Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

“SISTEM KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN ISLAM


DALAM LINTASAN SEJARAH”

Kelompok 10 :

 Meldayatul Husna
 Widodo Eko Putro

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS

JURUSAN SIYASYAH SYAR’IYAH

PRODI HUKUM TATA NEGARA

T.A 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam ini yang masih memberikan kami
kesempatan untuk bias menyusun makalah tugas pasca presentasi ini. Tidak lupa juga
shalawat serta salam kita junjungkan ke nabi besar kita Nabi Muhammad SAW, karena
atas berkatnyalah kita terbebas dari jaman jahiliyah ke jaman terang-benderang ini.

Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas tentang hukum perjanjian sebagai
model bagi pengaturan masyarakat khususnya yang ada di Indonesia. Semoga makalah
ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada mahasiswa sebagai bekal melakukan
pemahaman atau pedoman bagaimana peranan Negara dalam menerapkan Hukum
Perjanjian.

Dan tentunya makalah ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu kepada dosen
pembimbing kami minta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah kami di masa
yang akan datang.

I
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………i

Daftar
Isi…………………………………………………………………………………...ii

BAB 1 Pendahuluan……………………………………………………………………...1
1.1 Latar
Belakang………………………………………………………………….1
1.2 Tujuan……………………………………………………………………2
1.3 RuangLingkup
Materi………………………………………………………….2

BAB 2 Pembahasan………………………………………………………………………3
Pengertian ……………………………………………………………………..5
Unsur-unsur Perjanjian…………………………………………………………..7
Asas-asas Perjanjian……………………………………………………………...9
Syarata-syarat Perjanjian………………………………………………………..11
Saat Lahirnya Perjanjian………………………………………………………...12
Jenis-jenis Perjanjian………………………………………………………….13
Pelaksanaan dan Pembatalan Suatu
Perjanjian…………………………………..14

BAB 4 Penutup……………………………………………………………………
4.1 Kesimpulan………………………………………………
4.2Usuldan Saran………………………………………………………………

Daftar Pustaka…………………………………………………………..18

II
BAB 1
PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN
Diantara para orientalis ada beberapa sarjana yang meyakini
bahwa ajaran islam bukan semata-mata agama, tetapi juga mengatur
masalah-masalah negara. Dikalangan jumhur ulama berpendapat
bahwa islam mengharuskan adanya negara dan pemerintahan, di
samping itu meskipun jumlahnya kecil ada pula yang hanya
membolehkan saja. Dalam pada itu ada pula putra-putra islam pada
zaman mutakhirin ini yang berpendapat bahwa tidak perlu ada
campur tangan agama dalam kehidupan negara.

Orientalis yang mengakui kenyataan sebagaimana tersebut di


atas antara lain C.A. Ollino yang berkata, “muhammad telah
meletakkan dasar agama dan negara pada waktu yang sama. “mac
donald mengatakan, disana di madinah, telah terbentuk negara islam
yang pertama, diletakkan pula prinsip-prinsip yang asasi di dalam
aturan-aturan islam. “ dan H.R. Gibb, menyatakan “pada waktu itu
menjaadi jelas bahwa islam bukanlah semata akidah agama yang
individual sifatnya, tetapi juga mewajibkan mendirikan masyarakat
yang mempunyai uslub-uslub tertentu di dalam pemerintahan dan
mempunyai undang-undang dan aturan-aturan yang khusus.

Sejarahpun telah mencatat dengan luar biasa tentang eksistensi


negara islam ini didunia ini. Oleh kesadaran bahwa setiap umat islam
harus tahu tentang sejarah tersebut, maka dengan sumber yang
terbatas penulis akan mencoba untuk membahas pembahasan yang
singkat ini dengan judul praktek ketatanegaraan islam dalam lintasan
sejarah” meliputi:  mekanisme pengangkatan dan pemberhentian
pemimpin dikalangan sunni dan syi’ah, dan praktek kenegaraan yang
dimulai dari masa rasulullah sampai dengan republik islam iran

1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pemimpin


(dikalangan sunni dan syi’ah)
Persoalan siyasah yang pertama yang dihadapi kaum muslimin
setelah rasulullah wafat adalah suksesi politik. Sebagaimana
dimaklumi, rasulullah tidak menentukan siapa yang akan
menggantikannya dna bagaimana mekanisme pergantian itu
dilakukan. Oleh sebab itu, dalam sejarah islam, dikenal berbagai
mekanisme penetapan kepala negara, dan tentu saja, dengan
berbagai  kriteria yang sesuai dengan sosiohistoris yang ada. Dalam
kasus khulafa al-rasyidin, sebagai contoh, abu bakar ditetapkan
berdasarkan “pemilihan suatu musyawarah terbuka”, umar bin al-
khathab ditetapkan berdasarkan “penunjukan kepala negara
pendahulunya”, usman bin al-affan ditetapkan berdasarkan
“pemilihan dalam suatu dewan formatur” dan ali bin abi thalib
ditetapkan berdasarkan pemilihan melalui musyawarah dalam
pertemuan terbuka”. Kenyataan demikian dimungkinkan oleh
perubahan sosial-budaya dan dengan demikian menampilkan
karakter siyasah yang berbeda dari waktu kewaktu dari tempat
ketempat.

Banyak orang yang mengira bahwa bentuk pemerintahan di


dalam islam adalah republik bukan kerajaan sesungguhnya memang
ada kesamaan antara republik dengan bentuk pemerintahan di dalam
sejarah islam, yaitu dalam hal dipilihnya kepala negara. Akan tetapi,
islam tidak menentukan jangka waktu tertentu yang disebut masa
jabatan untuk seseorang kepala negara. Ini tidak berarti bahwa
seorang kepala negara tidak dapat diganti, akan tetapi dasar
penggantian seorang kepala negara bukan habisnya masa jabatan.

Seorang kepala negara tetap di dalam jabatannya selama


maslahat, selama dipandang baik dan mampu menjalankan tugas-
tugasnya. Rakyat juga berhak untuk memberhentikannya apabila ada
alasan untuk itu.Kemudian yusuf musa berkesimpulan bahwa
seorang kepala negara tidak dapat diberhentikan kecuali apabila telah

2
sampai kepada tingkatan kufur. Abdul karim zaydan pun sependapat
dengan yusuf musa, dengan sat peringatan, jangan sampai
menghilangkan satu kemungkaran tetapi menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar.

Al-mawardi dalam kitabnya al-ahkam alsultaniyah mengenai


hal ini berpendapat bahwa apabila seorang imam telah melakukan
kewajiban-kewajibannya dengan baik, maka dia harus ditaati dan
dibantu kecuali apaabila: (1) ada cacat pada keadilannya, dan (2)
cacat pada badannya. Yang dimaksud dengan cacat di dalam
keadilannya adalah fasiq.

Menurut jumhur fuqaha seorang imam dapat diberhentikan


apabila dia itu fasiq dan sebab-sebab lain seperti: tidak
memerhatikan keadaan kaum muslimin dan masalah-masalah agama,
sebab jelas jabatan imam adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin
dan mendirikan serta meninggikan agama. Jadi, kesimpulannya
adalah seorang imam dapat jatuh karena:

 Apabila dia sampai kepada tingkat kufron buwarahan, yaitu


berlepas diri dengan jelas dan sengaja dari nash-nash al-
qur’an
 Tidak dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
ditentukan oleh umat di dalam mengurus negara.
Hanya dalam memberhentikan  seoran imam ini ulama terbagi tiga
kelompok. Yaitu apabila ada alasan-alasan untuk memberhentikan
seorang imam:

 Harus diberhentikan meskipun timmbul fitnah


 Harus dipilih mana yang paling sedikit mudaratnya antara
memerhentikan dan tidak memberhentikannya.
 Kalau akan timbul fitnah, jangan diberhentikan.

Dan H.A. Djazuli tampaknya setuju dengan pendapat kedua karna


menurutnya lebih sesuai dengan kaidah ”mengambil yang
mudharatnya lebih sedikit”[1]

3
2. Praktek kenegeraan pada masa:
3. Rasulullah
Peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi setelah Rasululah
menetap di Madinah merupakan artikulasi nilai dasar fiqih siyasah
syar’iyyah. Di Madinah, terbentuk satu komunitas muslimin, yang
terdiri dari golongan muhajirin dan golongan anshar. Sebagai satu
komunitas masyarakat yang majemuk, kaum muslimin diharuskan
berinteraksi dengan komunitas-komunitas lain, yang terdiri dari:
orang-orang nashrani, orang-orang Yahudi, dan orang-orang
musyrik Madinah. Dalam kedudukannya sebagai kepala negara,
kebijakan Rasulullah SAW merupakan pelaksanaan fiqih siyasah
syar’iyyah.[2]
Aktivitas yang sangat penting dan tugas besar yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW setelah menetap di Madinah pada tahun
pertama Hijrah adalah pembangunan masjid Quba, dan menata
kehidupan sosial politik masyarakat kota itu yang bercorak
majemuk.

Langkah berikut Nabi Muhammad SAW adalah menata


kehidupan sosial politik komunitas-komunitas di Madinah. Untuk
itu Nabi Muhammad SAW menempuh dua cara. Pertama, menata
intern kehidupan kaum muslimin, yaitu mempersaudarakan kaum
Muhajirin dan kaum Anshar secara efektif. Persaudaraan ini
bukan diikat oleh hubungan darah atau kabilah, melainkan atas
dasar ikatan agama (iman), kedua, Nabi Muhammad SAW
mempersatukan antara kaum Muslimin dan kaum Yahudi bersama
sekutu-sekutunya melalui perjanjian tertulis yang dikenal dengan
”Piagam Madinah”. Satu perjanjian yang menetapkan persamaan
hak dan kewajiban semua komunitas dalam kehidupan sosial dan
politik. Muatan piagam ini menggambarkan hubungan antara
Islam dan ketatanegaraan dan undang-undang yang diletakkan
oleh Nabi Muhammad

4
SAW, untuk menata kehidupan sosial politik masyarakat
Madinah..[3]

Dalam prakteknya, Nabi Muhammad SAW menjalankan


pemerintahan tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil
satu keputusan politik, misalnya, dalam beberapa kasus Nabi
melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada
empat cara yang ditempuh Nabi dalam pengambilan keputusan
politik:

5
 mengadakan musyawarah dengan para sahabat senior
 meminta pertimbangan kalangan professional
 melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak
luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar
 mengambil keputusan sendiri, seperti keputusan Nabi dalam
menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian
Hudaibiyah.[4]

Pemegang otoritas peradilan di zaman Nabi Muhammad


SAW.  adalah Nabi Muhammad SAW. sendiri. Dilihat dari
ketatanegaraan modern (trias politica), yakni fungsi yudikatif
(kehakiman), ekskutif (pemerintahan), dan legislatif (pembuat
undang-undang), Nabi Muhammad SAW menjalankan ketiga
fungsi institusi sekaligus.·sultah tashriiyah (fungsi
legislatif), sultah tanfidziyah (eksekutif), dan sultah
qadlaiyah (yudikatif)[5]
Sistem-Sistem yang Dibangun Nabi Muhammad SAW:

 Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW.
berakar dari prinsip-prinsip Qurani. Al-Quran yang merupakan
sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan
sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di
setiap aspek kehidupannya, termasuk di bidang ekonomi. Prinsip
Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya
milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya
di muka bumi.

 Sistem Keuangan Dan Pajak


di Madinah juga pada masa Nabi Muhammad SAW.  sudah ada
yang namanya sumber anggaran pendapatan negara semisal pajak,
zakat, kharaj, dsb. Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan
harta yang di fardhu-kan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam
rangka memenuhi kebutuhan mereka.[6]

1. Khulafaurrasyidin
 Masa khalifah abu bakar as shiddieq

6
Sehari setelah Rasul wafat, kaum Anshar memprakarsai
musyawarah besar di Saqifah Bani Sa’idah. Mereka sibuk
membicarakan siapa yang akan diangkat menjadi khalifah
pengganti kekuasaan politik Nabi Muhammad SAW.[7] Sewaktu
dialog tersebut, berita pertemuan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah
pun sampai ke telinga ‘‘Umar dan Abu ‘Ubaidah. ‘‘Umar segera
mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk datang segera
menemuinya. Namun Abu Bakr tidak bersedia karena sibuk
mengurus jenazah Nabi Muhammad SAW. ‘‘Umar pun menyuruh
utusan tersebut datang kembali kepada Abu Bakr dengan
membawa pesan bahwa ada sesuatu yang penting telah terjadi dan
memerlukan kehadirannya untuk dibicarakan bersama. Akhirnya
Abu Bakr datang kepada ‘‘Umar diliputi rasa heran. ‘‘Umar pun
menceritakan peristiwa Saqifah tersebut. Setelah mendengar cerita
‘‘Umar, segera saja mereka bertiga – yakni Abu Bakr, ‘‘Umar dan
Abu ‘Ubaidah – berangkat menuju balai pertemuan kaum Anshar
tadi.
Ketika mereka tiba, kaum Anshar masih terlibat diskusi yang alot.
Mereka belum mencapai kata sepakat tentang pencalonan Sa’ad
ibn ‘Ubadah. Melihat kedatangan ketiga orang ini, semua hadirin
berhenti bicara. Sebenarnya ‘‘Umar ingin bicara lebih dahulu
kepada kaum Anshar, namun Abu Bakr mencegahnya. Ia
khawatir, kalau-kalau sikap ‘‘Umar yang keras menimbulkan
gejolak di kalangan Anshar dan perpecahan di tubuh umat Islam.
Apalagi situasinya saat itu sedang panas dan alot. Akhirnya Abu
Bakr angkat bicara lebih dahulu. Pembicaraan Abu Bakr ternyata
juga menimbulkan reaksi di kalangan Anshar.

Akhirnya, dalam suasana tegang dan tarik ulur ini, Abu Bakr
terpilih menjadi khalifah. ‘‘Umarlah orang yang pertama
melakukan bai’ah terhadap Abu Bakr, diikuti oleh Abu ‘Ubaidah
dan kaum muslimin lainnya. Sementara Sa’ad ibn ‘Ubadah sampai
akhir kepemimpinan Abu Bakr tidak pernah memberikan bai’ah
kepada Abu Bakr.[8]
Setelah terpilih menjadi khalifah menggantikan Rasulullah SAW,
Abu Bakr menyampaikan “pidato kenegaraan” di Masjid Nabawi.
Pidato pelantikan ini memperlihatkan garis kebijakan yang akan
ditempuh oleh Abu Bakr sebagai Nakhoda baru bahtera Negara
Madinah. Hal-hal penting yang dapat dicatat pada pidato tersebut
adalah:[9]

7
Pertama, pelantikan Abu Bakr dapat dikatakan sebagai wujud dari
kontrak sosial antara pemimpin dan rakyatnya. Karenanya, Abu
Bakr hanya menuntut kepatuhan dan kesetiaan umat Islam
kepadanya, selama ia berjalan pada jalan yang benar.
Kedua, karena itu, Abu Bakr meminta kepada segenap rakyatnya
untuk berpartisipasi aktif melakukan kontrol sosial terhadap
dirinya. Dalam hal ini Abu Bakr memberikan dan menjamin
kebebasan berpendapat kepada rakyatnya.
Ketiga, tekad Abu Bakr untuk menegakkan keadilan dan HAM
dengan melindungi orang-orang yang lemah dari kesewenang-
wenangan orang yang kuat.
Keempat, seruan untuk membela Negara (jihad) pada saat
dibutuhkan.
Kelima, perintah untuk tetap menjalankan shalat sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh keberkahan dalam masyarakat.
Abu Bakr menyusun sistem pemerintahan yang menekankan pada
prinsip pembagian kekuasaan dan penempatan orang sesuai
dengan kemampuannya. Untuk pelaksanaan tugas-tugas eksekutif,
Abu Bakr melakukan pembagian kekuasaan di kalangan sahabat
senior. Untuk membantu tugas-tugas di daerah, Abu Bakr
meneruskan pola Nabi mengangkat para gubernur sebagai kepala
pemerintahan.

Dapat dikatakan, pemerintahan Abu Bakr merupakan “batu ujian”


pertama bagi umat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai
ajaran Islam setelah Nabi wafat. Abu Bakr dapat melaksanakan
ujian tersebut dan berhasil membangun sebuah sistem
pemerintahan yang bersih, etis dan mengikutsertakan partisipasi
segenap warganya.

 Pada masa khalifah umar bin khatab


Abu Bakr menetapkan ‘‘Umar ibn al-Khaththab sebagai khalifah.
Dalam penetapan ini, Abu Bakr tetap melaksanakan musyawarah
dengan sahabat-sahabat lainnya. Di antara sahabat yang diajaknya
bermusyawarah adalah ‘Abd al-Rahman ibn ‘Awf dan ‘Usman ibn
‘Affan serta Asid ibn Khudair. Pada prinsipnya, sahabat-sahabat
tersebut menyatakan setuju dengan pilihan Abu Bakr. Hanya saja
‘Abd al-Rahman mengingatkan bahwa ‘‘Umar terlalu keras.
Namun dengan bijaksana Abu Bakr menjawab bahwa sikap keras
tersebut karena ‘‘Umar melihat sifat Abu Bakr yang lemah

8
lembut. Kelak setelah menjadi khalifah, ‘‘Umar pun bisa menjadi
lemah lembut.

Setelah bermusyawarah dengan tiga tokoh sahabat di atas, Abu


Bakr meminta ‘Usman untuk menuliskan pesan tentang
penunjukan ‘‘Umar sebagai penggantinya. Abu Bakr kemudian
menemui umat Islam yang berkumpul di masjid dan
menyampaikan keputusannya memilih ‘‘Umar. Abu Bakr
bertanya, “apakah kalian semua rela menerima orang yang kelak
akan memimpin kamu? demi Allah, sesungguhnya aku tidak
melupakan pemikiranku dan tidak memilih kerabatku sebagai
penggantiku untuk memimpin kamu. Aku mengangkat ‘‘Umar.
Karena itu, dengar dan patuhilah dia”. Para hadirin pun
menyatakan sikap setuju dan mematuhi apa yang disampaikan
Abu Bakr.[10]
Setelah dilantik menjadi kepala Negara, Umar segera
melaksanakan tugas-tugas kenegaraan. Secara prinsip, umar
melanjutkan garis kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakr.
Namun karena permasalahan yang dihadapi umar semakin
berkembang seiring dengan perluasan daerah  Islam, Umar
melakukan berbagai kebijaksanaan yang antisipatif terhadap
perkembangan dan tantangan yang dihadapinya. Kebijaksanaan
yang dilakukan Umar sebagai kepala Negara meliputi
pengembangan daerah kekuasaan Islam, pembenahan birokrasi
pemerintahan, peningkatan kesejahteraan rakyat, pembentukan
tentara Negara reguler yang digaji oleh Negara, pengembangan
demokrasi dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya.[11]
Pada masa Umar, lembaga-lembaga penting (semacam
departemen) untuk pertama kali mulai dibentuk. Umar membentuk
lembaga kepolisian (Diwan al-Ahdats) untuk menjaga keamanan
dan ketertiban dalam masyarakat dan lembaga pekerjaan umum
(Nazharat al-Nafi’ah) yang menangani masalah-masalah
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Lembaga peradilan (al-Qadha) juga mulai berdiri sendiri dan
terpisah dari kekuasaan eksekutif. Umar juga membentuk
departemen perpajakan (al-Kharaj) untuk mengelola perpajakan
daerah-daerah yang dikuasai. Umar pun membentuk departemen
pertahanan dan keamanan (Diwan al-Jund) yang mengurus dan
mengorganisasi masalah-masalah ketentaraan.

9
Di samping itu, Umar juga mendirikan kantor perbendaharaan dan
keuangan Negara (Bait al-Mal) yang permanen, menempa mata
uang dan menetapkan tahun Hijrah sebagai penanggalan Islam.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, umar mulai
memisahkan kekuasaan legislatif (majelis syura), yudikatif
(Qadha’) dan eksekutif (khalifah), meskipun tentu saja pemisahan
ini tidak bisa diperbandingkan dengan sistem pemerintahan
modern trias politica seperti sekarang ini. Kebijakan ini
menunjukkan bahwa Umar memang seorang negarawan dan
administrator yang bijak. Umar tidak mencampur-adukkan tiga
kekuasaan tersebut, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan
baik dan membawa kepada kemaslahatan umat Islam.
 Masa khalifah usman bin affan
‘Umar tidak langsung menunjuk seseorang sebagai pengganti,
seperti dilakukan Abu Bakr terhadap dirinya. ‘Umar memilih
enam sahabat senior yang terdiri dari Usman, Ali, Abd al-Rahman
ibn Awf, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Sa’d ibn
Abi Waqqash dan putranya sendiri, Abdullah.(tim formatur)[12]
Sebagaimana halnya dua khalifah sebelumnya, Utsman juga
menyampaikan pidato kenegaraan saat pelantikannya sebagai
khalifah. Pidato ini, tidak seperti pidato dua khalifah sebelumnya,
tidak memperlihatkan visi politik Utsman yang jelas dalam
menjalankan pemerintahannya. Pidato ini lebih bersifat sebagai
nasihat seorang tua kepada anak-anaknya.

Pada dasarnya garis kebijakan yang akan dilaksanakan Utsman


adalah mencoba mengacu kepada kebijakan khalifah Abu Bakar
dan Umar. Seperti halnya Umar, Utsman juga melakukan
perluasan wilayah kekuasaan Islam.

Pada awal pemerintahannya memang kebijaksanaan politik


Utsman tidak mengalami tantangan dan protes dari umat Islam.
Namun ini hanya berjalan selama enam tahun pertama
pemerintahannya. Pada enam tahun kedua, Utsman mulai diterpa
badai protes dan ketidakpuasan dari berbagai daerah.

Dalam bidang politik, banyak sejarawan menilai Utsman


melakukan praktek nepotisme. Ia mengangkat pejabat-pejabat
yang berasal dari kalangan keluarganya, meskipun tidak layak
untuk memegang jabatan tersebut.

10
Dalam pendayagunaan kekayaan Negara, disinyalir pula bahwa
Utsman dimanfaatkan oleh orang-orang dekatnya untuk
menyalahgunakan harta Negara demi kepentingan pribadi dan
keluarga mereka. Selain itu, Utsman juga mengambil sebagian
kekayaan Negara untuk menutupi kebutuhannya beserta keluarga
dan kerabatnya. Hal Ini menimbulkan rasa tidak puas dan frustasi
di kalangan rakyat. Klimaksnya adalah peristiwa tragis
pembunuhan khalifah Utsman di tangan umat Islam sendiri.[13]
 Masa ali bin abi thalib
Pengukuhan Ali menjadi Khalifah tidak semulus pengukuhan tiga
orang khalifah pendahulunya. Ia dibai’at di tengah-tengah suasana
berkabung atas kematian Utsman, pertentangan dan kekacauan
serta kebingungan umat Islam Madinah. Ali ibn Abi Thalib
dikukuhkan menjadi Khalifah Keempat menggantikan Utsman ibn
Affan yang mati terbunuh di tangan kaum pemberontak.[14]
Setelah pembunuhan Utsman, para pemberontak dari berbagai
daerah mencari beberapa sahabat senior seperti Thalhah, Zubeir
dan Sa’d ibn Abi Waqqash untuk dibai’at menjadi khalifah.
Namun di antara mereka tidak ada yang  bersedia. Akhirnya
mereka menoleh kepada Ali. Pada awalnya Ali pun tidak bersedia,
karena pengangkatannya tidak didukung oleh kesepakatan
penduduk Madinah dan veteran Perang Badar (sahabat senior).
Menurutnya, orang yang didukung oleh komunitas inilah yang
lebih berhak menjadi khalifah. Akhirnya Malik al-Asytar al-
Nakha’i melakukan bai’at dan diikuti keesokan harinya oleh
sahabat besar seperti Thalhah and Zubeir. Menurut sebuah
riwayat, Thalhah dan Zubeir membai’at Ali di bawah ancaman
pedang oleh Malik al-Asytar.[15]
Dengan demikian Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin secara
aklamasi. Karena: Pertama, banyak sahabat senior ketika itu tidak
berada di kota Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah
taklukan baru; Kedua, wilayah Islam sudah meluas ke luar kota
Madinah.
Setelah pelantikan, Ali ibn Thalib menyampaikan pidato visi
politiknya dalam suasana yang kacau di Mesjid nabawi. Hal
pertama yang dilakukan Ali setelah menjabat sebagai khalifah
adalah memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat Utsman
sebelumnya dan menarik kembali untuk Negara tanah yang telah
dibagi-bagi Utsman kepada kerabatnya.

11
Meskipun masa pemerintahan Ali yang selama enam tahun tidak
sunyi dari pergolakan politik, Ali berusaha menciptakan
pemerintahan yang bersih, berwibawa dan egaliter. Dalam sikap
egalitarian, Ali bahkan mencontohkan sosok seorang kepala
Negara yang berkedudukan sama dengan rakyat lainnya. Ali ingin
mengembalikan citra pemerintahan Islam sebagaimana pada masa
Umar dan Abu Bakr sebelumnya. Namun kondisi masyarakat
yang kacau balau dan tidak terkendali lagi menjadikan usaha Ali
tidak banyak berhasil. Akhirnya praktis selama pemerintahannya,
Ali lebih banyak mengurus persoalan pemberontakan di berbagai
daerah.

Meskipun demikian, menurut Nurcholis Madjid, pemerintahan Ali


merupakan contoh komitmen yang kuat kepada keadilan sosial
dan kerakyatan (populisme), disamping kesungguhan di bidang
ilmu pengetahuan.
1. Daulah umayah
Periode Negara Madinah berakhir dengan wafatnya Ali ibn Abi
Thalib. Tokoh yang naik ke panggung politik dan pemerintahan
adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan, Gubernur wilayah Syam sejak
zaman Khalifah Umar. Ia adalah pendiri dan Khalifah Pertama
Dinasti ini. Terbentuknya Dinasti ini dan Muawiyah memangku
jabatan khalifah secara resmi terjadi pada tahun 661 H/41 M.[16]
Perubahan yang dilakukan Muawiyah dalam pemerintahannya
ialah menggantikan sistem pemerintahan yang yang
bercorak syura dengan pemilihan kepala Negara secara
penunjukan. Berbeda dengan empat khalifah sebelumnya,
Muawiyah tidak menyerahkan masalah ini kepada umat Islam,
tetapi menunjuk putranya sendiri, Yazid, menjadi penggantinya.
Ini mengawali lahirnya corak monarkhi dalam pemerintahan Islam
yang berlangsung bahkan hingga awal abad ke-20 M. Di samping
sebagai wujud ambisinya untuk memperkuat posisi bani
Umayyah, Muawiyah agaknya ingin meniru corak kerajaan yang
berkembang di Persia dan Romawi. Ini wajar, karena selama
menguasai Syam, Muawiyah banyak melihat dan berinteraksi
dengan pola hidup dan kebudayaan penduduk setempat yang
bercorak Romawi dan Persia. Muawiyah berhasil meletakkan
dasar-dasar pemerintahan yang kokoh dan dilanjutkan oleh
pengganti-penggantinya secara turun temurun.
Setelah merasa aman, mulai Muawiyah membenahi Negara dan
melakukan berbagai kebijaksanaan politik. Perubahan politik yang

12
dilakukan Muawiyah adalah memindahkan ibu kota Negara ke
Damsyik. Perubahan lain yang dilakukan Muawiyah adalah
menggantikan sistem pemerintahan yang bercorak syura dengan
pemilihan kepala Negara secara penunjukan.

Selain itu, Bani Umayyah juga melakukan berbagai


penyempurnaan di bidang administrasi Negara (birokrasi),
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Struktur pemerintahan pusat terdiri dari lima dapartemen,
yaitu Diwan al-Jund (militer), Diwan al-Kharaj (perpajakan dan
keuangan), Diwan al-Rasa’il (surat menyurat), Diwan al-
Khatam (arsip dan dokumentasi Negara) dan Diwan Al-Barid
(pelayanan pos dan registrasi penduduk).
Dalam pemerintahan daerah, wilayah kekuasaan Bani Umayyah
dibagi menjadi lima propinsi besar, yaitu 1). Hijaz, Yaman dan
Arabia, 2). Mesir bagian utara dan selatan, 3). Irak dan Persia, 4). 
Mesopotamia, Armenia dan Azerbaijan, dan 5). Afrika utara,
Spanyol, Prancis bagian selatan, Sisilia dan Sardinia. Tiap-tiap
propinsi dipimpin oleh seorang gubernur yang bertugas
menjalankan administrasi politik dan militer untuk wilayah
masing-masing.

Dalam perekonomian dan peningkatan kesejahteraan rakyat,


pemerintahan bani Umayyah mencatat perkembangan yang pesat.
Pada masa pemerintahan Abdul Malik ibn Marwan( 65-86 H), alat
tukar mata uang Bizantium dan Persia yang berlaku sebelumnya
diganti dengan mata uang yang dicetak sendiri dan memakai
bahasa Arab.

1. Daulah Abbasiyah
Setelah pemerintahan Dinasti Umayyah jatuh, kekuasaan khilafah
jatuh ke tangan Bani Abbas. Berdirinya Dinasti Abbasiyah ini
merupakan hasil perjuangan gerakan politik yang dipimpin oleh
Abu al-Abbas yang dibantu oleh kaum Syi’ah dan orang-orang
Persi. Gerakan politik ini berhasil menjatuhkan Dinasti Umayyah
di tahun 750 M. Dalam mempertahankan kekuasaan, sebagaimana
Bani Umayyah, dilakukan dengan cara kekerasan dan intrik-intrik
politik.

13
Dinasti Bani Abbas ditegakkan secara revolusi di atas sisa-sisa
kekuatan Bani Umayyah  pada tahun 750 M. Abu al-Abbas al-
Saffah memproklamirkan berdirinya kerajaan Bani Abbas.
Meskipun al-Saffah merupakan pendiri Dinasti ini, orang yang
berjasa mengembangkannya adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-
775 M).[17] Sistem suksesi dan pelaksanaan pemerintahan yang
dikembangkan oleh Bani Abbas merupakan pengembangan dari
bentuk yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Kebijakan terpenting yang dilakukan Khalifah Dinasti Bani Abbas
yaitu al-Manshsur adalah memindahkan Ibu Kota kerajaan ke
Baghdad pada tahun762 M. Ada beberapa hal penting yang
dilakukan oleh khalifah-khalifah Bani Abbas dalam menjalankan
pemerintahan. Bani Abbas mengembangkan sistem pemerintahan
dengan mengacu pada empat aspek, yaitu
aspek Khilafah, Wizarah (salah satu aspek dalam kenegaraan yang
membantu tugas-tugas Kepala Negara), Hijabah (pengawal),
dan Kitabah (sekretaris).
Selain empat aspek tersebut diatas, untuk urusan daerah (propinsi),
Khalifah Bani Abbas mengangkat kepala daerah (Amir) sebagai
pembantu mereka. Ketika Khalifah masih kuat, sistem
pemerintahan ini bersifat sentralistik. Namun setelah kekuasaan
pusat lemah, masing-masing Amir berkuasa penuh mengatur
pemerintahannya sendiri. Hingga pada akhirnya banyak daerah
yang melepaskan diri dari kekuasaan pusat. Pada masa al-Saffah
daerah kekuasaan bani Abbas terbagi menjadi dua belas propinsi.
Seperti halnya masa Bani Umayyah, kekuasaan yudikatif dibagi
kepada bidang hisbah, al-Qadha’ dan al-Mazhalim. Tugas dan
kewenangan mereka juga tidak berbeda dengan masa yang
sebelumnya namun selain tiga bidang tersebut, Bani Abbas juga
membentuk lembaga peradilan militer.
Dalam perekonomian, sumber pendapatan terbesar Negara berasal
dari pajak Negara. Selain pajak, sumber devisa Negara lainnya
adalah pada pertanian, perdagangan dan industri.

Setelah mengalami kemajuan tersebut, lambat laun pemerintah


bani Abbas pun mengalami kemunduran dan kelemahan, hingga
akhirnya pada 1258 M, Daulat ini hancur diserang oleh tentara
Mongol dibawah pimpinan Hulaghu Khan.

1. Daulah turki usmani

14
Selama 600 tahun kekuasaan Turki Usmani, Stanford J. Shaw
membagi sejarah Usmani kepada lima periode, yaitu, periode awal
(1280-1413), periode restorasi (1413-1451), periode puncak
(1451-1566), periode desentralisasi dan reformasi tradisional
(1566-1808), periode reformasi modern hingga kehancuran dinasti
(1808-1924). Periode awal Usmani ditandai dengan penyusunan
basis kekuasaan, perluasan wilayah dan kehancuran sementara
akibat serangan Mongol. Memasuki abad ke-19, Turki Usmani
sudah semakin kehilangan kekuata. Wilayah-wilayah Eropa satu
persatu lepas dari kekuasaannya.

Dalam pelakasanaan pemerintahan, penguasa-penguasa imperium


Usmani bergelar Sultan dan Khalifah sekaligus. Sultan adalah
gelar mereka untuk masalah-masalah duniawi, sedangkan
Khalifah merupakan gelar untuk urusan keagamaan. Sistem
pemerintahan Usmani banyak mengadopsi praktik kenegaraan
yang berlaku di Bizantium dan Persia. Untuk menjalankan kedu
fungsi ini, penguasa Usmani dibantu oleh tiga kekuasaan, yaitu
administrasi birokrasi, militer, dan kekuasaan agama. Dalam
masalah-masalah agama penguasa Usmani dibantu oleh para mufti
dan kadi (qadhi). Mufti berperan sebagai penafsir hukum,
sedangkan kadi berperan sebagai pelaksananya. Sejak periode
awal, Sultan Usmani di bantu oleh dua pjabat penting di daerah,
bey dan kadi. Bey adalah adalah gubernur daerah yang berasal
dari kelas militer dan menjadi wakil Sultan dalam pelaksanaan
kekuasaan eksekutif. Sementara kadi mewakili Sultan dalam
kekuasaaan hukum.

3. Praktek kenegaraan dilingkungan syi’ah:


4. Daulah fatimiyah
1. Daulah safawiyah
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarikat yang berdiri
di Ardabil,sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini di beri nama
tarekat Safawiyah, didirikan pada waktu hampir sama dengan
berdirinya kerajaan Usmani.Nama Safawiyah, di ambil dari nama
pendirinya, Safi al-Din (1252-1334 M),dan nama Safawi itu terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan,
nama itu terus dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan[18]

15
Negara Safawi secara resmi berdiri di Persia pada tahun 1501 M,
yaitu ketika Ismail I dengan pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan Ak-Koyunlu di Shapur,dekat Nakhechivan,yaitu
ibukota Ak-Koyonlu.Ismail berhasil merebut dan mendudukinya.
Di kota inilah Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja yang
pertama dinasti  Safawi.[19]
Masa kekuasaan Abbas 1 merupakan puncak kejayaan kerajaan
Safawi.Secara politik ia mampu menyelesaikan bebagai kemelut
didalam negri yang mengganggu stabilitas Negara dan merebut
kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan lain
pada masa raja-raja sebelumnya.[20]
Kemajuan-Kemajuan yang dicapai oleh safawi ini antara lain yaitu
Pada Masa Syah Abbas:

1. Dalam bidang politik


Dalam hal ini,langkah pertama yang diambil oleh Syah Abbas
adalah membangun angkatan senjata yang kuat dan besar bagi
kerajaan Safawi.Dengan kekuatan militer yang tangguh ,usaha-
usaha yang dilakukan Syah Abbas untuk membuat kerajaan
Safawi kuat serta merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaanya
yang hilang akhirnya tercapai.Hal ini dapat dibuktikan dengan
direbutnya kembali Hearat pada 1598 M dan dapat melanjutkan
kembali serangan-serangan sehingga dapat merebut Marw dan
Balk.

1. Dalam bidang ekonomi


Pada masa Syah Abbas ,kerajaan Safawi dapat mengusai Harmuz
dan pelabuhan Gumrun di ubah menjadi  Bandar Abbas.Kerajaan
Safawi juga menjalin hubungan perdagangan dengan Rusia di
sekitar laut Kaspia.

1. Dalam bidang ilmu pengetahuan


Pada masa kerajaan Safawi di Persia ,filsafat dan ilmu
pengetahuan bangkit kembali di dunia Islam,khususnya di
kalangan orang-orang Persia.Tokoh-tokoh dalam ilmu
pengetahuan yang lahir pada masa ini seperti Mir Daud alias
Muhammad Baqir Daud (w 1631 M).Ia dianggap sebagai guru
ketiga di bidang  filsafat setelah Aristoteles dan al-Faraby.Ia
mempunyai banyak  karya tulis dalam berbagai bidang seperti

16
Fiqh,theology,dan filsaat yang ditulis dalam bahasa Persia dan
Arab.

1. Kemajuan dalam bidang pembangunan fisik dan seni


Adapun pembangunan fisik yang terkenal pada saat iti ialah
pembangunan kota Isfahan,yang dijadikan ibukota kerajaan
Safawipada masa abbas.sedangkan ibukota sebelumnya adalah
Tabriz pada masa Ismail jatuh ke tangan Usmani dan pada masa
Thamsah dipindahkan ke kota Qizwin,lalu pada masa Abbas
dipindahkan lagi ke Isfahan.

Di bidang seni,kemjuan yang dicapainya adalah di bidang


arsitektur pada bangunan mesjid yang indah di Isfahan yang di
bangun pada masa Abbas.Selain itu juga dijumpai hasil industry
seperti keramik-keamik yang indah dan karpet dengan berbagai
corak motifnya.

1. Republik islam iran


Iran (atau Persia) (bahasa Persia: ‫ران‬RRRRRRR‫ )ای‬adalah
sebuah negara Timur Tengah yang terletak di Asia Barat Daya.
Meski di dalam negeri negara ini telah dikenal sebagai Iran sejak
zaman kuno, hingga tahun 1935 Iran masih
dipanggil Persia di dunia Barat. Pada tahun 1959, Mohammad
Reza Shah Pahlavi mengumumkan bahwa kedua istilah tersebut
boleh digunakan. Nama Iran adalah sebuah kognat perkataan
“Arya” yang berarti “Tanah Bangsa Arya”.
Iran berbatasan dengan Azerbaijan (500 km) dan Armenia (35 km)
di barat laut dan Laut Kaspia di utara, Turkmenistan (1000 km) di
timur laut, Pakistan (909 km) dan Afganistan (936 km) di
timur, Turki (500 km) dan Irak (1.458 km) di barat, dan
perairan Teluk Persia dan Teluk Oman di selatan.
Pada tahun 1979, sebuah Revolusi Iran yang dipimpin Ayatollah
Khomeini mendirikan sebuah Republik Islam teokratis sehingga
nama lengkap Iran saat ini adalah Republik Islam Iran (‫جمهوری‬
‫)اسالمی ایران‬.[21]
 

17
 
DAFTAR PUSTAKA

Yatim, Badri. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Rajawali Pres


Djazuli, Prof. H. A. MA. 2003. Fiqih Siyasah: Implementasi
Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah. Bandung:
Kencana
Iqbal, Muhammad, Dr. M.Ag. 2007. Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Mubarok, Jaih, Dr. M.Ag. 2005. Fiqih Siyasah: Studi Tentang Ijtihad
dan Fatwa Politik di Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta:
UI-Press
Pulungan, Suyuthi, Dr. J. M.A. 1999. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah
dan Pemikiran. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Harun Maidir, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, IAIN-IB Press:
Padang,2002 Supriyadi
[1] Prof. H. A. Djazuli, MA., Fiqih Siyasah: Implementasi
Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Bandung:
Kencana, 2003), hal. 116-117
[2] Prof. H. A. Djazuli, MA., Fiqih Siyasah: Implementasi
Kemaslahatan Ummat Dalam Rambu-Rambu Syari’ah, (Bandung:
Kencana, 2003), hal. 21
[3] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal.85.
[4] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal. 38-39
[5] http://bataviase.co.id, diakses tanggal 20 September 2011

18
[6] http://el-ghazaly.blogspot.com/2009/12/perkembangan-
ketatanegaraan-islam-masa.html, diakses tanggal 20 September 2011
[7] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan
Pemikiran, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hal.103.
[8] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi
Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), hal.46
[9] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 87
[10] Ibid., hal. 117
[11] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 56
[12] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 65-66
[13] Ibid., hal. 74-75
[14] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Op. Cit., hal. 151
[15] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 76
[16] Dr. J. Suyuthi Pulungan, M.A., Op. Cit., hal. 162
[17] Dr. Muhammad Iqbal, M.Ag., Op. Cit., hal. 87
[18] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo
Persada:Jakarta,1993, h 138
[19] Maidir Harun, Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, IAIN-IB Press:
Padang,2002,h 166
[20] Badri Yatim, op,cit, h 142-143
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/

19

Anda mungkin juga menyukai