Anda di halaman 1dari 5

BAB I PERSOALAN ILMU KALAM PERSPEKTIF ILMU KALAM

A. Wahyu dan Akal

a. Pengertian Akal
Kata “akal” yang telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Arab,
yaitu al-‘aql (‫ )العقل‬yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman dan pengertian. Kata ‫ عقل‬dapat diartikan
sebagai cahaya rohaniah yang dengannya dapat dijangkau sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indra.
Kata akal dapat juga ditemui penggunaannya dalam Alquran sebanyak 49 kali, meski hanya dalam bentuk
kata kerja (‫)فعل‬. Dalam hal ini, kata ‫ عقلوه‬1 kali, kata ‫ تعقلون‬24 kali, kata ‫ نعقل‬1 kali, kata ‫ يعقلها‬1 kali, sedangkan
kata ‫ يعقلون‬sebanyak 22 kali. Dari kata-kata tersebut mempunyai dua arti pokok, yaitu berarti faham dan
mengerti.
Secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang memberikan kekuatan
kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta mengukuhkan sesuatu dan menetapkan
keputusan di antara berbagai macam hal yang ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan.
Selain itu, Harun Nasution mendefinisikan akal sebagai daya pikir yang dianugrahkan Allah
kepada manusia untuk menghasilkan pengetahuan melalui kesan-kesan yang diperoleh
pancaindra. Akal dalam pengertian Islam, tidak dimaksudkan sebagai otak, tetapi merupakan daya berfikir
yang terdapat dalam jiwa manusia untuk memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya.
Akal dalam pengertian inilah yang kemudian dikontraskan (dalam Islam) dengan wahyu, sebagai sumber
pengetahuan dari luar diri manusia, yaitu dari Allah Swt.
Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa akal yang terdapat dalam diri manusia, merupakan suatu daya
yang dengannya manusia dapat hidup bermutu dan dinamis, karena tingkah laku dan perbuatan manusia
dilakukan atas dasar pengertian atau pengetahuan dan motivasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.

b. Pengertian Wahyu
Kata “wahyu” berasal dari bahasa Arab yaitu ‫ الوحي‬yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping
itu, kata wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga mengandung makna
pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai “petunjuk dari Allah yang
diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya”. Dalam kedudukannya
sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan sebagai pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan
kepada orang-orang pilihannya (Rasul) untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai pegangan
hidup. Ia mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi manusia untuk perjalanan hidupnya
di dunia dan akhirat.
Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh Muhammad Abduh, ia mengatakan bahwa
wahyu adalah pengetahuan yang didapat sesorang pada dirinya sendiri dengan suatu keyakinan bahwa
pengetahuan itu datang dari Allah swt. Di sini, Muhammad Abduh melihat wahyu tidak hanya ditujukan
kepada Nabi dan Rasul saja, tetapi juga kepada manusia biasa.
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa akal dapat dimiliki oleh setiap manusia dan inheren
dalam dirinya. Sedangkan wahyu merupakan informasi dari Tuhan yang berada di luar diri manusia. Namun,
fungsi kedua alat ini sama-sama untuk menghasilkan pengetahuan, meskipun tingkat kebenarannya berbeda.
Dalam hal ini, kebenaran yang diperoleh dari wahyu bersifat absolut, sedangkan kebenaran yang
diperoleh melalui akal bersifat relatif. Wahyu bersumber dari Allah, sedangkan akal bersumber dari
manusia.
c. Wahyu dan Akal Perspektif Aliran Kalam
1. Aliran Mu‘tazilah
Kaum Mu‘tazilah dikenal sebagai aliran yang paling banyak menggunakan akal dalam
pembahasan-pambahasan teologinya, sehingga ia dijuluki sebagai kaum rasionalis Islam. Dalam
pandangannya mengenai peranan akal dan wahyu untuk mengetahui keempat hal tersebut di atas, tokoh-
tokoh aliran Mu‘tazilah sependapat, bahwa pokok-pokok pengetahuan (tentang Tuhan serta baik dan
buruk) dan mensyukuri nikmat adalah wajib, sebelum turunnya wahyu. Hal ini berarti, bahwa mengetahui
Tuhan; mengetahui baik dan buruk; kewajiban bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan;
serta mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk dapat
diketahui oleh akal manusia. Sehingga, seandainya tidak ada wahyu pun, manusia tetap dapat
mengtahuinya. Dengan penalaran akalnya, manusia bisa berkesimpulan bahwa berterimakasih kepada
Tuhan adalah wajib sebelum datangnya wahyu.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa Mu‘tazilah menafikan peranan wahyu. Wahyu
menurut mereka tetap memiliki peranan yang sangat penting dalam keempat masalah tersebut. Dalam
kaitan ini, wahyu memiliki fungsi konfirmasi dan informasi, memperkuat apa yang telah diketahui
akal dan menerangkan apa yang belum diketahui oleh akal. Hanya saja, menurut Mu‘tazilah, wahyu
tidak selamanya yang menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, karena akal, bagi Mu‘tazilah dapat
mengetahui sebagian yang baik dan sebagian dari yang buruk. Dalam artian, akal dapat mengetahui garis-
garis besarnya, sedangkan rinciannya diperoleh melalui wahyu. Misalnya, sungguhpun akal dapat
mengetahui Tuhan, akan tetapi akal tidak dapat menentukan jenis Tuhan yang sesungguhnya, sehingga
apa yang digambarkan oleh akal itu dapat saja berubah-ubah. Demikian halnya tentang perbuatan baik
dan buruk, ada saja yang tidak dapat dijangkau oleh akal, misalnya, penyembelihan binatang untuk
keperluan tertentu.
Dalam kaitannya dengan perbuatan baik dan buruk ini, kaum Mu‘tazilah membedakan antara ‫قبائح‬
‫ عقلية‬serta ‫ مناكير عقلية‬perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut akal dan ‫قبا ئح شرعية‬Serta ‫مناكير‬
‫ شرعية‬perbuatan-perbuatan yang tidak baik menurut wahyu. Begitu pula dibedakan antara kewajiban-
kewajiban yang ditentukan oleh akal ‫ واجبات عقلية‬serta ‫ تكليف عقل‬dengan kewajiban-kewajiban yang
ditentukan oleh wahyu ‫ واجبات شرعية‬serta ‫تكليف سم‬. Dalam kaitan ini, akal hanya dapat mengetahui garis-
garis besarnya saja dari kewajiban-kewajiban manusia, sedangkan perinciannya - sebagaimana pendapat
Abdul Jabbar – hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Selanjutnya, fungsi lain dari wahyu, menurut al-Syahrastani adalah untuk mengingatkan manusia
tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya atau memperpendek jalan untuk
mengetahui Tuhan.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa meskipun aliran Mu‘tazilah memberikan peranan yang
besar kepada akal, namun, tetap dalam keterbatasannya sebagai akal manusia, yang hanya mampu
mengetahui baik dan buruknya sesuatu secara universal. Sedangkan kebaikan yang bersifat lokal dan
varsial hanya dapat diketahui melalui wahyu. Selanjutnya, wahyu menurut Mu‘tazilah, di samping
sangat berperan untuk mengetahui perincian dari apa yang baik dan buruk, juga dimaksudkan
sebagai dasar pembenaran bagi Tuhan untuk memberikan ganjaran terhadap manusia di hari
kemudian.

2. Aliran Asy‘ariyah
Berbeda dengan aliran Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah yang termasuk dalam golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama‘ah memberikan peranan yang lebih besar kepada wahyu dalam mengetahui keempat
persoalan tersebut di atas.
Menurut al-Asy‘ari, segala kewajiban (yang harus dilakukan oleh) manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuatu sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat
mengetahui, bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang jahat (buruk) itu adalah wajib
bagi manusia. Memang betul, bahwa akal dapat mengetahui Tuhan dan perlunya berterima kasih
kepadaNya. Namun, melalui wahyulah manusia dapat mengetahui, bahwa orang yang taat kepada Tuhan
akan mendapat pahala (balasan baik) dan orang yang berbuat maksiat kepada-Nya akan mendapat
hukuman (siksa). Akal menurut Asy‘ari, tidak mampu mengetahui kewajiban manusia. Untuk itulah
wahyu diperlukan, yakni untuk menetapkan mana yang wajib dan mana yang tidak, mana perintah dan
mana larangan dari Tuhan.
Dengan demikian, jika sekiranya wahyu tidak ada, manusia tak akan tahu kewajiban-
kewajibannya, bahkan – kata al-Gazali – sekiranya syari‘at tidak ada, manusia tidak akan berkewajiban
mengetahui Tuhan dan tidak wajib pula berterima kasih kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang diturunkan
kepada manusia. Demikian juga soal baik dan buruk, ia hanya diketahui melalui perintah dan larangan
Tuhan.
Dalam penjelasannya, al-Syahrastani menyatakan bahwa semua kewajiban diketahui melalui
wahyu, sedangkan pengetahuan, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Karena itu, akal tidak dapat
mewajibkan untuk berbuat baik dan meninggalkan kejahatan, juga tidak bisa menuntut dan menentukan
suatu kewajiban. Dalam kaitan ini, al-Taftazani menjelaskan, bahwa (bagi Asy‘ariyah) sanksi hukum
untuk perbuatan orang yang berakal belum ada, sebelum datangnya syara‘. Jadi tetapnya suatu hukum
adalah atas landasan syara‘, bukan dengan akal. Akal dalam hal ini, hanyalah merupakan alat untuk
memahami khitab syara‘. Pendapat ini juga didukung oleh al-Gazali, bahkan ia menegaskan, bahwa al-
Hakim (pembuat hukum) adalah Allah swt., dan tidak ada sanksi hukum sebelum datangnya ketentuan
syara‘. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh al-‘Amidi dengan mengatakan, bahwa tidak ada hakim (pembuat
hukum) kecuali Allah swt., dan tidak ada hukum kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah. Akal tidak
punya wewenang menilai sesuatu perbuatan apakah baik atau buruk, dan tidak ada hukum sebelum
datangnya ketentuan syara‘.Tegasnya, tidak ada hukum taklif (tuntutan dan larangan) sebelum datangnya
wahyu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa akal bagi Asya‘ariyah hanya dapat mengetahui
Tuhan. Namun, akal tidak punya otoritas (wewenang) untuk menetapkan kewajiban. Yang menetapkan
adalah al-Hakim (pembuat hukum) yakni Allah swt. Berbeda dengan Mu‘tazilah yang menjadikan akal
sebagai al-Hakim. Dengan kata lain, Asy‘ariyah memberikan fungsi yang lebih kecil kepada akal,
sedangkan Mu‘tazilah wewenang akal lebih banyak. Dalam hal ini, akal menurut Asy‘ariyah
kemampuannya terbatas dalam hal mengetahui eksistensi Tuhan. Akal diperlukan untuk memahami
wahyu.

3. Aliran Maturidiyah
Nama aliran ini identik dengan pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad Ibnu Mahmud al-
Maturidy. Dalam faham teologinya, al-Maturidy banyak terpengaruh oleh pemikiran Imam Abu Hanifah,
yang juga banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaannya. Meski demikian, sistem
pemikiran teologinya masih dalam kategori Ahlu Sunnah.
Dalam kaitannya dengan pembahasan tentang akal dan wahyu ini aliran Maturidiyah terbagi
kepada dua kelompok, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara.
a) Maturidiyah Samarkand.
Aliran ini dianggap oleh beberapa kalangan lebih dekat corak pemikirannya kepada Mu‘tazilah
dalam bidang teologi dari pada ke Asy‘ariyah.
Dalam pandangannya tentang otoritas akal dan wahyu, kaitannya dengan keempat masalah
pokok tersebut, Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa akal dapat mengetahui eksistensi Tuhan,
oleh karena Allah sendiri yang memerintahkan manusia untuk menyelidiki dan merenungi alam ini.
Hal ini menunjukkan bahwa akal manusia dapat mencapai ma‘rifatullah. Oleh karen itu, akal sudah
mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sebelum datangnya wahyu. Sehingga akan
berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum datangnya wahyu.
Demikian halnya dengan kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, menurut Maturidiyah
Samarkand, akal dapat mengetahui keawajiban menusia untuk berterima kasih kepada Tuhan, meski
tampa bantuan wahyu.
Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat di
dalamnya, dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Dengan demikian, akal juga dapat
mengetahui bahwa yang buruk adalah buruk dan berbuat baik adalah baik. Akal selanjutnya akan
membawa kepada kemuliaan dan melarang manusia mengerjakan perbuatan-perbuatan yang membawa
kepada kerendahan. Perintah dan larangan dengan demikian menjadi wajib dengan kemestian akal.
Namun, yang diketahui akal hanyalah sebab wajibnya perintah dan larangan itu. Adapun mengenai
kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, akal tidak berdaya untuk mewajibkannya. Karena
kewajiban tersebut hanya dapat diketahui oleh wahyu.
Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat, bahwa akal dapat mengetahui tiga dari empat persoalan pokok tersebut, yakni:
Mengetahui Tuhan; kewajiban mengetahui Tuhan (berterima kasih kepada Tuhan); serta mengetahui
baik dan buruk. Sedangkan yang terakhir, kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang
jahat adalah wewenang wahyu atau Tuhan.

b) Maturidiyah Bukhara
Jika Maturidiyah Samarkand ditokohi oleh Abu Mansur al-Maturidy sendiri, maka
Maturaidiyah Bukhara, tokohnya adalah Abu Yusr Muhammad al-Bazdawy. Pemikiran teologi dari
kedua tokoh ini sedikit berbeda dan tidak terlalu mendasar. Perbedaannya hanya pada sekitar masalah
kewajiban-kewajiban manusia dalam hubungannya dengan Tuhan.
Al-Bazdawy mengatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban mengerjakan yang
baik dan menjauhi yang buruk, karena akal hanya dapat mengetahui baik dan buruk saja.
Sedangkan yang menentukan kewajiban mengenai yang baik dan buruk itu adalah Tuhan sendiri.
Demikian halnya dengan kewajiban mengetahui Tuhan. Akal hanya mampu mengetahui Tuhan, tetapi
ia tidak dapat mengetahui dan menentukan kewajiban mengetahui Tuhan. Dalam hal ini, yang
mengetahui dan menentukannya adalah wahyu.
Pada perinsipnya, akal menurut paham aliran Maturidiyah Bukhara, tidak dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban, melainkan hanya dapat mengetahui sebab-sebab dari proses kewajiban itu
menjadi wajib. Oleh karenanya, mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan, sebelum
turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia. Bahkan mereka (para alim ulama Bukhara) berpendapat
bahwa sebelum datangnya Rasul, percaya kepada Tuhan tidaklah wajib dan tidak percaya kepada
Tuhan bukanlah suatu dosa. Dari sini, kelihatan bahwa Maturidiyah Bukhara lebih mendekati faham
Asy‘ariyah yang lebih mempungsikan wahyu ketimbang akal.

d. Analisis Perbandingan
Merujuk pada uraian keempat aliran teologi Islam tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
pandangan masing-masing aliran tidaklah sama antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing aliran
memberikan porsi tersendiri dalam menempatkan peranan akal dan wahyu. Mu‘tazilah misalnya,
memberikan porsi paling besar kepada akal, dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Bagi Mu‘tazilah,
keempat masalah yang diperbincangkan itu, semuanya dapat diperoleh melalui akal. Hal ini berarti, bahwa
porsi kekuatan wahyu bagi Mu‘tazilah lebih kecil dibanding dengan akal.
Berbeda dengan Mu‘tazilah, aliran Asy‘ariyah justru memberikan porsi yang besar kepada wahyu
jika dibanding dengan ketiga aliran lainnya. Menurut kaum Asy‘ariyah, hanya satu di antara keempat
pengetahuan itu yang dapat diketahui oleh akal. Sedangkan tiga yang lainnya, hanya bisa dicapai dengan
wahyu. Hal ini berarti, bahwa aliran Asy‘ariyah memberikan porsi paling besar kepada wahyu dan paling
kecil kepada akal.
Sedangkan aliran Maturidiyah yang terdiri dari dua cabang itu, menempati posisi tengah antara
Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah. Meski demikian, kedua cabang Maturidiyah tersebut sedikit mempunyai
perbedaan.
Maturidiyah Samarkand lebih dekat kepada Mu‘tazilah, karena aliran ini berpendapat bahwa dari
keempat pokok masalah tersebut, tiga diantaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan yang satunya
hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Adapun Maturidiyah Bukhara, dalam pandangannya terhadap akal dan wahyu, lebih mendekati
pemikiran Asy‘ariyah. Meskipun pada kenyataannya memberikan porsi yang sama antara akal dan wahyu.
Dalam hal ini, dari empat masalah pokok tersebut, dua di antaranya dapat diketahui oleh akal, sedangkan
dua yang lainnya lagi hanya dapat diketahui melalui wahyu.
Untuk lebih jelasnya, perbandingan ini dapat dianalogikan ke dalam bentuk nilai (harga), yaitu,
jika disusun dalam skala prioritas, sesuai dengan tingkat penghargaannya antara akal dan wahyu, maka
akan terlihat dalam urutan sebagai berikut:
1. Mu‘tazilah: Memberikan nilai 4 (empat) kepada akal, dan nilai positif (0 +) pada wahyu
2. Maturidiyah Samarkand: Memberikan nilai 3 (tiga) pada akal, dan nilai 1 (satu) pada wahyu.
3. Maturidiyah Bukhara: Memberikan nilai 2 (dua) pada akal dan 2 (dua) pada wahyu.
4. Sedangkan Asy‘ariyah: Memberikan nilai 1 (satu) pada akal dan nilai 3 (tiga) pada wahyu.
Menyangkut tentang eksistensi masyarakat terpencil dan mayarakat modern yang tidak
mempunyai kesempatan untuk mengetahui Islam secara baik, hubungannya dengan persoalan teologi,
menurut Mu‘tazilah pedomannya adalah akal pemimpinnya. Dalam arti, mereka harus berpedoman pada
aturan atau ketentuan yang telah berlaku dalam kelompoknya. Sedangkan menurut Asy‘ariyah
persoalannya diserahkan kepada kemahakuasaan mutlak Tuhan. Namun secara teologis tidak dibebani
kewajiban. Karena menurut Asy‘ariyah, selama seseorang belum sampai dakwah kepadanya, maka selama
itu pula tidak ada taklif atasnya.
Menurut hemat penulis, mereka tetap harus dihisab menurut ketentuan yang berlaku dalam
kelompoknya, kalau dia seorang beriman (menurut kepercayaannya) dan beramal saleh maka ia berhak
masuk surga. Demikian sebaliknya, kalau dia tidak beriman dan berpilaku buruk, maka ia harus
dimasukkan ke neraka sebagai ganjaran dari perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam
Q.S. al-Baqarah (2) : 62:
ِ ‫الصابِئِين من ءامن بِاللَّهِ والْي وِم ا ْْل ِخ ِر وع ِمل‬ ِ َّ ِ َّ
‫َج ُرُه ْم‬
ْ ‫صال ًحا فَ لَ ُه ْم أ‬
َ َ ََ َْ َ َ َ َ ْ َ َ َّ ‫َّص َارى َو‬ َ ‫ادوا َوالن‬ ُ ‫ين َه‬ َ ‫إِ َّن الذ‬
َ ‫ين ءَ َامنُوا َوالذ‬
)26( ‫ف َعلَْي ِه ْم َوََل ُه ْم يَ ْح َزنُو َن‬ٌ ‫ِع ْن َد َربِّ ِه ْم َوََل َخ ْو‬
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang
Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. 2:62)
Dari ayat tersebut di atas dapat dipahami bahwa agama dan kepercayaan apa saja yang dimiliki
seseorang, asalkan ia termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh, maka ia berhak mendapat pahala
dari Tuhan dan memperoleh ganjaran atas pahalanya itu.

Silahkan materinya diprint

kemudian dirangkum dalam buku catatan.

Selanjutnya….

Buatlah 10 pertanyaan dari materi di atas langsung dengan jawabannya !!!

Selamat bekerja !!

Anda mungkin juga menyukai