Kelompok 10 :
Meldayatul Husna
Widodo Eko Putro
T.A 2021/2022
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam ini yang masih memberikan kami
kesempatan untuk bias menyusun makalah tugas pasca presentasi ini. Tidak lupa juga
shalawat serta salam kita junjungkan ke nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, karena
atas berkatnyalah kita terbebas dari jaman jahiliyah ke jaman terang-benderang ini.
Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang hukum perjanjian sebagai
model bagi pengaturan masyarakat khususnya yang ada di Indonesia. Semoga makalah
ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa sebagai bekal melakukan
pemahaman atau pedoman bagaimana peranan Negara dalam menerapkan Hukum
Perjanjian.
Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa
yang akan datang.
I
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………………i
Daftar
Isi…………………………………………………………………………………...ii
BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………………………...1
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………….1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………2
1.3 RuangLingkup
Materi………………………………………………………….2
BAB 2 Pembahasan………………………………………………………………………3
Pengertian ……………………………………………………………………..5
Unsur-unsur Perjanjian…………………………………………………………..7
Asas-asas Perjanjian……………………………………………………………...9
Syarata-syarat Perjanjian………………………………………………………..11
Saat Lahirnya Perjanjian………………………………………………………...12
Jenis-jenis Perjanjian………………………………………………………….13
Pelaksanaan dan Pembatalan Suatu
Perjanjian…………………………………..14
BAB 4 Penutup……………………………………………………………………
4.1 Kesimpulan………………………………………………
4.2Usuldan Saran………………………………………………………………
Daftar Pustaka…………………………………………………………..18
II
BAB 1
PENDAHULUAN
1. PENDAHULUAN
Diantara para orientalis ada beberapa sarjana yang meyakini
bahwa ajaran islam bukan semata-mata agama, tetapi juga mengatur
masalah-masalah negara. Dikalangan jumhur ulama berpendapat
bahwa islam mengharuskan adanya negara dan pemerintahan, di
samping itu meskipun jumlahnya kecil ada pula yang hanya
membolehkan saja. Dalam pada itu ada pula putra-putra islam pada
zaman mutakhirin ini yang berpendapat bahwa tidak perlu ada
campur tangan agama dalam kehidupan negara.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
sampai kepada tingkatan kufur. Abdul karim zaydan pun sependapat
dengan yusuf musa, dengan sat peringatan, jangan sampai
menghilangkan satu kemungkaran tetapi menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar.
3
2. Praktek kenegeraan pada masa:
3. Rasulullah
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi setelah Rasululah
menetap di Madinah merupakan artikulasi nilai dasar fiqih siyasah
syar’iyyah. Di Madinah, terbentuk satu komunitas muslimin, yang
terdiri dari golongan muhajirin dan golongan anshar. Sebagai satu
komunitas masyarakat yang majemuk, kaum muslimin diharuskan
berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain, yang terdiri dari:
orang-orang nashrani, orang-orang Yahudi, dan orang-orang
musyrik Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara,
kebijakan Rasulullah SAW merupakan pelaksanaan fiqih siyasah
syar’iyyah.[2]
Aktivitas yang sangat penting dan tugas besar yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW setelah menetap di Madinah pada tahun
pertama Hijrah adalah pembangunan masjid Quba, dan menata
kehidupan sosial politik masyarakat kota itu yang bercorak
majemuk.
4
SAW, untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat
Madinah..[3]
5
mengadakan musyawarah dengan para sahabat senior
meminta pertimbangan kalangan professional
melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak
luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar
mengambil keputusan sendiri, seperti keputusan Nabi dalam
menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian
Hudaibiyah.[4]
Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
berakar dari prinsip-prinsip Qurani. Al-Quran yang merupakan
sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan
sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di
setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip
Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya
milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya
di muka bumi.
1. Khulafaurrasyidin
Masa khalifah abu bakar as shiddieq
6
Sehari setelah Rasul wafat, kaum Anshar memprakarsai
musyawarah besar di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka sibuk
membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah
pengganti kekuasaan politik Nabi Muhammad SAW.[7] Sewaktu
dialog tersebut, berita pertemuan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah
pun sampai ke telinga ‘‘Umar dan Abu ‘Ubaidah. ‘‘Umar segera
mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk datang segera
menemuinya. Namun Abu Bakr tidak bersedia karena sibuk
mengurus jenazah Nabi Muhammad SAW. ‘‘Umar pun menyuruh
utusan tersebut datang kembali kepada Abu Bakr dengan
membawa pesan bahwa ada sesuatu yang penting telah terjadi dan
memerlukan kehadirannya untuk dibicarakan bersama. Akhirnya
Abu Bakr datang kepada ‘‘Umar diliputi rasa heran. ‘‘Umar pun
menceritakan peristiwa Saqifah tersebut. Setelah mendengar cerita
‘‘Umar, segera saja mereka bertiga – yakni Abu Bakr, ‘‘Umar dan
Abu ‘Ubaidah – berangkat menuju balai pertemuan kaum Anshar
tadi.
Ketika mereka tiba, kaum Anshar masih terlibat diskusi yang alot.
Mereka belum mencapai kata sepakat tentang pencalonan Sa’ad
ibn ‘Ubadah. Melihat kedatangan ketiga orang ini, semua hadirin
berhenti bicara. Sebenarnya ‘‘Umar ingin bicara lebih dahulu
kepada kaum Anshar, namun Abu Bakr mencegahnya. Ia
khawatir, kalau-kalau sikap ‘‘Umar yang keras menimbulkan
gejolak di kalangan Anshar dan perpecahan di tubuh umat Islam.
Apalagi situasinya saat itu sedang panas dan alot. Akhirnya Abu
Bakr angkat bicara lebih dahulu. Pembicaraan Abu Bakr ternyata
juga menimbulkan reaksi di kalangan Anshar.
Akhirnya, dalam suasana tegang dan tarik ulur ini, Abu Bakr
terpilih menjadi khalifah. ‘‘Umarlah orang yang pertama
melakukan bai’ah terhadap Abu Bakr, diikuti oleh Abu ‘Ubaidah
dan kaum muslimin lainnya. Sementara Sa’ad ibn ‘Ubadah sampai
akhir kepemimpinan Abu Bakr tidak pernah memberikan bai’ah
kepada Abu Bakr.[8]
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW,
Abu Bakr menyampaikan “pidato kenegaraan” di Masjid Nabawi.
Pidato pelantikan ini memperlihatkan garis kebijakan yang akan
ditempuh oleh Abu Bakr sebagai Nakhoda baru bahtera Negara
Madinah. Hal-hal penting yang dapat dicatat pada pidato tersebut
adalah:[9]
7
Pertama, pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari
kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu
Bakr hanya menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat Islam
kepadanya, selama ia berjalan pada jalan yang benar.
Kedua, karena itu, Abu Bakr meminta kepada segenap rakyatnya
untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial terhadap
dirinya. Dalam hal ini Abu Bakr memberikan dan menjamin
kebebasan berpendapat kepada rakyatnya.
Ketiga, tekad Abu Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM
dengan melindungi orang-orang yang lemah dari kesewenang-
wenangan orang yang kuat.
Keempat, seruan untuk membela Negara (jihad) pada saat
dibutuhkan.
Kelima, perintah untuk tetap menjalankan shalat sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh keberkahan dalam masyarakat.
Abu Bakr menyusun sistem pemerintahan yang menekankan pada
prinsip pembagian kekuasaan dan penempatan orang sesuai
dengan kemampuannya. Untuk pelaksanaan tugas-tugas eksekutif,
Abu Bakr melakukan pembagian kekuasaan di kalangan sahabat
senior. Untuk membantu tugas-tugas di daerah, Abu Bakr
meneruskan pola Nabi mengangkat para gubernur sebagai kepala
pemerintahan.
8
lembut. Kelak setelah menjadi khalifah, ‘‘Umar pun bisa menjadi
lemah lembut.
9
Di samping itu, Umar juga mendirikan kantor perbendaharaan dan
keuangan Negara (Bait al-Mal) yang permanen, menempa mata
uang dan menetapkan tahun Hijrah sebagai penanggalan Islam.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, umar mulai
memisahkan kekuasaan legislatif (majelis syura), yudikatif
(Qadha’) dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan
ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan
modern trias politica seperti sekarang ini. Kebijakan ini
menunjukkan bahwa Umar memang seorang negarawan dan
administrator yang bijak. Umar tidak mencampur-adukkan tiga
kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan
baik dan membawa kepada kemaslahatan umat Islam.
Masa khalifah usman bin affan
‘Umar tidak langsung menunjuk seseorang sebagai pengganti,
seperti dilakukan Abu Bakr terhadap dirinya. ‘Umar memilih
enam sahabat senior yang terdiri dari Usman, Ali, Abd al-Rahman
ibn Awf, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Sa’d ibn
Abi Waqqash dan putranya sendiri, Abdullah.(tim formatur)[12]
Sebagaimana halnya dua khalifah sebelumnya, Utsman juga
menyampaikan pidato kenegaraan saat pelantikannya sebagai
khalifah. Pidato ini, tidak seperti pidato dua khalifah sebelumnya,
tidak memperlihatkan visi politik Utsman yang jelas dalam
menjalankan pemerintahannya. Pidato ini lebih bersifat sebagai
nasihat seorang tua kepada anak-anaknya.
10
Dalam pendayagunaan kekayaan Negara, disinyalir pula bahwa
Utsman dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk
menyalahgunakan harta Negara demi kepentingan pribadi dan
keluarga mereka. Selain itu, Utsman juga mengambil sebagian
kekayaan Negara untuk menutupi kebutuhannya beserta keluarga
dan kerabatnya. Hal Ini menimbulkan rasa tidak puas dan frustasi
di kalangan rakyat. Klimaksnya adalah peristiwa tragis
pembunuhan khalifah Utsman di tangan umat Islam sendiri.[13]
Masa ali bin abi thalib
Pengukuhan Ali menjadi Khalifah tidak semulus pengukuhan tiga
orang khalifah pendahulunya. Ia dibai’at di tengah-tengah suasana
berkabung atas kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan
serta kebingungan umat Islam Madinah. Ali ibn Abi Thalib
dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat menggantikan Utsman ibn
Affan yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak.[14]
Setelah pembunuhan Utsman, para pemberontak dari berbagai
daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah, Zubeir
dan Sa’d ibn Abi Waqqash untuk dibai’at menjadi khalifah.
Namun di antara mereka tidak ada yang bersedia. Akhirnya
mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia,
karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan
penduduk Madinah dan veteran Perang Badar (sahabat senior).
Menurutnya, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang
lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-
Nakha’i melakukan bai’at dan diikuti keesokan harinya oleh
sahabat besar seperti Thalhah and Zubeir. Menurut sebuah
riwayat, Thalhah dan Zubeir membai’at Ali di bawah ancaman
pedang oleh Malik al-Asytar.[15]
Dengan demikian Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara
aklamasi. Karena: Pertama, banyak sahabat senior ketika itu tidak
berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah
taklukan baru; Kedua, wilayah Islam sudah meluas ke luar kota
Madinah.
Setelah pelantikan, Ali ibn Thalib menyampaikan pidato visi
politiknya dalam suasana yang kacau di Mesjid nabawi. Hal
pertama yang dilakukan Ali setelah menjabat sebagai khalifah
adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Utsman
sebelumnya dan menarik kembali untuk Negara tanah yang telah
dibagi-bagi Utsman kepada kerabatnya.
11
Meskipun masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun tidak
sunyi dari pergolakan politik, Ali berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Dalam sikap
egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala
Negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Ali ingin
mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Umar dan Abu Bakr sebelumnya. Namun kondisi masyarakat
yang kacau balau dan tidak terkendali lagi menjadikan usaha Ali
tidak banyak berhasil. Akhirnya praktis selama pemerintahannya,
Ali lebih banyak mengurus persoalan pemberontakan di berbagai
daerah.
12
dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota Negara ke
Damsyik. Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah adalah
menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak syura dengan
pemilihan kepala Negara secara penunjukan.
1. Daulah Abbasiyah
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah jatuh, kekuasaan khilafah
jatuh ke tangan Bani Abbas. Berdirinya Dinasti Abbasiyah ini
merupakan hasil perjuangan gerakan politik yang dipimpin oleh
Abu al-Abbas yang dibantu oleh kaum Syi’ah dan orang-orang
Persi. Gerakan politik ini berhasil menjatuhkan Dinasti Umayyah
di tahun 750 M. Dalam mempertahankan kekuasaan, sebagaimana
Bani Umayyah, dilakukan dengan cara kekerasan dan intrik-intrik
politik.
13
Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi di atas sisa-sisa
kekuatan Bani Umayyah pada tahun 750 M. Abu al-Abbas al-
Saffah memproklamirkan berdirinya kerajaan Bani Abbas.
Meskipun al-Saffah merupakan pendiri Dinasti ini, orang yang
berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-
775 M).[17] Sistem suksesi dan pelaksanaan pemerintahan yang
dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan pengembangan dari
bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Kebijakan terpenting yang dilakukan Khalifah Dinasti Bani Abbas
yaitu al-Manshsur adalah memindahkan Ibu Kota kerajaan ke
Baghdad pada tahun762 M. Ada beberapa hal penting yang
dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan
pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan
dengan mengacu pada empat aspek, yaitu
aspek Khilafah, Wizarah (salah satu aspek dalam kenegaraan yang
membantu tugas-tugas Kepala Negara), Hijabah (pengawal),
dan Kitabah (sekretaris).
Selain empat aspek tersebut diatas, untuk urusan daerah (propinsi),
Khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah (Amir) sebagai
pembantu mereka. Ketika Khalifah masih kuat, sistem
pemerintahan ini bersifat sentralistik. Namun setelah kekuasaan
pusat lemah, masing-masing Amir berkuasa penuh mengatur
pemerintahannya sendiri. Hingga pada akhirnya banyak daerah
yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada masa al-Saffah
daerah kekuasaan bani Abbas terbagi menjadi dua belas propinsi.
Seperti halnya masa Bani Umayyah, kekuasaan yudikatif dibagi
kepada bidang hisbah, al-Qadha’ dan al-Mazhalim. Tugas dan
kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan masa yang
sebelumnya namun selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga
membentuk lembaga peradilan militer.
Dalam perekonomian, sumber pendapatan terbesar Negara berasal
dari pajak Negara. Selain pajak, sumber devisa Negara lainnya
adalah pada pertanian, perdagangan dan industri.
14
Selama 600 tahun kekuasaan Turki Usmani, Stanford J. Shaw
membagi sejarah Usmani kepada lima periode, yaitu, periode awal
(1280-1413), periode restorasi (1413-1451), periode puncak
(1451-1566), periode desentralisasi dan reformasi tradisional
(1566-1808), periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti
(1808-1924). Periode awal Usmani ditandai dengan penyusunan
basis kekuasaan, perluasan wilayah dan kehancuran sementara
akibat serangan Mongol. Memasuki abad ke-19, Turki Usmani
sudah semakin kehilangan kekuata. Wilayah-wilayah Eropa satu
persatu lepas dari kekuasaannya.
15
Negara Safawi secara resmi berdiri di Persia pada tahun 1501 M,
yaitu ketika Ismail I dengan pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan Ak-Koyunlu di Shapur,dekat Nakhechivan,yaitu
ibukota Ak-Koyonlu.Ismail berhasil merebut dan mendudukinya.
Di kota inilah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja yang
pertama dinasti Safawi.[19]
Masa kekuasaan Abbas 1 merupakan puncak kejayaan kerajaan
Safawi.Secara politik ia mampu menyelesaikan bebagai kemelut
didalam negri yang mengganggu stabilitas Negara dan merebut
kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain
pada masa raja-raja sebelumnya.[20]
Kemajuan-Kemajuan yang dicapai oleh safawi ini antara lain yaitu
Pada Masa Syah Abbas:
16
Fiqh,theology,dan filsaat yang ditulis dalam bahasa Persia dan
Arab.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
[6] http://el-ghazaly.blogspot.com/2009/12/perkembangan-
ketatanegaraan-islam-masa.html, diakses tanggal 20 September 2011
[7] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal.103.
[8] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal.46
[9] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 87
[10] Ibid., hal. 117
[11] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 56
[12] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 65-66
[13] Ibid., hal. 74-75
[14] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Op. Cit., hal. 151
[15] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 76
[16] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Op. Cit., hal. 162
[17] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 87
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo
Persada:Jakarta,1993, h 138
[19] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, IAIN-IB Press:
Padang,2002,h 166
[20] Badri Yatim, op,cit, h 142-143
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/
19