Anda di halaman 1dari 6

Apakah hadits perintah mengikuti sunnah Khulafaurrasyidin dhaif ?

6 May 15, 12:03 PM

Muhammad: Tgk, saya mau tanya satu lagi, bagaimana pendapat tgk masalah hadist yg berbunyi
ikutlah kalian akan sunnahku dan sunnah khulafa'urrasyidin. krna ada yg menyatakan hadist
tersebut dhaif, (Bersambung)

6 May 15, 12:05 PM

Muhammad: Dan mereka mendapatkan pernyataan dari seorang professor Indonesia. lebih
jelasnya tgk bisa baca di http://www.republika.co.id/berita/shortlink/68251

Jawab :

1.        Setelah kami membaca pernyataan yang disebut dalam link yang sdr kemukakan kepada
kami, maka inti dari pernyataan tersebut kira-kira, ada seorang profesor dari
Indonesia menganggap bahwa sebuah hadits Nabi SAW meskipun telah dinyatakan shahih
sanadnya oleh semua ulama hadits, seandainya kandungan hadits ini menjelaskan tentang
sesuatu yang belum terjadi/masa depan, alias sesuatu yang dijelaskan akan terjadi pada masa
akan datang, maka hadits tersebut harus dinyatakan palsu. Na’uzubillah ‘anhu. Salah satu
contoh menurut profesor ini adalah hadits “'Alaikum bi sunnati wa sunnati khulafa`ur rasyidin”
(Ikutlah kalian akan sunahku dan sunah khulafa`ur rasyidin). Professor tersebut mengatakan,
Bagaimana mungkin Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini, padahal saat itu belum ada
khulafa`ur rasyidin. Khalifah yang empat itu baru ada setelah Rasulullah SAW wafat.

2.        Sebenarnya, pemahaman-pemahaman seperti ini merupakan pemahaman yang tidak


datang kecuali dari orang-orang yang sudah rusak akalnya dan diragukan keilmuannya.
Bayangkan apabila diikutikan pemahaman seperti ini, maka akan banyak sekali hilang
kepercayaan umat Islam tentang masa depan yang sudah disepakati umat Islam dari zaman salaf
sampai dengan zaman kini, seperti kepercayaan datangnya Imam Mahdi dan Nabi Isa pada akhir
zaman, situasi syurga dan neraka, kepercayaan adanya kolam nabi pada hari kiamat nanti, dan
lain-lain yang sudah disebut oleh ulama-ulama kita dalam kitab-kitab akidah yang semua itu
dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi SAW. 
3.        Sekarang kita kembali tentang hadits dituduh palsu oleh professor tersebut. Bunyi hadits
ini dalam kitab Shahih al-Bukhari adalah sebagai berikut :

‫ِّين َبعْ دِي َعضُّوا َعلَ ْي َها‬ َ ‫ َعلَ ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِي َو ُس َّن ِة ْال ُخلَ َفا ِء الرَّ اشِ د‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َقا َل‬
َ ‫ِين ْال َم ْه ِدي‬ َ ِّ‫ َع ِن ال َّن ِبي‬، ‫ار َي َة‬
ِ ‫ْن َس‬ ِ ‫ ْالعِرْ َب‬ ‫َع ِن‬
ِ ‫اض ب‬
‫ِبال َّن َوا ِج ِذ‬

Artinya : Dari al-‘Irbazh bin Saariyah dari Nabi SAW, beliau bersabda : “Wajib atasmu berpegang
dengan sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin yang terpetunjuk sesudahku. Maka peganglah
kuat-kuat dengan gerahammu.”

Dalam kitab Fath al-Mubin, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, hadits ini telah diriwayat oleh
Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud dan Abu Naim. Abu Na’im mengatakan, hadits ini jaid (baik) dari
shahih hadits orang-orang Syam.  Hadits ini juga diriwayat oleh al-Turmidzi, beliau berkata,
hadits ini hadits hasan.[1] Jalaluddin al-Mahalli dalam kitabnya, Syarh Jam’ul Jawami’, setelah
mengutip hadits ini, beliau mengatakan, hadits ini telah dinyatakan shahih oleh al-Turmidzi.[2]

Dengan demikian, menurut hemat kami bagi orang yang inshaf dengan agamanya sudah
memadai penjelasan yang dikemukakan oleh para imam hadits sekelas al-Turmidzi dan Abu
Na’im yang mengatakan hadist tersebut adalah shahih atau hasan. Penjelasan tersebut juga
diamini oleh Ibnu Hajar al-Haitami dan Jalaluddin al-Mahalli dalam kitab keduanya sebagaimana
dijelaskan di atas. Lalu apakah kita terpengaruh dengan hanya pernyataan seseorang yang hidup
pada zaman sekarang yang dianya tidak dikenalpun di Indonesia, apalagi di dunia Islam ?

4.        Adapun argumentasi sang profesor bahwa Nabi SAW tidak mungkin tahu apa yang terjadi
pada masa akan datang, maka dapat kita jawab bahwa mungkin sang profesor mengira  bahwa
Nabi Muhammad SAW yang mendapat wahyu dari Allah SWT sama dengan dia yang tidak
mengerti apa-apa tentang agama yang suci ini. Bukankah dalam al-Qur’an, Allah berfirman :

َ ‫َو َما يَنطِ ُق َع ِن ْال َه َوى ِإنْ ه َُو ِإاَّل َوحْ يٌ ي‬


‫ُوحى‬

Artinya :  Muhammad tidak mengucapkan sesuatu dari hawa nafsunya kecuali adalah
yang diucapkannya itu adalah wahyu yang diwahyukan. (Q.S. al-Najm : 3-4)

Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir ahli tafsir terkenal mengutip hadits riwayat
Abu Daud yang berbunyi :

“Abdullah bin ‘Amr  mengatakan, aku selalu menulis apa saja yang aku dengar dari
Rasulullah SAW yang ingin aku hafal. Orang-orang Quraisy melarangku, mereka
mengatakan, kamu menulis apa yang kamu dengar dari Rasulullah, padahal Rasulullah
SAW seorang manusia yang bisa saja bicara pada waktu marah. Lalu aku menahan diri
dari menulis, tetapi kemudian aku menceritakannya kepada Rasulullah SAW. Maka
Rasulullah SAW bersabda : “Tulislah, demi Tuhan yang jiwaku di bawah kekuasaan-
Nya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR Abu Daud)[3]

[1] Ibnu Hajar al-Haitamyi, Fath al-Mubin, al-Mathba’ah al-Amirah al-Syarfiyah,


Mesir, Hal. 197

[2] Jalaluddin al-Mahalli, Syarh Jam’ul Jawami’, (dicetak dalam Kitab Hasyiah al-


Banany ‘ala Syarh Jam’ul Jawami’), Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II,
Hal. 355

[3] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VII, Hal. 411

ِ ‫ْث الثَّا ِم ُن َو‬


‫ن‬3َ ‫الع ْشر ُْو‬ ُ ‫الح ِدي‬
َ
‫ َو َعظَنَا‬: ‫ض َي هللاُ تَ َعالَى َع ْنهُ قا َ َل‬ ِ ‫اريَةَ َر‬ ِ ‫اض ب ِْن َس‬ِ َ‫العرْ ب‬ ِ ‫ْح‬ ٍ ‫َع ْن َأبِي نَ ِجي‬
ُ‫ت ِم ْنهَا القُلُ ْوب‬ ْ َ‫ه َو َسلَّ َم َم ْو ِعظًةً َو ِجل‬3ِ ِ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َوآل‬ َ ِ‫َرس ُْو ُل هللا‬
‫صنَا‬ ِ ‫ع فََأ ْو‬ ٍ ‫ يَا َرس ُْو َل هللاِ َكَأنَّهَا َم ْو ِعظَةً ُم َو ِّد‬: ‫ت ِم ْنهَا ال ُعي ُْو ُن فَقُ ْلنَا‬ ْ َ‫َو َذ َرف‬
‫ص ْي ُك ْم بِتَ ْق َوى هللاِ َع َّز َو َج َّل َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوِإ ْن تََأ َّم َر َعلَ ْي ُك ْم‬ ِ ‫ال ُأ ْو‬َ َ‫ق‬
‫اختِالَفًا َكثِ ْيرًا فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة‬ْ ‫َع ْب ٌد فَِإنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َري‬
ِ ‫اج ِذ َوِإيَّا ُك ْم َو ُمحْ َدثَا‬
‫ت‬ ِ ‫ َعلَ ْيهَا بِالنَّ َو‬3‫ْن ال َم ْه ِديِّي َْن َعضُّ وا‬3َ ‫َّاش ِدي‬
ِ ‫ال ُخلَفَا ِء الر‬
‫ْث‬ٌ ‫ َح ِدي‬: ‫ال‬ َ َ‫ضالَلَةٌ َر َواهُ َأب ُْو َدا ُو َد َوالتِّرْ ِم ِذيُّ َوق‬ َ ‫اُأل ُم ْو ِر فَِإ َّن ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬
‫ص ِح ْي ٌح‬َ ‫َح َس ٌن‬
Hadits Kedua Puluh Delapan
Dari Abu Najih Al-‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada kami dengan nasihat yang
membuat hati menjadi bergetar dan mata menangis, maka kami berkata, ‘Wahai
Rasulullah! Sepertinya ini adalah wasiat dari orang yang akan berpisah, maka berikanlah
wasiat kepada kami.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Aku berwasiat kepada
kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meskipun kalian dipimpin
seorang budak. Sungguh, orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku, ia akan
melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib atas kalian berpegang teguh
pada sunnahku dan Sunnah khulafaur rosyidin al-mahdiyyin (yang mendapatkan petunjuk
dalam ilmu dan amal). Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian, serta
jauhilah setiap perkara yang diada-adakan, karena setiap bidah adalah sesat.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi, ia berkata bahwa hadits ini hasan sahih). [HR. Abu Daud, no. 4607
dan Tirmidzi, no. 2676. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].

Faedah Hadits
Pertama: Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu semangat dalam meraih kebaikan.
Kedua: Disyariatkan memberi nasihat (maw’izhah), diberikan pada tempatnya, dan sifat nasihat
tersebut membekas. Syaikh ‘Abdul Muhsin menyatakan, “Maw’izhah (nasihat) dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punya tiga sifat yaitu: al-balaaghah (bahasanya menyentuh dan
jelas), hati bergetar, dan bisa membuat mata menangis.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 95).
Ketiga: Wasiat perpisahan itu lebih membekas dalam hati.
Keempat: Hati yang dalam keadaan takut, bisa membuat air mata menangis. Jika hati dalam
keadaan gelap (penuh maksiat), maka air mata tidaklah menangis, karena tidak dalam keadaan
takut pada Allah. Hal ini yang disebutkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dan Syaikh
‘Abdullah Al-Farih.
Baca Juga: Menangis Karena Allah
Kelima: Disyariatkan meminta nasihat dari yang lain, lebih-lebih lagi yang dimintai nasihat adalah
orang yang punya keutamaan dalam ilmu.
Keenam: Wasiat yang paling penting untuk seorang hamba adalah bertakwa kepada Allah,
karena wasiat tersebut merupakan wasiat orang yang terdahulu dan belakangan.
Ketujuh: Syaikh ‘Abdul Muhsin berkata, “Takwa adalah sebab memperoleh segala kebaikan dan
kemenangan di dunia dan akhirat. Banyak ayat yang menyebutkan perintah untuk bertakwa
kepada Allah. Seringnya adalah ayat tersebut didahului dengan kalimat ‘Yaa ayyuhalladzina
aamanuu (wahai orang-orang yang beriman). Begitu pula takwa ini menjadi wasiat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada para sahabatnya.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 96)
Kedelapan: Termasuk wasiat paling penting adalah menaati penguasa kaum muslimin dalam
selain maksiat, juga berpegang pada ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur
rosyidin.
Kesembilan: Patuh dan taat kepada penguasa adalah selama bukan dalam perkara maksiat
walaupun penguasa tersebut adalah seorang budak. Para ulama telah sepakat bahwa seorang
budak tidaklah pantas untuk menjadi khalifah. Hadits ini berarti perintah untuk menaati
penguasa, walau ia penguasa yang tidak pantas.
Kesepuluh: Syaikh ‘Abdul Muhsin mengatakan, “Wasiat yang paling penting adalah taat dan
patuh pada penguasa kaum muslimin karena di dalamnya terdapat manfaat dunia dan akhirat
untuk kaum muslimin.” (Fath Al-Qawi Al-Matin, hlm. 100)
Kesebelas: Hadits ini menunjukkan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena
sepeninggal beliau akan ditemui perselisihan yang banyak.
Kedua belas: Berpegang pada As-Sunnah yaitu jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar
selamat dari perselisihan, juga kita diperintahkan berpegang pada sunnah khulafaur rosyidin.
Khulafaur rosyidin adalah Abu Bakar, ‘Umar bin Al-Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi
Thalib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan kekhilafahan mereka
berdasarkan wahyu. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Safinah radhiyallahu ‘anhu,
‫ك َأ ْو ُم ْل َكهُ َم ْن يَ َشا ُء‬
َ ‫ِخالَفَةُ النُّبُ َّو ِة ثَالَثُ ْو َن َسنَةً ثُ َّم يُْؤ تِي هللاُ ال ُم ْل‬
“Khilafah Nubuwwah itu selama 30 tahun. Kemudian Allah karuniakan kerajaan setelah itu.”
(Dikeluarkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, 460).
Masa pemerintahan
– 632–634 M: Abu Bakar Ash-Shiddiq
– 634–644 M: Umar bin Al-Khaththab
– 644–656 M: Utsman bin ‘Affan
– 656–661 M: Ali bin Abi Thalib
Ketiga belas: Disebutkan oleh Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, “As-
Sunnah adalah jalan yang dilalui. Maka yang dimaksud di sini adalah berpegang pada jalan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan khulafaur rosyidin, yaitu dalam hal berakidah, amalan, dan
ucapan. Itulah As-Sunnah yang sempurna. Oleh karena itu, ulama salaf terdahulu tidaklah
memutlakkan begitu saja kata As-Sunnah kecuali mencakup itu semua. Demikian diriwayatkan
semakna dari Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, dan Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Adapun ulama belakangan
mengkhususkan istilah As-Sunnah untuk hal-hal yang terkait dengan keyakinan. Karena keyakinan
(akidah) adalah pokok agama. Menyelisihi akidah ini berarti berada dalam bahaya yang besar.”
Keempat belas: Hadits ini mengingatkan bahaya bidah.
Kelima belas: Kaedah yang diajarkan dalam hadits ini adalah setiap bidah itu sesat, tidak ada
bidah hasanah.
Keenam belas: Hadits yang menyebutkan menjadi pelopor dalam kebaikan (sunnah hasanah)
yaitu hadits,

َ ُ‫ُور ِه ْم ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬ ‫ُأ‬


‫ص‬ ِ ‫ان لَهُ َأجْ ُرهُ َو ِم ْث ُل ج‬ َ ‫َم ْن َس َّن ُسنَّةً َح َسنَةً فَ ُع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ َك‬
‫ان َعلَ ْي ِه ِو ْز ُرهُ َو ِم ْث ُل‬ َ ‫ُور ِه ْم َش ْيًئا َو َم ْن َس َّن ُسنَّةً َسيَِّئةً فَ ُع ِم َل بِهَا بَ ْع َدهُ َك‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ِم ْن ج‬
ِ ‫ص ِم ْن َأ ْو َز‬
‫ار ِه ْم َش ْيًئا‬ َ ُ‫ار ِه ْم ِم ْن َغي ِْر َأ ْن يَ ْنق‬ ِ ‫َأ ْو َز‬
“Barangsiapa melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka
akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak
akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu
amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal
dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim, no. 1017).
Hadits ini maksudnya adalah menjadi teladan dalam kebaikan. Sebagaimana hal ini begitu jelas
ketika membicarakan sebab hadits ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu
memotivasi untuk sedekah. Kemudian ada orang Anshar yang membawa wadah besar, kemudian
yang lainnya ikut-ikutan dalam bersedekah.
Ketujuh belas: ‘Umar menghidupkan shalat tarawih pada bulan Ramadhan juga bentuknya
adalah menghidupkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah ada.
Kedelapan belas : Ajaran khulafaur rosyidin dianggap sebagai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Kesembilan belas: Hendaklah menggabungkan antara targhib dan tarhib, yaitu memotivasi dan
menakut-nakuti. Dalam hadits digunakan kalimat targhib “fa-‘alaikum” (hendaklah kalian
mengikuti) dan kalimat tarhib “wa iyyakum” (hati-hatilah).
Kedua puluh: Wajib mempelajari ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin
seseorang mengikutinya selain dengan belajar. Tidak belajar, tentu saja tidak mungkin mengenal
ajaran beliau.
Kedua puluh satu: Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika banyak golongan-golongan
(hizbiyyah), maka jangalah mengikuti hizbi yang ada. Dahulu sudah muncul banyak golongan
seperti Khawarij, Muktazilah, Jahmiyyah, dan Rafidhah. Kemudian belakangan ini ada berbagai
golongan seperti salafiyyun, tablighiyyun, dan semacamnya. Ini semua kelompok-kelompok,
jadikanlah yang kamu ikuti adalah sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, ‘Hendaklah berpegang pada ajaranku dan ajaran khulafaur
rosyidin. Tidak ragu lagi bahwa wajib bagi kaum muslimin mengikuti madzhab salaf, kita tidak
disuruh mengikuti kelompok yang namanya salafiyyun. Wajib bagi umat Islam mengikuti
madzhab salafush shalih, bukan mengikuti kelompok salafiyyun. Namun para ikhwah salafiyyun
lebih dekat pada kebenaran. Akan tetapi, masalah mereka adalah sama dengan yang lainnya,
mereka saling sesatkan dan saling memfasikkan. Kami tidak salahkan mereka jika mereka berada
di atas kebenaran. Akan tetapi, yang kami ingkari adalah cara mereka mengoreksi dengan cara
seperti itu. Wajib bagi kita untuk menyatukan pemimpin tiap-tiap kelompok ini. Lalu kita suruh
untuk mengikuti Alquran dan sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita berhukum kepada
keduanya bukan kembali pada hawa nafsu, bukan berhukum pada fulan atau fulan. Setiap orang
bisa benar atau salah, selama masih berada di atas ilmu dan ibadah. Akan tetapi yang maksum
adalah dinul Islam.” (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah, hlm. 308-309)
 
Referensi:
1. Fath Al-Qawi Al-Matin fi Syarh Al-Arba’in wa Tatimmat Al-Khamsin li An-Nawawi wa Ibnu Rajab
rahimahumallah. Cetakan kedua, Tahun 1436 H. Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Hamad Al-‘Abbad Al-
Badr.
2. Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-
Farih.
3. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Sumber https://rumaysho.com/22734-hadits-arbain-28-ikutilah-sunnah-tinggalkanlah-bidah-taat-
pemimpin.html

Anda mungkin juga menyukai