B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?
b. Bagaimana hukum dan syarat ijtihad?
c. Bagaimana kebenaran hasil ijtihad?
d. Bagaiman pendapat para ulama tentang ijtihad?
e. Bagaimana cara melakukan ijtihad?
f. Bagaiman ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab?
g. Apa yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid?
h. Bagaimana pendapat empat imam madzhab tentang taklid?
C. Tujuan Penulisan
a. mengetahui hukum, syarat, dan kebenaran hasil ijtihad.
b. mengetahui pendapat para ulama tentang ijtihad dan cara melakukannya.
c. Mengetahui metode ijtihad dan contoh pemikiran imam empat madzhab.
d. Mengetahui yang dimaksud dengan itiba’ dan taklid, serta pendapat empat imam madzhab
tentang hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad
ِ يق اِإل ْستِ ْنبَا ِط فِي ْال ِكتَا
ب َوال ُّسنَّ ِة ِ ْع فِي نَ ْي ِل ُح ْك ٍم شَرْ ِع ٍّي بِطَ ِر ُ اِإل جْ تِهَا ُد هُ َو ِإ ْستِ ْف َرا
ِ غ ال ُوس
“Ijtihad ialah mencurahkan segala kemampuan dalam mencapai hukum syara’
dengan cara istinbath (menyelidiki dan mengambil kesimpulan hukum yang terkandung)
pada Alquran dan sunah”.[2]
Ijtihad secara bahasa berarti berusaha bersungguh-sungguh. Mengerjakan segala
sesuatu dengan segala keteguhan. Menurut ilmu ushul fiqih, ijtihad identik dengan kata
“istinbath” yang artinya, mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya. Sedangkan menurut
istilah, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijtihad, diantaranya:
Menurut Kasuwi Saiban: ijtihad adalah segala upaya yang dicurahkan ujtahid dalam berbagai
bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya.
Ibrahim Hosen: ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang
terdekat dengan kitab Allah dan sunnah rasul, baik melalui suatu nash maupun melalui
maksud dan tujuan umum hikmah syariah yang disebut mashlahat.
Ahmad Azhar Basyir: ijtihad adalah penggunaan akal fikiran semaksimal mungkin untuk
memperoleh ketentuan hukum syara’.
Jumhur ulama: mengarahkan segenap kemampuan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian tingkat dzani mengenai hukum syara’.
Depag RI: ijtihad adalah mengerahkan semua potensi dan kemampuan semaksimal mungkin
untuk mendapatkan hukum-hukum syariah berdasarkan dalil-dalil syara’.
B. Ruang Lingkup Ijtihad
Sedangkan bagi masalah yang telah ditetapkan oleh dalil sharih (jelas dan tegas)
yang qat’iyyatud wurud (kemunculannya tidak perlu penelitian lebih lanjut) dan qath’iyyatud
dilalah (makna dan ketetapan hukumnya sudah jelas dan tegas), maka tidak ada jalan untuk
diijtihadi. Kita berkewajiban melaksanakan petunjuk nash tersebut. Misalnya jumlah hukum
cambuk seratus kali dalam firman Allah:
èpu‹ÏR#¨“9$# ’ÎT#¨“9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7‰Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB;ot$ù#y_ ... (
ÇËÈ
“Perempuan dan laki-laki yang berzina cambuklah masing-masing dari keduanya seratus
kali.” (Q.S. An-Nur: 2)
C. Hukum Ijtihad
1. Wajib ‘ain, Yaitu bagi seorang mujtahid yang ditanya tentang masalah, sedang masalah
tersebut akan segera hilang (habis) bila tidak segera dijawab/diselesaikan. Demikian pula
wajib ‘ain apabila masalah tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi seseorang mujtahid yang ditanya tentang sesuatu masalah dan tidak
dikhawatirkan habisnya atau hilangnya masalah tersebut, sedang selain dia sendiri masih ada
mujtahid lain. Dalam situasi yang demikian apabila semuanya meninggalkan ijtihad, mereka
berdosa.
3. Sunnat, yaitu ijtihad terhadap sesuatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi baik
dinyatakan atau tidak.
D. Syarat-Syarat Ijtihad
1. Bersifat adil dan takwa.
2. Memahami Al-Quran dan Al-Hadits. Kalau tidak memahami salah satunya, maka ia bukan
mujtahid dan tidak boleh berijtihad. Hal ini menjadi syarat utama, karena ijtihad hanya boleh
dilakukan apabila telah diketahui tidak ada penjelasan dari Al-Quran atau Al-Hadits.
3. Mengetahui hukum-hukum yang ditetapkan oleh Ijma’. Sehingga ia tidak memberikan fatwa
yang berlainan dengan Ijma’, kalau ia berpegang kepada Ijma dan memandangnya sebagai
dalil.
4. Mengetahui serta memahami bahasa Arab. Mujtahid juga harus mengatahui lafadz-lafadz
yang zhahir, mujmal, yang hakikat, yang mahmuz, am, khash, muhkam, mutasyabihat,
mutlaq, muqayad, mantuq, dan mufham. Semua ini perlu untuk memahami Al-Quran dan Al-
Hadits.
5. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqh dan harus menguasai ilmu ini dengan kuat, karena ilmu ini
menjadi dasar dan pokok ijtihad. Hendaknya seorang mujtahid menguasai ilmu usuhl fiqh ini
sehingga sampai kepada kebenaran, dengan demikian ia mudah mengambalikan soal-soal
cabang kepada soal-soal pokoknya.
6. Mengetahui nasikh dan mansukh. Sehingga ia tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil
yang sudah dimansukh.
E. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
Mujtahid mutlak, yaitu yang memiliki syarat-syarat ijtihad dan memberikan fatwa dalam
segala hukum dengan tidak terikat oleh sesuatu madzhab.
mujtahid muntasib, yaitu orang yang mempunyai sarat-syarat ijtihad, tetapi menggabungkan
dirinya kepada sesuatu madzhab karena mengikuti cara-cara yang ditetapkan oleh imam
madzhab tersebut dalam berijtihad.
Madzhab ini didirikan oleh Abu Hanifah yang nama lengkapnya adalah Nu’man bin
Tsabit bin Zuthi. Beliau hidup 52 tahun pada zaman Dinasti Umayyah dan 18 tahun pada
zaman Dinasti Abbasiyyah. Secara politik ia berpihak kepada keluarga ‘Ali (Ahlul Bait) yang
selalu ditindas dan dianiaya oleh Dinasti Umayyah. Beliau dilahirkan di kota
Kufah, Irak pada tahun 80 H. Beliau menolak menjadi hakim atas tawaran Khalifah al-
Manshur pada masa Dinasti Abbasiyah, yang mengakibatkannya dipenjara dan dicambuk.
Akibat penderitaannya dalam penjara beliau meninggal pada tahun 150 H.
Metode ijtihad pokok Abu Hanifah
Al-Qur’an
Sunnah Rasulullah dan atsar yang shahih yang diriwayatkan orangtsiqah.
Ijma sahabat. Apabila yang di carinya tidak di temui pada kedua sumber utama, Imam
Hanafi berpegang kepada ijma' sahabat yaitu ketika ia mendapati semua sahabat mempunyai
pendapat yang sama dalam suatu masalah. Apabila sahabat berbeda pendapat, ia memilih
salah satu pendapat yang paling dekat menurutnya kepada Al-Qur'an dan sunnah dan
meninggalkan pendapat yang lain.
Qiyas. Apabila beliau tidak menemukan hukum di dalam Qur'an, Hadits, dan Ijma' sahabat,
beliau melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas terlebih dahulu.
Istihsan. Bila ada pertimbangan khusus, beliau meniggalkan qiyas dan melakukan istihsan.[3]
Qaul sahabat, apabila ada ikhtilaf, aku akan mengambil pendapat sahabat yang aku
kehendaki dan aku tidak akan berpindah dari pendapat satu ke pendapat sahabat lain.
Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, Sya’bi dan Ibn Musayyab, serta yang lainnya, aku
berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.
'Urf. Metode ijtihad yang terakhir yang di pergunakan oleh Imam Hanafi.
Dengan demikian, metode ijtihad yang digunakannya adalah qiyas dengan menjadikan
kesaksian sebagai ashl dan menjadikan hakim sebagai far’i.
2. MADZHAB MALIKI
Biografi singkat Imam Malik
Nama lengkap Imam Malik adalah Malik bin Anas bin Abi ‘Amar al-Ashbahi. Beliau
di lahirkan di Madinah pada tahun 93 H. Tidak berbeda dengan Abu Hanifah, beliau juga
termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa
pemerintahan Walid bin Malik (setelah Umar bin Abdul Aziz), dan meninggal pada masa
Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada masa Harun al-Rasyid, yaitu pada tahun 179 H. Beliau
merasakan pemerintahan Umayyah selama 40 tahun dan pemerintahan Abbasiyah selama 46
tahun.
Dalam proses Istinbath al-Ahkam Imam Malik menempuh cara sebagai berikut:
1) Mengambil dari al-Qur’an
2) Menggunakan “zhahir” al-Qur’an, yaitu lafadz umum.
3) Menggunakan “dalil” al-Qur’an, yaitu mafhum muwafaqah
4) Menggunakan “mafhum” al-Qur’an yaitu mafhum mukhalafah
5) Menggunakan “tanbih” al-Qur’an, yaitu memperhatikan illat.
Adapun kitab Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Fiqh aliran Madzhab Maliki antara lain
sebagai berikut:
Syarh Tanqih al-Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul dan al-Furuq karya Syihabuddin
Abu al-Abbas Ahmad ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H)
al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam karya Abi Ishaq ibn Musa al-Syathiby.
Ushul al-Futiya karya Muhammad ibn al-Harits al-Husaini (w. 361 H)
Ulama sepakat bahwa adzan shalat dilakukan dua kali-dua kali, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang jumlah jumlah qamat shalat. Menurut Imam Malik, qamat shalat
dilakukan satu kali-satu kali. Ketika ditanya tentang adzan dan qamat yang dilakukan dua
kali-dua kali, imam malik menjawab, “Tidak sampai kepadaku dalil tentang adzan dan
qamat salat,aku hanya mendapatkannya dari amal manusia… qamat shalat dilakukan satu
kali-satu kali. Itulah yang senantiasa dilakukan oleh ulama dinegeri kami. (Ijma’ Ulama
Madinah)
3. MADZHAB SYAFI’I
Biografi singkat Imam Syafi’i
Nama lengkap Imam al-Syafi’i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-Abbas ibn
Utsman ibn Syafi’i ibn al-Sa’ib ibn ‘Ubaid ibn ‘Abd Yazid ibn Hasyim ibn ‘Abd al-Muthallib
ibn Abdul Manaf. Ia dilahirkan di Gazza (suatu daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H,
kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah. Ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H.
Beliau lahir pada zaman Dinasti Abbasiyah, tepatnya pada zaman kekuasaan
Abu Ja’far al-Manshur (137-159 H/ 754-774M). Al-Syafi’i berusia 9 tahun ketika Abu Ja’far
al-Manshur diganti oleh Muhammad al-Mahdi (159-169 H/ 775-785M)
Pendapat-Pendapat
1) Tertib dalam wudhu Orang yang wudunya tidak tertib karena lupa adalah sah Orang yang
wudunya tidak tertib meskipun karena lupa adalah tidak sah
2) Menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu
3) Shalat isya lebih utama dilaksanakan dengan segera (ta’jil) Shalat isya lebih utama
dilaksanakan dengan diakhirkan (ta’khir)
4) Waktu pengeluaran zakat fitrah. Zakat fitrah wajib pada hari idul fitri setelah terbit fajar
(waktu subuh tiba) Zakat fitrah wajib dikeluarkan pada malam hari idul fitri setelah matahari
terbenam (waktu maghrib tiba)
5) Meninggalkan bacaan Fatihah karena lupa Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat
al-Fatihah karena lupa, salatnya adalah sah Seseorang yang shalat dan tidak membaca surat
al-Fatihah karena lupa shalatnya tidak sah, jika yang bersangkutan ingat atau sesudahnya
sebelum berdiri yang kedua, ia kembali berdiri dan membaca al-Fatihah ketika berdiri
tersebut apabila yang bersangkutan baru teringat pada rakaat kedua, maka rakaat tersebut
dianggap sebagai rakaat pertama. Apabila yang bersangkutan baru teringat setelah salam,
maka shalatnya wajib diulangi.
6) Tayammum dengan pasir. Seseorang dibolehkan tayammum dengan pasir Seseorang tidak
dibolehkan tayammum dengan pasir.
4. MADZHAB HANBALI
Metode ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal.
K. TAKLID
Yang dimaksud dengan taklid yaitu: mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
dalil atau alasannya. Kalau kita teliti dari kurang 90% umat Islam di Indonesia barangkali
orang yang mengetahui isi Al-Quran dan Hadits tidak akan lebih dari 10 %. Sedangkan
selebihnya yaitu kurang lebih 80% lagi adalah terdiri dari orang awam. Karena itu kita mesti
berusaha bagaimana caranya agar jumlah mereka (orang awam) ini lama kelamaan menjadi
berkurang karena mau tidak mau orang-orang awam ini hanya bertaklid saja dalam masalah-
masalah agama, sedangkan bertaklid ini pada dasarnya dilarang kecuali dalam keadaan
terpaksa.[5]
Firman Allah:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur‘@ä.
y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu
(pengetahuan) tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu
akan diminta pertanggungjawabannya”(Al-Isra ayat 36)
Kalau taklid terpaksa harus dilakukan, maka hendaknya diperhatikan syarat-syarat
orang yang ditaklidi, indentitasnya, kualitas ilmunya serta kepatuhannya terhadap Al-Quran
dan Sunnah Rasulullah saw. Haram hukumnya taklid kepada orang yang tidak
memperdulikan Al-Quran dan As-Sunah, begitu pula taklid kepada orang yang tidak
diketahui indentitas serta keahliannya dalam syariah Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran dasar tanpa
penjelasan lebih Ianjut mengenai maksud, rincian, cara pelaksanaan dan sebagainya, untuk itu
ayat- ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang mengetahui al-Quran dan hadits,
yaitu pada mulanya sahabat Nabi dan para Ulama. Penjelasan oleh para sahabat Nabi dan
para Ulama itu diberikan melalui ijtihad.[6]
Ijtihad adalah segala upaya yang dilakukan oleh mujtahid dalam menetapkan suatu hal
pada berbagai bidang ilmu, seperti fiqih, teologi, filsafat, tasawuf dan sebagainya yang
dilandasi dengan dalil-dalil syar’i (Al-Quran dan As-Sunnah).
Ijtihad dapat dikatakan sebagai inti dinamika hukum Islam. Kegiatan ijtihad dapat
dilakukan dengan bayani maupun ra’yi. Ijtihad bayani adalah penggalian hukum Islam
dengan menganalisis lafadz-lafadz yang digunakan sebagai dalil, melalui pendekatan
bahasa. Ijtihad al-Ra’yi dilakukan dengan menggunakan akal fikiran, baik dengan
mengqiyaskan, istihsan, istishab, maslahah maupun yang lainnya.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu
kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah
yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib.
Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’
man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.
Dalam realitasnya, tidak semua umat Islam memenuhi syarat untuk berijtihad,
sebagiannya melakukan ittiba, bahkan tidak sedikit yang taqlid, meskipun secara qathi’,
taqlid dalam masalah-masalah yang dapat diketahui dengan akal tidak dibenarkan, demikian
pula taqlid dalam masalah-masalah ibadah khas.
Sebagai hasil ijtihad ada yang disebut ijma, qiyas, dan fatwa. Dikalangan ummat Islam
ada yang beramal dengan talfiq, yakni mengambil yang ringan-ringan tentang hukum sesuatu
dari berbagai madzhab. Jika hal itu dilakukan pada perbuatan yang dapat mengakibatkan
batalnya amal, maka talfiq tidak dibenarkan.
Kaum Muslim menyadari bahwa al-Quran dan hadis tidak akan mampu memecahkan
semua persoalan-persoalan kontroversial, khususnya persoalan hukum perundang-undangan
dan peribadatan. Karena dengan pemerintahan Islam yang terus-menerus meluaskan wilayah,
di mana masing-masing wilayah baru memiliki kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang
sangat berbeda dengan orang-orang Arab pedalaman dan orang-orang yang “menyaksikan
pewahyuan”, maka konflik-konflik dengan mudah muncul antara perintah lama dan yang
baru.[7]
Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa jika seseorang (muslim) mampu
memahami Islam secara jelas, benar dan menyeluruh, maka Islam akan menjadi rahmat bagi
seluruh umat manusia dan alam semesta, Islam menjadi jalan penyelamatan, pembebasan,
perdamaian, ilmu dan kebahagiaan, baik di duniamaupun di akhirat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar, Usman. 1994. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syafi’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Hanafi. 1993. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Basyir, Ahmad Azhar, dkk. 1988. Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan.
Saiban Kasuwi. 2005. Metode Ijtihad Ibnu Rusyd sebuah Solusi Pembentukan Hukum Fiqih
Kontemporer. Malang: Kutub Minar.
Juhdi, Mashfuk. 1981. Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV Hijriyah. Surabaya:
Bina Ilmu.
KHE. Abdurrahman. 1990. Menempatkan Hukum dalam Agama. Bandung: Sinar Baru.
-----------------------1990. Perbandingan Madzhab. Bandung: Sinar Baru.
Yahya, Mukhtar. 1996. Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami. Bandung: Al-Maarif.
Daudi, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. jakarta: Bulan Bintang.
Jahya, H.M. Zurkani. 1998. Teologi Al-Ghazali, Pendekatan Metodologi. Jakarta: CV. Rajawali.
Ma;arif, Ahmad Syafi’i. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia. Bandung: mizan.
Madjid, Nurcholish. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Harun. 1982. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
‘uways, Abd. Halim. 1998. Al-Fiqih al-islami bayn ath Tathwwur wa ats-Tsabit.Terjemahan A.
Zarkasyy Chumaidy dengan judul “Fiqih Statis Dinamis”.Cet.1. bandung: Pustaka Hidayah.