PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selain Al-Qur'an dan Hadis, Ijtihad merupakan sumber ajaran dalam agama
Islam. Ijtihad dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, seperti yang sering tersurat
dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal,
AnNasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Contoh Ijtihad di zaman Rosul
dalam kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa,
dan beliau menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun
mempertanyaakan hal tersebut kepada Rasulallah SAW, kemudian Rasulullah
menjawab pertanyaan beliau dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek
kumur-kumur pada saat berpuasa, sehingga beliau menarik suatu kesimpulan bahwa
puasanya itu tidak batal dan Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya
(HR.Ad-Damiri dari Umar bin Khattab).
Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang
namnya Ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari
buah fikir Nabi merupakan suatu hasil Ijtihad, namun setelah Nabi wafat para
sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika
yang tidak terdapat dalam nas al-qur’an maupun as-sunnah, meskipun sering terjadi
perbedaan pendapat atas permasalahan yang terjadi, akan tetapi sebelum Nabi wafat
beliau pernah bersabda bahwa apapun hasil Ijtihad seseorang, apabila dilakukan
secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (HR. Imam
Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan
Ibnu Majjah).
B. Rumusan Masalah
A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal bahasa Arab “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, Ijtihad berarti mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’)
dari suatu kasus yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW.
Orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid.
C. Hukum Berijtihad
sebagian ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya
seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya
secara jelas dan pasti, maka disini peranan ijtihad dihukumi wajib.
D. Syarat-syarat Berijtihad
Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang mujtahid yaitu3 :
1. memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. memiliki pemahaman tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh
(sejarah) secara mendalam.
3. memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
4. memiliki keluhuran akhlak yang mulia.
Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya: “Dari Amr bin
Ash, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad
dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah,
maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
F. Dasar-dasar ijtihad
Adapun landasan dasar ijtihad adalah4 :
1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-
orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) diantara kamu,
kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah
ia kepada Allah (jiwa Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Jiwa As-Shunnah)....” (Q.S.
An-Nisa : 59).
2. As-Shunnah
As-Shunnah merupakan proses pengambilan hukum setelah Al-Qur’an,
seperti halnya dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi
tantang proses pengambilan hukum yang tidak terdapat dalam nash al-qur’an
maupun as-shunnah.
3. Dalil Aqly (Rasio)
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya
sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang
pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi
mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan
tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.
J. Tingkatan Mujtahid
Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan. Empat
tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam
11 kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid. Di bawah ini diuraikan
masing masing tingkatan itu secara berurutan serta kedudukannya dalam fatwa,
yaitu 7 :
1. Mujtahid Mustaqil
Tingkatan pertama adalah Mujtahid Mustaqil (independen, mandiri).
Untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad
yang telah disebutkan. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas
mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah, melakukan
qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menetapkan dalil
istihsan dan berpendapat dengan dasar Saddudz Dzara’i.
2. Mujtahid Muntasib
Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang
(furu’), meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.
3. Mujtahid Madzhab
Menurut Madzhab Maliky, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid
madzhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan ‘illat-‘illat fiqhy yang
telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum
dijumpai di masa lampau. Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak melakukan
ijtihad terhadap masalah masalah yang telah ada ketetapannya di dalam
madzhabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal istinbath ulama
terdahulu (sabiqun) didasarkan pada pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi
dengan tradisi dan kondisi masyarakat dari ulama mutaakhkhirin. Sekiranya
ulama sabiqun itu menyaksikan 7 Zahrah , Abu Muhammad. 2000. Ushul al-
Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus 12 kenyataan yang disaksikan ulama sekarang,
niscaya kan mencabut pendapatnya itu.
Fungsi dan peranan mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal:
a. Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam
pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum yang
merumuskan dari ‘illat-‘illat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar
tersebut.
b. Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan
kaedahkaedah tersebut. Tingkatan inilah yang melahirkan “al-Fiqh al-
Madzhaby” (aliran fiqh) dan meletakkan asas-asas bagi perkembangan
madzhab-madzhab, serta mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru
berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhabmadzhab tersebut.
4. Mujtahid Murajjih
Mereka tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukumj furu’ yang
belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui
hukumhukumnya.
Yang mereka lakukan hanyalah mentarjih (menggunggulkan) di antara
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamn dengan alat tarjih yang telah
dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya.
5. Mujtahid Muwazin
Tingkatan kelima yang disebutkan oleh Ibnu Abidin adalah tingkatan
mujtahid Muwazin, yang membanding-bandingkan antara beberapa pendapat
dan riwayat. Yang mereka lakukan, misalnya, menetapkan bahwa qiyas yang
dipakai dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas
padapendapat lain. Atau, pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat
dalilnya
6. Tingkatan Muhafizh
Tingkatan muhafizh tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka
mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu.
Tambahan
Pertanyaan dari beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Apakah ijtihad bisa dilakukan siapa saja?
2. Bagaimana hukum dalam berijtihad?
3. Apa saja syarat-syarat dala berijtihad?
4. Jelaskan kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum islam?
5. Apa saja fungsi ijtihad utamanya dalam perkembangannya?
Dosen pengampu :
DR.H. Rusdin Muhalling. M.EI
2021