Anda di halaman 1dari 10

SYARAT-SYARAT PERAWI DAN PROSES

TRANSMISI

DISUSUN OLEH : KELOMPOK VIII

WULAN ARIANJANI: 0304182111

DOSEN PENGAMPU :

Dr. M. ROZALI, MA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

TA 2018/2019
A. Pendahuluan

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madhi tahmmala


yang berarti menanggung , membawa, atau biasa diterjemahkan dengan
menerima.Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits
atau menanggung hadits.

Tahammul (‫ )ح ُّملَت‬dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ (‫)دأَا‬


artinya “menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka
tahammul hadits (‫ثَت‬
ِ ‫“ )ح ُّمل الحدِي‬merupakan kegiatan menerima riwayat hadits”,
sedangkan ada’ul hadits (‫ثَأ‬
ِ ‫“)دء الحدِي‬merupakan kegiatan menyampaikan riwayat
hadits”.

Dengan demikian, tahammul wa Ada’ al-hadits adalah suatu kegiatan


menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan
dengan matarantai sanad maupun matan, sebab matarantai sanad selain memuat
nama-nama para perawi, memuat lafal-lafal yang memberikan petunjuk tentang
metode periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-masing perawi yang
bersangkutan, sehingga dari lafal-lafal tersebut dapat diteliti sejauh mana tingkat
akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi yang nama-
namanya termuat di dalam matarantai sanad.

B.Syarat-Syarat Perawi dan Proses Transmisi

a. Syarat Penerimaan Hadist (Tahammul)

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il madhi tahmmala


yang berarti menanggung, membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah menerima hadits atau
menanggung hadits. Sedangkan tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli

1
hadits, sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah hadits, Tahammul
artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.1

Syarat-syarat Tahammulul-Hadits

Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits kepada orang lain,
Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fiqh memiliki kesamaan
pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang antara
lain:

1) Ketahanan ingatan informator ( Dlabitur Rawi)

2) Integritas keagamaan ( ‘Adalah ) yang kemudian melahirkan tingkat


kredibilitas ( Tsiqatur Rawi).

3) Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam hadits dan mengetahui arti
hadits apabila ia meriwayatkan dari segi artinya saja ( bil ma’na ).

4) Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits


maka yang dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang
yang selalu mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang
selalu konsisten dalam kebaikan dan mempunyai komitmen tinggi terhadap
agamanya.

b. Syarat Dalam Penyampaian Hadist(‘Ada)

Mayoritas ulama hadits, ulama ushul dan ulama fiqh sependapat bahwa
orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah, baik laki-laki maupun wanita, harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Islam

Sehingga tidaklah diterima riwayat orang kafir, berdasarkan ijima’ ulama,


baik diketahui agamanya tidak memperbolehkan dusta ataupun tidak dan sangat
tidak logis bila riwayatnya diterima. Sebab menerima riwayatnya berarti
membiarkan caciannya atas kaum muslimin. Bagaimana mungkin riwayat perusak

1
ibnu sholah,Ulumul Hadits al- Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah,hlm. 137.,hlm.
156

2
Islam bisa diterima? Di samping itu, Allah SWT juga memerintahkan kita untuk
mengecek berita yang dibawa oleh orang fasik, melalui firman-Nya:

⬧ ☺➔⬧ ➔➔ 


➔➢⧫⧫⬧ ⧫⧫ ⬧ 
◆  ➔⧫◆ ⧫
⧫

✓⧫ ➔⬧ ⧫ ◼⧫ ➔⬧


⬧

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu. (Qs. al-Hujurat: 6)

Bila terhadap berita yang dibawa orang fasik saja seperti itu, maka
terhadap berita yang dibawa orang kafir tentu kita harus menolaknya.

b. Baligh

Ini merupakan pusat taklif, karena itu riwayat anak yang berada di bawah
usia taklif tidak bisa diterima, sebagai penerapan sabda Rasulullah yang
diriwayatkan oleh Abu Daud.

Terangkat pena dari tiga orang: dari orang gila sampai sembuh, dari orang yang
tidur sampai terbangun dan dari anak kecil sampai mimpi basah. (HR. Abu Daud)

Ulama mengecualikan penerimaan riwayat dari anak di bawah usia baligh,


karena khawatir akan kedustaannya. Karena kadang-kadang ia berdusta
disebabkan tidak mengerti dampak dan siksaan perbuatan dusta itu. Di samping
itu, tidak ada yang membuatnya takut untuk melakukannya. Sehingga baligh
merupakan standarisasi adanya kemampuan berakal dan pusat taklif yang
membuat seseorang jera untuk berbuat dusta dan menghalanginya untuk
melakukannya.

Kemudian, syara’ juga tidak memberikan kekuasaan bagi anak kecil


dalam masalah keduniaannya, apalagi dalam masalah agama karena menerima

3
periwayatannya berarti mengabulkan atau memberikan kekuasaan padanya
terhadap segenap kaum muslimin.

c. Sifat Adil

Ia merupakan sifat yang tertancap dalam jiwa yang mendorong pemiliknya


untuk senantiasa bertakwa dan memelihara harga diri. Sehingga jiwa kita akan
percaya akan kejujurannya. Menjauhi dosa besar, termasuk ke dalamnya menjauhi
sebagian dosa kecil, seperti mengurangi timbangan sebiji, mencuri sesuap
makanan, serta menjauhi perkara-perkara mubah yang dinilai mengurangi harga
diri, seperti makan di jalan, buang air kecil di jalan, berteman dengan orang-orang
keji dan terlalu berlebihan dalam berkelakar.

d. Dhabt

Dhabtu adalah: “Teringat kembali perawi saat penerimaan dan


pemahaman suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga
menyampaikan”

Yaitu keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan


memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai
menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulisan.
Maksudnya, seorang perawi harus benar-benar hafal bila ia meriwayatkan dari
hafalannya, dan memahami tulisannya dari adanya perubahan, penggantian, atau
pengurangan bila ia meriwayatkan dari tulisannya.

Cara mengetahui kedhabitan seorang perawi adalah dengan


membandingkan haditsnya dengan hadits perawi-perawi lain yang tsiqqat, dhabit
dan teguh. Bila ia sejalan dengan mereka dalam hal riwavat pada umum-nya
meski hanya dari segi makna, maka ia dinilai dhabit. Tidak masalah bila ada
sedikit perbedaan. Namun bila banyak berbeda dan sedikit kesamaan, maka
kedhabitannya cacat, dan haditsnya tidak bisa digunakan sebagai hujjah.

Dhobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu: 1) Dlobtu ash-
shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia dengar didalam
dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun ia

4
kehendaki. 2) Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan
yang catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashhih sampai ia
meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.

C.Sighat Dalam ProsesTahammul Wal ‘ada dan Kualitas Persambungannya

Tahammul (‫ )ح ُّملَت‬dalam bahasa artinya “menerima” dan ada’ (‫ )دأَا‬artinya


“menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, maka tahammul hadits
(‫ثَت‬
ِ ‫“ )ح ُّمل الحدِي‬merupakan kegiatan menerima riwayat hadits”, sedangkan ada’ul
hadits (‫ثَأ‬
ِ ‫“)دء الحدِي‬merupakan kegiatan menyampaikan riwayat hadits”.

Dengan demikian, tahammul wal’Ada al-hadits adalah suatu kegiatan


menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan
dengan mata rantai sanad maupun matan, sebab mata rantai sanad selain memuat
nama-nama para perawi, memuat lafal-lafal yang memberikan petunjuk tentang
metode periwayatan hadits yang digunakan oleh masing-masing perawi yang
bersangkutan, sehingga dari lafal-lafal tersebut dapat diteliti sejauh mana tingkat
akurasi metode periwayatan hadits yang digunakan oleh para perawi yang nama-
namanya termuat di dalam matarantai sanad.

Tahammul wal – ad adalah “mengambil atau menerima “hadits dari salah


seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses mengajarkannya
(meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya. Shigat dalam
tahammul wal’ada adalah :

1.As-Sima’, ( mendengar)

yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya
sedang hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang
lain. Menurut mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Cara as-
sama’ ini tinggi nilainya, sebab lebih meyakinkan tentang terjadinya
pengungkapan riwayat.

5
2.Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (membaca di hadapan guru).

Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al-‘Aradh (penyodoran). Ada


juga menyodorkan bacaan. Karena murid menyodorkan bacaannya kepada sang
guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya. Imam
Haramain menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami
kekeliruan atau kesalahan. .

3.Ijazah

yakni Seorang guru mengijinkan muridnya meriwayatkan hadis atau


riwayat, baik dengan ucapan atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu untuk
meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-macam ijazah adalah

a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang tertentu.

Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-


jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya

b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan apa yang

di ijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk


meriwayatkan semua riwayatku”.

c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan juga tidak

menentukan apa yang diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua


riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.

d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul. Seperti
diamengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”;
sedangkan di situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama seperti itu.

e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi mengikutkan
mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan
riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.

6
4.Al-Munawalah Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah
naskah asli kepada muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk
diriwayatkan.

5.Al-Mukatabah

Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang
lain menulis darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada di tempat lain lalu guru itu
mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa dipercaya.
Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah. Jenis ini
setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam keshahihan dan
kekuatan.Kedua, tanpa disertai dengan ijazah.

Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan darinya. Namun pendapat


yang shahih mem-perbolehkannya. Pendapat terakhir ini dipilih oleh mayoritas
ulama mutaqaddimin dan muta’akhkhirin.

6.I’lam asy-Syeikh

Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa


hadits tertentu atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya
dan telah didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang
senada, tanpa menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk
meriwayatkan darinya. Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian
besar ulama memperbolehkan meri-wayatkannya. Mereka menilai bahwa
pemberitahuan semacam itu sudah mengandung pengertian pemberian ijin atau
ijazah dari guru kepada murid untuk meriwayatkan darinya.

7.A I- Washiyyah

Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum


meninggal, agar kitab riwayatnya diberikan kepada seseorang untuk boleh
meriwayatkan darinya. Penyampaian riwayat yang diterima dengan cara wasiat
menurut yang memperbolehkannya adalah dengan menjelaskan hal itu sewaktu
menyampai-kannya. Misalnya perawi mengatakan: Telah mewasiatkan kepadaku

7
Fulan, mengatakan telah memberikan khabar kepadaku Fulan dengan cara wasiat,
atau saya menemukan dalam wasiat Fulan kepadaku, bahwa Fulan meriwayatkan
kepadanya begini-begini.

8.Al-Wijadah (‫الوجده‬, penemuan)

Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata


Wajada-Yajidu,bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggu-nakannya
dengan pengertian ilmu yang diambil atau didapat dari shahi-fah tanpa ada proses
mendengar, mendapatkan ijazah ataupun proses munawalah.

Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Ja­ngan kalian


membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan
jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-
shahifah”.

D.Simpulan

Tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadits dari


seorang guru dengan metode-metode tertentu. Sedangkan Al-‘Ada adalah adalah
proses menyampaikan dan meriwayatkan hadits.

Mayoritas ulama cendrung membolehkan kegiatan mendengar yang dilakukan


oleh anak kecil, yakni anak yang mencapai usia taklif. Sedang sebagian mereka
tidak memperbolehkannya. Ulama yang membolehkan juga masih berbeda
pendapat mengenai batas usia anak boleh diterima periwayatannya, pendapat
pertama mengatakan lima tahun sedangkan pendapat yang kedua mengatakan
tamyiz.

Syarat kelayakan al-Ada adalah: Islam, Baligh, Sifat Adil, Dhabt. Sedangkan
metode dalam tahammul al-ada’ adalah melalui beberapa jalan yaitu as-sima’, al-
Qira’ah ‘ala Syaikh, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, I’lam asy-Syaikh, al-
Washiyyah, al-Wijadah.

8
DAFTAR PUSTAKA

Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa


Cendekia.

H. Mudasir,1999 Ilmu Hadis, Bandung: CV. Pustaka Setia.

Ismail, M. Syuhudi.1991. Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai