Anda di halaman 1dari 5

ISLAM IPTEK

BAB I. PENGERTIAN AKAL DAN WAHYU DALAM ISLAM

HIDAYAH ALLAH KEPADA MAKHLUK (MENURUT MUHAMMAD ABDUH DAN


AL-MARAGHI)
 HIDAYAH WIJDAN
o Atau hidayah al-ilham, sesungguhnya merupakan potensi awal ciptaan Allah
ta’la kepada manusia hidayah ini diberikan semenjak lahir, seperti perasaan
lapar, ingin makan yang diungkapkan dengan suara tangis, dan sebagainya.
 KHAWAS
o Hidayah al-hawas atau indera, berupa penglihatan pendengaran, kepekaan
kulit akan rasa panas dingin, kepekaan lidah akan rasa manis, pahit, asam dan
sebagainya, kepekaan akan bau-bauan lewat alat penciuman dan sebagainya
adalah merupakan potensi yang melengkapi dan menyempurnakan dari apa
yang dapat dicapai oleh insting. Kedua hidayah tersebut diberikan Allah
kepada seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali.
 AKAL
o Hidayah al-`aql, sebagai hidayah Allah yang ketiga, berupa akal rasio, adalah
merupakan hidayah yang lebih tinggi daripada kedua hidayah terdahulu.
Hidayah ini hanya diberikan khusus untuk manusia, karena manusia
diciptakan sebagai makhluk sosial dan mengemban tugas sebagai khalifah di
muka bumi ini. Insting dan inderanya tidaklah mencukupi untuk menjalani
kehidupannya. Akal dibutuhkan untuk meluruskan kesalahan yang dicapai
oleh indera, seperti batang yang lurus yang ketika dimasukkan dalam air
terlihat oleh mata seperti bengkok atau patah, maka akal segera meluruskan
pendapat mata tersebut
 AGAMA/WAHYU
o Agama berfungsi untuk menundukkan jiwa manusia agar mampu
mengendalikan hawa nafsunya, dan dapat memilah serta memilih mana yang
haq dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang jahat. Akal rasio
sering kali tidak bisa mengendalikan hawa nafsu tersebut, sehingga sering pula
mengalami kesalahan dan kelemahan, maka agamalah yang akan
menundukkan dan meluruskannya.
 MA’UNAH DAN TAUFIK
o Hidayah al-taufiq atau al-ma`unah, yakni pertolongan spontan dari Allah dan
sesuainya rencana baik manusia dengan ketentuan Allah, hanya diberikan
kepada orang-orang yang telah benar-benar menjalankan petunjuk agamanya
secara baik dan benar. Hidayah ini merupakan akibat logis dari hidayah al-
adyan.
Akal = Berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’
al-`aqlu sebagai mashdar (akar kata)
 Fahima (memahami)
 Adraka (mencapai, mengetahui)
 Tadabbara (Merenung)
 Tafakkara (berfikir).
 Akal berarti cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui
sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera
 hati nurani atau hati sanubari
Al-`aql juga diartikan dengan al-qalb,

Kata akal dalam al-Quran menunjukkan beberapa makna sebagai berikut:


 diartikan dengan memahami, mengerti, berfikir, memikirkan dan merenungkan.
 Dorongan dan bahkan keharusan manusia untuk menggunakan akal, pikiran,
pemahaman, perenungan dalam menghadapi dan memecahkan berbagai persoalan.
 Martabat manusia ditentukan oleh penggunaan akal pikirannya dalam menghadapi
sesuatu. Mereka yang tidak menggunakan akal dan hati nuraninya yang fitri tidak
ubahnya seperti hewan saja, bahkan lebih sesat lagi.
 Akal merupakan kunci untuk mendapatkan pengetahuan, baik pengetahuan yang
bersumber dari fenomena penciptaan (al-ayat al-kauniyah) maupun yang bersumber
dari fenomena wahyu (al-ayat al- qawliyah).
Kata wahyu dalam Al-Quran
 Kata wahyu dan tashrif (penisbahan)-nya, baik dalam bentuk fi’il madhi (awha,
awhaina, awhaitu, fi'il mudhari` (yuhi, nuhi, uhi, yuha, uhiya), maupun dalam bentuk
mashdar-nya (wahyun, wahyan) dalam Al-¬Qur'an muncul sebanyak 78 kali, yang
masing-masing memiliki makna dan pengertian yang beragam. Tujuh puluh delapan
(78) kali kata wahyu dan tashrif-nya itu ada dalam al-Qur'an

WAHYU
 Berasal dari bahasa Arab al-wahyu, merupakan kata asli Arab, bukan kata pinjaman
dari bahasa asing (mu`arrab). Kata itu memiliki arti suara, api, bisikan, dan kecepatan
 al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang
diberikan kepada para-Nabi dan Rasul-Nya.
 Al-Wahyu juga sering diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Oleh
karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat
 Wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang
yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia
sebagai pegangan dan panduan hidupnya.
5 Makna Wahyu dalam Al-Qur’an
 Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada Nabi
 Wahyu dalam arti firman (pemberitahuan) Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya
untuk mengantisipasi kondisi
 Wahyu Dalam Arti Instink
 Wahyu dalam arti pemberian ilmu dan hikmah
 Wahyu dalam arti ilham

BAB II. KEDUDUKAN AKAl DAN WAHYU DALAM ISLAM

Cukup banyak isyarat-isyarat al-Qur'an tentang dorongan penggunaan akal, dengan


penekanan bahwa penggunaan akal adalah merupakan barometer bagi ke beradaan
manusia. Manusia. yang tidak menggunakan akal yang terdiri dari daya pikir dan qalbu,
maka hilanglah ciri dan sifat kemanusiaannya.

Al-Qur'an memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan mengadakan pembagian


tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu.

Daya pikir manusia (akal) menjangkau wilayah fisik dan masalah-masalah yang relatif,
sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat
metafisik dan mutlak.

Akal memiliki kedudukan dan fungsi sebagai berikut:


 Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran
yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
 Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk
mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al- Qur'an dan Sunnah
Rasul.
 Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan semangat Al-
Qur'an dan Sunnah untuk dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan
persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihad.
 Akal juga akan berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan alQur'an dan Sunnah
dalam kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan
memakmurkan bumi seisinya.
Fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:
 Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam harus dirujukkan kepada al-Qu'ran dan Sunnah. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran Islam tanpa
merujuk kepada al-Qur'an dan al-Sunnah adalah tidak dapat dibenarkan.
 Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan dapat berfungsi bila akal
difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami Islam
(wahyu) harus dibimbing oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya benar dan
pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidak boleh menyimpang dari prinsip-prinsip
etik yang diajarkan oleh wahyu.

Kebenaran Akal
Akal bersifat tentatif, temporal, dan relatif sehingga hasil kerja akal diperlukan adanya
koreksi, perubahan dan penyempurnaan terus-menerus. Oleh karenanya taqlid buta terhadap
hasil pemikiran seseorang (ulama) dalam memahami Islam termasuk perbuatan yang
dihindarkan dalam Islam.
Keberanaran Wahyu
 Al-Qur'an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal
Islam, hanya beberapa waktu setelah Rasul Allah wafat (Masa Khilafah Abu Bakar),
sedangkan al-Hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abad kedua hijrah (masa
Khilafah Umar bin Abdul Aziz).
 Bagaimana nilai kebenaran wahyu tersebut? Nilai kebenaran wahyu adalah mutlak.
Wahyu sebagai firman Allah yang disampaikan kepada Nabi atau Rasulullah baik
secara lafdzi (langsung) berupa al-Qur'ar, maupun secara maknawi maupun irsyadi
(tidak langsung) berupa al-Hadis atau al-Sunnah.

Atas dasar itu Islam mengajarkan untuk memahami dan mengamalkan dinul Islam dengan
rujukan yang jelas, dengan cara ijtihad atau minimal ittiba' dan melarang bertaqlid.
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan akal untuk memahami wahyu dengan
bimbingan niat ibadah dan ikhlas lillahi ta'ala dan didukung dengan perangkat dan
persyaratan yang memadai.
Ittiba’ adalah mengikuti hasil pemikiran (pendapat) orang lain dengan berusaha kritis dan
memahami dasar dalilnya.
Taqlid adalah mengikuti pendapat (hasil) pemikiran orang lain secara membabi buta.
Memutlakkan kebenaran yang relatif (taqlid) adalah tidak dibenarkan, sebagaimana tidak
dibenarkannya merelatifkan atau bahkan menentang kebenaran yang mutlak (ilhad atau
inkar).
Hubungan Akal dan Wahyu
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural,
karena bagaimanapun juga akal memilik fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan
wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan
akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.

Anda mungkin juga menyukai