Anda di halaman 1dari 4

Imam al-Ghazali di dalam Al-Mustashf f Ilmi al-Ushl menyatakan, ushl al-fiqh merupakan

ungkapan tentang dalil-dalil hukum syariah dan tentang pengetahuan arah penunjukkan dalil atas
hukum secara global, bukan aspek rinciannya. Maksud yang dituju adalah mengetahui tatacara
mengekstrak hukum-hukum dari dalil-dalil. Karena itu wajib menelaah hukum, dalil dan bagianbagiannya; tatacara ekstraksi hukum dari dalil, kemudian sifat orang yang mengekstrak yang
mampu mengekstrak hukum dari dalil.
Jadi, ushul fikih tidak membahas tentang masalah ushul, yakni akidah, tetapi membahas hukumhukum syariah dari sisi asas yang menjadi landasan bangunan hukum syariah, bukan dari sisi
masalah-masalah yang dicakup oleh hukum tersebut. Karena itu harus ada pengetahuan tentang
hakikat hukum syariah ketika membahas tentang pengetahuan dalil-dalil syariah.
Pembahasan tentang hukum setidaknya mencakup pembahasan tentang siapakah Al-Hkim itu,
tentang al-mahkm alayhi yakni siapa yang dibebani dengan hukum syariah dan tentang hukum
syariah itu sendiri. Pada edisi sebelumnya telah dibahas tentang Al-Hkim dan al-mahkm
alayhi. Adapun pembahasan tentang hukum syariah itu setidaknya mencakup definisinya,
hakikatnya, jenisnya dan bagiannya.
Menurut Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi di dalam Bahr al-Muhth, al-hukmu secara
bahasa berarti al-manu wa ash-sharfu (penghalang dan pemalingan). Dari situlah muncul istilah
al-hakamah untuk menyebut belenggu besi. Al-Hukmu juga bisa bermakna al-ihkm (ketepatan,
ketelitian, akurasi). Dari dari kata itu juga diambil kata Al-Hakm (Maha Bijaksana) dalam hal
sifat Allah SWT.
Adapun secara istilah menurut para ulama ushul fikih, al-hukmu asy-syari didefinisikan sebagai
khithb asy-Syri al-mutaallaqu bi afli al-ibd bi al-iqtidh` aw at-takhyr aw al-wadhi
(seruan Asy-Syri berkaitan dengan perbuatan hamba berupa seruan al-iqtidh (yakni tuntutan),
at-takhyr (pilihan) atau al-wadhu. Asy-Syri, yakni Al-Hkim, adalah Allah SWT. Karena itu
seruan (khithb) Asy-Syri adalah seruan Allah SWT.
Makna dari hukum yang dikeluarkan oleh Al-Hkim adalah penilaian terpuji atau tercela atau
tidak terpuji dan tidak pula tercela terhadap suatu perbuatan atau sesuatu. Maksud dari hal itu
adalah untuk menentukan sikap manusia apakah melakukan, atau tidak melakukan atau dia boleh
memilih melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan; dan menentukan sikap manusia
apakah mengambil atau tidak mengambil sesuatu.
Informasi tentang penilaian terpuji atau tercela atau tidak terpuji dan tidak tercela itulah yang
dimaksudkan dengan khithb. Khithb Allah, meskipun itu merupakan pengarahan atau
penginformasian apa yang diinformasikan kepada orang yang mendengar atau yang pada posisi
itudi mana itu menimpakan seruan untuk sesuatu yang ada yang mungkin untuk dipahami
adalah apa yang diinformasikan itu sendiri, bukan pengarahan/penginformasian apa yang

diinformasikan. Jadi khithb itu adalah apa yang diinformasikan itu sendiri. Lalu
penginformasian itu menggunakan lafal-lafal sehingga dipahami oleh yang diberi seruan.
Namun, seruan itu bukan pengarahan atau penginformasian apa yang diinformasikan. Karena itu
seruan itu tidak lain adalah makna-makna yang dikandung oleh lafal dan kalimat.
Dikatakan khithb asy-Syri, bukan dikatakan khithbulLh, agar bisa mencakup as-sunnah dan
Ijmak Sahabat dari sisi bahwa keduanya menunjukkan atas khithb. Dengan begitu tidak akan
dirancukan bahwa yang dimaksudkan adalah al-Quran saja. Sebab, as-sunnah merupakan wahyu
dari Allah SWT, jadi itu merupakan khithb (seruan) Allah. Adapun Ijmak Sahabat menyingkap
adanya dalil dari as-sunnah, Jadi, Ijmak Sahabat juga merupakan khithb (seruan) Asy-Syri.
Terkait ungkapan al-mutaallaqu bi afli al-ibd (berkaitan dengan perbuatan seorang hamba),
maka batasan al-mutaallaqu bi afl itu juga mengeluarkan seruan-seruan yang tidak berkaitan
dengan perbuatan, misalnya seruan berupa berita murni, atau berkaitan dengan masalah iman.
Yang demikian tidak termasuk dalam cakupan hukum syariah.
Batasan al-mutaallaqu bi afl bukan berarti hanya mencakup seruan tentang perbuatan itu
sendiri, tetapi juga mencakup sesuatu yang digunakan oleh hamba ketika melangsungkan
perbuatannya. Dengan demikian batasan tersebut juga meliputi hukum asyy (sesuatu/benda).
Dikatakan al-mutaallaqu bi afl al-ibd dan tidak dikatakan al-mutaallaqu bi afli almukallafn (berkaitan dengan perbuatan para mukallaf) supaya definisi hukum syariah itu
mencakup hukum-hukum berkaitan dengan anak kecil dan orang gila seperti hukum zakat pada
harta keduanya. Batasan ini juga mengeluarkan seruan Allah SWT yang tidak berkaitan dengan
perbuatan manusia, misalnya ikhbr (pemberitaan) dari Allah SWT tentang perbuatan Allah
SWT sendiri.
Batasan al-mutaallaqu bi al-iqtidh maknanya adalah berkaitan dengan seruan berupa thalab
(tuntutan). Sebab, makna al-iqtidh adalah ath-thalab. Thalab (tuntutan) ada dua jenis: thalab li
al-fili (tuntutan untuk melakukan perbuatan) dan thalab li at-tarki (tuntutan untuk meninggalkan
perbuatan). Kedua jenis tuntutan itu masih terbagi lagi dari sisi intensitas atau sifat tuntutannya
menjadi tuntutan yang tegas atau pasti (jzim) dan tidak tegas yakni tidak pasti (ghayru jzim).
Tuntutan untuk melakukan perbuatan itu bersifat tegas/pasti, artinya perbuatan itu harus
dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Itulah yang disebut fardhu atau wjib. Adapun tuntutan
untuk melakukan suatu perbuatan itu tidak tegas atau tidak pasti (ghayru jzim), artinya
perbuatan itu tidak harus dilakukan dan jika ditinggalkan tidak ada masalah, namun adanya
tuntutan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar dilakukan. Thalab li al-fili yang ghayru jzim
itulah yang disebut mandb atau sunnah.

Adapun tuntutan untuk meninggalkan (thalab li at-tarki) suatu perbuatan, jika tuntutan itu
bersifat tegas (jzim) atau pasti, maknanya perbuatan itu harus ditinggalkan dan tidak boleh
dilakukan. Itulah yang dimaksudkan sebaga haram. Sebaliknya, jika tuntutan untuk
meninggalkan perbuatan itu bersifat tidak tegas atau tidak pasti maka perbuatan itu tidak harus
ditinggalkan dan jika dilakukan maka tidak ada masalah, namun adanya tuntutan untuk
meninggalkan itu menunjukkan lebih dikuatkan agar ditinggalkan. Thalab li at-tarki yang
ghayru jzim itu yang disebut makruh.
Dengan demikian khithb asy-Syri al-mutaallaqu bi afli al-ibd bi al-iqtidh` itu meliputi
empat hukum syariah yaitu: fardhu atau wajib; sunnah atau mandb; haram; makruh.
Adapun al-mutaallaqu bi at-takhyr (berkaitan dengan pilihan) maknanya seruan Asy-Syri itu
memberikan pilihan kepada hamba untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Jadi,
seruan yang demikian bermakna hukum mubah.
Kelima hukum iniyakni fardhu, mandb, haram, makruh dan mubahsemuanya berkaitan
dengan taklif yang diberikan kepada hamba. yakni berkaitan dengan status taklif itu. Para ulama
menyebut khithb demikian sebagai khithb at-taklf.
Adapun khithb asy-Syri al-mutaallaqu bi al-wadhi (status, kondisi) maka itu adalah khithb
yang berkaitan dengan al-wadhu (status dan kondisi) hukumnya. Para ulama menyebut itu
sebagai khithb al-wadhi. Bisa dikatakan, khithb al-wadhi itu adalah hukumnya hukum.
Khithb al-wadhi itu meliputi khithb yang menjadikan sesuatu sebagai sabab (sebab); mni
(penghalang); syarat; sah, batil dan fasad; serta azimah dan rukhshah. Misal, khithb asy-Syri
menjadikan tergelincirnya matahari sebagai penanda kewajiban shalat zhuhur, yakni menjadi
sebab shalat zhuhur. Khithb asy-Syri menjadikan najis sebagai penghalang dari pelaksanaan
shalat. Semua itu, meski merupakan pertanda untuk hukum-hukum, namun semuanya merupakan
hukum, yakni hukumnya hukum. Sebab, Asy-Syri menjadikan tergelincirnya matahari sebagai
penanda kewajiban adanya shalat zhuhur. Asy-Syri menjadikan najis sebagai penanda batilnya
shalat. Tidak ada makna keberadaan tergelincirnya matahari yang mewajibkan shalat kecuali itu
bermakna thalab (tuntutan) melakukan shalat. Tidak ada makna adanya najis itu membatalkan
shalat kecuali itu bermakna sebagai thalab (tuntutan) untuk meninggalkan shalat ketika ada najis.
Begitu juga ketika Asy-Syri menjadikan sesuatu sebagai syarat; menjadikan status hukum
sebagia sah, batil dan fasad, menjadikan sesuatu sebagai azimah dan rukhshah. Pada hakikatnya
semua itu merupakan khithb dari Asy-Syri yang berkaitan dengan perbuatan hamba dari sisi
status dan kondisi perbuatan itu.
Dari semua itu, definisi hukum syariahyaitu khithb asy-Syri yang berkaitan dengan
perbuatan hamba berupa tuntutan (iqtidh) atau pilihan (takhyr) atau status dan kondisi (alwadhu) itu telah mencakup dua jenis khithb: Pertama, khithb at-taklf yaitu wajib, mandb,

haram, makruh dan mubah. Kedua, khithb al-wadhi yaitu yang berupa sebab; syarat; sah, batil
dan fasad; serta menjadikan sesuatu sebagai azimah atau rukhshah.
WalLh alam bi ash-shawb. [Yoyok Rudianto]

Anda mungkin juga menyukai