Anda di halaman 1dari 12

PRIODE TAQLID

Dosen pengampu :Mahyudin Munthe,SH.I,MM

D
I
S
U
S
U
N

OLEH

Ayu Indah Sari (201910992)


Ester Gati Boru Manjorang (2019101030)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM SYEKH ABDUR RAUF


(STAISAR)
LIPAT KAJANG-ACEH SINGKIL

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang maha kuasa, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya ,saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul ”Priode Taqlid”.
Makalah ini membahas tentang bagaimana kondisi serta tokoh-tokoh pada masa ini..
Atas perhatian dan kesempatan serta bimbingan yang telah Dosen berikan kepada kami,
untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih.
Kami menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna. Oleh karena itu, kami
menerima kritikan dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi diri kami dan juga para pembaca.

Lipat kajang, 25 Februari 2022

penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

A.    Latar Belakang .......................................................................................


B.     Rumusan Masalah....................................................................................
C Tujuan Penulisan ......................................................................................

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................

A.  pengertian taqlid ......................................................................................  


B. Kondisi Sosial Politik .................................................................................
C.  Keistimewaan pada periode Taklid ............................................................
D. Tokoh-Tokoh Ulama pada Priode taqlid.....................................................

BAB III  PENUTUP

A.    Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PEMBAHASAN

A.    Latar Belakang
Periode taqlid ini bermulai sekitar pertengahan abad IV H / X M. Pada masa ini pula
terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang
mempengaruhi kebangkitan umat islam dan menghalangi aktivitas mereka dalam
pembentukan hukum atau perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan
ijtihad dan upaya perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan
kemerdekaan berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan
Sunnah sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara
bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan
menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik, pengikut asy
syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu.
Kesungguhan mereka ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja,
bukan lagi untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’
dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap detik baru
terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan masalah baru yang
membutuhkan hukum.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kondisi sosial politik pada masa taqlid ?
2.      Bagaimana keistimewaan periode taqlid?
3.      Siapa saja tokoh ulama pada periode ini?

C.    Tujuan penulisan
Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami dan semua
mahasiswa mampu memahami tentang tasyri’ pada masa taqlid dan jumud.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Priode Taqlid
Priode taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain, mengikuti perkataan orang lain,
dengan tidak mengetahui dari mana asal pengambilannya,entah orang lain tadi benar atau
salah. Yang terpenting ia mengikuti tanpa mengetahui dasar-dasar pengambilan. Atau
mengikuti pendapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat.

B.    Kondisi Sosial Politik


Periode ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan
periode ijtihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula-mula masa kemunduran dalam
bidang kebudayaan Islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum Islam atau Fiqih
Islam. Pada umumnya, ulama yang berada di masa itu sudah lemah kemauannya untuk
mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagiamana dilakukan oleh para pendahulu mereka pada
kejayaan seperti disebut diatas.
Situasi kenegaraan yang barada dalam konflik, tegang, dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang mengkaji ajaran Islam langsung
dari sumber aslinya Alqur’an dan Hadits. Mereka telah puas hanya dengan mengikuti
pendapat-pendapat yang telah ada, dan meningkatkan kepada tingkat tersebut kedalam
madzhab-madzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah yang mengantarkan Dunia Islam kea lam
taklid, kaum Muslimin terperangkap ke alam pikiran yang jumud dan statis.
Disamping kondisi sosial politik tersebut, beberapa faktor lain berikut ini
kelihatannya ikut mendorong lahrnya sikap taklid dan kemunduran. Faktor-faktor tersebut
adalah sebagai berikut:
1.      Efek samping dari pembukuan fiqih pada periode sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama sebelumnya, baik
untuk persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi atau diprediksi akan terjadi, memudahkan
umat Islam pada periode ini merujuk semua persoalan hukumnya kepada kitab-kitab yang ada
itu.
2.      Fanatisme mazhab yang sempit
Pengikut imam mujtahid terdahulu itu berusaha membela kebenaran pendapat
mazhabnya masing-masing dengan berbagai cara. Mungkin akibat pengaruh arus
keidakstbilan kehidupan politik, dimana frkuensi sikap curiga dan rasa tidak senang antara
seseorang atau antar kelompoknya dengan mnecari-cari argumentasinya yang pada umumnya
apologetic serta menyanjung imam dan mazhabnya dengan sikap emosinalitas yang tinggi.
Akibatnya, mereka tenggelam dalam suasana chauvinism yang tinggi, jauh dari sikap
rasionalitas ilmiah dan terpaling dari sumber-sumber hukum yang sesungguhnya, Alqur’an
dan Hadits.
3.      Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Kehidupan taklid pada periode semakin subur ketika pihak penguasa mengangkat para
hakim dari orang-orang yang bertklid. Bila pada periode sebelumnya para penguasa memilih
dan mengangkat hakim-hakim dari kalangan mujtahid dan mereka diberi kebebasan berijtihad
sendiri, hasil ijtihadnya sering menjadi sasaran kritikan pedas dari penganut-penganut
mazhab tertentu, termasuk penguasa.
Umat islam menyadari kemunduran dan kelemahan mereka yang sudah berlangsung
semakin lama itu. Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan
fiqih. Banyak diantara pembaharuan itu juga adalah ulama’-ulama’ yang berperan dalam
perkembangan fiqih itu sendiri. Mereka berseru agar umat Islam meningglakan taklid dan
kembali kepada Alqur’an dan hadits dan mengikuti jejak para ulama’ terdahulu. Mereka
inilah yang disebut sebagai golongan salaf. Periode ini ditandai dengan
disusunnya kitab Majallat al-Ahkam al-‘Adiyyat di akhir abad ke-13 H, mulai 1285 H sampai
tahun 1293 H (1869-1876 M).
Contoh ijtihad yang dilakukan
Perluasan daerah dari suatu Negara akan berdampak semakin luas pada jumlah dan
bobot persoalan yang dihadapi, baik menyangkut sosial politik ketatanegaraan maupun hal-
hal yang perlu diselesaikan oleh pemimpin dan para ulamanya. Mereka, terutama ulama’-
ulama’ dituntut untuk berfatwa dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang
frekuensinya selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk
menafsirkan ayat-ayat Alqur’an atau hadits-hadits nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang
intens (ijtihad).
C. Keistimewaan Masa Ini
1.      Pengembangan fiqih di Arab, Asia tengah dan  India
Para ulama tidak sekaligus meninggalkan ijtihad, melainkan berangsur-angsur karena
itu dapatlah kita membedakan antara masa sebelum pertengahan abad 7 hijriyah (tahun 656
H) yaitu masa ketika jatuhnya kerajaan Abasiyyah di Baghdad dengan terbunhnya al
Mu’tashim, dengan masa sesudahnya. Dalam masa itulah para ulama menghadapkan dirinya
kepada taqlid sampai pengaruhnya ke asia tengah dan India.
Para imam telah meninggalkan warisan yang begitu berharga dan sangat besar, yaitu
hukum-hukum yang diperlukan oleh kejadian-kejadian. Pemerintah pun dalam menetapkan
seseorang untuk menjadi hakim dan mufti dan kedudukan lainnya mengambil dari orang-
orang yang mengikuti madzhab, baik di Timur maupun di Andalus dan Maghribi. Para
fuqaha’ masa taqlid itu sepakat meninggalkan ijtihad, adakala karena aneka ragam fatwa
yang bersimpang siur tak terkendalikan lagi, yang menyebabkan para fuqaha’ menjauhkan
diri dari ijtihad, dan adakala karena sudah malas untuk berijtihad, dan adakalanya pula
memang pahamnya sudah tertumbuk pada pendapat bahwa pintu ijtihad sudah tertutup. Mulai
saat itu fiqh Islam sudah bercerai dari sifat amaliyah yang praktis berpindah berjalan pada
cara yang teoritis yang jauh dari segi-segi praktek kehidupan, dan merupakan bentuk yang
membeku, tidak mau menampung masalah yang hidup dalam kehidupan umat.
Dalam pada itu, dalam masa ini masih terdapat fuqaha’ yang mempunyai
pembahasan-pembahasan yang berharga dan kadang-kadang mereka menyalahi pendapat-
pendapat imam. Dan pada masa itu masih terdapat mujtahid muqayyad atau
mujtahid madzhab. Juga para fuqaha’ pada masa itu ada yang memberikan illat-illat hukum
yang dikemukanan oleh para imam dan menampung kaidah-kaidah serta mentarjihkan
pendapat-pendapat yang berbeda-beda dari para imam dalam sesuatu masalah.
Ringkasnya, masa ini adalah masa menyusun fiqh secara menetapkan masalah-
masalahnya yang baru, menurut dasar yaang telah ditancapkan oleh imam-imam mereka dan
mentarjihkan menguatkan suatu pendapat dari pendapat yang berbeda-beda.Menurut Ahli
Tarikh zaman taqlid terjadi beberapa periode yaitu :
a.       Periode pertama ( Abad ke IV –  jatuhnya baqdad ketangan ketangan bangsa tartar
pertengahan abad  ke VII Hijrah ).
Masa ini  masa ini  masing-masing ulama menegakan fatwa imamnya  menyeru  umat
untuk bertaqlid dan mazhab yang dianutnya. Ulama Irak mempropagandakan supaya
menganut mazhab Imam Abu Hanifah, Ulama Madinah kepada mazhab Imam Malik, pada
masa ini paling kuat hanya mentarjih  antara dua perkataan imam yang berlawanan sehingga
berbunyi semboyan : kami mazhab hanafi, disambut dengan dengan semboyan lain kami
mazhab Malikiyah dan begitulah seterusnya, meraka tidak segan-segan mengatakan kepada
yang bukan mazhabnya kalimat kafir.
b.      Periode kedua
Periode ini, kelemahan ruh ijtihad  terlihat jelas, sangat kurang ulama yang berani
memuncul ijtihad, kecuali beberapa orang saja diantaranya Al ‘iz ‘abdusslam (578 H-660 H),
Ibnu Daqiqil ‘id (615 H – 702 H ) Al-Bulqini ( 724 H -805 H ), Ibnu Rif’ah (645-858 H ),
ibnu hajar Asqalani (773-858 H), Ibnu Humam ( 790-911H). Ibnul Hajib (570-646 H), Ibnu
Taimiyah ( 661 – 728 H ) Ibnu qayyim ( 691- 751 H), Al Asnawi ( 714 – 784 H),   Al Jalalul
Mahalli (791 – 864 H ) dan Al jalalus Sayuti ( 846 – 911 H ).
c.       Periode ketiga
Pada periode ini ijtihad padam  sama sekali, sehingga haram hukumnya berijtihad,
namun ditengah kepakuman ijtihad muncullah dua mujtahid yang masih diakui ijtihadnya
yaitu Muhammad Ibn Ismail Al Amir Ash-Sha’ani pengarang subulussalam dan Imam Asy
Syaukani pengarang Nailul Authar, kemudian pada abad XX  bangunlah pujangga sunnah,
ahli politik yang terkenal yaitu Al Imam Muhammad Abduh.
d.      Periode ke Empat
Pada periode ini  adalah periode yang menantang muhammad Abduh yang 
menyerukan kepada para ulama untuk berijtihad dan  menyingkapkan tirai taqlid
Melihat dari periodesasi di atas nampaklah bahwa  pertengahan abad ke-13, muncul
upaya reformasi (pembaharuan) untuk melepaskan diri dari taklid di kalangan umat Islam.
Usaha ini timbul setelah kaum muslimin sadar akan kelemahan dan kemunduran mereka
akibat perselisihan di kalangan umat Islam sendiri. Di pihak lain ada juga usaha-usaha non
muslim yang ikut menyokong kehancuran umat Islam. Bersamaan dengan itu banyak Negara-
negara Islam ditundukkan Barat di bawah kekuasaannya.
Dalam pada itu, dunia pada umumnya, terutama barat yang semula jauh ketinggalan
dibandingkan dengan dunia Islam, mulai maju dengan pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mereka capai. Peradapan yang dahulu berada di tangan kaum muslimin,
beralih ke Barat. Mereka telah mengemukakan masa keemasannya.
Kemajuan di kalangan Barat, sekaligus keberhasilan mereka dalam menguasai
peradaban dunia ketika itu tidak terlepas dari faktor utamanya, yakni semangat berfikir
rasional mereka, yang disebut juga pengejawantahan dari semangat Yunani.
Umat Islam merasa tergugah kembali untuk meraih kembali kesuksesan yang pernah
diraihnya itu. Kebangkitan umat Islam muncul di Turki dan Mesir yang memulai usaha-usaha
dalam bidang pendidikan. Di Mesir, pada awal abad ke-13 H, Muhammad Ali Pasya tampil
untuk memajukan ilmu pengetahuan, kemudian dilanjutkan oleh al-Tahtawi, dengan usaha
penerjemahan buku-buku baru serta penerbitan berbagai surat kabar dan majalah ilmu
pengetahuan.
Mesir juga berusaha keras untuk menguasai ilmu-ilmu pengetahuan modern.
Mahasiswa-mahasiswa mesir dibiayai untuk belajar di negeri barat, saat itu dikirim
mahasiswa tidak kurang dari 300 mahasiswa di Itali, Perancis, Inggris dan Austria. Sekembali
dari negeri Barat itu, mereka melihat situasi di negerinya jauh ketinggalan dengan negeri-
negeri Barat. Maka para pemuda Islam yang terdidik itu berusaha membangkitkan dunia
Islam ke arah peradaban modern. Mereka dilengkapi berbagai metode dan strategi untuk
menyesuaikan syari’at Islam dengan pandangan dunia.
Dalam rangka usaha-usaha pembaharuan Islam, para ulama berusaha untuk
menafsirkan kembali sumber-sumber tasyri’. Hal ini diambil karena para mufassir terdahulu
sebagian besar terpengaruh dongeng-dongeng israiliyat dan Nasraniyat, karena banyak orang
Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam.
Sebagai upaya menghadapi tantangan zaman yang serba modern, para mujadid
menafsirkan al-qur’an dengan disesuaikan perkembangan zaman, juga menghindarkan diri
dari dongeng Israiliyaht dan Nasraniyat. Maka pada abad 14 H lahirlah aliran baru dalam
menafsirkan al-qur’an seperti aliran al-Manar yang dipelopori oleh Jamaludin al-afghani
(1315 H), Muhammad Abduh (1323 H) dan muridnya M. Rasyid Ridha.
Dalam penafsiran ini Muhammad Abduh senantiasa berusaha mencari persesuaian
antar al-Qur’an tidak mungkin mengandung ajaran-ajaran yang berlawanan dengan hakikat
ilmu. Bahkan, al-Qur’an mencakup ilmu pengetahuan modern di abad yang akhir ini.
Pemikiran Abduh terutama dalam bidang hukum Islam, diinspirasi oleh pemikiran Ibnu
Taimiyah. Ia membagi ruang lingkup agama ke dalam dua bidang besar, yaitu ibadah dan
mu’amalah. Beliau juga menganjurkan agar tidak terikat kepada madzhab tertentu. Sikap
semacam ini dilatarbelakangi oleh luasnya wawasan Abduh dalam hukum Islam. Ia berani
mengambil berbagi keputusan hukum secara bebas dan penuh tanggungjawab. Hal ini
nampak dari setiap keputusannya ketika ia menjadi mufti di Mesir.
Cita-cita pembaharuan Abduh kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sayyid
Muhmmad Rasyid Ridha. Titik tolak pembaharuan Ridha berpangkal pada segi keagamaan,
yaitu tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidah maupun amaliyahnya.
Ajaran Islam yang murni inilah yang akan membawa kemajuan umat Islam. Itulah sebabnya
bid’ah, khurafat dan segala ajaran yang menyimpang harus disingkirkan.
Adapun tafsir yang menitikberatkan kepada ayat-ayat tasryri’ ialah tafsir al-Qurtubi,
abu Bakar al-Arabi, Abu Bakar al-Janash dan tafsir Shidiq Hasan Khan yang dikenal dengan
tafsir ulama tasyri’. Di samping itu, para mujadid juga berusaha menafsirkan sunah Rasul
disesuaikan dengan laju peradaban modern, sehingga sumber-sumber tasyri’ yang pokok itu
tetap menjadi pegangan pembuat undang-undang di zaman mutakhir.
Dalam mewujudkan pembaharuan dan pembentukan hukum ini, para mujadid tidak
terikat pada salah satu madzhab. Mereka mengambil pendapat dari berbagai ulama ahli
hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan umat dan masyarakat di alam modern. Sikap
seperti ini dikenal dengan istilah “talfiq” (meramu), yakni mengamalkan suatu hukum furu’
yang dzonni menurut ketentuan dua madzhab atau lebih. Misalnya, seseorang bertanya
kepada ulama Malikiyah tentang batal wudlu karena keluar darah. Maka ulama itu
mengatakan tidak batal. Kemudian orang itu bertanya kepada ulama Hanafiyah tentang batal
wudlu karena menyentuh kemaluan. Maka ulama itu menyatakan bahwa wudlunya tidak
batal. Apabila orang itu mengamalkan fatwa itu di dalam wudlunya, yakni beriktikad
wudlunya tidak sah pula menurut ulama hanafiyah karena mengeluarkan darah, maka orang
demikian telah mengamalkan talfiq.
Dalam masalah boleh tidaknya talfiq, terdapat beberapa pendapat. Al-Ghozali, al-
syatibi, al-Jalal Mahalli mengharamkannya secara mutlak. Ulama lainnya, seperti Ibnu al-
Athar, Ibnu Humma Abu Ishak al-Marwani membolehkannya. Pendirian tersebut berpegang
kepada firman Allah: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu” (Al-Baqarah: 185).
Usaha ulama yang lain adalah berkaitan dengan kemurnian tasyri’ islam dari bid’ah
dan khurafat. Bid’ah dapat diartikan menjalani syariat yang tidak sesuai dengan ajaran Allah
dan sunah Rasulullah, baik dengan cara mengurangi maupun menambah ketentuan yang telah
ditetapkan oleh nash. Khurafat diartikan sebagai keyakinan atau i’tikad yang menyalahi
kehendak al-Qur’an dan sunah Rasulullah
Dalam memperbaharui tasyri’ Islam, para mujtahid berusaha untuk memurnikan
tasyri’ Islam dari bid’ah dan khurafat, umatnya tidak akan mengalami kemajuan apalagi
kejayaan sebagaimana yang dialami pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Tokoh terkenal
yang menentang bid’ah dan khurafat adalah Abu Al-Wahhab di Saudi Arabia dan Syekh
Waliyullah al-Dahlawi dari India.
D. Ulama Pada Periode ini
1. Imam Abu Hanifah (80 – 150 H)
Namanya Abu Hanifah al-Nu’man, terkenal dengan Imam ahl al-Ra’yi. Beliau lahir di
Kufah dan meninggal dunia di Baghdad. Muridnya yang terkenal adalah Abu Yusuf, Zufar
bin Hudzail bin Qa`is sl-Kufi, al-Hasan bin Ziyad, dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.
Pada masa Khalifah Abu Ja’far al-Manshur berkuasa di Baghdad, Abu Hanifah diundang ke
Baghdad untuk menjabat hakim, tetapi beliau menolak berkali-kali, akhirnya beliau
dijebloskan ke dalam penjara dan kemudian dihukum cambuk. Akhirnya, ia meninggal dunia
di Baghdad dalam usia 70 tahun. Ciri yang paling menonjol adalah beliau lebih
mengandalkan Qiyas dalam penetapan hukum.
Pengaruh didunia: Irak, Turki, Affghanistan, Bukhara, Pakistan, India, Mesir teutama
kalangan akademik Jami’ah al-Azhar.
2. Imam Malik bin Anas (93 – 179 H/ 712 – 798 M)
Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin
al-Harits, lahir dan meninggal dunia di Madinah. Karena itu, ia terkenal dengan Imam al-
Haramain.
Kitabnya: al-Muwaththa’, kitab hadits 1720 hadits, ditulis tahun 144 H atas perintah
Khlifah Ja’far al-Manshur. Ciri yang paling menonjol adalah sangat tergantung pada amalan
(praktik) penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ahad yang shahih.
Pengaruh di Dunia: Marokko, Mauritania, Mali, Al-Jazair, Tunisia, Libiya, Mesir
(Iskandariyah), Sudan Utara, Sinegal, Pantai Gading, Nigeria, Afrika Utara, Hijaz
3. Imam al-Syafi’i (150 – 204 H/ 767 – 820 M)
Nama aslinya, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris bin ‘Utsman bin syafi’i, lahir di
Ghazzah (kawasan Palestina Selatan) dan meninggal dunia di Mesir. Beliau hafal Kitab yang
ditulis Imam Malik, al-Muwaththa’. Tahuan 195 H beliau hijhrah ke Baghdad untuk belajar
dari murid Imam Abu Hanifah, kemudian beliau berangkat ke Makkah. Tahun 198 H beliau
kembali lagi ke Baghdad; dan tahun 199 H beliau berangkat ke Mesir. Kumpulan fatwa
selama di Baghdad disebut Qaulun Qadim dan di Mesir disebut Qaulun Jadid. Beliau hafal al-
Qur’an pada usia 7 tahun.
Ahmad bin Hanbal (164 – 241 H/ 780 – 855 M)
Nama aslinya, Abu ‘Abdillah bin Muhammad bin Hanbal al-Marwazi, lahir dan
meninggal dunia di Baghdad.
Beliau merantau ke Makkah, Madinah, Syam, Yaman, Basrah dan lain-lain. Beliau
adalah murid setia Imam al-Syafi’i. Beliau hafal 1000.000 hadis. Pendapat beliau menolak
“al-Qur’an adalah makhluk.” Sebagai akibatnya, beliau disiksa dan di penjara.
Muridnya: Imam al-Bukhari, Muslim, Ibnu Abiddunya dan Ahmad bin Abi al-
Hawarimi. Karyanya: Musnad al-Kabir berisi 40.000 hadits.
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
.
Faktor-faktor yang terpenting yang menyebabkan terhentinya kegiatan ijtihad, dan
menetapi bertaqlid kepada para ulama terdahulu, diantaranya yaitu[1] :1
1.      Terbagi-baginya Daulah Islamiyah kedalam sejumlah kerajaan-kerajaan yang saling
bermusuhan para rajanya, penguasanya dan rakyatnya
2.      Pecahnya imam-imam mujtahidin kepada beberapa madzhab yang masing-masing
mempunyai corak sendiri.
3.      Umat islam mengabaikan sistem kekuasaan perundang-undangan.
4.      Para ulama dilanda krisis moral yang menghambat mereka, sehinga tidak bisa sampai
pada level orang-orang yang melakukan ijtihad.
Tokoh ulama masa ini :
1.      Imam Hanafi
2.      Imam Maliki
3.      Imam Syafi’i
4.      Imam Hanbali

1
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Pembinaan Hukum Islam, terj, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada) hal 114-117
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Abdul Wahab, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2001).
Sjinqithy, A djamaludin, sejarah legislasi islam, ( Surabaya : Al Ikhlas ), 1994.
Hasbi, Muhammad ash Shiddieqy, pengantar ilmu fiqh, ( Jakarta : PT Bulan Bintang ), 1993.
Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, 1970, Jakarta.
Zuhri,  Mohammad, Tarikh Tasyrik Sejarah Pembentukan Hukum Islam, Daarul Ihya, 1980.

Anda mungkin juga menyukai