Anda di halaman 1dari 12

AKAL DAN WAHYU

Kelompok 4 :
1. Fauzi Kusuma Putra
(155020500111019)
2. Akhmad Irsyad Asyary
(155020500111012)
3. Moh Zidni llman
(155020500111027)
4. Dwiki Hadyan Setiawan
(155020500111014)
5. Faizal Adhim
(155020500111015)

EKONOMI ISLAM
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

DAFTAR ISI

BAB I.............................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................4
A. Latar Belakang.........................................................................4
B. Rumusan Masalah.....................................................................5
C. Tujuan....................................................................................5
BAB II............................................................................................6
PEMBAHASAN.............................................................................6
A. Pengertian Akal dan Wahyu.........................................................6
B. Fungsi dan kedudukan Akal dan Wahyu.........................................8
C. Akal Dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam......................................10
BAB III.........................................................................................13
PENUTUP...................................................................................13
A. Kesimpulan...........................................................................13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................14

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan berkah yang begitu besarsehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini dengan harapan dapat bermanfaat dalam menambah
wawasan ilmu dan pengetahuan kita yang berkaitan dengan filsafat ilmu.
Makalah ini dibuat dalam rangka untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
filsafat ilmu ekonomi islam pada hal yang mengenai akal dan wahyu.
Dengan keterbatasan ilmu yang kami miliki, dalam pembuatan makalah ini
tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka kami mengucapkan banyak terima
kasih
Kepada :
1. Dosen mata kuliah pengantar filsafat ilmu ekonomi islam
2. Teman-teman di kelas IA ekonomi islam
3. Semua pihak yang berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini
Penyusun menyadari dalam pembuatan makalah ini kurang dari kata
sempurna oleh karena itu kami mohon saran dan kritik yang membangun demi
penyusunan makalah di masa yang akan datang.
Akhir kata semoga Allah SWT selalu membimbing kita semua dalam
naungan kasih dan saying-Nya.

Malang, 14 desember 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh
dengan kekurangan. Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang
melekat pada manusia menyebabkan kemampuan yang dimiliki menjadi
sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan peran dan
fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai standar
seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang
kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia
dianggap sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal
primer yang diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara,
dimana kemaslahatan dunia dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan
terpeliharanya kelima unsur tersebut, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan,
dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan.
Pertama, melalui jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan
kepada/manusia, dan kedua dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan
yang diperoleh panca indera sebagai bahan pemikiran untuk sampai
kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh melalui wahyu diyakini
sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan yang diperoleh
melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang
memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah
(Harun Nasution, 1986: 1).
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul
pertanyaan, pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang
diperoleh melalui akal, pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan
yang diperoleh melalui kedua-duanya. Karena itu, masalah hubungan
akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling masyhur dan paling
mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah lebih dua
ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya.
Ia tetap memiliki kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena
itulah, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia
agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi
mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti
bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.

Makalah ini akan membicarakan tentang (1) pengertian akal, (2)


pengertian Wahyu, (3) Fungsi Dan Kedudukan Akal Dan Wahyu Dalam
Pandangan Ahli Kalam, (4) Akal DanWahyu Dalam Pemikiran Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian akal dan wahyu ?
2. Bagaimana fungsi dan kedudukan akal dan wahyu ?
3. Bagaimanakah hubungan akal dan wahyu dalam pemikiran
Islam ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian akal dan wahyu.
2. Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan akal dan wahyu.
3. Untuk mengetahui hubungan akal dan wahyu dalam pemikiran
Islam

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal dan Wahyu
1. Akal
Akal berasal dari bahasa Arab aqala-yaqilu yang secara lughawi
memiliki banyak makna, sehingga kata al aql sering disebut sebagai lafazh
musytarak, yakni kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab
al-munjid fi al-lughah wa al alam, dijelaskan bahwa aqala memiliki makna
adraka (mencapai, mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara
(merenung dan berfikir). Kata al-aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki
arti nurun nuhaniyyun bihi tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu
cahaya ruhani yang dengannya seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu
yang tidak dapat dicapai oleh indera. Al-aql juga diartikan al-qalb, hati nurani
atau hati sanubari. Inti dari pengertian akal adalah kemampuan memahami dan
memikirkan sesuatu.
Menurut pemahaman Izutzu, kata aql di zaman jahiliah digunakan
dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi
modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity).
Dengan demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat
melepaskan diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata
aql mengalami perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini
terjadi disebabkan pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam,
yang mengartikan aql sama dengan nous yang mengandung arti S melalui alqalb di dada akan tetapi melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam
pendapat mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa
(an-nafs/ ar-ruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873)
yang terpengaruh Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya,
daya bernafsu (al-quwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (alquwwah al-ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah
an-natiqah) yang berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai
daya untuk memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal
adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang
dapat membedakan dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan bendabenda yang ditangkap oleh panca indera. Di kalangan Mutazilah akal memiliki
fungsi dan tugas moral, yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal

juga memiliki daya untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan
akal merupakan petunjuk jalan bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi
pencipta perbuatannya sendiri (Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Quran surat Al-Hajj (22) ayat 46,
yang artinya, Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
bagi mereka mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat
memahami (dan memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang
dengan telinga itu) mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak
buta mata mereka tapi al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-aql itu ada di dalam al-qolb,
karena, seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan
(yaqilu) itu dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan
oleh al-aql maka tentu al-aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam
dada. Yang dimaksud dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti
yang sebenarnya karena ia tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang
sebenarnya padanan katanya dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan
tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh
pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah
akal yang dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri
manusia, yakni dari Allah SWT.
2. wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing.
Selanjutnya al-wahy mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan
dengan cepat. Namun arti yang paling terkenal adalah apa yang disampaikan
Tuhan kepada nabi-nabi. Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang
pilihanNya agar diteruskan kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup
(Harun Nasution, 1992: 15)
Firman Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang
diperlukan oleh umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Dalam Islam wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang
terkumpul semuanya dalam al-Quran.
Wahyu dalam arrti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan
rasul-Nya, misalnya:
Artinya: sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu
sebagaimana kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang

kemudiannya, dan kami telah memberikan wahyu (pula) kepada ibrahim, ismail,
ishaq, yaqub, dan anak cucuny, isa, ayyub,Yunus, Harun, dan sulaiman. Dan kami
berikan zabur kepada Dawud
Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabinabi melalui tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2)
Dari belakang tabir, seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3) Melalui utusan
yang dikirimkan Tuhan dalam bentuk malaikat.
B. Fungsi dan kedudukan Akal dan Wahyu
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan
mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir
manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan
qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat
metafisik dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami
islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
1. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan
mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Quran dan
Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah sumber utama ajaran
islam.
2. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri
manusia untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam
pengertian al-Quran dan Sunnah Rosul.
3. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan
nsemangat al-Quran dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk
ijtihat.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah
relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan
penyempurnaan teru-menerus.
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu
langsunng ataupun wahyu yang tidak langsung, kedua-duanya memiliki fungsi
dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena disebabkan
oleh proses pembukuan dan pembakuannya.
Kalau al-Quran langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan
dibukukan di masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat
(masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan
pada abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu
fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah:

1. Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh


pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada alQuran dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada alquran dan al-sunnah adalah omong kosong.
2. Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan
biala akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat
untuk memahami islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu
sendiri agar hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun
menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari prinsip etik yang
diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Alloh SWT
menurunkan wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di
dalam keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia
melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan
tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi sebagai
alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan
pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan
menjabarkan secara praktis. Manusian diciptakan oleh tuhan dengan tujuan ang
jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk mencapai tujuan
tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
C. Akal Dan Wahyu Dalam Pemikiran Islam
Telah diketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai
agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada mulanya hanya
sebagai agama di Makkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi negara,
selanjutnya membesar di Damasyik, menjadi kekuatan politik internasional yang
daerahnya luas dan akhirnya berkembang di baghdad menjadi kebudayaan
bahlkan peradapan yang tidak kecil pengaruhnya, sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, pada peradaban barat modern. Dalam perkembangan islam
dalam kedua aspek itu, akal memainkan peranan penting, bukan dalam bidang
kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama itu sendiri. Dalam membahas
masalah-masalah keagamaan, ulama-ulama Islam tidak semata-mata berpegang
pada wahyu, tetapi banayk pula bergantung pada pendapat akal. Peranan akal
yang besar dalam pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan pula
hanya dalam bidang filsafat, tetapi juga dalam bidang tauhid, bahkan juga dalam
fikih dan tafsir sendiri .(Nasution Harun, 1986: 71)

1. Fikih
Memulai pembicaraan tentang peranan akal dalam bidang fikih atau
hukum Islam, kata faqiha sendiri mengandung makna faham atau mengerti. Untuk
mengerti dan memahami sesuatu diperlukan pemikiran dan pemakaian akal.
Dengan demikian fikih merupakan ilmu yang menbahas pemahaman
dan tafsiran ayat-ayat al-Quran, yang berkenaan dengan hukum. Untuk
pemahaman dan penafsiran itu diperlukan ihtihad, ihtihad pada asalnya
mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam
istilah hukum berarti uasaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk
mengeluarkan ketentusn hukum agama dan sumber-sumbernya.
2. Ilmu Tauhid dan Teologi
Kalau dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum Islam yang
dipermasalahkan, dalam ilmu tauhid atau ilmu kalam, permasalahannya
meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan
akal dan wahyu terhadap dua persoalan pokok dealam agama, yaitu adanya Tuhan
srta kebaikan dan kejahatan
3. Falsafat
Sesuai dengan pengertian falsafat sebagai pemikiran sedalam-dalamnya
tentang wujud, akal lebih banyak dipakai dan akal dianggap lebih besar dayanya
dari yang dianggap dalam ilmu tauhid apalagi ilmu fikih. Sebagai akibatnya
pendapat-pendapat keagamaan filosof lebih liberal dari pada pendapat-pendapat
keagamaan ulamatauhid atau teolog, sehingga timbul sikap salah menyalahkan
bahkan kafir-mengkafirkan diantara kedua golongan itu. Filosof-filosof Islam
berkeyakinan bahwa antara akal dan wahyu, antara falsafat dan agama tidak ada
pertentangan. Keduanya sejalan dan serasi.
Al-Farabi, filosof yang datang sesudah Al-Kindi, juga berkeyakinan
bahwa antara agama dan falsafat tidak ada pertentangan. Menurut pandangannya
kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran yang dihasilkan falsafat hasilnya
satu, walaupun bentuknya berbeda. Al-Farabilahfilosof Islam pertama yang
mengusahakan keharmonisan antara agama dan falsafat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada manusia
berfungsi sebagai alat untuk mencari kebenaran.
2. Wahyu merupakan firman Allah yang berfungsi sebagai pedoman
hidup manusia.
3. Akal berfungsi untuk memahami wahyu, dan wahyu berfungsi untuk
meluruskan kerja akal.
4. Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak
dipakai, bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan saja, tetapi juga dalam perkembangan ajaran-ajaran
keagamaan Islam itu sendiri.
5. Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya
terhadap indera penglihatan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta:
LPID UMS
Asyarie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran.
Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.

Anda mungkin juga menyukai