Anda di halaman 1dari 8

ASWAJA DAN POLA PIKIR MU’TAZILAH

DALAM MEMAHAMI ISLAM


Muhammad Fahrudin Afif (1417110007)
Abdullah Al Hannan (141711010)
Fathur Rohman (141711011)
Pengertian

• Aswaja merupakan singkatan dari Ahlussunah Waljama’ah yang terdiri dari kata as-sunnah berarti segala sesuatu
yang diriwayatkan nabi SAW baik berupa perilaku,perbuatan yang mencakup tindakan, perkataan, dan ketetapan
rosulullah SAW baik sebelum dan sesudah menjadi nabi. Al jamaah berasal dari al-ijtima’yang berarti berkumpul
atau bertemu. Namun, jika lafazh jama’ah dirangkai dengan as sunnah menjadi ahlu sunnah waljamaah maka
yang dimaksud ialah pendahulu umat ini. Meraka adalah para sahabat dan tabiin yang bersatu mengikuti
kebenaran yang jelas dari kitabullah sunnah rosul SAW.
Dalam buku Ilmu Tauhid karangan Agus Khunaifi,M.Ag Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang tersusun dari
tiga kata, yaitu:
1. Kata Ahl, yang berarti keluarga, pengikut atau golongan.
2. Kata as-sunnah, secara etimologis (bahasa) memiliki arti at-thariqoh(jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku
tersebut benar atau keliru. Secara terminologi (istilah), para ulama berbeda pendapat tentang pengertian as-
sunnah.
3. Kata jama’ah, secara etimologis ialah orang-orang yang memelihara gkebersamaan dan kolektifitas dalam
mencapai tujuan
Secara garis besarnya, Ahlussunnah Waljama’ah adalah manusia yang paling baik akhlaknya, sangat peduli
terhadap kesucian jiwa mereka dengan berbuat ketaatan kepada Allah SWT, paling luas wawasannya, paling jauh
pandangan, paling lapang dadanya dengan khilaf (perbedaan pendapat) dan paling mengetahui tentang adab-adab
dan prinsip-prinsip khilaf.
• Sedangkan Mu’tazillah berasal dari kata I’tizalla anna yang artinya memisahkan. Mu’tazillah adalah kaum yang
muncul di Basra pada abad ke 2 H yang bermula dari tindakan Wasil bin Atha’ yang berpisah dari gurunya Imam
Hasan al Bishri karena perbedaan pendapat. Pada saat itu, Washil, yang merupakan murid dari Hasan memiliki
perbedaan pendapat dengan gurunya. Ketika itu hasan sedang mengadakan sebuah majelis, kemudian beliau
mengutarakan tentang status muslim yang melakukan dosa besar. Secara toba-tiba Washil berpendapat bahwa
pelaku dosa besar berada di antara dua tempat tersebut yakni bukan mukmin bukaen pula kafir dan langsung
memisahkan diri dari kelompok yang ada di majelis tersebut sehingga washil disebut telah berpisah atau
memisahkan diri dari hasan sehingga muncullah aliran mu’tazilah ini.
Ajaran dalam aliran Ahlussunnah di antaranya :

 Ajaran Al-Asy’ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku, terutama dari kitab Al-Luma’ fii Al-Rad ‘ala Ahl Al-Ziagh
wa Al- ‘Bida’ dan Al-Ibana ‘an Usul Al-Dianah. Disamping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya. Sebagai
penentng mu’tazilah, sudah barang tentu ia berpendapat bahwa Tuhan memiliki sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari
Tuhan mengetahui dengan Dzat-Nya, karena dengan demikian Dzat-Nya adalah pengetahuan (ilm), tetapi yang
mengetahui atau ‘alim Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukan Dzat-Nya. Demikian
pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
 Perbuatan-perbuatan manusia bagi Al-Asy’ari bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagai pendapat
mu’tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan kufr adalah buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan
kufr itu sebenarnya bersifat baik. Apa yang dihendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya. Perbuatan iman
bersifat baik tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin spaya perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit tetapi
apa yang dikehendakinya itu tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan-
perbuatan kufr itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik tetapi Tuhanlah yang
mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr bersifat buruk.
Ajaran dalam aliran Mu’tazilah ada 5 di antaranya :

1. At-Tauhid, bagi mu’tazilah tauhid Allah harus dipahami bahwa Allah adalah Dzat yang unik dan tidak ada yang
menyerupain-Nya.
2. Al-Adl, bagi mu’tazilah Allah itu haruslah adil. Ia tidak dapat dan tidak akan berbuat zalim.
3. 3.Al-Wa’ad wa Al-Wa’id, disini adalah kelanjutan dari Al-Adl. Dimana Allah tidak dapat disebut adil apabila
tidak member pahala kepada yang berbuat baik dan tidak member sanksi kepada yang berbuat buruk.
4. Al-Manzilat bain Al-Manzilatain, disini disinggung tentang pelaku dosa besar. Bagi mu’tazilah pelaku dosa besar
berada diantara dua posisi antara mukmin dan kafir.
5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa Al-Nahy’an Al-Munkar, mu’tazilah mewajibkan kaum muslim untuk berbuat baik dan
mencegah berbuat keji.
Tauhid dalam pandangan Ahlussunnah dan Mu’tazillah

 Menurut as-sunnah, Ahlussunnah Waljama’ah

Mengenai tauhid misalnya yang dikemukakan oleh al-asy’ari dan mu’tazilah tidak berbeda .perbedaan terjadi ketika
membahas masalah yang bersifat cabang. Tentang sifat misalnya al-asy’ari dengan jelas berbeda dan tegas
menentang konsep mu’tazilah yang meniscahyakan keharusan paham nafyu al-shifat. Bagi al-asy’ari untuk menjaga
dan mempertahankan kemurnian aqidah tauhid, dengan prinsip tanzih tidak harus dengan faham nafyu al-shifat. Ia
sebaliknya, membawa dan mempertahankan paham itsbat al-shifat, Allah mempunyai sifat. Allah menurut al-
asy’ari mustahil mengetahui dengan zatnya seperti paham mu’tazilah .
 Menurut kaum Mu’tazillah

Tauhid atau keesaan Tuhan merupakan suatu ajaran penting. Namun menurut mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Untuk
memurnikan itu mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat dan penggambaran fisik Allah karena Allah
itu esa tidak ada yang menyerupainya. Konsep ini bermula dari Washil bin Attha’, ia mengingkari bahwa
mengetahui berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk esensi Allah.
Menurutnya jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal azali, itu berarti terdapat dalam”pluralitas yang kekal” dan berarti
bahwa kepercayaan kepada Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya mu’tazilah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan kuasa dan menamakan keduanya
sebagai sifat esensial. Selanjutnya mereka mereduksi bagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja yakni keesaan.
.
SEKIAN DAN TERIMAH KASIH…..

Anda mungkin juga menyukai