Tulisan ini mengkaji peran dan pemikiran KH. A. Wahid Hasyim di masa
muda, sebagai poinir persatuan bangsa Indonesia. Kajian ini penulis angkat
sebagai karya ilmiah untuk memperkaya khazanah keilmuan dan sejarah tokoh
pahlawan nasional. Metode penulisan ini menggunakan langkah Library Research
(kajian kepustakaan) dengan pendekatan deskripsif dan analitik yang ditinjau dari
segi sejarah.
Indonesia pada era revolusi industri 4.0 saat ini sudah memasuki umur ke
74 tahun sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung
Karno. Perjalanan kemerdekaan Indonesia pada sisi historisnya telah melewati
berbagai fase dan dinamika konflik yang beragam. Kemerdaakn tidak semata
menjadikan perjalan bangsa ini mulus dengan tujuan dan cita-cita yang tertuang
pada teks proklamasi maupun undang-undang 1945. Namun pada dasarnya
konflik sosial dan kesenjangan hidup yang ada di masyarakat, terus mengalami
gejolak dan ujian yang amat berat.
Rasa luka sebagai bangsa yang senasib (masyarakat yang terjajah) telah
melahirkan banyak tokoh yang mampu membuat perubahan paradigma
masyarakat Indonesia pada saat itu. Sehingga tumbuhlah gagasan nasionalisme
dan persatuan untuk melawan penindasan dan kekejaman penjajah. Terdapat
golongan pemuda yang memiliki gagasan kemerdekaan dalam perspektif
nasionalis sekuler dan nasionalis religius atau nasionalis Islam. Nasionalis Islam
ini bisa kita lihat pada sejarah dan kiprah KH. A. Wahid Hasyim dalam
memperjuangkan kemerdekaan bersma para tokoh lainnya.
Dari uraian diatas, penulis membuat fokus masalah dalam karya ilmiah ini,
yaitu;
Era disrubsi yang saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia
untuk hidup dengan tentram, bersatu dan mementingkan kemaslahatan, bukan
kepentingan atau kepuasan satu golongan saja. Dari pemikiran Wahid Hasyim
inilah, generasi muda dapat mengambil sisi positif untuk menjadi pemuda atau
masyarakat yang menghormati hukum negara, tatanan sosial, dan berbagai
perbedaan atau keberagaman yang ada. Sebab Wahid Hasyim adalah tokoh
Islam yang mewarisi konstruksi berpikir dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari,
dimana KH. Hasyim sepakat dan setuju dengan dasar negara Pancasila. Bukan
karena menjadi bagian mayoritas, akan tetapi kesadaran bahwa sekecil apapun
yang menjadi bagian dari Indinesia, maka harus dipertahankan dan
diperjuangakan.
Pola pikir yang nampak dari Wahid Hasyim, memberikan bukti bahwa
tidak semua tokoh Islam tradisonalis itu kaku. Atau anti terhadap semua sisi
modernitas. Melainkan menolak sisi negatif modernitas dan mengambil sisi
positifnya. Wahid Hasyim mencerminkan pola pikir global yang tidak
meninggalkan pola pikir lokal sebagai jati diri cara pandang orang Indonesia.
Pemikiran seperti inilah yang dapat diambil hikmahnya bagi generasi penerus
bangsa. Bahwa dinamika kehidupan dan pekermbangan zaman harus
dikendalikan dengan cara yang bijaksana. Tidak mudah tergerus oleh arus
kemajuan dan kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia.
D. Kesimpulan
1. Peran KH. A. Wahid Hasyim di masa muda memberikan teladan tentang arti
kebersamaan, persatuan dan penyelesaian masalah dengan cara musyawarah
secara arif dan bijaksana.
2. Seorang Wahid Hasyim mengormati hukum negara yang ada. Ketika berjuang
menegakkan nilai-nilai kebenaran, ia tidak membrontak melainkan
menghormati keputusan mejelis hakim, selagi keputusankan tersebut dapat
membawa kemaslahatan dan persatuan bagi rakyat Indonesia.
3. Apabila buah pikirannya mendapat kritikan dan saran, Wahid Hasyim sangat
terbuka dalam berdialog untuk menyelesaikan persoalan tersebut, tanpa harus
menimbulkan perpecahan.
4. Wahid Hasyim rela mengorbankan kepentingan golongan demi kepentingan
seluruh golongan yang ada di Indonesia, untuk bersatu menjadi negara
Pancasila.
5. Semangat beragama yang kuat, menjadi tokoh Islam yang baik.
6. Pemikiran yang dimiliki Wahid Hasim sangat luas, hal tersebut tidak lepas dari
kecerdasaan ayahnya yang bernama KH. Hasim Asy’ari.
7. Pemikiran keagamaan dan pendidikan yang mampu membangun
kesinambungan dengan dunia politik. Nilai-nilai yang diperjuangkan bersifat
subtantif seperti keamausiaan dan perlindungan atas hak warga negara, sebagai
ruh dari hal-hal kewarganegaraan yang bersifat formal.
8. Menjadi sintesa dari dua mainstream besar dalam memandang relasi Islam
dengan negara, antara organis dan subtantif. Kemudian memiliki corak (self-
identity) diferensiatif paling prinsipil yang menggunakan tafsir atau logika
keilmuan berbasis khazanah dan kearifan lokal.
Daftar Pustaka