Anda di halaman 1dari 10

AT-TAHAMMUL WA AL-ADA’ AL-HADIST

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Hadis

Dosen Pengampu: Faiqatul Mala S.S.I,MA.Hum

Disusun Oleh:

Dias Maulana Wulansari (2020100320210)

Finda Septriana (2020100320215)

Yulia Citra (2020100320211)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN

WONOREJO-LUMAJANG

APRIL 2021

BAB I
1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu
menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan
memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran
dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari hadits dengan sungguh-sungguh
dengan cara yang benar memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia
pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri atau ketika dia sudah
mengajarkannya kepada orang lain kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan
istilah at-Tahammul wal al-Ada’ al-Hadis. Pengertian hadis secara terbatas, sebagaimana
dikemukakan oleh jumhuru al-Muhaddisin, ialah “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir ) dan yang
sebagainya”.
A. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian At-tahammul dan Al-ada’ al-hadits?
2. Apa saja syarat-syarat perawi dalam At-tahammul?
3. Apa saja syarat-syarat perawi dalam Al-ada’al-hadits?
4. Apa saja kode-kode atau lafal Al-tahammul dan Al- ada’al-hadits?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-tahammul dan Al- ada’al-hadits
2. Untuk mengetahui syarat-syarat perawi dalam At-tahammul
3. Untuk mengetahui syarat-syarat perawi dalam Al-ada’ al-hadits
4. Untuk mengetahui kode-kode atau lafal Al-tahammul dan Al- ada’al-hadits

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian At-tahammul dan Al-ada’ al-hadist


Tahammul ( ‫)ت َُح ُّمل‬dalam bahasa artinya “menerima” dan ada' (‫ )اَدَاء‬artinya
“menyampaikan”. Jika digabungkan dengan kata al-hadits, “tahammul hadits (‫تحمل‬
‫ ")الحديث‬berarti “kegiatan menerima riwayat hadits”. Sedangkan "ada'ul hadits ( ‫اداء‬
‫ديث‬,,‫ ”)الح‬berarti “kegiatan menyampaikan riwayat hadits”. Hubungan yang terjadi
antara perawi dengan perawi lain yang terdekat dalam mata rantai sanad, merupakan
kegiatan penerimaan dan | penyampaian riwayat hadits,
Oleh karena dua kegiatan inilah, dalam dmu hadits dikenal istilah | “sahamul
wa ada' al-hadits (‫ديث‬,,,‫ل و اداء الح‬,,,‫”)التحم‬. Artinya, suatu kegiatan menerima dan
menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik sanad maupun matannya.8
Kelengkapan mata rantai sanad sangat penting dalam proses ini karena selain memuat
nama-nama perawi, juga mengandung lafal-lafal yang menunjukan metode
periwayatan hadits yang dipergunakan oleh masing-masing perawi. Dari kode-kode
atau lafal-lafal itulah, tingkat akurasi periwayaran hadits para purawi, juga
ketersambunyan sanad mercka, ' hisa diketahui.1
Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan At-tahamul dan
Al-ada’. At-tahamul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari
seorang guru dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan Al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis
kepada orang lain. Dan sedangkan Ada’ al-Hadits adalah kegiatan menyampaikan
Hadits dengan cara-cara tertentu.2
B. Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan
anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat,
membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau
tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi
beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan
1
k.h m. ma’shum zein, Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadist Dan Mustholah Hadist (Yogyakarta: pustaka
pesantren, 2016).
2
mudasir, Ilmu Hadist (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 181.
3
istilah ahliyatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk
diriwayatkan.
a) Dhobit
b) Berakal sempurna
c) Tsiqoh
Hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan dengan hadits yang lebih
kuat atau dengan Al-Qur’an.3
d) Tamyiz
Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa
disebut tamyiz jika sudah mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar.
Kalau menurut penulis seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara
kambing dan anjing. Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya
kemampuan menghafal yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga
yang mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada
pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz.
Hal ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya
yang menerima hadits walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain,
Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh
bertahammul hadits dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia
boleh bertahammul adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak
bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu
Abdullah az-Zubairi mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika
telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap
sempurna. Sedangkan Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah
tamyiz, sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits.
Adapun syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul
hadits karena untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber
hukum islam sangat diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya

3
muhammad gufron, Ulumul Hadist Praktis Dan Mudah (Yogyakarta: teras, 2013), 45–46.
4
seseorang yang menerima hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat
akalnya.4
C. Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits
Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal
dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a) Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang perowi harus
muslim.Menurut ijma’, periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak
sah. Karena terhadap riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan,
apalagi hadits yang diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul
hadits orang kafir diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus
sudah masuk Islam.
b) Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia
meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau
baligh karena sudah keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam
ketab-kitah fiqih.
c) ‘Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan
muru’ah (harga diri). Sifat ‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di
dalam riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang
sudah mukallaf yang terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan
kefasikan dan jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah
mencakup dua syarat sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat
‘adalah ini mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak
dikenal.
d) Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat
akan hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan
memahami apa yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits hingga
ia meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:

4
ibnu sholah, Ulumul Hadits Al-Ma’ruf Bi Muqoddimah Ibn Ash-Sholah (tsaqofiyah, n.d.), 137.
5
 Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang
ia dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan
hafalan tersebut kapanpun ia kehendaki.
 Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan
yang catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh
sampai ia meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat
dalam kitab tersebut.5
D. Kode-kode atau Lafal Al-tahammul dan Al- ada’al-hadits
1. As-sima’i (Mendengarlafazh guru)
Yaitu murid mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara
mengimlakkan maupun bukan, baik dari hafalannya maupun membaca tulisannya.
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan, baik guru
membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid mendengar atau menulis
apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan tidak menulis.
Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang ia dengar (terima) itu, sirawi
menggunakan sighat، (‫)ح َّدثَنَا‬،(‫ا‬
َ َ‫)أَ ْخبَ َرن‬، (‫س ِمعْتُ ()أَ ْنبَأَنا‬
َ ) ‫سمعنا‬
2. Al-Qiro’ah (Membacadarisyeikh)
Gambarannya: seorang perawi membaca hadits kepada seorang syeikh, dan
syeikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi yang membaca atau
orang lain yang membaca sedang syeikh mendengarkan.
Ketika sirawi itu sendiri membaca hadits kepada syeikhnya, maka waktu
menyampaikannya, ia pakai sighat(‫اءنى‬,,,‫)انب‬. Sedangkan jika orang lain yang
membaca, sedang ia mendengarkan, maka ketika menyampaikan kepada rawi lain,
ia sebut:،(‫)اَ ْخبَ َرنَا( )قَ َر ْأتُ َعلَ ْي ِه‬
3. Al-Ijazah
Artinya seorang syeikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits, baik
dengan ucapan ataupun tulisan. Gambarannya: seorang syeikh mengatakan kepada
salah seorang muridnya: “aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dari
kudemikian”.
Dalam menyampaikan sesuatu yang didapati dengan ijazah, sirawi berkata، (
ً‫)أَ ْخبَ َرنَافُاَل نٌ إِ َجازَ ة‬،(‫)شَافَ َهنى()فِ ْي َمااِ َجا َزنِ ْي فُاَل ن‬.6

5
sholah, 137.
6
manna’ al-qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadist (jakarta: pustaka al-kautsar, 2005), 182–83.
6
4. Al-Munawalah(Menyerahkan)
Al-Munawalah ada 2 macam :
 Munawalah yang disertai dengan ijazah.
Munawalah yang disertai ijazah ketika menyampaikan riwayat itu,
sirawi berkata (‫ )انباءنى‬atau (‫)انباءنا‬.
 Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah.
Munawalah yang tidak dengan ijazah, hendaklah ia berkata (‫)ناولنى‬
atau (‫)ناولنا‬.7
5. Al-Kitabah
Yaitu seorang syeikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis
riwayatnya kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Mukatabah ini ada yang disertakan dengan ijazah, dan ada yang tidak pakai ijazah,
tetapi kedua-dua macam itu boleh dipakai.
Waktu menyampaikan hadis yang didapati dengan perantara mukatabah, sirawi
berkata kepada orang yang ia sampaikan nyan( ٌ‫) َكت ََب اِلَ َّى فُاَل ن‬.
6. Al-I’lam(Memberitahu)
Yaitu seorang syeikh memberitahu seorang murid nya bahwa hadits ini atau
kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin untuk
meriwayatkan dari padanya.
Ketika menyampaikan riwayat dari jalan I’lam, sirawi berkata، (‫اأَ ْعلَ َمنِى‬,,‫ِف ْي َم‬
َ )( ٌ‫)اَ ْعلَمنِ ْى فُاَل ن‬.
‫ش ْي ِخى‬
7. Al-Wahsiyyah(Mewasiati)
Yaitu seorang syeikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya a atau dalam
perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang
seorang diterima dengan jalan wasiat ini boeh dipakai menurut sebagian ulama,
namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiyat ini, sirawi berkata ،(‫أَ ْخبَ َرنِى فُاَل ٌن‬
‫صيَ ِة‬ ٍ ‫صى اِلَ َّى فُاَل نٌ بِ ِكتَا‬
ِ ‫ب()بِا ْل َو‬ َ ‫)اَ ْو‬.

8. Al-Wijadah(Mendapat)

7
a.qodir hassan, Ilmu Mushthalah Hadits (Bandung: diponegoro, 2007), 356.
7
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan seorang
syeikh dan ia mengenal syeikh itu, sedangkan hadits-haditsnya tidak pernah
didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini,
sirawi berkata، (‫ب فُاَل ن‬
ِ ‫) َو َجدْتٌ بِ َخطِّ فُاَل نٌ () َو َجدْتُ فِى ِكتَا‬.8

8
al-qatthan, Pengantar Studi Ilmu Hadist, 184–85.
8
E. KESIMPULAN
Hubungan yang terjadi antara perawi dengan perawi lain yang terdekat dalam
mata rantai sanad, merupakan kegiatan penerimaan dan | penyampaian riwayat hadits,
Oleh karena dua kegiatan inilah, dalam dmu hadits dikenal istilah | “sahamul wa ada'
al-hadits (‫”)التحمل و اداء الحديث‬. Artinya, suatu kegiatan menerima dan menyampaikan
riwayat hadits secara lengkap, baik sanad maupun matannya.8 Kelengkapan mata
rantai sanad sangat penting dalam proses ini karena selain memuat nama-nama
perawi, juga mengandung lafal-lafal yang menunjukan metode periwayatan hadits
yang dipergunakan oleh masing-masing perawi.
Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat, membersihkan diri dari
tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab atau tatakrama seorang
tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi beberapa syarat yang telah
ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul
sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk diriwayatkan. Adapun syarat
seorang perawi:
a. Dhobit
b. Berakal sempurna
c. Tsiqoh
d. Tamyiz
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
 Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia
dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan
tersebut kapanpun ia kehendaki.

 Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang


catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia
meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab
tersebut.

Tahammul Wal Ada’ adalah kegiatan menyampaikan riwayat hadits beserta


sanad dan matannya. Dalam penyampaian dan penerimaan hadits terdapat syarat,
metode,dan bentuk-bentuk sighat At-Tahammul dan Al- Ada’.

9
DAFTAR PUSTAKA

gufron, muhammad. Ulumul Hadist Praktis Dan Mudah. Yogyakarta: teras, 2013.
hassan, a.qodir. Ilmu Mushthalah Hadits. Bandung: diponegoro, 2007.
mudasir. Ilmu Hadist. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
qatthan, manna’ al-. Pengantar Studi Ilmu Hadist. jakarta: pustaka al-kautsar, 2005.
sholah, ibnu. Ulumul Hadits Al-Ma’ruf Bi Muqoddimah Ibn Ash-Sholah. tsaqofiyah, n.d.
zein, k.h m. ma’shum. Cara Praktis Menguasai Ulumul Hadist Dan Mustholah Hadist.
Yogyakarta: pustaka pesantren, 2016.

10

Anda mungkin juga menyukai