Anda di halaman 1dari 16

MASA MUDA KH. A.

ABDUL WAHID HASYIM

SEBAGAI PIONIR PERSATUAN BANGSA

TOKOH MUDA PAHLAWAN NASIONAL

Muhammad Syaiful Muhtar


Abstrak

Muhtar, Muhammad Syaiful. 2019. Masa Muda KH. A. Wahid Hasyim


Sebagai Pionir Persatuan Bangsa.

Tulisan ini mengkaji peran dan pemikiran KH. A. Wahid Hasyim di masa
muda, sebagai poinir persatuan bangsa Indonesia. Kajian ini penulis angkat
sebagai karya ilmiah untuk memperkaya khazanah keilmuan dan sejarah tokoh
pahlawan nasional. Metode penulisan ini menggunakan langkah Library Research
(kajian kepustakaan) dengan pendekatan deskripsif dan analitik yang ditinjau dari
segi sejarah.

Hasil pembahasan yang penulis temukan yaitu, KH. A. Wahid Hasyim


menyetujui penghapusan tujuh kata dalam kesepakatan Piagam Jakarta, demi
persatuan dan kesatuan Indonesia. Hal tersebut sebagai upaya agar rakyat
Indonesia timur tidak memisahkan diri dari Indonesia. Pemikiran yang diwariskan
oleh KH. A. Wahid Hasyim terhadap bangsa Indonesia yaitu konstruksi berpikir
dan bersikap bijaksana di anatara dua mainstream besar yang berbeda pola pikir
(moderasi Islam). Wahid Hasyim merupakan tokoh nasional yang memiliki
konsep berpikir luas dan terbuka. Tidak anti terhadap modernitas sebagai
perkembangan dalam tata kehidupan. Sebab bagi dirinya, untuk mengendalikan
modernitas zaman, ia harus mengambil nilai positif dan membuang nilai
negatifnya, serta tidak meninggalkan identitas dan kearifan lokal sebagai jati diri
bangsa Indonesia. Pancasila dan Binheka Tunggal Ika menjadi konsensus yang
diperjuangkan oleh Wahid Hasyim dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat
untuk tetap hidup dalam persatuan dan kesatuan Republik Indonesia.

Kata Kunci : Masa Muda A. Wahid Hasyim, Pionir Persatuang Bangsa.


A. Pendahuluan

Indonesia pada era revolusi industri 4.0 saat ini sudah memasuki umur ke
74 tahun sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung
Karno. Perjalanan kemerdekaan Indonesia pada sisi historisnya telah melewati
berbagai fase dan dinamika konflik yang beragam. Kemerdaakn tidak semata
menjadikan perjalan bangsa ini mulus dengan tujuan dan cita-cita yang tertuang
pada teks proklamasi maupun undang-undang 1945. Namun pada dasarnya
konflik sosial dan kesenjangan hidup yang ada di masyarakat, terus mengalami
gejolak dan ujian yang amat berat.

Daerah-daerah di Indonesia pada awal transisi dari luka kolonialisme ke


fase kemerdekaan dan konsep demokrasi, seringkali tertimpa konflik sosial dan
perbedaan pendapat maupun yang lainnya. Seperti Maluku, Poso, Kalimantan dan
Papua. Namun pada konteks perkembangan zaman saat ini, tentu masyarakat di
wilayah-wilayah tersebut sudah kian membaik dari segi pendidikan, kehidupan
sosial, tatanan ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa
Indonesia masih mampu menjadi Negara yang bertahan dalam berbagai konflik
yang muncul. Persoalan pasca konflik tidak semata-mata selesai begitu saja,
namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana masyarakat dapat memahami
subtansi persatuan yang ada di dalam Ideologi bangsa yaitu Pancasila. Kemudian
salah satu prinsip yang pokok adalah mewujudkan keberagaman atau yang kita
sebut sebagai binheka tunggal ika itu dapat menjadi sebuah hakikat bagi hak asasi
manusia dalam membangun Indonesia yang utuh.
Pada perjalannya, Indonesia mengalami penjajahan yang amat panjang
oleh bangsa Belanda sehingga berlanjut pada penjajahan pada bangsa Asia sendiri,
yakni bangsa Jepang. Penderitaan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia pada
saat itu sangat berat dan penuh dengan darah yang mengalir. Meskipun Jepang
lebih singat menduduki Indonesia yang terhitung dari 1942 sampai 1945 atau
sekitar tiga setengah tahun, dibandingkan dengan kedudukan Belanda yang
sampai pada tiga setengah abad (Mayjen, 1981 : 59). Penjajahan di Indonesia
membuat luka yang mendalam bagi rakyat Nusantara, tentang perihnya
penderitaan, penindasan dan kesewenang-wenangan, sehingga tumbuhlah rasa
untuk membuat perlawanan terhadap fasisme Jepang (Rini, 2003 : 55).

Rasa luka sebagai bangsa yang senasib (masyarakat yang terjajah) telah
melahirkan banyak tokoh yang mampu membuat perubahan paradigma
masyarakat Indonesia pada saat itu. Sehingga tumbuhlah gagasan nasionalisme
dan persatuan untuk melawan penindasan dan kekejaman penjajah. Terdapat
golongan pemuda yang memiliki gagasan kemerdekaan dalam perspektif
nasionalis sekuler dan nasionalis religius atau nasionalis Islam. Nasionalis Islam
ini bisa kita lihat pada sejarah dan kiprah KH. A. Wahid Hasyim dalam
memperjuangkan kemerdekaan bersma para tokoh lainnya.

Persoalan bangsa pada sektor keberagaman dalah sebuah konsen yang


tidak boleh diabaikan, mengingat saat ini banyak konflik yang muncul, disisi lain
konflik tersebut juga bermuara daru unsur Suku, Aliran, Ras dan Agama (SARA).
Dari sinilah perlu adanya sebuah konsep dan pemikiran yang terus harus digali
dalam rangka memperkuat 4 pilar bangsa Indonesia. Hal ini agar persatuan dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) selalu termanifestasikan
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari sinilah Penulis membuat studi
ilmiah pemikiran seorang tokoh pahlawan nasional KH. Wahid Hasyim dalam
konteks persatuan dan perdamaian untuk keutuhan Indonesia. Upaya ini untuk
membantu masyarakat dalam memaknai pentingnya sebuah persatuan dalam
bingkai Kebinhekaan dan Pancasila di era milenial saat ini.
B. Fokus Masalah

Wahid Hayim merupakan putera kelima dari pasangan KH. Hasyim


Asy’ari dengan Nyai Nafiqah. Wahid Hayim lahir pada Jum’at, 1 Juni 1945 M / 5
Rabiul Awal 1333 H di Tebuireng Jombang (Azra, 1998 : 99). Sejak usia lima
tahun Wahid Hayim belajar membaca Al-Qur’an kepada ayahnya, ia juga belajar
membaca kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim dan Mutammimah pada usia tujuh
tahun. (Rifa’I : 2019 : 32).

Masa muda seorang Wahid Hayim sangat bersemangat dalam menimba


ilmu dan keberkahan seorang guru. Sebagai pemuda muslim yang taat, Wahid
Hasyim dalam sejaranhya menimba ilmu banyak pesantren (lihat buku karya
Rifa’I, 2009 : 22-23). Semangat belajarnya tidak pernah surut terutama dalam
belajar secara autodidak. Pola belajarnya membuat seorang pemuda ini sukses
walaupun tidak mengenyam sekolah di Lembaga Pendidikan Hindia-Belanda, ia
mampu menguasai bahasa Inggris dan Belanda pada usia 15 tahun (Herry, T.th :
35).

Dari uraian diatas, penulis membuat fokus masalah dalam karya ilmiah ini,
yaitu;

1. Bagimana peran KH. A. Wahid Hasyim di masa muda dalam mepersatukan


bangsa Indonesia?
2. Bagiman Pemikiran KH. A Wahid Hasyim di masa muda sebagai pionir
persatuan bangsa ?
C. Pembahasan
1. Peran KH. A Wahid Hasyim di Masa Muda Untuk Mempersatukan
Bangsa Indonesia

Abad kedua puluh merupakan masa kebangkitan dan keemasan bagi


masyarakat Indonesia dalam sejarah perlawanannya untuk membentuk sebuah
negara yang merdeka. Pada awal abad dua puluh, strategi dan format gerakan
dalam melawan penjajahan sudah terorganisir dan terstruktur. Muncul banyak
tokoh yang menggencarkan perserikatan atau perkumpulan dalam bentuk
organisasi, sebagai sarana mengkonsolidasikan pemahaman atau gagasan
terkait kemerdekaan. Berbagai organisasi muncul sebagai motor penggerak
dengan strateginya dalam memperjuangkan kemerdekaan sesuai basis ideologi
organisisi tersebut (David, 2005 : 135).

Wahid Hasyim merupakan sosok pemuda yang memiliki kedisiplinan


berpikir yang komperehensif. Hal tersebut ditunjang dari keaktifannya dalam
membaca dan menganalisis situasi perkembangan zaman. Dari sini lah seorang
Wahid Hasyim mulai membuktikan buah pikirannya dalam bentuk tulisan yang
dibuatnya pada tahun 1929 (pada saat umur 15 tahun) yang tertuang dalam
suatu buku peringatan milik adiknya. Sejak saat itulah Wahid Hasyim dapat
dibilang seorang bembaca dan penulis (Rifa’I, 2009 : 25).

Tokoh-tokoh pemuda yang muncul dalam sejarah pergerakan


kemerdekaan Indonesia satunya yaitu A. Abdul Wahid dari kalangan muslim
nasionalis pada tahun 1945. Sosok pemuda yang akrab di panggul Gus Wahid
tersebut merupakan putra dari KH. Hasyim Asy’ari salah satu pendiri
organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU). Pada tahun 1932 atau lebih tepatnya
saat usia 18 tahun Gus Wahid berangkat untuk berhaji dan belajar di Makkah
selama dua tahun. Ia juga pernah mengajar di Makkah (Aboebakar, : 84).
Proses belajar dan mengajarnya seorang Wahid Hasyim membuatnya berpikir
secara luas, terbuka dan tidak fanatik dalam menghadapi suatu persoalan.
Wahid Hasyim meyakini bahwa Islam dapat mencapai kemajuan dan
persatuan. Sepulangnya dari Makkah, ia merasa perlu mengamalkan ilmunya
dengan melakukan pembaharuan di bidang sosial, keagamaan, politik dan
pendidikan (Rifa’I, 2009 : 26). Wahid Hasyim merupakan sosok pemuda yang
memiliki kedisiplinan berpikir yang komperehensif. Hal tersebut ditunjang dari
keaktifannya dalam membaca dan menganalisis situasi perkembangan zaman.
Dari sini lah seorang Wahid Hasyim mulai membuktikan buah pikirannya
dalam bentuk tulisan yang dibuatnya pada tahun 1929 (pada saat umur 15
tahun) yang tertuang dalam suatu buku peringatan milik adiknya. Sejak saat
itulah Wahid Hasyim dapat dibilang seorang bembaca dan penulis (Rifa’I,
2009 : 25).

Setelah belajar dari Makkah, Wahid Hasyim memulai kiprahnya dalam


berbagai sektor, seperti Pendidikan, tatanan sosial, politik dan lain sebagainya.
Di usianya yang masih muda, ia sangat giat membaca dan menulis. Modal dari
kemampuan bahasa Inggris, Arab dan Belanda membuatnya secara mandiri
mepelajari dan membaca berbagai buku (Miftahudin, 2017 : 37). Keluasan
berpikir seorang Wahid Hasyim menjadi sorotan bagi banyak tokoh dan
masyarakat di Indonesia pada saat itu. Hal tersebut karena seorang Wahid
Hasyim juga sangat banyak menelurkan buah pikirannya kedalam berbagai
media cetak atau koran. Sehingga banyak masyarakat yang tahu tentang
bagaimana seorang Wahid Hasyim dalam memberikan gagasan dan idenya
untuk kemajuan bangsa Indonesia yang masih terjajah.

Hasil belajar aoutodidak yang dilakukan Wahid Hasyim sangat


membantu dirinya dalam berinteraksi dengan orang-orang diberpagai negara.
Termasuk dalam konteks diplomasi dengan para penjajah jepang saat itu.
Meski tidak membawa satu pun gelar akademik, ilmu pengetahuan yang
diperoleh Wahid Hasyim selama di Makkah sangat banyak. Dengan
kemahiran yang dimilikinya dalam membaca, pada tahun 1941 Wahid Hasyim
sudah banyak membuat karya tulisan dari buah pikirannya. Tulisannya banyak
dimuat dalam suluh Nahdlatul Ulama yang diterbitkan diberbagai media cetak,
termasuk media yang dimiliki oleh NU sendiri, yaitu suara Nahdlatul Ulama
(Nugroho, 2017 : 62).
Masa muda KH. A Wahid Hasyim bisa dibilang sangat produktif,
sebagai tokoh muda Islam, ia memiliki semangat membangun tatanan sosial
kehidupan masyarakat. Semangat kebangsaan yang dimiliki tidak lepas dari
pemahaman ayahnya KH. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu pendiri Nahdlatul
Ulama. Usahanya dalam mengembangkan pendidikan Islam telah memberikan
udara sejuk bagi bangsa Indonesia. Pendidikan Islam yang ia kembangkan
merupakan sebuah manifestasi dari nilai-nilai keislaman yang nasionalis. Islam
yang tidak bertentangan dengan sebuah persatuan dalam bernegara. Disisi lain
ia juga aktif memberikan pandangan politik yang perkembang pada saat
penjajahan belanda. Hal ini membuat dirinya cukup dikenal oleh berbagai
tokoh nasional pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Wahid Hasyim sangat berperan penting dalam mempersatukan persepsi


tokoh muslim nasionalis dengan tokoh nasionalis sekuler dalam proses
kemerdekan Republik Indonesia. Pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada awalnya Wahid
Hasyim mengusulkan klausa dalam pembukaan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Anam, 2014 : 212).

Usulan KH. A Wahid Hayim disetujui oleh kalangan Islam Nasionalis


dan beberapa dari kalangan nasionalis. Usulan tentang klausa tentang
kewajiban menjalan syariat Islam bagi pemeluknya juga disepakati oleh Bung
Karno sebagai ketua sidang BPUPKI. Namun pada 11 Juli 1945 salah satu
tokoh nasionalis sekuler (beragama Protestan) yang bernama Laturharhary
menyampaiakn rasa keberatan dengan kalusa tersebut. Rasa keberatan yang
disampaikan kemudian menjadi perdebatan yang tajam dikalangan tokoh yang
menjadi panitia BPUPKI , hal ini termasuk menjadi kritikan bagi KH. Wahid
Hasyim. Sementara beberapa dari kalang tokoh Islam juga ada yang
menyampakan keberatannya, seperti H. A Sanoesi dan H Bagoes Hadikusumo.
Pada 13 Juli 1945 dalam persidangan BPUPKI, Wahid Hayim kembali
mengusulkan dua hal untuk dimasukkan dalam rancangan Undang-undang.
Dasar Negara. Pada mulanya pasal 4 ayat 2 yang berbunyi “Yang dapat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia Asli”, dengan
adanya usulan dari Wahid Hayim maka diganti lah menjadi “Yang dapat
menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia Asli yang
beragama Islam”. Kemudian pada pasal 29 yang semula berbunyi “Indonesia
menjamin kemerdekaan tidap-tiap penduduk untuk memeluk agama apapun
dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing”. Karena usulan Wahid
Hasyim maka diubalah menjadi “Agama Negara adalah Islam, dengan
menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain“ (Endang, 1981 : 30).

Buah pikiran yang mendalam dari KH. A Wahid Hasyim tentang


perjuangan Islam yang besar, mampu memberikan usulan tersebut kedalam
UUD Negara Republik Indonesia. Meski mendapat sanggahan dan kritik,
usulan Wahid Hasyim dapat disepakati oleh panitia BPUPKI. Hal ini
dikarenakan Wahid Hasyim juga memberikan keyakinan bahwa dengan usulan
tersebut, ia tidak bermaksud untuk mendeskritkan kalangan minoritas lainnya.
Sebagai tokoh Islam Nasionalis, Wahid Hasyim sangat memiliki peran penting
dan pengaruh dalam mewakili suara umat Islam di Indonesia.

Setelah BPUPKI dibubarkan oleh jepang pada 7 Agustus 1945.


Dibuatlah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kemudian
Sukarno memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945 yang isinya sesuai dengan hasil kesepakatan BPUPKI. Namun sehari
setelah proklamasi kemerdekaan, Wahid Hasyim mendapatkan informasi,
bahwa usulannya satu persatu akan dihapuskan. Hal tersebut lantaran Bung
Hatta telah bertemu dengan Opsin Kaigur (Angkatan Laut Jepang ). Dalam
pertemuan tersebut Opsin memberikan informasi yang menyatakan bahwa
rakyat Indonesia timur yang beragama Katolik dan Protestan akan menolak
masuk kedalam Repiblik Indonesia, jika rumusan undang-undang dasar negara
yang diusulkan oleh Wahid Hasyim tidak dihapus.
Berdasarkan informasi tersebut Bung Hatta dalam sidang PPKI 18
Agustus 1945, berunding dengan empat wakil tokoh dari kalangan Islam agar
mau menerima penghapusan usulan Wahid Hasyim tentang “ Ke-Tuhanan
dengan kwajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Empat tokoh Islam yang diajak berunding yaitu Ki Bagoes Hadikusumo, A
Wahid Hasyim, Kasman Singodimejo dan Teuku Muhammad Hassan.
Kemudian Hatta juga menyarankan agar klausa yang berbau Islam dihilangkan,
karena masyarakat Indonesia Timur merasa terdiskriminasi (Kasman, 1970 :
130).

Seorang Wahid Hasyim yang berusia kurang lebih 31 tahun, dengan


semangatnya yang membara. Tidak membuatnya menjadi orang yang keras
kepala, melainkan menjadi pemuda dan tokoh Islam yang toleran dan
menghormati perbedaan. Luasnya pengetahuan seorang Wahid Hasyim
membuat dirinya menjadi orang yang justru pertama kali menyetujui saran dan
usulan dari rakyat Indonesia Timur. Seorang Wahid Hasyim kemudian
membujuk 3 tokoh lainnya. Termasuk meyakin Ki Bagoes Hadikusumo yang
yang sangat setuju dengan usulan Wahid Hasyim pada saat sidang BPUPKI.
(Hatta, 1970 : 320).

Sebagai seorang Tokoh Pemuda Nasional, Wahid Hasyim lebih


mementingkan persatuan dan perdamaian, tinimbang mempertahankan gagasan
dan usulannya. Walaupun usulannya disepakati oleh banyak tokoh
kemerdekaan. Hal itu tidak membuatnya sombong dan merasa paling menang
sendiri. Wahid Hasyim merupakan sosok yang humanis dan logis. Disisi lain,
Wahid Hasyim telah berkorban dan mau menerima dengan lapang dada, atas
usulannya yang dihapus dari Undang-undang Dasar Negara. Ia menyadari
bahwa kalangan minoritas merupakan bagian penting bagi keutuhan bangsa.
Siapapun yang berbeda suku, ras dan agama termasuk anak bangsa yang ikut
andil dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesai.
Wahid Hasyim terus berusaha membujuk tokoh lain agar menerima
dengan suka rela terhadap penghapusan usulannya dari UUD. Wahid Hasyim
pernah menyampaikan suatu bujukan kepada Ki Bagoes Hadikusumo yang
pada intinya “situasi politik dan keamanan dalam permulaan revolusi memang
memerlukan persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai golongan minoritas
mereka memang dapat melakukan politik ofensif bahkan disertai tekanan
politik seolah-olah ditindas oleh golongan mayoritas. Sebagai golongan yang
paling berkepentingan tergalangnya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi
Belanda yang masih memiliki kaki tangan dimana-mana, para pemimpin Islam
dan Nasionalis memenuhi tuntutan mereka. Dengan pengertian ; bahwa
kewajiban dalam menjalankan syariat Islam begi pemeluk-pemeluknya akan
dapat ditampung dengan melaksanakan pasal 29 ayat 2 UUD 45 secara jujur
yaitu ayat-ayat yang berbunyi ; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduknya untuk memeluk gamanya masing-masing dan beribadat menurut
agama dan kepercayaan itu.” (Endang, 1981 : 47-50).

Peran seorang Wahid Hasyim menjadi bukti sejarah besar bagi


terwujudnya persatuan antar golongan dan agama di Indonesia. Mengormati
perbedaan dengan berpikir moderat serta toleran, menjadi wariasan Hasyim
Asy’ari untuk masyarakat di seluruh penjuru Indonesia. Wahid Hasyim
mengajarkan tentang arti persatuan dan perdamaian diatas kepentingan
golongan. Tidak mudah sakit hati dan tidak berpaling ketika gagasan atau ide-
idenya tidak disetujui oleh kalangan minoritas. Sebab bagi Wahid Hasyim,
golongan minoritas adalah kekuatan yang melengkapi keutuhan dalam
berbangsa, bernegara dan beragama. Karakter dan keluasan berpikir seorang
Wahid Hasyim dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sudah
sepatutnya dijadikan teladan bagi masyarakat dan generasi muda agar terus
menjaga Indonesia agar dari potensi konflik dan perpecahan.
2. Pemikiran KH. A Wahid Hasyim di Masa Muda Sebagai Pionir Persatuan
Bangsa

Pemikiran A. Wahid Hasyim sebagai tokoh Islam Nasionalis


merupakan salah satu manifestasi dari dialog antara pemikiran Islam dengan
pengetahuan barat. Konsepsi mengenai dasar konstitusi negara yang tercermin
dari perannya yaitu jalur demokratis semacam hybrid Intellectually. Wahid
Hasyim bukan tipologi pemikir Islam yang hanya mengikuti arus mainstream.
Karakternya yang tegas dan situasional selalu berupaya memperjuangkan nilai-
nilai yang dianggap benar melaui jalur konstitusional. Namun tatkala
kebenaran tersebut belum mampu diterima oleh anggota majelis, ia menerima
keputusan majelis dan menjalankannya sesuai prinsip maslahah mursalah
(Kusuma, 2011 : 229).

Wahid Hasyim sebagai tokoh muda yang berlatar belakang santri,


memiliki sebuah prinsip dimana ada kebaikan untuk menghindari kerusakan
atau perpecahan, ia selalu menegakkan kebenaran dengan cara konstitusional
atau bergerak dengan jalur hukum yang dimiliki negara. Wahid Hasyim bukan
tipekal orang yang keras kepala dan arogan terhadap sebuah nilai kebenaran. Ia
lebih mementingakan persatuan dan kemaslahatan bagi rakyat , tinimbang
memuaskan satu golongan saja. Sebab Indonesia seperti bayi, maka perlu kasih
sayang dan perhatian yang cukup agar kelak menjadi negara yang kuat.

Kontribusi pemikiran besar seorang Wahid Hasyim terhadap bangsa


Indonesia yaitu, memberikan sebuah konsep atau corak berpikir dan bernegara
yang mampu menjadi sintesa dari dua mainstream besar dalam memandang
relasi Islam dengan negara, antara organis dan subtantif. Meski demikian,
Wahid Hasyim mempunyai karakter (self-identity) diferensiatif paling prinsipil
yaitu, penggunaan tafsir atau logika keilmuan berbasis khazanah dan kearifan
lokal.
Penulis menganalisa bahwa seorang Wahid Hasyim juga berprisip
bahwa hidup adalah perjuangan (ijtihad) dalam bernegara yang tidak lepas dari
proses dialektika (jidal) dan demonstratif (burhan), dengan menggunakan
siyasah dusturiyyah fil Islam (hukum politik Islam) yang mampu mengambil
nilai positif dari kemajuan zaman, namun tidak meninggalkan identitas dan
kearifan lokal. Penulis melihat corak tersebut dari diskursus Indeginisiasi
Tokoh Pahlawan Republik Indonesia (Heri, 2003 : 118). Generasi muda
Indonesia dapat meneladani sikap kenegaraan seorang Wahid Hasyim yang
menjadi perjuang sejak muda hingga ia meninggal. Pemikiran yang luas akan
membuat sikap semakin dewasa dan bijaksana dalam menyelesaikan persoalan.
Seperti apa yang dilakukan oleh Wahid Hasyim ketika berperan sebagai tokoh
penting BPUPKI dan PPKI.

Era disrubsi yang saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia
untuk hidup dengan tentram, bersatu dan mementingkan kemaslahatan, bukan
kepentingan atau kepuasan satu golongan saja. Dari pemikiran Wahid Hasyim
inilah, generasi muda dapat mengambil sisi positif untuk menjadi pemuda atau
masyarakat yang menghormati hukum negara, tatanan sosial, dan berbagai
perbedaan atau keberagaman yang ada. Sebab Wahid Hasyim adalah tokoh
Islam yang mewarisi konstruksi berpikir dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari,
dimana KH. Hasyim sepakat dan setuju dengan dasar negara Pancasila. Bukan
karena menjadi bagian mayoritas, akan tetapi kesadaran bahwa sekecil apapun
yang menjadi bagian dari Indinesia, maka harus dipertahankan dan
diperjuangakan.

Pemikiran Wahid Hasyim sebagai pionir persatuan bangsa, nampak


pada kiprahnya sebagai aktor agama dan pendidikan yang mampu membangun
kesinambungan dengan dunia politik. Nilai-nilai yang diperjuangkan oleh
Wahid Hasyim sangat subtantif seperti keamnusiaan dan perlindungan atas hak
warga negara, sebagai ruh dari hal-hal kewarganegaraan yang bersifat formal.
Hal inilah yang kemudian membuat Wahid Hasyim berani mengambil
keputusan moderasi untuk menerima perubahan atas sila pertama dalam
Piagam Jakarta.

Wahid Hasyim merupakan tokoh pahlawan dengan segala jasa-jasanya.


Ia adalah orang yang tidak anti terhadap modernitas. Walaupun jati dirinya
adalah orang tradisionalis. Namun tidak dipungkiri Wahid Hasyim termasuk
orang dari kalangan tradisionalis yang menerima berbagai sisi positif dari
modernitas zaman. Bukti nyata saat Wahid Hasyim membuat sistem pesantren
Tebuireng yang semula murni menggunakan asas pendikikan pesantren
tradisional menjadi pesantren yang terintegrasi dengan pengajaran ilmu
pengetahuan umum, ditambah dengan pengajaran bahasa Inggris. Tidak sampai
disitu saja, seorang Wahid Hasyim juga mengajarkan para santri tentang
keorganisasian (Azra, 1998 : 103).

Pola pikir yang nampak dari Wahid Hasyim, memberikan bukti bahwa
tidak semua tokoh Islam tradisonalis itu kaku. Atau anti terhadap semua sisi
modernitas. Melainkan menolak sisi negatif modernitas dan mengambil sisi
positifnya. Wahid Hasyim mencerminkan pola pikir global yang tidak
meninggalkan pola pikir lokal sebagai jati diri cara pandang orang Indonesia.
Pemikiran seperti inilah yang dapat diambil hikmahnya bagi generasi penerus
bangsa. Bahwa dinamika kehidupan dan pekermbangan zaman harus
dikendalikan dengan cara yang bijaksana. Tidak mudah tergerus oleh arus
kemajuan dan kehilangan jati diri sebagai orang Indonesia.
D. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, penulis mendapatkan kesimpulan penting dari


Tokoh Pahlawan Nasional yang bernama KH. A. Wahid Hasyim. Kesimpulan itu
diantaranya;

1. Peran KH. A. Wahid Hasyim di masa muda memberikan teladan tentang arti
kebersamaan, persatuan dan penyelesaian masalah dengan cara musyawarah
secara arif dan bijaksana.
2. Seorang Wahid Hasyim mengormati hukum negara yang ada. Ketika berjuang
menegakkan nilai-nilai kebenaran, ia tidak membrontak melainkan
menghormati keputusan mejelis hakim, selagi keputusankan tersebut dapat
membawa kemaslahatan dan persatuan bagi rakyat Indonesia.
3. Apabila buah pikirannya mendapat kritikan dan saran, Wahid Hasyim sangat
terbuka dalam berdialog untuk menyelesaikan persoalan tersebut, tanpa harus
menimbulkan perpecahan.
4. Wahid Hasyim rela mengorbankan kepentingan golongan demi kepentingan
seluruh golongan yang ada di Indonesia, untuk bersatu menjadi negara
Pancasila.
5. Semangat beragama yang kuat, menjadi tokoh Islam yang baik.
6. Pemikiran yang dimiliki Wahid Hasim sangat luas, hal tersebut tidak lepas dari
kecerdasaan ayahnya yang bernama KH. Hasim Asy’ari.
7. Pemikiran keagamaan dan pendidikan yang mampu membangun
kesinambungan dengan dunia politik. Nilai-nilai yang diperjuangkan bersifat
subtantif seperti keamausiaan dan perlindungan atas hak warga negara, sebagai
ruh dari hal-hal kewarganegaraan yang bersifat formal.
8. Menjadi sintesa dari dua mainstream besar dalam memandang relasi Islam
dengan negara, antara organis dan subtantif. Kemudian memiliki corak (self-
identity) diferensiatif paling prinsipil yang menggunakan tafsir atau logika
keilmuan berbasis khazanah dan kearifan lokal.
Daftar Pustaka

Aboebakar. 2011. Sejarah Hidup KH. A. Wahid Hasjim. Jakarta : Mizan.


Anam, A Khoirul, dkk. 2014. Enslikopedia Nahdlatul Ulama : Sejarah Tokoh dan
Khaszanah Pesantren. Jakarta : Yayasan Prapanca.
Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus
Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekular, Tentang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Bandung : Pustaka
Sleman ITB.
Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful. 1998. Menteri-menteri Agama RI : Biografi
Sosial Politik. Jakarta : PPIM.
Dewantoro, Nugroho. 2017. Wahid Hasyim Untuk Republik dari Tebuireng :
Tokoh Kemerdekaan di Awal Kemerdekaan. Jakarta : Pustaka Gramedia.
Herry, Mohammad, Dkk. T.th. Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20.
T.Pn.
Hatta, Mohammad. 1981. Memoir. Jakarta : PT Tintamas Indonesia.
Miftahuddin. 2017. KH. A Wahid Hasyim Peletak Dasar Islam Nusantara.
Bandung : Marja.
McLellan, David. 2005. Ideologi Tanpa Akhir. Alih Bahasa Muhammad Syukri.
Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Panitia Peringatan 75 Tahun Kasman. 1970. Hidup Itu Berjuang Kasman
Singodimedjo 75 Tahun. Jakarta : Bulan Bintang.
Rifa’I, Mohammad. 2009. Wahid Hasyim ; Biografi Singkat 1914 – 1953.
Yogyakarta : Garasi.
Simatupang T.B Majyen. 1981. Pelopor dalam Perang Pelopor dalam Damai.
Jakarta : Sapdodadi NV.
Yunarti, Rini. 2003. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI. Jakarta :
Kompas.

Anda mungkin juga menyukai