seperti:
seperti:
HUKUM SYARA'
Allah menyeru orang-orang mukallaf dengan syariah
Islam secara keseluruhan, baik pokok maupun cabang,
akidah maupun hukum-hukum cabang. Namun ingat bahwa ilmu
ushul fiqh memang tidak membahas masalah pokok, masalah
akidah, ushul fiqh membahas masalah cabang, masalah
hukum-hukm syara', dari aspek landasan yang hukum-hukum
syara' dibangun diatasnya dan bukan dari sisi masalah-
masalah yang terkandung di dalam hukum. Maka menjedi
keharusan untuk mengetahui hakikat hukum syara' ketika
membahas tentang pengetahuan atas dalil-dalil syara',
para Ulama' ushul fiqh mentakrifkan hukum syara' sebagai
seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan
hamba, baik yang sifatnya iqtidha', takhyir atau al-
wadh'i. Pembuat syara' adalah Allah Ta'ala, maka yang
dimaksud dengan seruan pembuat syara' adalah seruan
Allah. Selanjutnya seruan Allah tersebut meski merupakan
arah atas apa yang memberikan faedah pada pendengar atau
adakalanya siapa saja yang terkena seruan karena adanya
kecenderungan untuk difahami, tapi sesungguhnya seruan
itu adalah apa yang memberikan faedah dan bukan yang
mengarahkan pada apa yang memberikan faidah. Dan makna
yang terkandung di dalam lafadz dan susunan kata itulah
yang disebut dengan seruan. Adapun penyebutan dengan
seruan pembuat syara' dan tidak dengan seruan Allah
karena seruan tersebut mencakup as Sunnah dan Ijma'
Shahabat, dari sisi statusnya yang menunjuk pada seruan
tersebut sehingga tidak menimbulkan kerancuan bahwa yang
dimaksud dengan seruan tersebut hanya Al Qur'an
saja,sebab As-Sunnahpun merupakan wahyu maka As
Sunnahpun adalah seruan pembuat syara' pula. Ijma'
Shahabat, ia mengungkapkan dalil dari Sunnah, ia juga
merupakan seruan pembuat syara' pula. Dikatakan
berkaitan dengan perbuatan hamba dan tidak dikatakan
sebagai perbuatan orang mukallaf karena memang seruan
tersebut mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak
kecil dan juga orang gila; misalnya hukum zakat atas
harta mereka berdua. Adapun pengertian bahwa seruan
pembuat syara' tersebut juga berkaitan dengan al-
iqtidha', berkaitan dengan tuntutan, karena memang
pengertian kata iqtidha' adalah tuntutan. Tuntutan itu
dibagi menjadi tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
untuk meninggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan jika
bersifat pasti maka itu berarti wajib atau fardhu. Jika
tidak pasti berarti tuntutan tersebut adalah mandub, atau
sunnah atau nafilah. Sedangkan tuntutan untuk
meninggalkan, jika pasti itu artinya haram atau mahdzur,
dan jika tidak pasti itu artinya makruh. Adapun pilihan
artinya adalah boleh. Sedangkan khitab al-wadh'I artinya
menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau penghalang, atau
yang sejenis dengan itu, seperti tergelincirnya matahari
yang mewajibkan adanya sholat sebab tergelincirnya
matahari adalah sebab adanya (kwajiban) shalat.
Sebagaimana adanya najis yang menghalangi pelaksanaan
shalat. Keduanya, tergelincirnya matahari dan halangan
adanya najis, dan yang semacam itu meski merupakan
indicator atas hukum-hukum, keduanya merupakan bagian
dari hukum tersebut. Karena Allah menjadikan
tergelincirnya matahari sebagai indicator wajibnya shalat
dzuhur, dan adanya najis merupakan indicator batalnya
shalat. Dan maksud keberadaan tergelincirnya (matahari)
itu yang mewajibkan tidak lain kecuali bahwa Allah
menjadikan tergelincirnya (matahari) sebagai indikator
wajibnya shalat, dan maksud keberadaan hal yang najis itu
membatalkan (shalat) tidak lain kecuali adanya tuntutan
untuk meninggalkan hal yang najis dst. Maka itu semua
hakekatnya merupakan seruan pembuat syara'. Dengan begitu
maka hukum syara' yang didefinisikan sebagai seruan
pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba
sudah mencakup semua unsur yang di definisikan serta
mencegah unsur luar masuk dalam definisi tersebut. Maka
dengan ungkapan dengan tuntutan atau pilihan (artinya)
telah mencakup hukum yang lima yaitu wajib, mandub,
haram, mubah dan makruh. Sedangkan ungkapan dengan al-
wadh'I (artinya) telah tercakup hal-hal yang marupakan
sebab, atau pencegah atau syarat, sahih dan bathil ,
fasid dan rukhshah dan azimah. Berdasarkan pada definisi
ini maka seruan pembuat syara' itu ada dua, seruan yang
sifatnya taklifi dan seruan yang sifatnya wadh'i.
MUBAH
Mubah adalah seruan pembuat syara' yang ditunjuk
oleh dalil syam'I yang bersifat pilihan antara
mengerjakan dan meninggalkan tanpa ada pengganti. Mubah
adalah begian dari hukum-hukum syara' karena mubah
merupakan seruan pembuat syara', karenanya untuk
menetapkan hal yang mubah harus berdasarkan seruan
pembuat syara' dan bukan mengeliminir kesulitan dari
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Jika tidak
(demikian) maka berarti pensyariatan mubah itu telah
ditetapkan sebelum datangnya syara' padahal tidak ada
hukum syara' sebelum datangnya syara'. Maka mubah itu
adalah apa yang datang dari seruan pembuat syara' untuk
memilih di dalamnya antara mengerjakan dan meninggalkan.
Maka mubah itu telah disyariatkan dari syara' itu sendiri
dan hukum tersebut di dapatkan setelah datangnya syara'.
Karenanya mubah merupakan bagian dari hukum syara'.
Selanjutnya bahwa hukum-hukum yang terdapat di dalamnya
hukum mubah, tidak bisa tidak harus berasal dari syara'
yang menunjukkan kemubahan atas setiap hukum itu sendiri.
Mubah itu bukanlah sesuatu yang didiamkan oleh syara'
atau yang tidak diharamkan dan yang tidak dihalalkan.
Adapun hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi dari
Salman Al Farisy, bahwa dia menyatakan: ketika
Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang
disamak, beliau menjawab:
" halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam
kitab-Nya, sedangkan yang haram adalah apa yang
diharamkan dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang didiamkan
oleh Allah maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan
untuk kalian"
(hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi)
" Dan apa yang syara' diam atas hal tersebut maka
berarti dimaafkan" (hadits dikeluarkan oleh Al Baihaqi)