Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam menempati posisi yang sangat
terhormat, melebihi agama-agama lain, karena akal dan wahyu adalah sesuatu
yang sangat urgent untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan
manusia untuk mencapai derajat ketaqwaan kepada Sang Khaliq, akal pun
harus dibina dengan ilmu-ilmu sehingga menghasilkan budi pekerti yang
sangat mulia yang menjadi dasar sumber kehidupan dan juga tujuan dari
Rasulullah SAW. Tidak hanya itu, dengan akal juga manusia bisa menjadi
ciptaan pilihan yang Allah amanatkan untuk menjadi pemimpin dimuka bumi
ini, begitu juga dengan wahyu yang dimana wahyu adalah pemberian Allah
yang sangat luar biasa untuk membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat tauhid,
karena ketauhidan Sang Pencipta tak akan terukur dala menemukan titik akhir,
begitu pula dengan wahyu Yang Esa, karena wahyu diberikan kepada orang-
orang terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka
dalam menangani antara wahyu dan akal harus selalu mengingat bahwa semua
itu karena Allah semata. Dan tidak akan terjadi jika Allah tidak
mengizinkannya. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan
terhadap Allah karena kesombongannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan akal dan wahyu?
2. Bagaimana kedudukan akal dan wahyu dalam agama Islam?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengertian akal dan wahyu.
2. Mengetahui kedudukan akal dan wahyu dalam agama Islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Akal dan Wahyu

A. Akal

Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql
yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy tidak terdapat
dalam al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kerjanya ‘aqaluh dalam
1 ayat, ta’qilun 24 ayat, na’qil 1 ayat, ya’qiluha 1 ayat dan ya’qilun 22 ayat.1

Secara bahasa atau lughowi, akal merupakan kata yang berasal dari bahasa
Arab, ‘aqala yang berarti mengikat atau menahan, namun kata akal sebagai
kata benda (mashdar) dari ‘aqala tidak terdapat dalam al-Qur’an, akan tetapi
kata akal sendiri terdapat dalam bentuk lain yaitu kata kerja (fi’il mudhari). Hal
itu terdapat dalam al-Qur’an sebanyak empat puluh sembilan, antara lain
adalah ta’qilun dalam surat al-Baqarah ayat 49; ya’qilun surat al-Furqan ayat
44 dan surah yasin ayat 68; na’qilu surat al-Mulk ayat 10; ya’qiluha surat al-
Ankabut ayat 43; dan ‘aqiluha surat al-Baqarah ayat 75. Disisi lain, dalam al-
Qur’an selain kata ‘aqala yang menunjukkan arti berfikir adalah nazhara yang
berarti melihat secara abstrak. Sebanyak 120 ayat; tafakara yang berarti
berfikir terdapat pada 18 ayat; faqiha yang berarti memahami sebanyak 20
ayat; tadabara sebanyak 8 ayat dan tadzakara yang berarti mengingat
sebanyak 100 ayat. Semua kata tersebut sejatinya masih berkaitan dengan
pengertian dari kata akal tersebut.2 Pengertian lain dari akal adalah daya pikir

1
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2011), 5.
2
Hafizh Dazuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve, 1994), 98.

2
(untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan,
atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan.3

Dalam kamus bahasa Arab kata ‘aqala berarti mengikat atau menahan.
Maka tali pengikat serban, yang di pakai di Arab Saudi memiliki warna
beragam yakni hitam dan terkadang emas, disebut ‘iqala; dan yang menahan
orang di dalam penjara i’taqala dan tempat tahanan mu’taqal.

Dalam komunikasi atau lisan orang arab dijelaskan bahwa kata al’aqal
berarti menahan dan al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang
hawa nafsu. Banyak makna yang terkait dengan ‘aqala. Sejatinya asli kata
‘aqala ialah mengikat dan menahan serta orang ‘aqil di zaman Jahiliyah
dikenal dengan hamiyah atau darah panas, maksudnya ialah orang yang dapat
menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan
yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah.4

Lain halnya bagi Prof. Izutzu ‘aqal di zaman Jahiliyah diartikan kecerdasan
praktis. Bahwa orang yang berakal mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah dan disetiap saat dihadapkan dengan masalah ia dapat
melepaskan diri dari bahaya yang dihadapinya.5

Dengan demikian makna dari ‘aqala ialah mengerti, memahami dan


berfikir. Secara common sense kata-kata mengerti, memahami dan berfikir,
semua hal tersebut berpusat di kepala. Hal ini berbeda dari apa yang terdapat
dalam al-Qur’an dalam surah al-Hajj, bahwa pemikiran, pemahaman dan
pengertian bukan berpusat di kepala saja tetapi di dada.

Bagi izutzu kata al-‘aqal masuk kedalam wilayah filsafat islam dan
mengalami perubahan dalam arti. Dan dengan pengaruh masuknya filsafat

3
http://id.wikipedia.org/wiki/Akal diakses pada tanggal 2 November 2019 pada pukul
22.03 WIB.
4
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 6.
5
Thosihiko Izutzu, God and Man in the Qur’an, (Tokio: Keio University, 1986), 65

3
Yunani kedalam pemikiran Islam, maka kata al-‘aqal mengandung arti yang
sama dengan kaya yunani, nous. Falsafat Yunani mengartikan nous sebagai
daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dalam perkembangan zaman
modern pengertian tersebut diyakini bahwa pemahaman dan pemikiran tidak
lagi melalui al-qalb di dada tetapi melalui al-‘aql di kepala.6

Adapun secara istilah akal memiliki arti daya berfikir yang ada dalam diri
manusia dan merupakan salah satu dari jiwa yang mengandung arti berfikir.
Bagi Al-Ghazali, akal memiliki beberapa pengertian; pertama, sebagai potensi
yang membedakan dari binatang dan menjadikan manusia mampu menerima
berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh seseorang
berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus budinya.
Ketiga, akal merupakan kekuatan insting yang menjadikan seseorang
mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat
mengendalikan hawa nafsunya.7

Adapun fungsi dari akal, yaitu:

1. Sebagai tolak ukur akan kebenaran dan kebathilan.


2. Sebagai alat untuk menemukan solusi ketika permasalahan datang.
3. Sebagai alat untuk mencerna berbagai hal dan cara tingkah laku yang
benar.

Masih banyak fungsi akal karena hakikatnya dari akal adalah sebagai mesin
penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan
dilakukan setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari
hal yang akan dikerjakan. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati,
iman tidaklah sempurna kalau tidak di dasarkan akal, iman harus berdasar pada
keyakinan bukan pada tempat dan akal lah yang menjadi sumber keyakinan
pada Tuhan.

6
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 8.
7
Qurish Shihab, Logika Agama, (Jakarta: Lentera Hati, 2001), 87.

4
Adapun kekuatan akal yang terlihat jelas dan mudah di mengerti,
diantaranya:8

1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya


2. Mengetahui adanya kehidupan akhirat
3. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada
mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaraan tergantung
pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi
perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu
7. Hakikat akal dan bagian-bagiannya.

Perlu diketahui bahwa manusia itu berbeda-beda dalam memberi


batasan (definisi) akal dan hakikatnya. Kebanyakan manusia lupa tentang
keadaan nama ini dipergunakan untuk menyebut terhadap beberapa makna
yang berbeda-beda. Maka hal tersebut menjadi sebab perbedaan pendapat
di kalangan mereka. Apa yang berjalan dengan jalan ini, maka tidak
seyogyanya untuk menuntut seluruh bagiannya dengan satu batasan.
Namun, setiap bagian dibuka/disingkap dengan sendiri.

1. Sifat yang membedakan antara manusia dengan binatang


2. Ilmu-ilmu yang keluar kepada wujud dalam diri anak kecil yang
mumayyiz (sudah dapat membedakan) terhadap bolehnya
(mungkinya) barang-barang yang mungkin dan kemustahilannya
barang-barang yang yang mustahil
3. Ilmu-ilmu yang diperoleh dengan pengalaman berjalan sesuai
keadaan

8
Imam Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (terj, Ihya ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh Drs. H. Moh.
Zuhri), (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), 271-273.

5
4. Kekuatan naluri itu berakhir sampai mengetahui kesudahan berbagai
urusan dan menahan syahwat (keinginan) yang segera dan
memaksanya.

B. Wahyu

Konsep wahyu dalam Islam merupakan sebuah konsep universal, yang tidak
terbatas oleh waktu dan tempat. Wahyu merupakan sebuah proses komunikasi
antara Khaliq dengan makhluk-Nya, terutama manusia.9 Kata wahyu pada
dasarnya berasal dari bahasa Arab. Tetapi kata ini sudah diserap ke dalam
bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai madkhal (pintu gerbang) sebelum
menguraikan makna wahyu baik dalam tinjauan etimologis maupun
terminologisnya dalam perspektif al-Qur’an. Maka sebaiknya jika disebutkan
secara singkat definisi wahyu menurut kamus bahasa Indonesia.

Dalam bahasa Indonesia, kata wahyu memiliki arti ‘petunjuk dari Allah
SWT yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dsb.
Seperti ungkapan “Nabi Muhammad SAW menerima wahyu yang pertama
ketika beliau berusia empat puluh tahun”.10

Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy (‫ )الوحي‬dan al-wahy adalah kata asli
Arab bukan kata pinjaman dari bahasa asing.11 Pengertian wahyu pada
dasarnya terbagi menjadi dua, yaitu etimologi (bahasa) dan terminologi
(istilah).

a. Pengertian wahyu secara etimologi (bahasa)


1. Wahyu berarti “isyarat yang cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat
yang dilakukan bukan dengan tangan. Juga bermakna surat, tulisan,

9
Irsyadunnas, Wahyu dan Perubahan Masyarakat (Tinjauan Sosio-Hostoris) Jurnal PMI
Vol. III. No. 1, September 2005, 15-16.
10
KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT Gramedia, 2008), 1553.
11
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 15.

6
sebagaimana bermakna pula, segala yang kita sebut kepada orang
lain untuk diketahui.”12
2. Wahyu berarti “perintah”. Seperti firman Allah dalam surat al-
Maidah ayat 111:
‫واذا وأحيت إلى الحريصين ان آمنوا بي وبر سولى‬
“Dan ingatlah tatkala aku wahyukan (perintahkan) kepada pengikut
Isra, yaitu berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada Rasul-Ku.”
3. Wahyu berarti “ilham” terdapat dalam QS. Al-Qhashas ayat 7 :
‫واحيانا إلى أم مو سى ان ارضعيه‬
“Dan telah kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa,
susukanlah dia.”

b. Pengertian wahyu secara terminologi (istilah)


Wahyu pada hakikatnya tidak dapat diketahui oleh manusia biasa,
selain oleh Nabi dan Rasul yang mendapatkan wahyu. Merupakan
pembicaraan tersembunyi yang dapat ditangkap dengan cepat. Wahyu
tidak tersusun dari huruf yang memerlukan gelombang suara. Untuk
memahami pengertian wahyu secara terminologis ada dua dimensi yang
harus diperhatikan, yaitu pertama, menyangkut apa yang diwahyukan,
yakni materi wahyu. Dimensi ini, dalam kitab al-Masyaariq dijelaskan
bahwa wahyu pada dasarnya merupakan sesuatu yang diberitahukan
dalam keadaan tersembunyi dan prosesnya terjadi secara cepat.
Dimaksud dengan cepat adalah sesuatu yang berupa pengetahuan-
pengetahuan yang ditanamkan sedemikian rupa ke dalam jiwa
penerimanya, sekaligus tanpa terlebih dahulu melalui proses pemikiran
dan tidak didahului fase muqaddimah. Kedua, bagaimana terjadinya
proses pewahyuan itu. Bagaimana terjadinya komunikasi dari alam

12
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 24.

7
immateri ke alam materi dari Tuhan yang metafisis kepada manusia
(Rasul dan Nabi) yang bersifat fisik.
Kedua dimensi tersebut perlu didudukkan pada proporsinya,
dipahami secara baik dan cermat, mengingat apa yang disebut dengan
wahyu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dipahami. Sebab sesuatu
yang musykil, karena ia datang dari Yang Maha Gaib ke alam syahadah
yang bersifat materi.13
Sedangkan secara terminologi (istilah), pengertian wahyu
diantaranya:
1. Muhammad Abd al Azhim al Zarqani mendefinisikan dengan:
‫ان يعلم هللا تعالى من عباده كل مااراد الطالب عه عليه من الوان الهداية‬
‫والعلم ولكن يطريقة سرية خفية غير معنا دة للبشر‬
“Pemberitahuan Allah SWT kepada hambanya yang terpilih
mengenai segala sesuatu yang lain ia kehendaki untuk
dikemukan-Nya, baik berupa petunjuk maupun ilmu, namun
penyampaiannya dengan cara rahasia dan tersembunyi serta
tidak terjadi pada manusia biasa.”
Rumusan ‫ ان يعلم هللا‬bisa digunakan menjadi ‫اعال م هللا‬.
dengan begitu, jelaslah bahwa proses pewahyuan itu berjalan
melalui ‫ اعال م هللا‬yakni pemberitahuan Allah terhadap para
hamba-Nya yang dipilih, mengenai segala petunjuk-Nya, ilmu-
Nya, dan sebagiannya yang sangat dibutuhkan manusia dalam
menjalani kehidupan.
2. Wahyu dalam arti ‫ اال يحاء‬menurut istilah adalah pemberitahuan
Allah kepada Nabinya tentang hukum-hukum-Nya, berita-berita
dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan

13
Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an: Quranic Explorer, (Jakarta: Shahih, 2016), 918-919.

8
kepada Nabi dan Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang
diterimanya adalah betul-betul dari Allah sendiri.14
3. Muhammad Abduh dalam kitab Risalah at Tauhid
mendefinisikan:
‫الوحي هو غر فان يجده الحص من نفسه مع اليقين با نه من قبل هللا بوا‬
‫سطة أو بغير وا سطة‬
“Pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri
dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang
dari Allah baik dengan sesuatu perantaraan suara yang dapat
didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali.”
Wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang dari
dalam dirinya sendiri disertai dengan keyakinan, bahwa hal
tersebut disisi Allah SWT, baik dengan perantara atau tidak
dengan perantara.15
4. Wahyu dalam arti ‫ الموحى به‬artinya yang diwahyukan terbagi
menjadi dua macam, yaitu a-Qur’an dan al-Hadist. Dalil bahwa
hadist termasuk wahyu:
‫وما ينطق عن الهوى ان هو الوحي يوح‬
Artinya: Tidaklah Ia (Muhammad) berbicara menurut hawa
nafsunya, pembicaraannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang
diwahyukan.16
‫اال إن أوتيت القران و مثله معه‬
Artinya: Ingatlah sesungguhnya aku diberi Qur’an beserta yang
seumpama dengannya.17

‫ بالسنة كما ينزل‬.‫م‬. ‫كان جبريل عليه السالم ينزل على رسول هللا ص‬

14
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), 7.
15
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1990), 68.
16
Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4.
17
Hadist Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi.

9
‫عليه بالقرآن ويعلمه إياها كما يعلمه القرآن‬
Artinya: Jibril a.s turun pada Rasulullah dengan membawa
sunnah (hadist) sebagaimana ia turun padanya dengan
membawa al-Qur’an, dan ia mengajarkan sunnah pada Nabi
sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur’an padanya.18

2.2 Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam


Berbicara tentang kedudukan akal dan wahyu dalam Islam berkaitan dengan
tempat akal dan wahyu dalam sistem ajaran Islam. Mengetahui kedudukan akal
merupakan langkah awal untuk mengetahui peranannya dalam Islam.
Kedudukan dan peranan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebab,
peranan menjadi aspek dinamis kedudukan sesuatu. Karena kedudukannya,
misalnya seseorang dapat berperan, bertindak dalam melakukan sesuatu.
Menurut Muhammad Daud Ali, kata akal yang sudah menjadi kata
Indonesia yang sudah baku itu berasal dari bahasa Arab; al-‘aql, artinya pikiran
atau intelek (daya atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu
pengetahuan). Dalam bahasa Indonesia, kata akal menjadi kata majemuk alam
“akal pikiran”.19
Menurut Harun Nasution, kata al-‘aql mengandung beberapa arti dan
pengertian, antara lain, mengikat dan menahan. Makna akar katanya adalah
ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Lebih jauh,
Harun Nasution menjelaskan bahwa akal menjadi daya (kekuatan, tenaga)
untuk memperoleh pengetahuan, daya yang membuat seseorang dapat
membedakan antara dirinya dengan orang yang lain, daya untuk
mengabstrakkan (tidak berwujud) benda-benda yang ditangkap oleh panca
indera.20

18
Masyfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur’an, 8.
19
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), 385.
20
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 12.

10
Kedudukan akal dalam Islam itu sangat penting. Akal inilah yang menjadi
wadah yang menampung akidah, syariah serta akhlak dan menjelaskannya.
Kita sendiri tidak pernah dapat memahami Islam tanpa menggunakan akal.
Dengan menggunakan akalnya secara baik, sesuai petunjuk Allah, manusia
akan selalu merasa terikat dan dengan sukarela mengikatkan diri kepada Allah.
Dengan menggunakan akalnya, manusia dapat berbuat atau bertindak,
memahami, dan mewujudkan sesuatu. Karena posisi yang demikian, dapatlah
dipahami kalau dalam ajaran Islam ada ungkapan yang menyatakan: Akal
adalah kehidupan, hilang akal berarti kematian.21
Namun kedudukan dan peranan akal dalam ajaran Islam tidak boleh
bergerak dan berjalan tanpa bimbingan wahyu. Sebab, wahyu berfungsi untuk
meluruskan akal kalau ia menjurus ke jalan yang benar-benar salah akibat
berbagai pengaruh. Karena itu, Allah memberi petunjuk kepada umat manusia
berupa wahyu yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadist Nabi Muhammad
SAW. Kata wahyu berasal dari bahasa Arab: al-wahy yang memiliki arti
sebagai suara, api, dan kecepatan. Makna lain dari kata wahyu adalah bisikan,
isyarat, tulisan dan kitab. Kata wahyu juga mengandung arti pemberitahuan
secara tersembunyi dan sangat cepat. Dari sekian banyak arti itu, kata wahyu
lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Allah kepada para Nabi dan
Rasul-Nya”.
Didalam kata wahyu terkandung arti penyampaian firman Allah kepada
orang yang menjadi pilihan-Nya agar disampaikan kepada umat manusia untuk
dijadikan sebagai pegangan hidup. Firman Allah itu mengandung ajaran,
petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam ajaran islam, wahyu atau
firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, semuanya
tersimpan dengan baik dalam Al-Qur’an. Jadi, Al-Qur’an mengandung firman
Allah berupa wahyu dalam bentuk bahasa Arab. Firman Allah dalam Al-
Qur’an tidak hanya bentuk isi, tetapi juga dalam bentuk kata-kata-Nya (lafadz

21
Osman Raliby, Akal dan Wahyu, (Jakarta: Media Dakwah, 1981), 37.

11
dan makna). Wahyu yang disampaikan melalui Jibril kepada Rasulullah SAW
menurut Hossein Nasr (dalam Harun Nasution),22 “baik jiwa maupun kata-kata,
baik isi maupun bentuknya.” Merupakan suci dan diwahyukan. Kebenarannya
mutlak (absolut), jika susunan dan kata-katanya di ganti, Al-Qur’an itu bukan
wahyu lagi, tetap olahan atau penafsiran manusia tentang Al-Qur’an.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an bukanlah Al-Qur’an. Ia juga bukan wahyu,
tetapi hasil ijtihad atau pemikiran manusia.
Merujuk pada uraian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dalam Islam,
kedudukan akal dan wahyu merupakan “sokoguru” ajaran Islam. Namun, perlu
ditegaskan dalam sistem ajaran Islam, wahyulah yang pertama dan utama untuk
dijadikan referensi, sedangkan akal menjadi peringkat kedua. Wahyu langsung
yang sekarang dapat dibaca dalam kitab-kitab hadist shahih, memberi tuntunan,
arah, dan bimbingan kepada akal manusia. Maka, akal manusia harus
dimanfaatkan dan dikembangkan secara baik dan benar untuk memahami
wahyu dan berjalan sepanjang garis-garis yang telah ditetapkan dan diatur oleh
Allah dalam Wahyu-Nya itu.23

22
Harun Nasution, Akal dan Wahyu, 19.
23
Ahmad Izzan, Tafsir Pendidikan: Konsep Pendidikan Berbasis Al-Qur’an, (Bandung:
Humaniora, 2015), 6.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasby. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:


Bulan Bintang.
As-Sahbuny, Ali. 2016. Kamus Al-Qur’an: Quranic Explorer. Jakarta: Shahih.
Daud Ali, Muhammad. 2004. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Dazuki, Hafizh. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT Ichtar Baru Van Hoeve.
Djalal, Abdul. 1990. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu.
Ghazali, Imam. 1990. Ihya’ ‘Ulumuddin juz 1, (terj, Ihya ‘Ulumuddin Jilid 1 oleh
Drs. H. Moh. Zuhri). Semarang: CV. Asy-Syifa’.
http://id.wikipedia.org/wiki/Akal diakses pada tanggal 2 November 2019 pada
pukul 22.03 WIB.
Irsyadunnas. 2005. Wahyu dan Perubahan Masyarakat (Tinjauan Sosio-Hostoris)
Jurnal PMI Vol. III. No. 1, September.
Izutzu, Thosihiko. 1986. God and Man in the Qur’an. Tokio: Keio University.
Izzan, Ahmad. 2015. Tafsir Pendidikan: Konsep Pendidikan Berbasis Al-Qur’an.
Bandung: Humaniora.
KBBI Pusat Bahasa Edisi Keempat. 2008. Jakarta: PT Gramedia.
Nasution, Harun. 2011. Akal dan Wahyu. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Raliby,Osman. 1981. Akal dan Wahyu. Jakarta: Media Dakwah.
Shihab, Qurish. 2001. Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati.
Zuhdi, Masyfuk. 1980. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya: Bina Ilmu.

13

Anda mungkin juga menyukai