Anda di halaman 1dari 16

METODE PENERIMAAN

DAN
PENYAMPAIAN HADITS

DOSEN: MISBAHUL MUNIR M.HUM

OLEH:

1. MARDIANTO (2131118)
2. KHOIRUN NISA (2131119
PERIWAYATAN DAN KESAKSIAN

Periwayatan secara etimologi diambil dari kata Al-Riwayat dalam


bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja
“rawa yarwi riwayatan” yang dapat berarti
al-naql (penukilan), Al-zikr (penyebutan), al-fatl (pintalan) dan al-
istiqa (pemberian minum sampai puas), atau dalam istilah ini terkait
dengan kegiatan menghimpun kitab-kitab hadis yang dikenal riwayat
hadis.
Dalam bahasa Indonesia periwayatan yang diserap dari bahasa Arab
mempunyai arti cerita atau sejarah.
Adapun orang yang meriwayatkannya disebut dengan rawi, 
yang diriwayatkan disebut marwiy, 
rangkaian para periwayatanya yaitu sanad dan
substansi yang setelah sanad dinamai matan.    

2
Dalam ilmu hadits kita mengenal istilah tahammul dan ada'.
Tahammul adalah proses penerimaan hadits yang dilakukan oleh seorang
rawi, sedangkan
ada' adalah proses penyampaian hadits yang biasa dilakukan oleh seorang
guru kepada muridnya, atau seorang rawi.
Adapula syahadah atau kesaksian, secara etimologi mempunyai tiga arti,
yaitu menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan dan mengetahui.

Format atau simbol (shighat) tahammul dan ada' menjadi tanda apakah
hadits itu bersambung atau tidak. Ulama' merumuskan detail-detail kecil
shighat tahammul dan ada' karena ingin memastikan sumber sebuah
periwayatan.

3
     Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits

1. Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim, tidak
dapat di terima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah
menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang fasik, sebagaimana yang di
terangkan dalam ayat 6 surat Al Hujurat:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

4
2.Sudah sampai umur (baligh)
Tidak dapat di terima riwayat anak-anak yang belum sampai umur,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Al Hakim
dari Umar dan ‘Ali yaitu:
‫ب َعلَى َع ْقلِ ِه َح َّتى َيب َْرُأ َو َع ِن ال َنا ِِئم َح َّتى َيسْ َت ْيق َِظ َو َع ِن الص َِّبيِّ َح َّتى‬
ِ ‫ َع ِن ْال َمجْ ُن ْو ِن ال َم ْغلُ ْو‬:ٍ‫ُرف َِع ال َقلَ ُم َعنْ َثالَ َثة‬
)‫َيحْ َتلِ ُم (رواه ابوداود والنسإ‬
Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di gagahi akalnya
sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-
anak sampai dia mimpi (baligh).” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)

Sampai umur adalah dasar untuk menetapkan seseorang itu mempunyai


paham dengan pengertian.
Para ulama’tidak menerima riwayat anak kecil adalah karena anak kecil
belum menyadari akibat berdusta dan syara’ tidak membenarkan anak kecil
menjadi wali terhadap dirinya sendiri dalam urusan keduniaan.

5
3. Keadilan

Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang bersifat dengan
keadilan itu berlaku taqwa dan memelihara muru’ah, karenanya timbullah
kepercayaan masyarakat kepadanya.

Disamping itu ia memelihara diri dari dosa dosa besar dan sebagian dosa
kecil, seperti mencuri sesuatu makanan orang, serta keharusan menjauhi
perbutan-perbuatan yang mubah yang merusakkan muru’ah, seperti makan
sambil berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli orang-orang yang
rendah pekerti atau terlalu suka bergurau.

6
4. Kedlabitan

Dlabith adalah perhatian perawi kepada yang didengar ketika dia


menerimanya serta memahami apa yang didengarnya itu, sehingga ia
menyampaikannya kepada orang lain.

Dlabith terbagi menjadi 2:


- Dlabith shadar adalah perawi yang menghafalkan dengan baik
- Dlabith kitab adalah perawi memelihara kitabnya dengan baik dari
kemasukan sisipan ataupun sebagainya.

7
TATA CARA PERIWAYATAN HADITS
1. As-Sama’ (‫س َما ُع‬
َّ ‫ل‬00‫)ا‬

Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung
periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang
guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya,
sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah
ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.

Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan murid terjadi
pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan
jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan
antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-
sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya

Istilah-istilah yang dipakai dalam metode ini adalah:


‫( َح َّد َث َنا‬seseorang telah menceritakan kepada kami)
‫( َأ ْخ َب َر َنا‬seseorang telah mengabarkan kepada kami)
‫( َأ ْن َبَأ َنا‬seseorang telah memberitahukan kepada kami)
‫ت فُاَل ًنا‬ ُ ْ‫َسمِع‬ (saya telah mendengar dari seseorang)
ُ َ
‫َقا َل ل َنا فالن‬ (seseorang telah berkata kepada kami)
ٌ‫َذ َك َر لَ َنا فاَل ن‬ (seseorang telah menuturkan
8
kepada kami)
2. Al-Qira’ah (ُ‫اءة‬
َ ‫لق َِر‬00‫)ا‬

Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada
sang guru.
Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl, karena seorang
rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan
tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau buku perawi, dan sang guru
mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab
orang lain yang tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara
al-qira’ah. Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat
dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan
bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan
periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan
kalimat: ‫ َال ًنا‬jjj‫ َرْأ ُت ُف‬jj‫‘ َق‬aku telah membaca kepada si fulan’ atau jِ ‫ َرْأ ُت َعلَ ْيه‬jj‫‘ َق‬aku telah membaca
dihadapannya’ atau j‫ َنا َأسْ َم ُع‬jَ‫ َالٍن َوا‬jjj‫ ِرَئ َعلَى ُف‬jj‫‘ ُق‬dibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku
mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal ‫‘ َأ ْخ َب َر َنا‬telah
mengabarkan kepada kami’.

9
3. Al-ijazah(ُ‫ازة‬
َ ‫ِإل َج‬0 ‫)ا‬

Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada
orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan
suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada
muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan
suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan
kepadamu Shahih Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling
tinggi dibandingkan dengan ijazah lainnya.
Ø Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-
ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya.
Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang
pada zamanku.”
Ø Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu.
Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.

Telah Mengabarkan kepada kami 10


dengan cara ijazah
4. Al-Munawalah (‫ل ُم َن َاو َل ُة‬00‫)ا‬

Munawalah artinya:memberikan, menyerahkan.


Yakni: ”Guru memberikan kitabnya kepada murid”,atau “ia menyuruh murid menyalin kitab itu”,
atau “ia pinjamkan kitabnya itu”, atau “seorang rawi menyerahkan satu kitab kepada gurunya;
sesudah guru memperhatikannya benar benar lalu ia kembalikannya kepada rawi tadi”.
Al-Munawalah ada dua macam, yaitu:
a. Al-munawalah yang disertai dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan kitabnya
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadanya, “Riwayatkanlah kitab ini dari saya,” Kemudian
kitab tersebut dibiarkan untuk dimilikinya atau dipinjamkan agar disalin.
b. Al-munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah. Misalnya, seorang guru memberikan
kitabnya kepada sang murid dengan hanya mengatakan, “Ini adalah riwayatku,” tanpa diikuti
dengan perintah meriwayatkannya.
Menurut Ibnu Salah dan An-Nawawi, periwayatan dengan cara ini dianggap tidak sah. Para ahli
hadits mencela orang-orang yang membolehkan riwayat dengan al-munawalah tanpa dibarengi
ijazah.

Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti:‫ َاولَن ِْي‬j ‫َن‬
َ j‫‘ َو‬ia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, ‫از ًة‬
َ ‫أج‬
‫ازنِي‬ َ ‫إ‬j‫ َّد َث َنا ُم َن َاولَ ًة َو‬j‫‘ َح‬ia telah
َ ‫ج‬j
menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau ‫أخ َب َر َنا ُم َن َاولَ ًة‬ ْ ‘ia telah mengabarkan
kepada kami dengan munawalah’.
11
5. Al-Mukatabah (‫)أل ُم َكا َت َب ُة‬

Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang
guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang
yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya,
perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang
disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya,
tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.

ٌ َ jjj‫لي ُف‬jj‫إ‬
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, ‫الن‬ َّ َ ‫ َت َب‬j‫‘ َك‬seseorang
telah menulis untukku’.

12
6. Al-I’lam (0ُ ‫ ِْإلع َالم‬0 ‫)ا‬

Periwayatan hadits dengan cara al-i’lam adalah pemberitahuan sang guru


kepada seorang muridnya bahwa hadits tertentu atau kitab tertentu
adalah riwayatnya sendiri dari si fulan (guru seseorang), namun tidak
disertakan izin untuk meriwayatkannya.
Para ulama’ berbeda pendapat tentang hukum meriwayatkan hadits
dengan cara ini. Sebagian ulama’ membolehkan dan sebagian yang lain
melarangnya. Sebagian ulama’ yang melarang beralasan bahwa
kemungkinan sang guru mengetahui dalam hadits tersebut ada
kecacatan, karenanya sang guru tidak member izin untuk
meriwayatkannya.
Kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan riwayat dengan cara ini
misalnya‫ ْيخِي‬j ‫أع َل َمنِي َش‬
ْ ‘guruku telah member tahu kepadaku’

13
7. Al-Washiyyah (‫لَوصِ َّي ُة‬00‫)ا‬

Washiyyah artinya: memesan atau mewashiyati


Periwayatan hadits dengan cara al-washiyyah adalah
model periwayatan hadits dengan cara seorang guru
memberikan wasiat pada saat mendekati ajalnya atau
pada saat mau mengadakan perjalanan kepada seorang
rawi untuk meriwayatkan haditsnya, atau dengan
memberikan sebuah kitab yang ia miliki.
Biasanya kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan
ٌ َ jjj‫لي ُف‬jj‫إ‬
hadits dengan cara wasiat adalah‫ ِك َت ٍاب‬jjj‫الن ِب‬ َّ َ ‫صى‬
َ ‫‘ ْأو‬si fulan
telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab’, atau‫الن‬ ٌ َ jjj‫ َّد َث ِني ُف‬j‫َح‬
‫‘ َوصي ًَّة‬si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah
wasiat’.
14
8. Al-Wijadah (ُ‫ل ِو َجا َدة‬00‫)ا‬

Wijadah artinya: mendapat.


Periwayatan hadits dengan cara al-wijadah yaitu: seorang rawi mendapat
hadits atau kitab dengan tulisan orang yang meriwayatkannya, sedang
hadits-hadits ini tidak pernah si rawi mendengar atau menerima dari yang
menulisnya.
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hadits yang diriwayatkan lewat
jalur wijadah. Kalangan ulama’ Malikiyyah tidak memperbolehkan hadits
diriwayatkan dengan cara wijadah, sedangkan Imam Syafi’i
memperbolehkannya.
Dalam menyampaikan hadits dengan cara wijadah, biasanya rawi
menggunakan kalimat ‘Aku mendapatkan buku ini dari tulisan si fulan’,
atau ‘Aku telah membaca tulisan si fulan’.
Ada yang berpandangan bahwa hadits yang diriwayatkan dengan cara
wijadah tergolong hadits munqati’, karena rawi tidak menerima sendiri
dari orang yang menulisnya.

15
ALHAMDULILAH

Anda mungkin juga menyukai