Anda di halaman 1dari 13

SYARAT-SYARAT TAKLIF

Islam itu bukanlah syarat dalam taklif atas hukum-


hukum cabang kecuali pada hal-hal yang nash datang
(dengan penjelasan) bahwa hukum cabang tersebut memang
khusus untuk kaum Muslim, baik secara tegas (sharahah)
seperti:

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah"


(TQS Al Hasyr (59):18)

seperti:

"…berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang


munafik itu…" (TQS At Taubah(9):73)

seperti:

"…dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada


orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman" (TQS An Nisa'(4):141)

atau dalalah (dari nash), misalnya dimaafkannya orang


kafir dari hukum tersebut, misalnya shalat, itu
menunjukkan bahwa Islam merupakan syarat di dalam taklif.
Maka Islam merupakan satu syarat dari beberapa syarat
taklif pada hal-hal yang ada di dalamnya. Tapi, disana
terdapat syarat yang bersifat umum untuk taklif, tidak
dibedakan antara seorang Muslim atau kafir, syarat-syarat
tersebut adalah baligh, berakal, serta adanya kemampuan.
Maka syarat orang mukallaf hendaknya dia baligh, berakal
dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan hal-hal yang
dibebankan padanya. Dari Ali Karramallahu wajhah, dia
berkata: Beliau SAW bersabda:

" pena diangkat dari tiga perkara, dari orang tidur


sampai dia bangun, dari orang gila sampai dia sembuh dan
dari anak kecil sampai dia baligh" (Hadits dikeluarkan
oleh Imam Zaid dalam kitab Musnadnya)
Allah Ta'ala berfirman:

"sungguh Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan


kemampuannya" (TQS Al Baqarah(2):233)
pengertian pena diangkat artinya diangkat taklif
(darinya). Maka dia bukanlah orang mukallaf dan bukan
menjadi obyek seruan hukum-hukum. Sadangkan pengertian
"Allah tidak membebankan" meski dalam bentuk peniadaan
tapi terkandung pengertian adanya larangan, itu dikuatkan
oleh sabda beliau Alaihis-salam:

" jika aku memerintahkan tentang suatu perkara maka


tunaikan perintah tersebut sesuai dengan kemampuan
kalian"(Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim).

tidak (bisa) dikatakan bahwa sungguh Allah mewajibkan


zakat, nafkah dan jaminan-jaminan pada anak-anak dan
orang gila maka itu berarti mereka mukallaf karena Allah
bebankan sebagian hukum pada mereka. Tidak bisa dikatakan
demikian. Sebab kwajiban-kwajiban tersebut tidak
berhubungan dengan perbuatan anak kecil dan orang gila,
tapi itu berkaitan dengan harta milik anak kecil dan
orang gila serta jaminan atas mereka berdua. Harta dan
jaminan tersebutlah obyek taklifnya. Seruan pembuat
syara' pada keduanya yang berkaitan dengan harta jaminan
itu tidak berkaitan dengan perbuatan, karena itu pena
tidak diangkat dari keduanya. Karena pena itu diangkat
dari seruan taklif yang berkaitan dengan perbuatan.
Terlebih lagi bahwa pengangkatan pena tersebut dibatasi
oleh tujuan yang jelas "sampai dia baligh" dan " sampai
dia sembuh" itu menunjukkan adanya ta'lil, dan illahnya
adalah kecil, hilangnya akal dan ini tentu tidak tidak
masuk dalam harta dan jaminan, maka tidak dikecualikan.
Tidak dapat dikatakan bahwa sesungguhnya Allah
membebankan hal yang tidak mungkin karena Allah
membebankan orang yang tidak memiliki kemampuan dalam
melaksanakan hal-hal yang ditaklifkan. Sungguh Allah
memerintahkan Abu Lahab untuk beriman dengan apa yang
Allah turunkan sementara Allah memberikan informasi
tentang Abu Lahab bahwa dia tidak beriman, itu berarti
mengumpulkan antara dua hal yang bertentangan maka Allah
membebankan sesuatu yang mustahil, artinya Allah
membebankan pada seseorang dengan hal yang diluar
kemampuan dia. Tidak bisa dikatakan demikian, karena
Allah membebankan pada abu Lahab pada awalnya adalah
untuk beriman pada apa yang Allah turunkan dan bukan
Allah menurunkan setelah dia tidak beriman. Lalu setelah
itu Allah memberikan informasi tentang Abu Lahab, bahwa
dia tidak beriman. Maka berita tentang Abu Lahab bahwa
dia tidak beriman bukanlah termasuk sesuatu yang
ditaklifkan bagi Abu Lahap untuk membenarkannya, karena
informasi tersebut lebih belakang dari dalil yang
menunjuk pada wajibnya iman.
Ini dari sisi syarat-syarat taklif dalamm hukum pada
awalnya, adapun diangkatnya suatu hukum atas mukallaf
setelah ditaklifkan bukanlah syarat taklif tetapi itu
merupakan alasan-alasan yang dibolehkan untuk
meninggalkan hukum yang dibebankan padanya. Itu berlaku
seperti pada orang yang dipaksa, orang yang keliru dan
orang yang lupa. Maka diangkatnya kesulitan dari mereka
karena tidak dapatnya melaksanakan apa yang dibebankan
dan bukan karena mereka sejak awal memang tidak mukallaf.
Karenanya itu bukanlah salah satu syarat taklif. Itu
berdasarkan sabda beliau SAW:

"telah diangkat dari umatku kesalahan, lupa dan apa-apa


yang dipaksakan padanya" (Hadits dikeluarkan oleh Ibnu
Majah)

perhatikan perbedaan antara sabda beliau " telah diangkat


pena" dengan sabda beliau: "telah diangkat dari umatku".
Maka sabda beliau: "telah diangkat pena" artinya adalah
teah diangkat taklif, maka dia tidak dibebani, sedangkan
sabda beliau: "telah diangkat dari umatku", maksudnya
adalah telah diangkat penilaian dari umatku; dan itu
tidak mengharuskan mengangkat taklif. Maka pemaksaan yang
dianggap syar'I adalah al-ikrah al-mulji'u (pemaksaan
yang membahayakan) untuk (melakukan) perbuatan yang tidak
peluang untuk meninggalkan, apabila tidak sampai batas
yang membahayakan maka tidak ada masalah; tapi apabila
pemaksaan tersebut tidak sampai menimbulkan bahaya maka
berarti ada pilihan oleh karena itu dihukumi.

HUKUM SYARA'
Allah menyeru orang-orang mukallaf dengan syariah
Islam secara keseluruhan, baik pokok maupun cabang,
akidah maupun hukum-hukum cabang. Namun ingat bahwa ilmu
ushul fiqh memang tidak membahas masalah pokok, masalah
akidah, ushul fiqh membahas masalah cabang, masalah
hukum-hukm syara', dari aspek landasan yang hukum-hukum
syara' dibangun diatasnya dan bukan dari sisi masalah-
masalah yang terkandung di dalam hukum. Maka menjedi
keharusan untuk mengetahui hakikat hukum syara' ketika
membahas tentang pengetahuan atas dalil-dalil syara',
para Ulama' ushul fiqh mentakrifkan hukum syara' sebagai
seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan
hamba, baik yang sifatnya iqtidha', takhyir atau al-
wadh'i. Pembuat syara' adalah Allah Ta'ala, maka yang
dimaksud dengan seruan pembuat syara' adalah seruan
Allah. Selanjutnya seruan Allah tersebut meski merupakan
arah atas apa yang memberikan faedah pada pendengar atau
adakalanya siapa saja yang terkena seruan karena adanya
kecenderungan untuk difahami, tapi sesungguhnya seruan
itu adalah apa yang memberikan faedah dan bukan yang
mengarahkan pada apa yang memberikan faidah. Dan makna
yang terkandung di dalam lafadz dan susunan kata itulah
yang disebut dengan seruan. Adapun penyebutan dengan
seruan pembuat syara' dan tidak dengan seruan Allah
karena seruan tersebut mencakup as Sunnah dan Ijma'
Shahabat, dari sisi statusnya yang menunjuk pada seruan
tersebut sehingga tidak menimbulkan kerancuan bahwa yang
dimaksud dengan seruan tersebut hanya Al Qur'an
saja,sebab As-Sunnahpun merupakan wahyu maka As
Sunnahpun adalah seruan pembuat syara' pula. Ijma'
Shahabat, ia mengungkapkan dalil dari Sunnah, ia juga
merupakan seruan pembuat syara' pula. Dikatakan
berkaitan dengan perbuatan hamba dan tidak dikatakan
sebagai perbuatan orang mukallaf karena memang seruan
tersebut mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan anak
kecil dan juga orang gila; misalnya hukum zakat atas
harta mereka berdua. Adapun pengertian bahwa seruan
pembuat syara' tersebut juga berkaitan dengan al-
iqtidha', berkaitan dengan tuntutan, karena memang
pengertian kata iqtidha' adalah tuntutan. Tuntutan itu
dibagi menjadi tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
untuk meninggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan jika
bersifat pasti maka itu berarti wajib atau fardhu. Jika
tidak pasti berarti tuntutan tersebut adalah mandub, atau
sunnah atau nafilah. Sedangkan tuntutan untuk
meninggalkan, jika pasti itu artinya haram atau mahdzur,
dan jika tidak pasti itu artinya makruh. Adapun pilihan
artinya adalah boleh. Sedangkan khitab al-wadh'I artinya
menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau penghalang, atau
yang sejenis dengan itu, seperti tergelincirnya matahari
yang mewajibkan adanya sholat sebab tergelincirnya
matahari adalah sebab adanya (kwajiban) shalat.
Sebagaimana adanya najis yang menghalangi pelaksanaan
shalat. Keduanya, tergelincirnya matahari dan halangan
adanya najis, dan yang semacam itu meski merupakan
indicator atas hukum-hukum, keduanya merupakan bagian
dari hukum tersebut. Karena Allah menjadikan
tergelincirnya matahari sebagai indicator wajibnya shalat
dzuhur, dan adanya najis merupakan indicator batalnya
shalat. Dan maksud keberadaan tergelincirnya (matahari)
itu yang mewajibkan tidak lain kecuali bahwa Allah
menjadikan tergelincirnya (matahari) sebagai indikator
wajibnya shalat, dan maksud keberadaan hal yang najis itu
membatalkan (shalat) tidak lain kecuali adanya tuntutan
untuk meninggalkan hal yang najis dst. Maka itu semua
hakekatnya merupakan seruan pembuat syara'. Dengan begitu
maka hukum syara' yang didefinisikan sebagai seruan
pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba
sudah mencakup semua unsur yang di definisikan serta
mencegah unsur luar masuk dalam definisi tersebut. Maka
dengan ungkapan dengan tuntutan atau pilihan (artinya)
telah mencakup hukum yang lima yaitu wajib, mandub,
haram, mubah dan makruh. Sedangkan ungkapan dengan al-
wadh'I (artinya) telah tercakup hal-hal yang marupakan
sebab, atau pencegah atau syarat, sahih dan bathil ,
fasid dan rukhshah dan azimah. Berdasarkan pada definisi
ini maka seruan pembuat syara' itu ada dua, seruan yang
sifatnya taklifi dan seruan yang sifatnya wadh'i.

SERUAN TAKLIF (KHITAB AT-TAKLIF)

Khitab taklif adalah seruan pembuat syara' yang


berkaitan dengan tuntutan atau pilihan, khitab taklif
berkaitan dengan tuntutan untuk mengerjakan, tuntutan
untuk meninggalkan atau tuntutan untuk memilih antara
mengerjakan dan meninggalkan. Jika khitab tersebut
berkaitan dengan tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
tersebut bersifat pasti maka tuntutan tersebut adalah
wajib, atau disebut juga dengan fardhu. Wajib adalah
tuntutan yang secara syar'I ada celaan bagi yang
meninggalkan secara sengaja secara mutlak. Pengertian
celaan bagi yang tidak mengerjakannya secara syar'I
hendaknya terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah
atau Ijma' Shahabat yang orang yang meninggalkan tersebut
dalam keadaan kalau dia meninggalkan maka dia akan
mendapatkan cacat dan hal yang menyakitkan. Dan sama
sekali tidak dipertimbangkan celaan manusia ketika
meninggalkan pelaksanaan, tapi yang diperhatikan adalah
celaan dalam syara'. Tidak ada perbedaan antara wajib ain
dan wajib kifayah jika ditinjau dari aspek kwajibannya.
Apabila seruan pembuat syara' itu berkaitan dengan
tuntutan untuk mengerjakan yang sifatnya tidak pasti maka
itu adalah mandub, padan katanya dalam masalah ibadah
adalah sunnah. Mandub adalah perbuatan yang pelakunya
secara syar'I mendapatkan pujian ketika mengerjakan namun
ketika meninggalkan pelakunya secara syar'I tidak dicela.
Mandub juga disebut dengan nafilah. Jika seruan pembuat
syara' tersebut berkaitan dengan tuntutan untuk
meninggalkan yang sifatnya pasti maka itu disebut haram,
padan katanya adalah mahdzur. Haram adalah perbuatan yang
terhadap pelaku perbuatan tersebut dicela oleh syara'.
Selanjutnya jika ada seruan pembuat syara' yang berkaitan
dengan tuntutan untuk meninggalkan tapi tuntutannya tidak
pasti maka itu disebut dengan makruh. Makruh ditakrifkan
dengan hal-hal yang bagi yang meninggalkan mendapat
pujian dari syara' tapi yang mengerjakan tidak dicela
oleh syara'. Jika seruan pembuat syara' berkaitan dengan
pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan, baik secara
jelas menunjukkan adanya pilihan atau yang dapat difahami
dari nash bahwa ada pilihan dilihat dari bentuk tuntutan,
seperti adanya tuntutan setelah datangnya larangan atas
satu hukum dalam dua keadaan yang berbeda maka itu
berarti mubah, meski seruannya dalam bentuk perintah.
Maka hukum-hukum syara' di dalam khitabtaklif sama sekali
tidak akan keluar dari lima kategori ini.
WAJIB
Wajib dan fardhu itu pengertiannya sama, tidak ada
perbedaan antara keduanya. Keduanya merupakan dua kata
yang pengertiannya sama, adapun yang diungkapkan oleh
sebagian mujtahid bahwa apabila taklif tersebut
ditetapkan dengan dalil yang qath'I, seperti dengan al
Qur'an dan as Sunnah Mutawatirahdisebut fardhu, tapi jika
ditetapkan dengan dalil dzanni seperti khabar ahad dan
qiyas disebut dengan wajib. Ungkapan ini merupakan
persepsi yang tidak ada dalilnya, baik dalam bahasa
maupun syara' sama sekali tidak ada yang menunjukkan hal
itu. Maka tidak tepat kalau dijadikan istilah bagi
mereka karena istilah itu adalah nama untuk identitas
sesuatu dan ini bukan dari aspek ini, bahkan istilah itu
merupakan definisi untuk identitas tertentu yang pasti
akan implementatif terhadap obyeknya. Dan fakta sebutan
disini adalah apa yang dituntut oleh pembuat syara' yang
sifatnya pasti, tidak berbeda apakah tuntutan tersebut
ditetapkan dengan dalil qath'I atau dzanni. maka
masalahnya adalah berkaitan dengan apa yang dimaksud oleh
seruan bukan dalam penetapannya.
Fardhu ditinjau dari aspek penunaiannya dibagi menjadi
dua: fardhu yang diperluas, seperti sholat dan fardhu
yang dipersempit, seperti puasa. Jika waktu yang
diwajibkan lebih dari waktu yang diperlukan untuk
menunaikan kwajiban seperti shalat dzuhur misalnya, maka
itu merupakan fardhu yang diperluas. Dan semua bagian
dari waktu tersebut adalah waktu untuk menunaikan
kwajiban tersebut yang kembali pada gugurnya suatu fardhu
di dalamnya dan diperolehnya kemaslahatan dari suatu
kwajiban. Sebagaimana dalil wajib yang diperluas adalah
perintah shalat dzuhur yaitu sabda beliau SAW di dalam
hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dawud bahwa Nabi SAW
bersabda:

"Jibril AS menentramkan saya ketika saya di rumah dea


kali, Jibril shalat dzuhur dengan saya ketika matahari
telah condong ke barat kira-kira sepanjang tali sepatu,
sampai sabda beliau: dan Jibril shalat ashar dengan saya
ketika bayangan tali sepatu tersebut (panjangnya) sama"
(Al Hadits)
Ini bersifat umum mencakup semua bagian waktu yang telah
disebutkan. Dan implementasi yang dimaksud di dalamnya
bukan awal perbuatan sholat dilakukan pada awal waktu dan
akhir shalat pada akhirnya, dan bukan pelaksanaan shalat
pada setiap waktu dari waktu-waktu yang ada agar waktunya
tersebut tidak kosong dari shalat, juga bukan merupakan
penegasan pada bagian dari waktu tersebut karena
dikhususkannya untuk dilaksanakan kwajiban pada waktu
tersebut, karena tidak ada penunjukan dari lafadz atas
hal tersebut. Maka tidak ada pengertian lain kecuali
bahwa yang dimaksud adalah setiap bagian dari waktu
tersebut dapat untuk melaksanakan kwajiban. Bagi
mukallaf dia bisa memilih dalam menunaikan perbuatan pada
bagian waktu manapun yang ia sukai. Maka kwajiban terjadi
pada orang mukallaf pada semua bagian waktu, dan pada
bagian waktu manapun yang ia gunakan untuk mengerjakan
maka gugurlah baginya kwajiban tersebut dan dia
mendapatkan kebaikan dari (pelaksanaan) kwajiban. Namun
apabila orang mukallaf tersebut berniat untuk menunaikan
kwajiban pada awal waktu, maka jika dia mengakhirkan
shalat dari awal waktu, dengan syarat adanya niat, lalu
mati sebelum habisnya waktu dan dia belum menunaikan
kwajiban shalat maka dia tidak menghadap Allah dalam
keadaan maksiyyah. Tapi jika seorang mukallaf dengan
dugaan kuatnya dia bahwa dia akan mati apabila
mengakhirkan waktu (shalat) dari awal waktunya maka dia
maksiyyah ketika dia mengakhirkan shalat dari awal waktu
shalat meski faktanya dia tidak mati. Itu karena
kwajiban yang waktunya luas harus dengan asumsi bahwa
dengan dugaan kuat bagi si mukallaf bahwa dia dapat
menunaikan sepanjang waktu yang telah ditentukan untuk
kwajiban tersebut, jika tidak demikian maka dia tidak
boleh mengakhirkannya. Atas dasar itu maka haji itu
merupakan kwajiban yang luas bagi yang mampu, ia boleh
melaksanakan kwajiban haji tersebut pada setiap waktu
setelah adanya kemampuan, tapi jika dengan dugaan kuatnya
bahwa dia akan kehilangan kemampuan sebelum menunaikan
haji maka wajib baginya untuk menunaikan haji saat itu
juga, dari waktu yang menurut dugaan dia, dia akan
kehilangan kemampuan tersebut. ini semua apabila waktu
menunaikan kwajiban tersebut berlebih. Tapi apabila waktu
pelaksanaan kwajiban tersebut tidaklah berlebih seperti
puasa, maka wajib baginya untuk menunaikan kwajiban
tersebut saat itu juga dan tidak boleh diakhirkan, jika
diakhirkan maka berdosa dan wajib mengqadha'nya.
Sedangkan dari sisi pelaksanaan fardhu itu dibagi
menjadi dua, fardhu ain dan fardhu kifayah, dari sisi
kwajiban tidak ada perbedaan antara keduanya. Karena
kwajiban itu sama pada keduanya, dan pada masing-masing
terdapat tuntutan untuk melaksanakan yang bersifat pasti.
Perbadaan antara keduanya adalah bahwa fardhu ain
tuntutannya berlaku pada setiap individu itu sendiri,
sedangkan fardhu kifayah tuntutannya berlaku atas seluruh
kaum Muslim. Maka jika telah ada kecukupan dalam
menunaikannya maka kwajiban tersebut telah terwujud, baik
yang mengerjakan itu setiap individu atau sebagain dari
mereka. Namun jika tidak dihasilkan kemampuan dalam
pelaksanaannya maka kwajiban tersebut tetap ada pada
masing-masing individu dari meraka sampai kwajiban
tersebut terwujud (tertuanaikan).
Ini kwajiban ditinjau dari sisi pelakunya. Adapun
ditinjau dari sisi obyeknya kwajiban tersebut dibagi
menjadi dua, kwajiban yang terpilih atau kwajiban yang
pasti. Kwajiban terpilih artinya kwajiban-kwajiban yang
di dalamnya orang mukallaf dapat memilih diantara
beberapa obyek. Maka firman-Nya Ta'ala:

"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu


yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan
yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu
adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan
kamu langgar)" (TQS Al Maidah(5):89).

Orang Mukallaf dapat memilih antara memberi makan sepuluh


orang miskin atau memberikan pada mereka pakaian atau
membebaskan budak, yang diwajibkan bagi dia adalah salah
satu dari pilihan tadi dan bukan semuanya dan itu
ditentukan berdasarkan perbuatan orang mukallaf. Adapun
kwajiban yang sifatnya telah ditentukan adalah kwajiban
yang diwajibkan atas orang mukallaf untuk melaksanakannya
dan tidak ada pilihan lain, seperti shalat. Maka yang
ditentukan adalah melaksanakan shalat, tanpa adanya
pilihan antara melaksanakan shalat dan melaksanakan yang
lain.

SESUATU YANG JIKA SUATU KWAJIBAN TIDAK SEMPURNA TANPA


SESUATU TERSEBUT, MAKA SESUATU ITU MENJADI WAJIB

Sesungguhnya sesuatu yang kwajiban tidak sempurna


tanpa sesuatu itu dibagi menjadi dua: pertama, apabila
kwajiban tersebut memang disyaratkan dengan sesuatu
tersebut. Kedua, apabila kwajiban tersebut tidak
disyaratkan dengan adanya sesuatu tersebut. Adapun apa
yang kwajibannya disyaratkan dengan sesuatu tersebut,
tidak ada perbedaan bahwa menghasilkan yang disyaratkan
bukanlah hal yang diwajibkan, tapi yang diwajibkan adalah
apa yang diwajibkan oleh dalil, seperti wajib shalat
tertentu yang mensyaratkan adanya suci. Suci bukanlah
kwajiban dari sisi seruan shalat tapi suci tersebut
merupakan syarat untuk menunaikan kwajiban, dan yang
diwajibkan pada seruan shalat adalah sholat dengan adanya
syarat. sedangkan kwajiban yang sifatnya mutlak tanpa
disyaratkan adanya kwajiban yang lain, tapi yang
disyaratkan adalah terjadinya, maka ini dibagi menjadi
dua: pertama, dalam kemampuan orang mukallaf dan yang
kedua diluar kemampuan orang mukallaf. Adapun yang di
dalam lingkup kemampuan orang mukallaf maka hal tersebut
wajibnya berdasarkan seruan yang di dalamnya ada tuntutan
wajib. Maka wajibnya sama seperti wajibnya sesuatu yang
datang dalam seruan pembuat syara' persis tanpa adanya
perbedaan. Itu seperti membasuh dua siku, pelaksanaan
kwajiban, mambasuh dua tangan sampai dengan siku, tidak
sempurna kecuali dengan membasuh bagian-bagian dari
keduanya karena tujuan tersebut masuk pada yang dituju,
dan terealisirnya kwajiban ini tergantung pada
keberhasilan bagian dari tujuan tersebut. oleh karena itu
maka membasuh bagian dari kedua siku adalah wajib meski
seruan tidak datang di dalamnya, tetapi seruan tersebut
datang dengan hal-hal dimana kwajiban tersebut tergantung
pada keberadaannya. Maka seruan pembuat syara' tersebut
mencakup hal yang wajib itu sendiri dan hal-hal yang
tidak memungkinkan pelaksanaan kwajiban tersebut kecuali
dengan sesuatu tersebut, maka penunjukan dari seruan
tersebut merupakan dalalatul-iltizam (penunjukan yang
sifatnya mengikat, karenanya hal itu merupakan kwajiban
pula. Dan yang seperti itu adalah pendirian kutlah yang
bersifat politik untuk menegakkan khilafah ketika dalam
keadaan tiadanya seorang khalifah atau untuk melakukan
kontrol terhadap penguasa. Sungguh menegakkan khilafah
adalah wajib sebagaimana kontrol pada penguasa, dan
pelaksanaan kwajiban ini tidak akan mungkin dilakukan
oleh individu, karena individu secara personal lemah
untuk menunaikan kwajiban tersebut, yakni untuk
menegakkan khilafah atau kontrol pada penguasa. Maka
tidak bisa tidak harus melalui kutlah yang bersifat
kolektif dari kaum Muslim agar mampu untuk menunaikan
kwajiban ini; maka menjadi kwajiban atas kaum Muslim
untuk mendirikan kutlah yang mampu untuk menegakkan
khalifah serta melakukan kontrol terhadap penguasa. Jika
kaum Muslim tidak menegakkan kutlah maka mereka berdosa,
karena mereka tidak mendirikan apa yang menjadi
keharusan untuk menunaikan suatu kwajiban. Apabila mereka
telah mendirikan kutlah tapi tidak mampu untuk menegakkan
khilafah serta kontrol pada penguasa, mereka tetap
berdosa karena mereka tidak menunaikan kwajiban, sebab
yang diwajibkan bukan hanya mendirikan kutlah saja tapi
mendirikan kutlah yang mampu untuk menegakkan khilafah
atau kontrol terhadap penguasa, atau dengan kata lain
kutlah yang mampu melaksanakan kwajiban. Demikianlah,
maka setiap hal yang pelaksanaan kwajiban tidak sempurna
kecuali dengan hal tersebut dan hal tersebut dan bukan
merupakan syarat maka hal tersebut adalah wajib. Ini
jika dalam kemampuan seorang mukallaf. Adapun yang diluar
kemampuan orang mukallaf maka itu bukanlah hal yang
wajib, berdasarkan firman-Nya Ta'ala:

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya" (TQS Al Baqarah(2):286)
dan berdasarkan sabda beliau Alaihish-shalatu was-salam:

" jika aku perintahkan kalian dengan satu perkara maka


tunaikan semampu kalian" (Hadits dikeluarkan oleh Al
Bukhari dan Muslim)

Karenanya maka tidak boleh ada taklif pada hal-hal yang


memang diluar kemampuan, sebab taklif seperti itu
mengharuskan penisbahan kedzaliman pada Allah dan itu
tidak boleh.
Walhasil, bahwa perintah atas sesuatu itu juga
berarti perintah atas hal-hal yang jika hal tersebut
tidak ada maka sesuatu tersebut tidak sempurna, baik
apakah itu merupakan sebab, yaitu hal yang dengan adanya
sesuatu tersebut mengharuskan ada, dan jika tidak ada
maka sesuatu itupun juga tidak ada, atau merupakan
syarat, yaitu sesuatu yang jika hal tersebut tidak ada
maka sesuatu itu pasti tidak ada, tapi dengan adanya hal
tersebut belum tentu sesuatu itu ada. Baik apakah sebab
tersebut syar'I sifatnya, seperti adanya bentuk
pernyaatan yang berkaitan dengan memerdekakan (budak)
yang sifatnya wajib, atau yang sifatnya akli, kajian yang
sifatnya produktif atas pengetahuan-pengetahuan yang
wajib, atau yang sifatnya kebiasaan seperti memenggal
leher untuk membunuh yan sifatnya wajib. Baik apakah
syarat tersebut juga syar'I sifatnya seperti wudhu atau
yang sifatnya akli, yaitu yang merupakan suatu kelaziman
bagi yang diperintahkan secara akli seperti meninggalkan
yang bertentangan dengan yang diperintahkan, atau yang
merupakan kebiasaan yang biasanya anda tidak
menafikannya, seperti wajibnya membasuh bagian dari
kepala ketika wudhu. Maka wajibnya sesuatu itu mewajibkan
(pula) hal-hal yang kwajiban tersebut tidak sempurna
kecuali dengan hal tersebut, artinya taklif-taklif atas
sesuatu itu juga mengharuskan taklif-taklif atas hal-hal
yang sesuatu tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal
tersebut. berdasarkan inilah muncul kaidah:
ãÇ áÇíÊã ÇáæÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ

suatu hal yang tanpa hal tersebut suatu kwajiban tidak


sempurna maka adanya hal tersebut wajib pula.
HARAM

Haram adalah seruan pembuat syara' yang ditunjukkan


oleh dalil sam'I berupa tuntutan untuk meninggalkan
perbuatan dengan tuntutan yang sifatnya pasti. Haram
itu adalah apabila ada celaan secara syar'I bagi
pelakunya, padan kata dari haram adalah mahdzur.

MUBAH
Mubah adalah seruan pembuat syara' yang ditunjuk
oleh dalil syam'I yang bersifat pilihan antara
mengerjakan dan meninggalkan tanpa ada pengganti. Mubah
adalah begian dari hukum-hukum syara' karena mubah
merupakan seruan pembuat syara', karenanya untuk
menetapkan hal yang mubah harus berdasarkan seruan
pembuat syara' dan bukan mengeliminir kesulitan dari
mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya. Jika tidak
(demikian) maka berarti pensyariatan mubah itu telah
ditetapkan sebelum datangnya syara' padahal tidak ada
hukum syara' sebelum datangnya syara'. Maka mubah itu
adalah apa yang datang dari seruan pembuat syara' untuk
memilih di dalamnya antara mengerjakan dan meninggalkan.
Maka mubah itu telah disyariatkan dari syara' itu sendiri
dan hukum tersebut di dapatkan setelah datangnya syara'.
Karenanya mubah merupakan bagian dari hukum syara'.
Selanjutnya bahwa hukum-hukum yang terdapat di dalamnya
hukum mubah, tidak bisa tidak harus berasal dari syara'
yang menunjukkan kemubahan atas setiap hukum itu sendiri.
Mubah itu bukanlah sesuatu yang didiamkan oleh syara'
atau yang tidak diharamkan dan yang tidak dihalalkan.
Adapun hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi dari
Salman Al Farisy, bahwa dia menyatakan: ketika
Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang
disamak, beliau menjawab:

" halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam
kitab-Nya, sedangkan yang haram adalah apa yang
diharamkan dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang didiamkan
oleh Allah maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan
untuk kalian"
(hadits dikeluarkan oleh At Tirmidzi)

Hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa apa yang


didiamkan oleh Al Qur'an adalah mubah. Sesungguhnya
disana terdapat hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang
dihalalkan di dalam hadits, dan sungguh shahih dari nabi
SAW bahwa beliau bersabda:
"telah didatangkan padaku Al Qur'an dan seperti Al Qur'an
bersama Al Qur'an"(Hadits dikeluarkan oleh Ahmad)

Dan yang dimaksudkan dengan hal-hal yang didiamkan oleh


wahyu. Begitu pula bahwa yang dimaksud dengan apa yang
didiamkan oleh wahyu itu bukan berarti mubah, kerena
sabda beliau dalam Hadits:

"halal itu adalah yang dihalalkan oleh Allah"

mencakup setiap hal yang tidak diharamkan baik wajib,


mandub, mubah, dan makruh; karena yang sesuai bahwa hal
tersebut adalah halal, dengan pengertian bahwa hal
tersebut tidak diharamkan. Atas dasar hal tersebut maka
bukan berarti bahwa makna apa yang didiamkan atas hal
tersebut adalah mubah. Adapun sabda beliau:

" Dan apa yang didiamkan berati merupakan hal dima'afkan


bagi kalian"
Dan sabda beliau dalam Hadits yang lain:

" Dan apa yang syara' diam atas hal tersebut maka
berarti dimaafkan" (hadits dikeluarkan oleh Al Baihaqi)

Dan sabda beliau pada hadits yang lain:

"dan apa yang syara' diam atas sesuatu, berarti merupakan


rukhshah bagi kalian, bukan karena dilupakan, maka
janganlah kalian membahasnya"(hadits dikeluarkan oleh Al
Baihaqy)
Maka sesungguhnya yang dimaksud dengan diamnya syara'
atas sesuatu berarti syara' menghalalkannya, maka
penghalalan atas sesuatu tersebut merupakan dispenssasi
dari Allah dan merupakan rahmat bagi manusia sebab Allah
tidak mengharamkannya, bahkan menghalalkannya. Ini
berdasarkan dalil sabda Rasulullah dalam hadits Saad Ibn
Abi Waqash:

"Sesungguhnya perbuatan kriminal yang paling serius


adalah ketika ada orang yang bertanya tentang sesuatu
yang tidak diharamkan atas manusia kemudian diharamkan
karena pertanyaannya" (hadits dikeluarkan oleh Muslim)

artinya orang yang bertanya tentang sesuatu yang wahyu


diam, tidak mengharamkan. Diam pada hadits ini artinya
diam dari mengharamkan, dan bukan diam dari menjelaskan
hukum syara', karena Allah tidak diam dari memberikan
penjelasan hukum syara', bahkan Allah menjelaskan semua
hal. Dia Ta'ala berfirman:

"Dan Kami turunkan kitab atas kalian sebagai penjelasan


atas segala sesuatu" (TQS An Nahl(16):89)
atas dasar hal itu maka mubah itu bukan hal-hal yang
syara' mendiamkannya, tapi mubah itu adalah hal-hal yang
syara' menjelaskan hukumnya bahwa hal tersebut mubah dan
hal-hal yang syara' mendiamkannya adalah sebagian hal
mubah, sedangkan diamnya syara' atas hal tersebut
merupakan penjelasan bagi hal tersebut bahwa hal tersebut
hukumnya mubah. Maka hukum-hukum mubah sungguh telah ada
dalilnya pada setiap hukum tersebut yang menunjukkan
kemubahannya. Mubahnya berburu jelas dalam firman Dia
Ta'ala:

"…dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka


bolehlah berburu" (TQS Al Maidah (5):2)

sedangkan kebolehan bertebaran (di muka bumi) setelah


shalat jum'at jelas sekali dalam firman Dia Ta'ala:

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah


kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung" (TQS Al Jumuah
(62):10)

dan kebolehan jual beli jelas sekali dalam firman-Nya


Ta'ala:

"…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan


mengharamkan riba" (TQS Al Baqarah (2):275)

Sedangkan kebolehan ijarah, perwakilan dan gadai dsb


jelas sekali pada dalilnya masing-masing. Berdasarkan itu
maka ibahah merupakan hukum syara' yang penetapannya
harus dengan dalil syara' yang menunjukkan hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai