survei multifaset. Bobot populasi dimasukkan dalam data untuk mendapatkan
perkiraan tingkat populasi dari hasil dan CI (95%). Analisis deskriptif
dilakukan untuk mengevaluasi distribusi kovariat dan hasil (sakit gigi) dalam
empat minggu sebelumnya. Selain itu, analisis regresi logistik multivariabel
diarahkan pada hasil episode sakit gigi baru-baru ini. Hubungan antara
7
prediktor, variabel mediator, dan hasil dari semua variabel dianalisis
menggunakan model persamaan struktural. Model hipotesis penelitian untuk
menganalisis hubungan langsung dan tidak langsung dari variabel prediktor
dan hasil. SEM dilakukan menggunakan Smart PLS versi 3.2.8 untuk menilai
Pvalue (P < 0,005 dan P < 0,001), SD, dan CI (2,5% dan 97,5% CI).
2.1.5 Hasil
Tabel 1.Studi Pendahuluan Sakit Gigi pada Anak Indonesia Tahun 2000-2014

Tabel 1 menunjukkan bahwa tahun 2000 total data adalah 11.686,


sebanyak 9.268 data yang digunakan dan anak yang mengalami sakit gigi
sebanyak 1.145 (12,35%). Tahun 2007 total data adalah 13.511, sebanyak
11.189 data yang digunakan dan anak yang mengalami sakit gigi sebanyak
1.193 (10,66%). Tahun 2014 total data adalah 15.739, sebanyak 12.595 data
yang digunakan dan anak yang mengalami sakit gigi sebanyak 1.959 (15,55%).

Tabel 2. Distribusi Sakit Gigi Menurut Umur, Jenis Kelamin, Tempat Tinggal,
SES, Kesadaran Orang Tua Terhadap Kondisi Kesehatan Anak Dan Frekuensi
Konsumsi Makanan, Serta Perilaku/Frekuensi Menggosok Gigi Pada Anak
Indonesia Tercatat Pada Tahun 2014

8
Tabel 2 menunjukkan bahwa Sakit gigi secara konsisten menunjukkan
prevalensi yang lebih tinggi pada anak yang lebih tua ( 7–15 tahun; 16,23%,
interval kepercayaan (CI): 15,39-17,09 dibandingkan dengan itu pada anak-
anak yang lebih muda (2-6 tahun; 14,6%, CI: 13,66-15,59). Anak perempuan
menunjukkan prevalensi sakit gigi yang lebih tinggi (16,10%, CI: 15,19-
17,05) dibandingkan anak laki-laki (15,03%, CI: 14,17-15,92). Prevalensi
sakit gigi sedikit lebih tinggi di perdesaan (15,59%, CI: 14,62-16,59)
dibandingkan di perkotaan (15,39%, CI: 14,70-16,38) juga lebih tinggi pada
anak-anak dari kelompok sosial ekonomi rendah. (16,97%, CI: 15,34-18,69). a
anak dari orang tua yang menunjukkan kesadaran yang lebih tinggi terhadap
kondisi kesehatan anak menunjukkan kecenderungan yang lebih rendah untuk
mengalami sakit gigi. Namun, hasil yang tidak meyakinkan untuk efek
kesadaran orang tua tentang frekuensi konsumsi makanan anak dilaporkan
karena terbatasnya jumlah responden yang menjawab bahwa konsumsi
makanan oleh anak-anak mereka kurang dari sekali per hari (n: 44, CI: 5.17–
27.35) . Jumlah anak yang makan 1-2 kali sehari memiliki prevalensi sakit gigi
lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang makan kurang dari sekali atau
tiga kali atau lebih sehari. Survei menunjukkan bahwa anak-anak dari orang
tua dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah menunjukkan kecenderungan
yang lebih besar untuk sakit gigi. Anak-anak memiliki waktu menyikat gigi
yang berbeda, dan anak dari orang tua yang tidak mengetahui perilaku
menggosok gigi anaknya menunjukkan prevalensi sakit gigi yang lebih tinggi.

9
Jumlah anak yang tidak menggosok gigi setiap hari hanya 490 (3,8%). Jumlah
orang tua yang tidak mengetahui perilaku menggosok gigi anaknya hanya 639
(5%). Sehingga dapat disimpulkan bahwa 91,2% orang tua Indonesia
mengetahui perilaku menggosok gigi anaknya. Sebagian besar anak menyikat
gigi di pagi hari (11.093) dan siang hari (7.885), berbeda dengan waktu
menyikat gigi yang disarankan secara universal di malam hari (3.013) dan
setelah makan (380).

Tabel 3. Etnis dan sakit gigi pada anak di Indonesia, 2014

Tabel 3 menunjukkan bahwa prevalensi sakit gigi pada anak-anak Jawa


sama dengan prevalensi nasional. Etnis Makassar, Toraja, dan Bugis yang
sebagian besar berada di Pulau Sulawesi secara konsisten mengungkapkan
prevalensi sakit gigi yang lebih tinggi yaitu >15% (di atas prevalensi nasional)

10
Tabel 4. Hubungan koefisien jalur

Tabel 4 menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara


hubungan tidak langsung yaitu tingkat pendidikan orang tua dengan sakit gigi
(P nilai < 0,001). Tidak ada hubungan yang signifikan antara sakit gigi dan
perilaku/frekuensi menyikat gigi (P nilai < 0,005), yang dapat dikaitkan
dengan fakta bahwa sakit gigi tidak hanya terkait dengan frekuensi menyikat
gigi. hubungan tidak langsung yang signifikan antara sakit gigi dan SES (P
nilai < 0,001).
2.1.6 Pembahasan
Sakit gigi memiliki berbagai penyebab, dimana karies gigi adalah yang
paling umum. Sebuah penelitian (W, Mulu, 2014) melaporkan bahwa anak-
anak dengan sakit gigi menunjukkan kemungkinan 6,3 kali lebih tinggi dari
karies gigi. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi sakit gigi pada tahun
2014 sebesar 15,55%. Hasil ini sedikit lebih tinggi dari dua penelitian

11
sebelumnya, yang melaporkan prevalensi 10,7% pada anak-anak AS dan 11%
pada anak-anak Brasil.10,14. Namun, hasil tersebut kurang dari hasil yang
diperoleh Bianco et al., yang melaporkan prevalensi sakit gigi sebesar 23,5%
pada anakanak Italia berusia 11-16 tahun selama 3 bulan sebelumnya.7.
Peningkatan prevalensi 2007-2014 dapat dijelaskan oleh SEM, yang
menyoroti sifat multifaset dari sakit gigi. SEM menunjukkan bahwa prevalensi
sakit gigi secara signifikan lebih tinggi pada anak yang lebih tua dibandingkan
dengan anak yang lebih muda. Hasil ini menguatkan dengan penelitian
sebelumnya (Ortiz, F. R. et al, 2014) yang mengungkapkan kemungkinan sakit
gigi yang lebih tinggi pada anak yang lebih tua dibandingkan dengan anak
yang lebih muda. Hubungan antara sakit gigi dan usia juga dicari oleh (Yuen
et al., 2011) yang menemukan kemungkinan sakit gigi lebih tinggi dengan
bertambahnya usia anak, dan hubungan ini diamati sampai saat gigi sulung
dan permanen terbuka di rongga mulut. Peneltiian ini tidak menemukan
hubungan antara seks dan sakit gigi. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh (Ortiz, F. R. et al, 2014), namun berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh (Boeira et al, 2012),
Hubungan tidak langsung yang signifikan diamati antara daerah
perumahan dan sakit gigi. Asosiasi ini dimediasi oleh SES dan kesadaran
orang tua terhadap kondisi kesehatan anak. Asosiasi serupa dilaporkan oleh
penelitian sebelumnya menggunakan SEM; tempat tinggal, jenis kelamin, dan
konsumsi gula berhubungan dengan pengalaman karies gigi pada anak usia 12
tahun (Amalia, R, 2012). Hubungan langsung ditemukan antara kesadaran
orang tua terhadap frekuensi konsumsi makanan anak dengan sakit gigi,
meskipun frekuensi konsumsi makanan anak tidak dipengaruhi oleh SES.
Hubungan frekuensi konsumsi makanan anak dengan sakit gigi khususnya
konsumsi gula dapat dijelaskan dengan patofisiologi karies gigi. Karies gigi
terutama tergantung pada keberadaan gula yang dapat difermentasi,
lingkungan yang menguntungkan, bakteri kariogenik, dan faktor host yang
kondusif. Tabel 4 menunjukkan hubungan tidak langsung yang signifikan
antara tingkat pendidikan orang tua dengan sakit gigi. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penelitian sebelumnya yang tidak menemukan hubungan
langsung antara tingkat pendidikan ibu dengan karies gigi. Tingkat pendidikan
ibu berhubungan secara signifikan dengan konsumsi gula dan perilaku

12
menggosok gigi. Hubungan tidak langsung antara tingkat pendidikan ibu
dengan karies gigi dimediasi oleh konsumsi gula. Tidak ada hubungan yang
signifikan antara sakit gigi dan perilaku/frekuensi menyikat gigi, yang dapat
dikaitkan dengan fakta bahwa sakit gigi tidak hanya terkait dengan frekuensi
menyikat gigi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Amalia, R,
2012). Teknik menyikat gigi juga memainkan peran penting dalam asosiasi.
Alasan kedua yang mungkin adalah informasi yang tersedia di IFLS.
Pengkategorian menurut waktu menyikat gigi ini dapat menyebabkan
tanggapan responden yang tidak tepat sebagai 'dua kali', di pagi hari dan
setelah makan, ketika anak-anak mungkin benar-benar menyikat gigi hanya
sekali sehari. Hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa secara signifikan
lebih banyak anak menyikat gigi pada siang dan pagi hari dibandingkan pada
malam hari dan setelah makan. Sebuah penelitian sebelumnya (.Kumar, S. et
al, 2017) melaporkan pengalaman karies gigi yang lebih tinggi dan kebersihan
mulut yang lebih buruk pada anak-anak dari orang tua dengan SES yang lebih
rendah. Studi kami menemukan hubungan tidak langsung yang signifikan
antara sakit gigi dan SES. Korelasi tersebut dimediasi oleh kesadaran orang
tua terhadap kondisi kesehatan anak. Apalagi pada tahun 2014, kelompok
kuintil termiskin-bawah menunjukkan kecenderungan sakit gigi.
Temuan ini sangat menyarankan bahwa kesadaran orang tua terhadap
kondisi kesehatan anak dan SES harus dipertimbangkan saat menentukan
hubungan beberapa kovariat seperti daerah tempat tinggal dan tingkat
pendidikan orang tua dengan sakit gigi. Anak-anak dari orang tua dengan SES
yang lebih rendah menunjukkan kecenderungan yang lebih tinggi untuk sakit
gigi karena akses yang terbatas ke perawatan gigi, dan sakit gigi sering
merupakan akibat dari karies gigi yang tidak dipulihkan. Prevalensi sakit gigi
bervariasi menurut etnis. Hasil ini dapat dijelaskan oleh perilaku khusus,
konsumsi makanan tertentu, dan keyakinan kesehatan yang bervariasi lintas
etnis. Etnisitas memainkan peran penting dalam diet karena pengaruh tradisi.
Penduduk Jawa yang sebagian besar berasal dari Jawa Tengah diketahui
mengonsumsi makanan dalam porsi yang terbatas, terutama makanan pokok,
buah-buahan, dan sayur-sayuran dibandingkan dengan suku bangsa lain di
tanah air.

13
2.1.7 Simpulan dan Saran / rekomendasi
Simpulan
Sakit gigi biasanya disebabkan oleh karies gigi yang parah dan tidak
dirawat, mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penelitian ini menganalisis
prevalensi sakit gigi pada anak Indonesia pada tahun 2014. Prevalensi sakit
gigi pada anak di Indonesia adalah 15,5%. Menggunakan SEM menemukan
model alternatif dari hubungan kompleks antara sakit gigi dan faktor risiko
yang terkait. Studi yang telah dilakukan sebelumnya menguraikan penggunaan
SEM dalam menentukan hubungan langsung dan tidak langsung antara hasil
dan faktor risikonya. Kesadaran orang tua akan kondisi kesehatan anak
memediasi beberapa asosiasi tidak langsung.
Saran:
Orang tua harus menyadari kondisi kesehatan dan frekuensi konsumsi
makanan anak-anak sehingga dapat mencegah terjadinya karies gigi dan
menimbulkan rasa sakit gigi.

2.2 Substansi Artikel


2.2.1 Description of Evidence
1. Exposure: pendidikan orang tua, daerah tempat tinggal, kesadaran orang
tua, frekuensi konsumsi makanan, dan perilaku/frekuensi menyikat gigi
2. Outcome: Sakit gigi pada anak-anak
3. Design: Cross sectional
4. Study Population: Anak-anak berusia 2-15 tahun terdaftar di IFLS
5. Main Result: Prevalensi sakit gigi pada anak Indonesia sebesar 15,55%
(1.959 dari 12.595). Terdapat hubungan antara dan kesadaran orang tua
terhadap kondisi kesehatan anak (P < 0,005) dan frekuensi konsumsi makanan
(P < 0,001). Tingkat pendidikan orang tua dan daerah tempat tinggal
menunjukkan hubungan tidak langsung dengan sakit gigi, dimediasi oleh
status sosial ekonomi dan kesadaran orang tua terhadap kondisi kesehatan
anak (P < 0,001).

14
2.2.2 Non-Causal Explanations
1. Observation Bias
Penelitian ini dimungkinkan adanya recall bias yang muncul ketika
orang tua ditanya tentang pengalaman sakit gigi anak-anak mereka dalam
empat minggu terakhir
2. Confounding
Penelitian ini terdapat variabel confounding yaitu status sosial ekonomi.
3. Chance
Variasi Chance ditunjukan oleh nilai 95% CI:
 Sakit gigi secara konsisten menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
pada anak yang lebih tua (7–15 tahun; 16,23%, interval kepercayaan
(CI) 95%: 15,39-17,09
 pada anak-anak yang lebih muda (2-6 tahun; 14,6%, CI 95%: 13,66-
15,59)
 Anak perempuan menunjukkan prevalensi sakit gigi yang lebih tinggi
(16,10%, CI 95%: 15,19-17,05)
 anak laki-laki (15,03%, CI 95%: 14,17-15,92).
 Prevalensi sakit gigi sedikit lebih tinggi di perdesaan (15,59%, CI
95%: 14,62-16,59)
 Prevalensi sakit gigi di perkotaan (15,39%, CI 95%: 14,70-16,38)
 Sakit gigi pada anak-anak lebih tinggi di kelompok sosial ekonomi
rendah. (16,97%, CI 95%: 15,34-18,69)
 Prevalensi sakit gigi lebih banyak terjadi pada anak dengan orang tua
yang tidak sekolah (18.84%, CI 95%: 10.43–30.06)
Secara keseluruhan variabel memiliki rentang CI (nilai lower dan upper limit)
yang sempit serta tidak melewati 1 sehingga menunjukkan bahwa
kemungkinan terjadinya chance (random error) sangat kecil sehingga hasil
estimasi nya tepat. Selain itu hasil penelitian tersebut menunjukkan
menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara hubungan tidak
langsung yaitu tingkat pendidikan orang tua dengan sakit gigi (P nilai <
0,001). hubungan tidak langsung yang signifikan antara sakit gigi dan status
sosial ekonomi (P nilai < 0,001). Dilihat dari hasil yang signifikasi secara

15
statistik dan kemungkinan terjadinya chance kecil karena nilai p < 0,05,
sehingga kemungkinan hasil yang didapatkan karena adanya chance <5%
2.2.3 Positive Features of Causation
1. Time Relationship
Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional dimana
pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat yang bersamaan
sehingga memiliki kelemahan dalam melihat hubungan kausalitas penyakit.
Dan time relationship pada penelitian ini bersifat lemah/samar karena
dalam penelitian tersebut tidak dapat menjamin bahwa paparan mendahului
efek (sakit gigi) atau sebaliknya.
2. Strength
Hubungan langsung
 Terdapat hubungan antara usia dengan sakit gigi dengan P- Value
0.000
 Terdapat hubungan antara kondisi kesehatan anak dengan sakit gigi
dengan P- Value 0.000
 Terdapat hubungan antara frekuensi makan dengan sakit gigi dengan
P- Value 0.000
Hubungan tidak langsung
 Terdapat hubungan antara pendidikan orang tua, status sosial
ekonomi, dengan sakit gigi dengan P- Value 0.000
Kekuatan hubungan tidak dapat dijelaskan dikarenakan desain studi
pada penelitian menggunakan crossectional yang diteliti dalam waktu
yang sama sehingga memiliki kelemahan dalam menjelaskan kekuatan
hubungan antara variabel.
3.Dose Response
a. Semakin tua usia anak akan semakin berisiko untuk mengalami
sakit gigi.
b. Orang tua yang tidak berpendidikan akan lebih berisiko memiliki
anak yang mengalami sakit gigi dibandingkan dengan orang tua
yang memilki pendidikan tinggi.

16
c. Semakin rendah status ekonomi keluarga akan semakin berisiko
memiliki anak yang mengalami sakit gigi dibandingkan dengan
keluarga yang status ekonominya tinggi.
4. Consistency
a. Usia
Sakit gigi secara signifikan lebih tinggi pada anak yang lebih tua
dibandingkan dengan anak yang lebih muda. Hasil ini menguatkan
dengan penelitian sebelumnya (Ortiz, F. R. Et al, 2014) yang
mengungkapkan kemungkinan sakit gigi yang lebih tinggi pada anak
yang lebih tua dibandingkan dengan anak yang lebih muda.
b. Sosal ekonomi
Sebuah penelitian sebelumnya (Kumar, S. et al, 2017) melaporkan
pengalaman karies gigi yang lebih tinggi dan kebersihan mulut yang
lebih buruk pada anak-anak dari orang tua dengan SES yang lebih
rendah. Studi kami menemukan hubungan tidak langsung yang
signifikan antara sakit gigi dan SES. Korelasi tersebut dimediasi oleh
kesadaran orang tua terhadap kondisi kesehatan anak
c. Pendidikan orang tua
Hubungan tidak langsung yang signifikan antara tingkat
pendidikan orang tua dengan sakit gigi. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang tidak menemukan hubungan
langsung antara tingkat pendidikan ibu dengan karies gigi. Tingkat
pendidikan ibu berhubungan secara signifikan dengan konsumsi gula
dan perilaku menggosok gigi.
5. Specificity
Hasil penelitian ini tidak spesifik, dimana hasilnya menunjukkan
berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung secara signifikan
berpengaruh terhadap kejadian sakit gigi pada anak.

2.2.4 External Validity


1. To the Eligible Population
Sebanyak 15.739 anak dalam database memenuhi syarat. Sebanyak
12.595 anak dimasukkan dalam penelitian ini, yang terdiri dari catatan
6.454 laki-laki dan 6.141 anak perempuan. Penelitian ini tidak
17
menampilkan tingkat partisipasi (respon rate) yang seharusnya nilai
tersebut ada dikarenakan penting untuk melihat sampel apakah sudah
memenuhi target penelitian atau tidak. Namun, jika dilihat dari jumlah
responden, validitas moderate karena tingkat partisipasi (respon rate)
peserta cukup sesuai dengan data yang ada yaitu jumlah responden 12.595
anak
2. To the Source Population
Hasil pada penelitian ini dapat digeneralisasikan kepada keseluruhan
populasi penelitian karena menggunakan sampel yang besar dari hasil
survei nasional yang mencakup seluruh wilayah Indonesia sehingga lebih
representative dan dapat digeneralisasi pada populasi sumber karena
memiliki kesamaan sosial atau karakteristik seperti anak-anak usia 2-15
tahun.
3. To other Population
Penelitian ini dapat dilaksanakan pada populasi di daerah lain karena
sampel yang digunakan dengan jumlah besar dimana kriteria utama
responden pada penelitian ini adalah anak-anak usia 2-15 tahun

2.2.5 Comparison with other evidence


Jurnal Pembanding 1
Judul: Toothache, Associated Factors, and Its Impact on Oral Health-Related
Quality of Life (OHRQoL) in Preschool Children
Penulis: Fernanda Ruffo Ortiz, Fernanda Tomazoni, Marta Dutra Machado
Oliveira, Chaiana Piovesan, Fausto Mendes, Thiago M. Ardengh
Variabel
a. Variabel Dependen: sakit gigi
b. Variabel Independen: usia, jenis kelamin, pendapatan, warna kulit,
pendidikan ibu, pendidikan ayah, pekerjaan ibu, sakit gigi terakhir,
pengalaman karies, trauma gigi, kepadatan rumah tangga dan penggunaan
layanan
Hasil Riset:
 Sakit gigi lebih banyak terjadi pada anak usia yang lebih tua (4-5
tahun) sebanyak 29 (16,86%) dengan OR 2.72 (95% CI :1.01–7.56).

18
Artinya anak-anak usia 4-5 tahun lebih berisiko mengalami sakit gigi
dibandingkan dengan anak usia 2-3 tahun dan anak yang 1 tahun.
 Serta anak-anak dengan pengalaman karies (OR 3,43; 95% CI: 1,81 -
6,52). Artinyaanak-anak yang memilki pengalaman karies gigi lebih
berisiko mengalami sakit gigi dibandingkan dengan anak anak-anak
yang tidak memilki pengalaman karies gigi
 Mengunjungi layanan gigi dalam 6 bulan terakhir lebih kecil
kemungkinannya untuk mengalami sakit gigi (OR 0,51; 95% CI: 0,28
– 0,95). Artinya anak-anak yang mengunjungi layanan gigi dalam 6
bulan terakhir dapat mencegah terjadinya sakit gigi dibandingkan anak
yang tidak mengunjungi layanan gigi dalam 6 bulan terakhir
Jurnal Pembanding 2
Judul: Factors Associated with the Prevalence and Intensity of Dental Pain in
Children in the Municipalities of the Campinas Region, São Paulo
Penulis: Renata Cristina Guskumaa, Vinícius Aguiar Lagesa, Maylu Botta
Hafnera, Maria Paula Maciel Rando-Meirellesa, Silvia Cyprianob, Maria da
Luz Rosário de Sousaa, Marília Jesus Batista
Variabel
a. Variabel Dependen: Nyeri gigi
b. Variabel Independen: Jenis kelamin, warna kulit, Jenis pelayanan dokter
gigi, pendidikan ibu, pendidikan ayah, kunjungan terakhir ke dokter gigi,
pendapatan, ukuran kota dan alasan ke dokter gigi
Hasil Riset:
 Sampel terdiri dari 1.233 anak, dan 16,7% melaporkan nyeri dalam
enam bulan terakhir.
 Prevalensi nyeri lebih rendah di antara rumah tangga dengan
pendapatan tinggi (P=0,023) dengan nilai OR 0,53 (95% CI: 0,31–
1,00). Artinya rumah tangga dengan pendapatn tinggi dapat mencegah
terjadinya sakit gigi dibandingkan dengan rumah tangga yang
memiliki pendapatan rendah
 Lebih tinggi di antara orang bukan kulit putih (P=0,027) dengan OR
1.52 (95% CI: 1.10–2.44). Artinya orang bukan kulit putih lebih
berisiko mengalami sakit gigi dibandingkan dengan orang kulit putih.

19
 Lebih tinggi pada anak-anak yang orang tuanya memiliki tingkat
pendidikan yang lebih rendah (P=0,003) dengan OR 0,74 (95% CI:
0,68–0,92). Artinya anak-anak yang orang tuanya memiliki tingkat
pendiidkan lebih rendah akan mencegah terjadinya sakit gigi
dibandingkan dengan anak yang orang tuanya pendidikan tinggi.
 Memiliki gigi berlubang yang tidak diobati (P= 0,04) dengan OR
1.179 (95% CI: 1.00-1.39). Artinya anak yang memiliki gigi
berlubang yang tidak diobati lebih berisiko mengalami sakit gigi
dibandingkan dengan anak yang memiliki gigi berlubang yang
diobati.
Jurnal Pembanding 3
Judul : Dental pain and associated factors in 2 to 4-year-old children in Goiânia
Penulis : Marília Galvão Chaves LemesSaya, Maria do Rosário Gondim
PeixotoII, Ida Helena Carvalho Francescantonio MenesesII, Maria do Carmo
Matias Freire
Variabel
a. Variabel Dependen: Sakit gigi
b. Variabel Independen: Variabel demografi adalah usia (dalam tahun lengkap)
dan jenis kelamin. Untuk variabel sosial ekonomi, struktur keluarga; urutan
kelahiran; frekuensi penitipan anak; usia orang tua; tingkat pendidikan orang tua;
jika ibu bekerja dalam satu tahun terakhir; jenis tempat tinggal; jumlah kamar
yang digunakan untuk tidur; persediaan air. Kondisi kesehatan dan perilaku
terkait dievaluasi dengan menggunakan variabel berikut: kelahiran prematur
anak; masalah kesehatan yang didiagnosis; anak makan sambil menonton TV;
dan latihan aktivitas fisik (di sekolah)
Hasil Riset:
 Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik tentang tingkat
pendidikan ibu, dengan angka kesakitan gigi lebih tinggi pada anak yang
tingkat pendidikan ibunya kurang dari 8 tahun. (p = 0,016)
 prevalensi nyeri gigi lebih tinggi pada anak yang rutin mengonsumsi jus
bubuk buatan yang mengandung gula (p = 0,015), dibandingkan dengan
yang tidak teratur meminum minuman tersebut

20
 Anak yang ibunya berpendidikan rendah memiliki peluang 3,03 lebih
besar untuk mengalami sakit gigi dibandingkan dengan ibu yang
berpendidikan lebih tinggi
 Anak-anak yang secara teratur minum jus memiliki peluang 2,15 lebih
banyak untuk mengalami rasa sakit daripada mereka yang meminumnya
lebih jarang

1. Consistency
a. Usia
Prevalensi sakit gigi lebih tinggi pada anak dengan usia yang lebih
tua dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Ortiz et al (2014) bahwa Sakit gigi
lebih banyak terjadi pada anak usia yang lebih tua (4-5 tahun) sebanyak
29 (16,86%) dengan OR 2.72 (95% CI :1.01–7.56). Artinya anak-anak
usia 4-5 tahun lebih berisiko mengalami sakit gigi dibandingkan dengan
anak usia 2-3 tahun dan anak yang 1 tahun
b. Pendidikan orang tua
Prevalensi sakit gigi lebih tinggi pada anak dengan orang tua yang
memilki pendidikan remdah dibandingkan dengan anak yang orangtuanya
berpendidikan tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Lemes et al (2015)
bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik tentang tingkat
pendidikan ibu, dengan angka kesakitan gigi lebih tinggi pada anak yang
tingkat pendidikan ibunya kurang dari 8 tahun. (p = 0,016). Anak yang
ibunya berpendidikan rendah memiliki peluang 3,03 lebih besar untuk
mengalami sakit gigi dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih
tinggi
c. Sosial ekonomi
Prevalensi sakit gigi lebih tinggi pada anak dengan rumah tangga
status ekonomi rendah diabndingkan dengan anak yang tinggal dengan
rumah tangga status ekonominya tinggi. Hal ini sejalan dengan
penelitian Guskuma et al (2017) Prevalensi nyeri lebih rendah di antara
rumah tangga dengan pendapatan tinggi (P=0,023) dengan nilai OR 0,53
(95% CI: 0,31–1,00). Artinya rumah tangga dengan pendapatn tinggi

21
dapat mencegah terjadinya sakit gigi dibandingkan dengan rumah
tangga yang memiliki pendapatan rendah
2. Specificity
a. Usia
Berdasarkan penelitian, usia memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian sakit gigi pada anak, sehingga anak yang usianya lebih
tua lebih berisiko mengalami sakit gigi. Faktor ini tidak memenuhi aspek
spesifisitas karena usia bukan hanya menyebabkan peningkatan risiko
kejadian sakit gigi, namun juga dapat meningkatkan risiko penyakit
lainnya.
b. Pendidikan orang tua
Berdasarkan penelitian, pendidikan orang tua memiliki hubungan
yang signifikan dengan kejadian sakit gigi pada anak, sehingga anak
dengan ornag tua pendidikan rendah lebih berisiko mengalami sakit gigi.
Faktor ini tidak memenuhi aspek spesifisitas karena pendidikan orang tua
bukan hanya menyebabkan peningkatan risiko kejadian sakit gigi, namun
juga dapat meningkatkan risiko penyakit lainnya.
c. Status ekonomi
Berdasarkan penelitian, status ekonomi memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian sakit gigi pada anak, sehingga anak dengan
rumah tangga status ekonomi rendah lebih berisiko mengalami sakit gigi.
Faktor ini tidak memenuhi aspek spesifisitas karena status ekonomi bukan
hanya menyebabkan peningkatan risiko kejadian sakit gigi, namun juga
dapat meningkatkan risiko penyakit lainnya
3. Plausability
a. Usia
Sakit gigi lebih banyak terjadi pada usia tua karean kemungkinan
sakit gigi yang lebih tinggi dengan bertambahnya usia anak karena
adanya periode tumbuhnya gigi sulung yang terbuka di rongga mulu
sehingga menyebabkan sakit gigi ketika periode tersebut muncul
b. Pendidikan orang tua
Pendidikan orang tua yang rendah berhubungan dengan sakit gigi
pada anak karena kebutuhan nyata akan perawatan anak ketika ibu
memiliki tingkat sekolah yang lebih tinggi. Selain itu, ibu yang memiliki

22
pendidikan tinggi akan lebih sadar terhadap frekuensi konsumsi makanan
anak dan sakit gigi. Asosiasi antara frekuensi konsumsi makanan anak
dan sakit gigi khususnya konsumsi gula dapat dijelaskan oleh:
patofisiologi karies gigi. Karies gigi terutama tergantung pada keberadaan
gula yang dapat difermentasi, lingkungan yang menguntungkan, bakteri
kariogenik, dan faktor inang yang kondusif.
c. Status ekonomi
Status ekonomi yang rendah berhubungan dengan sakit gigi pada
anak karena individu dengan tingkat sosial ekonomi rendah lebih sering
terpapar beberapa faktor risiko yang mempengaruhi persepsi diri mereka
tentang kesehatan mulut dan lebih mungkin untuk memiliki kondisi
kesehatan mulut yang lebih buruk. Anak-anak dari orang tua dengan
sosial ekonomi yang lebih rendah menunjukkan kecenderungan sakit gigi
karena terbatasnya akses ke perawatan gigi, dan sakit gigi sering
merupakan akibat dari karies gigi yang tidak dipulihkan.
4. Coherence
a. Usia
Anak yang usianya lebih tua dapat meningkatkan risiko kejadian
sakit gigi berdasarkan teori biologi dan proses kejadian sakit gigi.
b. Pendidikan orang tua
Anak dengan orang tua yang pendidikannya rendah dapat
meningkatkan risiko kejadian sakit gigi berdasarkan teori biologi dan
proses kejadian sakit gigi.
c. Status ekonomi
Anak dengan rumah tangga status ekonomi rendah dapat
meningkatkan risiko kejadian sakit gigi berdasarkan teori biologi dan
proses kejadian sakit gigi.
2.3 Temuan utama, keterbatasan penelitian dan gagasan baru untuk penelitian
yang lebih baik
2.3.1 Temuan Utama
Prevalensi sakit gigi pada anak Indonesia sebesar 15,55% (1.959 dari
12.595). Terdapat hubungan antara dan kesadaran orang tua terhadap kondisi
kesehatan anak (P < 0,005) dan frekuensi konsumsi makanan (P < 0,001).
Tingkat pendidikan orang tua dan daerah tempat tinggal menunjukkan
23
hubungan tidak langsung dengan sakit gigi, dimediasi oleh status sosial
ekonomi dan kesadaran orang tua terhadap kondisi kesehatan anak (P <
0,001).

2.3.2 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan dalam peneltian ini diantaranya yaitu desain studi yang
digunakan cross-sectional sehingga tidak dapat menentukan efek kausal,
karena prediktor dan hasilnya dianalisis secara bersamaan dalam satu waktu.
Selain itu, masih terdapat variabel yang kurang ditanyakan untuk menilai
penyebab sakit gigi seperti penilaian karies gigi. Sehingga tidak adanya data
yang berkaitan dengan karies gigi dapat mempengaruhi hubungan antara
beberapa faktor risiko dan sakit gigi. Keterbatasan kecil lainnya adalah bias
ingatan yang muncul ketika orang tua ketika ditanya pengalaman sakit gigi
anaknya dalam empat minggu terakhir.

2.3.3 Gagasan baru untuk penelitian yang lebih baik


Gagasan baru untuk penelitian selanjutnya dapat berfokus dalam
mengambil penelitian di satu daerah, dengan menggunakan data rekam medis
dari pelayanan kesehatan dan menggunakan desain studi case control untuk
bisa melihat hubungan kausal faktor-faktor yang mempengaruhi sakit gigi.
Selain itu, dapat mempertimbangkan variabel lain yang mungkin masih
memiliki hubungan dengan sakit gigi untuk dimasukkan dalam penelitian
seperti karies gigi. Selain itu, untuk pengambilan sampel bisa digunakan
teknik probability sampling agar hasilnya bisa lebih representatif.

24
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Prevalensi sakit gigi pada anak anak di Indonesia adalah 15,5%.
Menggunakan SEM, menemukan model alternatif dari hubungan kompleks
antara sakit gigi dan faktor risiko yang terkait. Studi sebelumnya telah
menguraikan penggunaan SEM dalam menentukan hubungan langsung dan
tidak langsung antara hasil dan faktor risikonya. Kesadaran orang tua akan
kesehatan anak menjadi hal yang harus di selesaikan dalam kaitannya dengan
hubungan tidak langsung yang dapat menyebabkan sakit gigi.
3.2 Saran
Berdasarkan temuan dari penelitian ini kami menyarankan agar orang tua
harus menyadari kondisi kesehatan dan frekuensi konsumsi makanan
anaknya. Kami juga merekomendasikan pemerintah untuk mengembangkan
program pencegahan dan terapi untuk meningkatkan status kesehatan gigi di
antara anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Lemes, MGC, Peixoto, MDRG, Meneses, IHCF, & Freire, MDCM (2015). Sakit gigi
dan faktor terkait pada anak berusia 2 hingga 4 tahun di Goiania. Revista
Brasileira de Epidemiologia , 18 , 630-641.
Ortiz, FR, Tomazoni, F., Oliveira, MDM, Piovesan, C., Mendes, F., & Ardenghi, TM
(2014). Sakit gigi, faktor terkait, dan dampaknya terhadap Kualitas Hidup
Terkait Kesehatan Mulut (OHRQoL) pada anak prasekolah. Jurnal Gigi
Brasil , 25 , 546-553.
Guskuma, RC, Lages, VA, Hafner, MB, Rando-Meirelles, MPM, Cypriano, S., Sousa,
MDLRD, & Batista, MJ (2017). Faktor yang terkait dengan prevalensi dan
intensitas sakit gigi pada anak-anak di kotamadya wilayah Campinas, São
Paulo. Revista Paulista de Pediatria , 35 , 322-330.

26

Anda mungkin juga menyukai