WAHYU
Berasal dari bahasa Arab al-wahyu, merupakan kata asli Arab, bukan kata pinjaman
dari bahasa asing (mu`arrab). Kata itu memiliki arti suara, api, bisikan, dan kecepatan
al-wahyu lebih dimaknai sebagai pemberitaan, risalah dan ajaran Allah yang
diberikan kepada para-Nabi dan Rasul-Nya.
Al-Wahyu juga sering diartikan dengan bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Oleh
karenanya, wahyu dipahami sebagai pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat
Wahyu terkandung arti penyampaian sabda atau firman Allah kepada orang-orang
yang menjadi pilihan-Nya (Nabi dan Rasul) untuk diteruskan kepada umat manusia
sebagai pegangan dan panduan hidupnya.
5 Makna Wahyu dalam Al-Qur’an
Wahyu dalam arti firman Allah yang disampaikan kepada Nabi
Wahyu dalam arti firman (pemberitahuan) Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya
untuk mengantisipasi kondisi
Wahyu Dalam Arti Instink
Wahyu dalam arti pemberian ilmu dan hikmah
Wahyu dalam arti ilham
Daya pikir manusia (akal) menjangkau wilayah fisik dan masalah-masalah yang relatif,
sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat
metafisik dan mutlak.
Kebenaran Akal
Akal bersifat tentatif, temporal, dan relatif sehingga hasil kerja akal diperlukan adanya
koreksi, perubahan dan penyempurnaan terus-menerus. Oleh karenanya taqlid buta terhadap
hasil pemikiran seseorang (ulama) dalam memahami Islam termasuk perbuatan yang
dihindarkan dalam Islam.
Keberanaran Wahyu
Al-Qur'an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal
Islam, hanya beberapa waktu setelah Rasul Allah wafat (Masa Khilafah Abu Bakar),
sedangkan al-Hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abad kedua hijrah (masa
Khilafah Umar bin Abdul Aziz).
Bagaimana nilai kebenaran wahyu tersebut? Nilai kebenaran wahyu adalah mutlak.
Wahyu sebagai firman Allah yang disampaikan kepada Nabi atau Rasulullah baik
secara lafdzi (langsung) berupa al-Qur'ar, maupun secara maknawi maupun irsyadi
(tidak langsung) berupa al-Hadis atau al-Sunnah.
Atas dasar itu Islam mengajarkan untuk memahami dan mengamalkan dinul Islam dengan
rujukan yang jelas, dengan cara ijtihad atau minimal ittiba' dan melarang bertaqlid.
Ijtihad artinya mencurahkan segala kemampuan akal untuk memahami wahyu dengan
bimbingan niat ibadah dan ikhlas lillahi ta'ala dan didukung dengan perangkat dan
persyaratan yang memadai.
Ittiba’ adalah mengikuti hasil pemikiran (pendapat) orang lain dengan berusaha kritis dan
memahami dasar dalilnya.
Taqlid adalah mengikuti pendapat (hasil) pemikiran orang lain secara membabi buta.
Memutlakkan kebenaran yang relatif (taqlid) adalah tidak dibenarkan, sebagaimana tidak
dibenarkannya merelatifkan atau bahkan menentang kebenaran yang mutlak (ilhad atau
inkar).
Hubungan Akal dan Wahyu
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan struktural,
karena bagaimanapun juga akal memilik fungsi sebagai alat untuk memahami wahyu, dan
wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan
akal untuk memahami dan menjabarkan secara praktis.