Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam membahas masalah-masalah keagamaan, ulama Islam tidak semata-
mata berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula bergantung pada pendapat akal.
Peranan akal yang besar dalam pembahasan masalahmasalah di jumpai bukan
hanya dalam bidang filsafat, tetapi dalam bidang tauhid, bahkan dalam bidang
fiqih dan tafsir.

Permasalahan mengenai akal dan wahyu selalu menjadi pembahasan yang


menarik dalam pemikiran Islam, dari dulu sampai saat ini. Hal ini dikarenakan
dasar dari ajaran agama Islam itu sendiri yang diturunkan melalui wahyu kepada
seorang nabi agar wahyu tersebut dapat disampaikan kepada umat manusia, dan
pada sisi lain Islam juga sangat menghargai akal serta kedudukan dari akal itu
sendiri, dan menjadikannya sebagai alat untuk memahami wahyu.

Oleh sebab itu munculah pandangan beragama mengenai peran dan


keberadaan akal dan wahyu itu sendiri. Padangan tersebut terbagi dua, yaitu:
Pertama, sebagian kalangan menyakini akal dan wahyu adalah selaras. Adapun
pandangan kedua melihatnya secara konfliktual, bahwa wahyu harus diutamakan
karena akal menyesatkan maka harus dihindari (Harun Nasution, 1986).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian akal dan wahyu?
2. Bagaimana konsep akal dan wahyu?
3. Bagaimana hubungan akal dan wahyu?
4. Bagaimana fungsi akal dan wahyu?
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Akal dan Wahyu


Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql ‫ العقل‬, artinya pikiran atau
intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu
pengetahuan). Dalam bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata majemuk akal
pikiran. Kata al-‘aql mengandung makna ikatan, yaitu dipergunakan untuk
menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Ia juga mengandung
arti mengerti, memahami dan berfikir (Daud Ali, 2009).
Dalam Al-Qur’an tidak terdapat kata ‘aql. Akan tetapi, dalam bentuk kata
kerja sebanyak 49 kali, kata-kata itu datang dalam arti faham, berfikir dan
mengerti Selain itu dalam al-Qur’an sebutan-sebutan yang memberikan sifat
berfikir bagi seorang muslim, yaitu ulul albab (orang berpikir), ulul ‘ilm (orang
berilmu), ulil abshar (orang yang mempuyai pandangan), dan ulin nuha (orang
bijaksana).
Akal terdiri atas dua unsur, yaitu rasio dan hati. Setelah manusia memikirkan
atau merasiokan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang di alam atau
tertulis dalam kitabnya maka tidak akan mengakui adanya Allah kalau hatinya
tidak berfungsi, sebab buta, tidak yakin dan kotor. Yang masuk akal belum tentu
dapat dirasionalkan, sebab berfungsinya kemampuan rasio manusia sangat
terbatas, hatinya buta dan menyebabkannya tidak yakin. Banyak manusia yang
tidak mau memahami tanda-tanda kekuasaan dan keesaan Allah, mereka tidak
mau menggunakan hati dan rasionya. Tapi ada juga yang mau menggunakan rasio
namun mereka tidak yakin karena hatinya buta. Mereka bahkan lebih sesat dari
pada binatang yang tidak mempunyai akal (Choiruddin Hadhiri, 2005).
Sedangkan wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy ‫ الوحي‬, artinya suara, api
dan kecepatan. Kata wahyu disebutkan 78 kali dalam al-Qur’an dengan beraneka
ragam makna, seperti mengandung makna firman Allah, hikmah, ilham, bisikan,
isyarat, perintah, tulisan, dan kitab yang terdapat dalam al-Qur’an.
Sementara wahyu secara bahasa, wahyu adalah pemberian isyarat,
pembicaraan dengan rahasia, dan menggerakan hati. Adapun yang dimaksud
dalam terminologi, wahyu adalah pemberitahuan yang datang dari Allah kepada
nabinya yang di dalamnya terdapat penjelasanpenjelasan dan petunjuk kepada
jalannya yang lurus dan benar (Hamzah Ya’qub, 1992).

B. Konsep Akal dan Wahyu


Akal sebagai daya khas refleksi manusia, menurut Muhammad Yusuf
Qardhawiy dalam bentuk selain kata kerja semisal aqala, na’qilu, ta’qilun, dan
ya’qilun tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun kata yang menunjuk pada aqal
baik sebagai konsep abstrak maupun kongkrit. Kata-kata tersebut adalah lub
jamaknya al-bab yang disebut ulil al-bab dan ulul al-bab, fu’ad dan hijr, Nuha,
Kalb. Sedangkan M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, kata
‘aql tidak ditemukan dalam bentuk masdarnya, yang ada hanyalah dalam bentuk
kata kerja, masa kini dan masa lampau. Secara Bahasa, ‘aql berarti tali pengikat,
penghalang. Al-Qur’an sendiri menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat atau
menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa.
Dari konteks ayat-ayat yang menggunakan kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia
antara lain mencakup makna daya (kekuatan) untuk berpikir sedalam-dalamnya
(sampai keakar-akarnya) untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Kata
akal dalam Al-Qur’an juga memiliki makna intelektual, sebab akal merupakan
kemampuan berpikir untuk menggunakan nalarnya dalam mencari dan tau
memecahkan permasalahan yang terdapat dalam proses kehidupan. Dalam
konteks ayat-ayat Al-Qur’an, kata akal dapat dipahami sebagai daya (kekuatan)
untuk memahami dan menggambarkan sesuatu. Dorongan moral dan daya untuk
mengambil pelajaran dan kesimpulan serta hikmah, akal memiliki posisi yang
sangat mulia, karena segala pengetahuan dan keterampilan diperoleh dari akal.
Menurut fakar ilmu-ilmu Al-Qur’an, bahwa secara denotative, kata wahyu di
dalam Al-Qur’an memiliki beberapa arti, yakni ilham atau instink manusia QS.
Al-Qashash (28):7, Ilham atau naluri binatang QS. Al-Nahl (16): 68, isyarat yang
cepat melalui rumus dan kode QS. Maryam (19):11, bisikan dan tipu daya QS.
AlAn’am (6):121, apa yang disampaikan Allah kepada Malaikat-Nya QS.
AlAnfaal (8): 12.
Oleh karena selain disebutkan secara tegas, yang dimaksud adalah Al-Qur’an,
ayat juga merupakan bahagian dari Al-Qur’an, maka dapat dipahami, bahwa
dalam konteks, umat Muhammad wahyu adalah Al-Qur’an. Akan tetapi tidak
semua wahyu merupakan AlQur’an. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan
Al-Qur’an adalah bacaannya, sedangkan wahyu adalah kitab. (Dahlan Thalib,
2022).

C. Hubungan Akal dan Wahyu


Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah Hubungan Antara Akal
dan Wahyu dalam Islam. Harun Nasution menjelaskan bahwa hubungan antara
akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak
bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Dalam
pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu fiqih, akal tidak
pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu. Akal dipakai untuk
memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Yang bertentangan
adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
Dengan adanya akal manusia mampu melaksanakan tugas tersebut dengan
baik, dan dapat menemukan kebenaran yang hakiki sebagaimana pendapat
Mu‟tazilah yang mengatakan segala pengetahuan dapat diperoleh dengan akal,
dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam
sehingga manusia sebetulnya ada wahyu atau tidak tetap wajib bersyukur kepada
Allah Swt, dan manusia wajib mengetahui baik dan buruk, indah dan jelek,
bahkan manusia wajib mengetahui Tuhan dengan akalnya walaupun wahyu belum
turun (Harun Nasution, 1986).

D. Fungsi Akal dan Wahyu


Akal pikiran manusia merupakan suatu nikmat dari Allah Swt yang tiada
tarana diberikan kepada manusia. Dengan akalnya manusia bisa berpikir dan
memikirkan apa yang terjadi di alam sekitar. Akal juga yang dapat membedakan
antara manusia dengan makhluk lainnya yangjuga berada di muka bumi ini.
Dengan akalnya, manusia bisa membedakan yang baik dan yang buruk, dan
bisa membedakan yang membahayakan dan menyenangkan pada dirinya. Dengan
akalnya manusia bisa berusaha mengatasi setiap kesulitan-kesulitan yang
dihadapinya, membuat perencanaan dalam hidupnya melakukan pengkajian dan
penelitian yang akhirnya menjadikan manusia sebagai mahluk yang unggul di
muka bumi ini. Karena akalnya manusia dapat diakui sebagai khalifah dimuka
bumi ini dari sinilah bisa dirasakan betapa hebatnya akal yang telah
dianugerahkan kepada manusia meski kita tahu bahwa akal yang dianugerahkan
kepada manusiamempunyai batasan-batasan tertentu, karena ada hal yang tidak
bisa dijawab dengan akal misalnya yang berkaitan tentang masalah-masalah
dengan alam gaib seperti kehidupan sesudah mati, hari kiamat dan lain-lain.
Wahyu berfungis sebagai penolong bagi akal untuk mengetahui alam akhirat
dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal
bagaimana kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan
dihadapinya di sana. Sungguhpun semua itu sukar dipahami oleh akal, tetapi
menurut Harun Nasution akal bisa menerima adanya hal-hal tersebut.
Lebih lanjut bahwa wahyu sebagai pemberi informasi kepada akal dalam
mengatur masyarakat atas dasar prinsip-prinsip yang sudah diwahyukan. Dalam
mendidik manusia agar hidup dengan damai dengan sesamanya dan membukakan
rahasia cinta yang menjadi ketentraman hidup dalam bermasyarakat. Wahyu juga
membawa syari’at yang mendorong manusia untuk melaksanakan kewajiban
seperti kejujuran, berbuat baik, dan lainnya (Harun Nasution, 1986).
BAB II
PENUTUP

Kesimpulan
Kata akal berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql ‫ العقل‬, artinya pikiran atau
intelek Kata al-‘aql mengandung makna ikatan, yaitu dipergunakan untuk
menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akal terdiri atas dua
unsur, yaitu rasio dan hati. Sedangkan wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy
‫الوحي‬, artinya suara, api dan kecepatan. Sementara wahyu secara bahasa, wahyu
adalah pemberian isyarat, pembicaraan dengan rahasia, dan menggerakan hati.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an, kata ‘aql tidak
ditemukan dalam bentuk masdarnya, yang ada hanyalah dalam bentuk kata kerja,
masa kini dan masa lampau. Secara Bahasa, ‘aql berarti tali pengikat, penghalang.
Al-Qur’an sendiri menggunakannya bagi sesuatu yang mengikat atau
menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa.
Kata wahyu di dalam Al-Qur’an memiliki beberapa arti, yakni ilham atau
instink manusia. dalam konteks, umat Muhammad wahyu adalah Al-Qur’an. Akan
tetapi tidak semua wahyu merupakan AlQur’an. Dalam konteks ini, yang
dimaksud dengan Al-Qur’an adalah bacaannya, sedangkan wahyu adalah kitab.
Hubungan antara akal dan wahyu sering menimbulkan pertanyaan, tetapi
keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-
Qur’an. Dalam pemikiran Islam, baik dibidang filsafat, ilmu kalam apalagi ilmu
fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada wahyu.
Dengan akalnya manusia bisa berpikir dan memikirkan apa yang terjadi di
alam sekitar. Dengan akalnya, manusia bisa membedakan yang baik dan yang
buruk, dan bisa membedakan yang membahayakan dan menyenangkan pada
dirinya. Wahyu berfungis sebagai penolong bagi akal untuk mengetahui alam
akhirat dan keadaan hidup manusia nanti. Lebih lanjut bahwa wahyu sebagai
pemberi informasi kepada akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-
prinsip yang sudah diwahyukan.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Muhammad Daud. (2009). Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesi, (Jakarta: RajawaliPers, , h. 112.).
Hadhiri, Choiruddin. (2005). Klasifikasi Kandungan Al-Qu’an, jilid I, Jakarta:
Gemalnsani.
Nasution, Harun. (1986). Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
Thalib, Muh. Dahlan. (2022). Konsep Iman, Akal Dan Wahyu Dalam Al-
Qur’an Al-Ishlah. Jurnal Pendidikan Islam. Volume 20, Nomor 1.
Ya’qub, Hamzah. (1992). Filsafat Agama: Titik Temu Akal dengan Wahyu,
Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Anda mungkin juga menyukai