Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

Sistem Pergantian Kepala Negara

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

Dosen Pengampu : Drs.Yasdi Tohru M.Pd.I

Disusun Oleh :

1. Ipra Adinata (2286230019)

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NURUL HUDA OKU TIMUR

TAHUN AJARAN 2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpah
Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
dalam bentuk yang sangat sederhana.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah sejarah peradaban
islam juga karena ingin berbagi kepada pembaca tentang Sistem Pergantian
Kepala Negara

Saya mohon maaf apabila ketika dibaca pekerjaan saya ini banyak
kesalahan baik pemakaian kata, penyusunan kalimat, menjelaskan, menguraikan
isi atau data yang kurang lengkap karena saya baru belajar, kritik dan saran sangat
saya harapkan untuk perbaikan pekerjaan saya dimasa yang akan datang.

Semoga tugas sederhana ini bisa bermanfaat khususnya bagi saya,


umumnya bagi pembaca dan khalayak semoga Allah memberkahi pekerjaan saya.

Oku Timur, 22 Mei 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................

DAFTAR ISI..........................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................

A. Latar Belakang.............................................................
B. Rumusan Masalah.......................................................
C. Tujuan..........................................................................

BAB II PEMBAHASAN .........................................................

A. Sistem Pergantian Kepala Negara...............................


1. Abu Bakar...................................................................
2. Umar Bin Khatab........................................................
3. Utsman Bin Affan.......................................................
4. Ali Bin Abi Thalib......................................................

BAB III PENUTUP.........................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................
B. Saran ....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana agama Islam telah disempurnakan oleh Allah SWT,
Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah dan akhlak serta urusan
akhirat semata tetapi juga mengatur urusan dunia termasuk cara hidup
bersosial maupun bernegara. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah
SWT di atas muka bumi sebagai Rasulullah SAW untuk menyampai
risalah. Kemudian dalam fungsi kenabiannya Nabi SAWmembangun tata
sosial yang ta’at kepada syari’at. Di samping sebagai Nabi SAW, ia juga
sebagai kepala negara, telah menyuruh untuk menegakan pada
pengikutnya apabila beliau sudah wafat, karena realisasi agama dan negara
tidak terealisir dengan sempurna tanpa adanya intitusi pemerintahan.
Sebagaimana menurut al-Ghazali, misinya pemerintahan ialah
untuk mengelola dan menjaga syari’at. 1Bahkan menurut A. Hasjmy
negara dapat berjalan dengan baik, karena ada dukungan langsung dari
pemerintahan.2 Oleh sebab itu negara dapat berjalan disebabkan adanya
institusi pemerintahan. Kemudian juga lembaga pemerintah dapat
dijalankan rodanya bila ada seorang pemimpim atau kepala negara. Maka
oleh sebab itu membentuk dan membangun kepala negara merupakan
kewajiban umat manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pergantian kepala negara pada periode khulafaur-
rasyidin ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sistem kepala negara pada periode khulafaur-
rasyidin.

1
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami zada, Fiqih syiasah, Doktrin dan pemikiran politik islam,
(Erlangga:PT Glora Aksara Pratama 2008), hlm. 32.
2
Siradjuddin, politikketatanegaraanislam, studi pemikiran islam A. Hasmy, cet. 1,
(Yogyakarta:pustaka pelajar 2007), hlm. 114.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sistem Pergantian Kepala Negara

Sistem pergantian Kepala Negara pada periode khulafaur-Rasyidin


berdasarkan beberapa pemikiran para ulama sebagai berikut:
Pertama, Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash baik di
dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah yang menentukan kepala negara, atau
menetapkan cara penen- tuannya. Kecuali nash-nash umum yang bertalian
dengan kekuasaan dan pengangkatan seorang penguasa daerah. Baik adalah
kekuasaan besar maupun keuasaan kecil. Perselisihan di antara para sahabat
waktu itu adalah sekitar masalah siapa yang berhak diantara mereka menjabat
kekhalifahan, bukan sekitar masalah prinsip. Sehingga orang yang terlambat
membaiat Abu Bakar tidaklah mengumumkan suatu prinsip tandingan yang
mereka yakini disyari’atkannya kepada manusia banyak.
Jika mereka mengerti suatu kaidah atau prisip yang diumumkan
Rasulullah saw tentu mereka tak akan tinggal diam. Karena diamnya mereka
mereka merupakan suatu penghianatan kepada Allah dan RasulNya. Begitu
juga diam tidak memberi nasehat. Setiap perkara pengutamaan si fulan atau
pengangguhan si fulan adalah melalui ijtihad pribadi di dalam memilih dan
mengutamakan (seseorang).
Begitu juga ahlu sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash yang
menentukan siapa yang berhak mengganti Rasul saw. Sekalipun sebagian
mereka bahwa ada isyarat tersembunyi dan beberapa qarinah
(pertalian) yang menunjukkan penetapan atas diri Abu Bakar sebagai
pengganti Nabi saw. Ini adalah masalah yang tidak disepakati melalui
kesimpulan yang dapat diterima atau ditolak.
Kedua, jika memang di dalam Al-Qur’an dan As- Sunnah tidak ada suatu
penetapan cara penentuan (kepala negara), kita kembali saja kepada aplikasi
keilmuan yang selesai di masa mayoritas sahabat dan generasi pertama

v
diantara mereka di dalam memilih khalifah. Agar kesimpulan aplikasi dianggap
sebagai ijma’ para sahabat, suatu prinsip dapat dijadikan pegangan dalam
membahas tema ini. Disamping pegangan kita terhadap nash-nash umum
yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Ketiga, dari cara terpilihnya Abu Bakar dan ketiga khalifah sesudahnya
dapatlah diuraikan beberapa prinsip sebagai berikut :

Prinsip pertama, Pemilihan mayoritas ahlu halli wa ‘aqd dan kaum cerdik
pandai di masyarakat terhadap orang yang mereka pandang cakap menduduki
jabatan khalifah dan memerintah orang-orang mukmin.3 Dan pembai’atan
mereka kepadanya. Serta pencalonnya sebelum menjadi seorang khalifah yang
melaksanakan pemerintahan untuk mengurus wasiat (khalifah sebelumnya).
Akan tetapi tidaklah terlaksana dengan wasiat ini, tetapi dengan wasiat
(pesan) kaum muslimin sesudah meninggalnya khalifah yang menga-
manatkan kepada orang sesudahnya.
Prinsip kedua, bai’at mayoritas umat Islam kepada khalifah yang
dicalonkan. Mereka rela kepadanya dan menerima kekhalifahannya dan
persetujuan mayoritas mereka atasnya. (Baca M. al-Mubarak, 1995: 82-83)
Peraturan tentang pemilihan kepala negara pada masa sahabat atau
khulafaur-Rasyidin tidak dibahas di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun al-
Hadits. Oleh karena itu pemilihan kepala negara pada masa sahabat
berdasarkan suara yang terbanyak, melalui lembaga ahlu halli wa ‘aqd yang
terdiri dari sahabat yang terpandang, baik ditinjau dari ke- sholehannya
maupun dari intelektualitasnya.
Sedangkan kepala negara yang akan dipilih harus memiliki dan memenuhi
persyaratan yang sudah ditentukan dan menjadi standar pada masa itu.
Setelah mereka sepakat siapa yang dipilih, maka selanjutnya diadakan
Piagam bai’at yang harus dilaksanakan oleh kepala negara yang terpilih. Di
bawah ini secara umum dipapar bagaimana proses pemilihan Kepala Negara.

3
Rianawati, sejarah dan peradaban islam, Stain Pontianak Press, 2010. Hlm 64.

vi
A. Ahlu al-Halli wa-al’Aqd

Sekelompok orang yang memilih imam atau kepala negara disebut ahlul halli
wal-agdi atau ahlul ikhiyar. Al- Qadhi Abu Ya’la telah menetapkan
beberapa syarat kecakapan bagi ahlul halli wal ‘aqd. Pertama, syarat moral
(akhlaq), yaitu keadilan, merupakan derajat keistiqamahan (dapat dipercaya
dalam hal amanah dan kejujuran). Kedua, ilmu yang dapat mengantarkannya
mengetahui dengan baik orang yang pantas menduduki jabatan imamah.
Seakan-akan antara dua syarat terakhir ada kekaburan dan kesamaran,
sekalipun nampak bahwa yang dimaksud dengan syarat kedua adalah ilmu
teoritis. Seolah-olah merupakan suatu persyaratan penguasaan terhadap
derajat tertentu daripada kebudayan (wawasan). Khususnya wawasan
kefiqihan perundang-undangan. Ketiga, lebih dekat kepada persyaratan
pengetahuan politik dan kemasyarakatan.
Para fuqaha tidak menyebutkan cara untuk menen- tukan atau
menetapkan mereka itu. Sekalipun mereka menyebutkan beberapa masalah
yang berkaitan dengan tema itu. Ahlul halli wal ‘aqd tidak memberikan
persyaratan, berasal dari penduduk satu negeri dengan sang Imam, yaitu
penduduk ibu kota Sekalipun pada prakteknya mereka lebih dahulu dari yang
lain dan pada umumnya orang yang layak menduduki kekhalifahan ada di
ibukota. (Al-Ahkam as- Sulthaniyyah oleh Abu Ya’la, hal 4)
Al-Qadhi Abu Ya’la di dalam kitab Al-Ahkam as- Sulthaniyyah
membahas masalah lain yang penting, yaitu : “Apakah boleh bagi seorang
khalifah mengangkat Ahlu ikhtiyar sebagaimana ia mengangkat ahlul
ahd (para pengganti)?” Jawabannya adalah: Ada yang berpendapat boleh,
karena ia merupakan diantara hak-hak kekha- lifahannya. Sedangkan qiyas
madzhab kita berpendapat tidak boleh.”

Pendapat al-Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa tidaklah


diperkenankan bagi khalifah menentukan (me- ngangkat) orang-orang
yang akan memilih khalifah sesudahnya adalah pendapat yang benar.
Sesuai dengan maksud pembuat syari’at. Maka secara ringkas dapat

vii
dikatakan bahwa cara menetapkan adalah suatu perkara yang diserahkan kepada
kebijaksanaan setiap masa dan negeri. (Baca pendapat Abu Ya’la dalam M. al-
Mubarak. 1995: 94- 85)
Pemilihan anggota dalam lembaga ahlu al-Halli wa al- ‘Aqd telah
disepakati berdasarkan kebijaksanaan sesuai dengan zaman dan pada tiap negara
masing-masing wilayah.

A.Mayoritas dan Minoritas

Inti dari pendapat Al-Qadhi Abu Ya’la adalah bahwa imamah, tidaklah
terlaksana, kecuali bersama mayoritas ahlul halli wal’aqh. Diriwayatkan dari
Imam Ahmad ibn Hanibal “bahwa imam itu baru eksis kalau seluruh ahlu
halli wa-al ’aqd mendukungnya” Kemudian ia berkata: Ini pada lahirnya
terlaksana dengan persetujuan mereka.”
Menurut Abu Ya’la, kepala negara yang dipilih harus berdasarkan
dukungan dan persetujuan pendapat mayoritas dari anggota lembaga Ahlu al-
Halli wa al-’Aqd.

a. Bai’ah Bentuk Pemilihan

Sisi penting politik yang terkait dengan ummah dalam teologi dan sejarah Islam
barangkali tercermin dalam gaya pemimpin negara Islam yang terpilih. Idealnya,
pemimpin negara Islam yang juga pemimpin masyarakat adalah seorang yang
terpilih diantara beberapa calon setelah melalui proses pemilihan yang
melibatkan konsultasi pendahuluan. Bila nominasi itu ditentukan pada
orang tertentu, maka permasalahannya dikembalikan kepada seluruh jajaran
ummah yang hendak meberikan konfirmasi atau ratifikasi terakhir. Proses yang
kedua ini disebut bai’ah.
Pengangkatan khalifah Abu Bakar sebagaimana yang kita ketahui adalah
dari prakarsa cepat Abu Ubaidah bin Jaffah dan Umar bin Khathab untuk
membaiat beliau, sehingga perselisihan antara kaum Anshar dan Muhajirin tidak
meruncing. Akan tetapi pengangkatan beliau pada dasarnya tidak berpijak pada
tindakan semacam itu, namun apa yang sebenarnya dilakukan oleh kedua
orang tersebut di atas hanyalah bersifat pencalonan diri Abu Bakar untuk

viii
jabatan khalifah. Dan yang sebenarnya menjadi dasar pengangkatan Abu Bakar
sebagai khalifah adalah adanya bai’at umat kepada beliau, termasuk orang-
orang yang adil, berilmu, berfikiran, dan anggota ‘Ahlul Halli wal Aqdi’.
Dengan adanya mereka membaiat beliau inilah kemudian umat mengikuti
pendapat mereka.
Begitu juga dalam pengangkatan Umar. Tatkala Abu Bakar Ash-Shiddiq
telah merasakan begitu dekat ajalnya, maka beliau menyerahkan kembali baiat
yang pernah diterimanya dari kaum muslimin dan meminta kepada
sebagian dari warga umat untuk berkumpul dan memilih penggantinya guna
mengurus kepentingan kaum muslimin, akan tetapi mereka menyerahkan
urusan ini kepada Abu Bakar dan mengangkatnya beliau sebagai wakil untuk
memilihkan iman buat mereka, karena mereka ternyata tidak memperoleh kata
sepakat untuk menunjuk salah seorang dari kalangan sendiri sebagai
pengganti khalifah.

Jadi Abu Bakar melakukan musyawarah dengan para tokoh dan orang-orang
ahli pikir diantara kaum muslimin dalam pengangkatan Umar. Setelah mereka
menyepakatinya, lalu beliau menunjukknya sebagai khalifah sesudahnya. Akan
tetapi beliau tidak mengganggap bahwa tindakan semacam itu berarti
membai’atnya sebagai khalifah. Karena itu beliau menawarkan kepada orang
banyak, apakah mereka meridhai orang yang telah beliau pilih untuk mereka.
Namun ada diantara kaum muslimin yang telah mengetahui bahwa o- rang
yang akan dipilih adalah Umar, maka mereka menyinggung kemudian
membai’atnya. Dengan demikian, pada saat itu persoalan imamah pada diri
Umar telah selesai. Sekiranya mereka tidak menyetujuinya dan mereka
membai’at orang lain, maka penunjukkan Abu Bakar atas diri Umar tidaklah
mengikat mereka. Begitu pula dengan pengangkatan Utsman, kemudian Ali
ra.
Pembai’atan yang dilakukan terhadap Abu Bakar maupun Umar
pada dasamya adalah pemilihan dan musyawarah. Mekanismenya adalah
memilih salah seorang diantara 6 orang anggota panitia pemilihan khalifah
yang diangkat oieh Umar.

ix
Begitu pula pemilihan Abdurrahman bin ‘Auf terhadap Utsman pada
dasarnya adalah sama. Namun pengangkatan Utsman sebagai khalifah
selanjutnya sebenarnya hanyalah berdasarkan bai’at umat. Ketika Abbas bin
Abdul Muthalib berkata kepada Ali bin Thalib. Sekiranya benar riwayat yang
diketengahkan oleh pengarang buku “Al-Ahkamus Sul- thaniyyah” : Ulurkan
tanganmu, aku akan membai’atmu.” Kemudian orang banyak mengatakan:
“Paman Rasul saw telah membai’at keponakan laki-lakinya. Sehingga tidak akan
ada dua orang sekalipun yang memperselisihkanmu.” Hal semacam ini tidak
lain merupakan pencalonan oleh Abbas terhadap Ali. Kemudian untuk
selanjutnya terserah kepada umat dan para tokohnya.
Ketika selesai pemilihan mayoritas ahlul halli wal’aqdi terhadap kepada
negara, tibalah sekarang pada tahap pembai’atan atau piagam perjanjian. Al-
Qadhi Abu Ya’la menyebutkan bentuk piagam perjanjian ini. Orang yang
membai’at mengatakan : “Kami membai’atmu dengan penuh kesungguhan.
Kami senang engkau menegakkan keadilan dan memperlakukan kami secara
adil dan menunaikan kewajiban-kewajiban keimanan” (Abu Ya’la dalam M. al-
Mubarak, 1995 : 86-87) Contoh pembaiatan yang terjadi pada, masa sahabat
atau Khulafaur-Rasyidin di bawah ini adalah:

1) Abu Bakar

Ketika mengatakan bahwa Umar dan Abu Ubaidah adalah dua calon
kuat pengganti Rasulullah, maka ketika itu juga Umar dan Abu Ubaidah
berkata, “Tidak, Demi Al- lah kami tidak meninggalkan anda untuk
memegang kepemimpinan ini. Andalah seorang Muhajir yang paling mulia,
orang kedua yang bersembunyi di gua Tsur itu dan pengganti Rasullah
SAW dalam mengimami shalat, sedangkan shalat adalah perkara agama yang
paling utama. Oleh sebab itu, siapakah yang patut mendahului anda atau
meninggalkan anda untuk memegangi kepemimpinan ini? Ulurkan tangan
anda, kami akan membaiat anda”

Ketika Umar dan Abu Ubaidah akan membaiat Abu Bakar, serta merta
Basyir bin Sa’ad mendahului mem- bai’atnya. Kemudian suku Aus seluruhnya

x
menghampiri Abu Bakar, lalu membaiatnya. Hal ini terjadi ketika mereka
melihat tindakan Basyir. Seruan suku Quraisy dan tuntutan suku Khazraj
untuk mengangkat Sa’adbin Ubaidah sebagai Amir gagal untuk mendapatkan
jabatan kekhalifahan
Kemudian Aslam dan rombongannya datang meng- hadap, sehingga
memenuhi jalan masuk, lalu mereka membaiat Abu Bakar. Lalu datang
manusia dari setiap penjuru untuk membaiatnya juga. Selanjutnya mereka
menentukan tempat untuk membaiatnya. (Tsaqifah Bani Saidah) lalu semua
datang untuk membaiatnya termasuk Ali bin Abi Thalib, walaupun bai’at
darinya setelah enam bulan baru terlaksana itupun karena desakan Umar. (M.
Yusuf Musa, 1990: 105¬106)

2) Umar Bin Khatab

Ketika Abu Bakar merasakan ajalnya hampir dekat, ia lalu megumpulkan


rakyatnya, lalu berbicara kepada mereka, “Kalian telah mengetahui apa akan
terjadi pada diriku karena itu kalian harus memilih Amir kalian diantara
orang-orang yang kalian cintai. Maka sekiranya kalian memilih amir disaat aku
masih ada, hal semacam itu lebih patut untuk membuat kalian tidak berselisih
sepeninggalku.” Ketika ummat Islam tidak memperoleh kesepakatan untuk
memilih salah seorang diantara orang-orang yang pa- ling mereka cintai, maka
mereka mempercayakannya kepada Abu Bakar orang yang menurut
pandangannya berguna bagi mereka dan agama. Lalu ia meminta tempo
sampai dapat memikirkan orang yang baik untuk Allah, Agama-Nya dan
ummat. Pada saat ini, ia meminta kepada para cerdik pandai dan tokoh-tokoh
sahabat memberikan pendapat mereka untuk menentukan siapa pengganti
dirinya.
Sebagai penuturan Ibnu Sa’ad, Abu Bakar memanggil satu persatu
sahabat ke dalam kamarnya dan meminta pendapat mereka tentang Umar.
Baik kepada Abdurrahman bin ‘Auf, Utsman bin Affan, Said bin Za’id, Abul
A’war, Usaid bin Hudlair dan orang-orang lain dari kaum muhajirin dan
Anshar juga ditanyai oleh Abu Bakar tentang diri Umar, mereka semua

xi
sepakat bahwa Umar adalah lebih baik dari pandangan Abu Bakar.
Dalam riwayat Thabari disebutkan bahwa orang yang masuk ke tempat
Abu Bakar dan protes terhadap pen- gangkatan Umar sebagai adalah Abu
Thalhah bin Ubaidillah. Lalu Abu Bakar berkata kepadanya, ‘Apakah anda
menakuti aku dengan Allah, bila aku kelak menghadap Allah, Tuhanku,
lalu aku dimintai pertanggungjawaban, maka aku akan menjawab, ‘Aku angkat
khalifah untuk hamba-Mu dari hamba-Mu yang terbaik’. (Tarikhulqul Umam wal
Mulk dalam M. Yusuf Musa, 1990:107-109).
Selanjutnya Thabari meriwayatkan bahwa setelah Abu Bakar selesai
bermusyawarah lalu dia memanggil Utsman bin Affan, ia meminta kepada
Utsman menuliskan statemennya tentang pengangkatan khalifah pengganti
dirinya, yaitu Umar bin Khatab Kemudian Abu Bakar menyuruh Utsman
diserta Umar dan Usain bin Said al Quradhi, lalu Utsman mengumumkan
kepada orang banyak, maka kalian membai’at orang yang tercantum dalam
tulisan ini mereka menjawab, ya !”, bahkan sebagian mereka (Ali) berkata, kami
telah mengetahuinya’. Kemudian mereka menyetujui, mengesahkan dan
membai’atnya (Ibnu Saad dalam M. Yusuf Musa, 1990:109-110).

Selanjutnya Ibnu saad menyebutkan bahwa Abu Bakar, kemudian


memanggil Umar untuk membai’atnya dan memberikan nasehat
kepadanya. Demikianlah Umar bin Khatab, memegang kekuasaan
pemerintahan setelah Abu Bakar setelah mengadakan musyawarah dengan
tokoh-tokoh Muhajirinn dan Anshar serta seluruh kaum muslimin dengan bai’at
terbuka.

3) Usman Bin ‘Affan

Ketika Abu Lu’ Luah seorang budak menikam Umar pada bulan Zulhijah
tahun 13 H dan Umar merasakan dirinya telah mendekati ajal, maka Umar
memilih panitia 6, untuk memilih khalifah pengganti dirinya, yaitu Ali dan
Utsman (dari Bani Abdi Manaf), lalu Abdurrahman dan Sa’ad (keduanya
adalah paman Rasulullah saw), Zubair (penolong Rasulullah dan putra bibinya)
dan Thalhah bin Ubaidillah. Kemudian besok harinya mengundang lima orang

xii
pertama, karena Thalhah saat itu tidak ada. Kemudian Umar
menyerahkan kepada mereka ber- musyawarah.
Ketika Umar mejelang ajalnya, mengutus seorang kepada Abu Thalhah
dan mengumpulkan 50 orang dari kalangan Anshar untuk bergabung dengan
Majelis Sura (panitia 6). Setelah diadakan rapat, yang memakan waktu
beberapa hari, maka terpilihlah Utsman bin Affan sebagai pengganti Abu
Bakar
Dengan bai’at Abdurrahman bin Auf (anggota ahlul al Halli wal ‘aqd),
maka sahlah pengangkatan Utsman sebagai khalifah dengan disusul oleh bai’at
dari para sahabat yang lain.

4) Ali Bin Abi Thalib

Ibnu Sa’ad menuturkan secara ringkas takala khalifah Utsman terbunuh


pada hari Jum’at, 18 Djulhijjah 35 H, maka Ali dibai’at oleh penduduk Madinah
pada keesokan harinya untuk menjadi khalifah. Yang membai’at beliau adalah
Thalhah dan Zubair dan sejumlah sahabat yang tinggal di Madinah.
Thabary dengan sanadnya sendiri meriwayatkan bahwa Muhammad bun
Hanafiyah mengatakan bahwa saat terjadinya pembunuhan atas diri
Ustman, tidak ada ada lagi yang berhak untuk menjadi khalifah selain Ali.
Lalu Ali datang ke masjid bersama-sama orang-orang Madinah. (Muhajirin dan
Anshar). Ali dibaiat oleh mereka pada hari pembunuhan atas diri Ustman.
Pada riwayat lain yang dituturkan oleh Thabary, bahwa Ali dibaiat pada
hari ke-5 setelah wafatnya Ustman. Ali di baiat oleh penduduk di seluruh
pelosok negeri termasuk wilayah Madinah dan Mesir, kecuali penduduk Syam,
karena mereka dengan pimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan, melakukan
penuntutan penyelesaian atas pembunuhan khalifah Ustman lebih dulu
sebelum memberikan baiat.
Begitu juga Thalhah dan Zubair, dikatakan bahwa mereka berdua juga
telah membaiat Ali baik secara sukarela ataupun terpaksa. Sedangkan mereka
termasuk panitia enam yang dibentuk oleh khalifah Umar ketika pemilihan
U.stman sebagai khalifah. (M. Yusuf Musa, 1990 : 98-125)

xiii
Dengan demikian pengangkatan imam atau khalifah hanya dapat
dilakukan berdasarkan baiat ummat atau oleh wakil-wakil yang duduk di
lembaga Ahlul halli wal ‘Aqdi dan kemudian memperoleh persetujuan ummat
terhadap orang yang dibaiat.

Penunjukkan seseorang oleh khlaifah sebelumnya adalah hanya bersifat


pencalonan. Seseorang akan sah menjadi khalifah bila mendapatkan baiat
dari ummat. Hak pencalonan ini dimiliki oleh khalifah yang sedang
berkuasa sebagaimana juga dimiliki oleh setiap orang Islam seperti
pencalonan Abu Bakar sebagai khalifah oleh Umar Bin Khathab dan Abu
Ubaidah bin Jarrah, kemudian baru dibaiat oleh ummat. Demikian juga
pencalonan Umar sebagai khalifah oleh Abu Bakar baru dibaiat oleh ummat.
Begitu pula pencalonan Utsman sebagai khalifah oleh Abdurrahman bin ‘Auf
lalu diikuti oleh bai’at ummat dan pencalonan Ali sebagai khalifah oleh
Abbas bin Abdul Muthalib baru diikuti oleh baiat atau persetujuan oleh
ummat yang lain. (M. Yusuf Musa, 1990: 125-128).

xiv
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Adapun Sistem pergantian Kepala Negara pada periode


khulafaur-Rasyidin berdasarkan beberapa pemikiran para ulama yaitu,
Pertama, Jumhur Ahlu Sunnah berpendapat bahwa tidak ada nash baik di
dalam Al-Qur’an maupun As-sunnah yang menentukan kepala negara,
atau menetapkan cara penen- tuannya. Kedua, jika memang di dalam Al-
Qur’an dan As- Sunnah tidak ada suatu penetapan cara penentuan
(kepala negara), kita kembali saja kepada aplikasi keilmuan yang selesai di
masa mayoritas sahabat dan generasi pertama diantara mereka di dalam
memilih khalifah. Ketiga, dari cara terpilihnya Abu Bakar dan ketiga
khalifah sesudahnya dapatlah diuraikan beberapa prinsip yaitu

Prinsip pertama, Pemilihan mayoritas ahlu halli wa ‘aqd dan


kaum cerdik pandai di masyarakat terhadap orang yang mereka
pandang cakap menduduki jabatan khalifah dan memerintah
orang-orang mukmin. Prinsip kedua, bai’at mayoritas umat Islam
kepada khalifah yang dicalonkan. Mereka rela kepadanya dan
menerima kekhalifahannya dan persetujuan mayoritas mereka
atasnya.

Contoh pembaiatan yang terjadi pada, masa sahabat atau


Khulafaur-Rasyidin yaitu, Abu bakar,Umar bin Khatab,Usman bin
Affan, Ali bin Abi Thalib

B. Saran

Saya selaku penyusun menyadari masih jauh dari sempurna dan


tentunya banyak sekali kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal
ini disebabkan karena masih terbatasnya kemampuan saya. Oleh karena
itu, saya selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan

xv
saran yang bersifat membangun. Saya juga mengharapkan makalah ini
sangat bermanfaat untuk saya khususnya dan pembaca pada umumnya.

xvi
DAFTAR PUSTAKA

Rianawati, sejarah dan peradaban islam, Stain Pontianak Press, 2010. Hlm 64.
https://core.ac.uk/download/pdf/293467443.pdf

Abdul karim, M, Geger Madinah, Studi Atas Kepemimpinan Khalifah Usman


Bin Affan, Jurnal Hermenia Vol. 6, Nomor 1, Januari-Juni, 2007

xvii

Anda mungkin juga menyukai