Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selain Al-Qur'an dan Hadis, Ijtihad merupakan sumber ajaran dalam agama
Islam. Ijtihad dimulai sejak zaman Rasulullah SAW, seperti yang sering tersurat
dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal,
AnNasa’I, Imam Abu Dawud, dan Ibnu Majjah. Contoh Ijtihad di zaman Rosul
dalam kasus pada Umar bin Khattab yang mencium isterinya pada saat berpuasa,
dan beliau menganggap puasanya itu telah batal, kemudian beliaupun
mempertanyaakan hal tersebut kepada Rasulallah SAW, kemudian Rasulullah
menjawab pertanyaan beliau dengan mengqiyaskan hal tersebut dengan praktek
kumur-kumur pada saat berpuasa, sehingga beliau menarik suatu kesimpulan bahwa
puasanya itu tidak batal dan Rasulullah pun menyuruh beliau meneruskan puasanya
(HR.Ad-Damiri dari Umar bin Khattab).
Dari kasus seperti ini berarti pada masa Rasulullah telah diberlakukan yang
namnya Ijtihad, adapula yang berpendapat bahwa strategi perang yang muncul dari
buah fikir Nabi merupakan suatu hasil Ijtihad, namun setelah Nabi wafat para
sahabatlah yang memilki peran untuk berijtihad saat terjadi sebuah problematika
yang tidak terdapat dalam nas al-qur’an maupun as-sunnah, meskipun sering terjadi
perbedaan pendapat atas permasalahan yang terjadi, akan tetapi sebelum Nabi wafat
beliau pernah bersabda bahwa apapun hasil Ijtihad seseorang, apabila dilakukan
secara maksimal itu akan mendapatkan pahala dari Allah SWT (HR. Imam
Bukhori, Imam Muslim, Ahmad bin Hambal, An-Nasa’I, Imam Abu Dawud, dan
Ibnu Majjah).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam makalah


ini adalah sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan Ijtihad?
2. Bagaimana perkembangan Ijtihad?
3. Bagaimana hukum berijtihad?
4. Apa saja syarat-syarat berijtihad?
5. Bagaimana kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam?
6. Apa saja dasar-dasar Ijtihad?
7. Apa saja bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam?
8. Apa saja macam-macam Ijtihad?
9. Apa pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya?
10. Bagaimana tingkatan Mujtahid? 11. Apa saja persoalan Ijtihad?
12. Apa saja sebab-sebab Ijtihad ditutup?
13. Bagaimana perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat, tabi’in
dan pasca tabi’in?

C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan


dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad.
2. Untuk mengetahui perkembangan Ijtihad.
3. Untuk mengetahui hukum berijtihad.
4. Untuk mengetahui syarat-syarat berijtihad.
5. Untuk mengetahui kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
6. Untuk mengetahui dasar-dasar Ijtihad.
7. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam.
8. Untuk mengetahui macam-macam Ijtihad.
9. Untuk mengetahui pengertian Mujtahid dan syarat-syaratnya.
10. Untuk mengetahui tingkatan Mujtahid.
11. Untuk mengetahui persoalan Ijtihad.
12. Untuk mengetahui sebab-sebab Ijtihad ditutup.
13. Untuk mengetahui perbedaan metode Ijtihad pada masa Rosulallah, sahabat,
tabi’in dan pasca tabi’in.
BAB II
IJTIHAD DAN PERKEMBANGANNYA

A. Pengertian Ijtihad
Kata Ijtihad berasal bahasa Arab “ijtahada-yajtahidu-ijtihadan” yang berarti
mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau
bekerja secara optimal. Secara istilah, Ijtihad berarti mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’)
dari suatu kasus yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW.
Orang yang melakukan ijtihad dinamakan Mujtahid.

Adapun pengertian Ijtihad menurut para ahli diantaranya, yaitu :


1. Menurut Abu Zahrah, Ijtihad bermakna pengarahan kemampuan seorang ahli
fiqh akan kemampuannya dalam upaya mengistinbatkan hukum yang
berhubungan dengan amal perbuatan dari satu persatu dalilnya.
2. Ijitihad menurut Hanafi adalah mencurahkan tenaga (memeras pikiran) untuk
menemukan hukum agama (Syara') melalui salah satu dalil syara' dan dengan
cara-cara tertentu.
3. Pengertian Ijtihad Menurut Yusuf Qardlawi adalah mencurahkan semua
kemampuan dalam segala perbuatan. Penggunaan kata ijtihad hanya terhadap
masalah-masalah penting yang memerlukan banyak perhatian dan tenaga.
4. Menurut Al-Amidi, Pengertian Ijtihad ialah mencurahkan semua kemampuan
untuk mencari hukum syara' yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak
mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
5. Imam al-Gazali mengungkapkan, Pengertian Ijtihad merupakan upaya
maksimal seorang mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-
hukum syarak.
6. Menurut para sahabat pengertian Ijtihad adalah penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul, baik
melalui suatu nash, yang disebut "qiyas" (ma'qul nash) maupun melalui
maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut "maslahat".
7. Pengertian Ijtihad menurut Mayoritas Ulama Ushul ialah pengerahan segenap
kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid
8. Adapun Minoritas Ulama Ushul, Pengertian Ijtihad adalah pengerahan segala
kekuatan untuk mencari hukum sesuatu peristiwa dalam nash Al-quran dan
Hadits shahih.
B. Perkembangan Ijtihad
Permulaan diberlakukannya ijtihad ini menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan
ulama, apakah ijtihad itu dimulai pada masa Nabi masih hidup ataukan pada masa
sahabat, bila kita menganalisis beberapa pendapat para ulama2 :
1. Menurut Jumhurul Ulama; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen
pada firman Allah Swt yang berbunyi: Artinya: “ ....... Maka ambil i'tibarlah
hai orang-orang yang mempunyai pandangan” (Q.S. Al-Hasr; 2). 2 M.Ali
Hasan, 1995. Perbandingan Mazhab. Adapula dari hadits Nabi yang
mengatakan Nabi pernah berijtihad dalam kasus strategi perang, hukum
mencium isteri pada saat berpuasa diqiyaskan kepada hukum berkumur-kumur
pada saat berpuasa (studi kasus Umar Bin Khattab).
2. Golongan aliran kalam Asyariyah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa Nabi
tidak pernah melakukan Ijtihad dan semua pernyataanya itu sesuai dengan
wahyu dengan argumen :
a. Firman Allah Q.S.An-najm; 3-4 yang artinya yaitu: "dan tiada ia berbicara
dari hawa nafsunya, tetapi tidak lain dari wahyu yang diwahyukan" (segala
yang diucapkan nabi adalah wahyu)
b. Nabi selalu menemukan ketentuan suatu hukum dari wahyu Allah jika
sudah turun, dan jika belum turun, beliau tidak berani untuk memutuskan
suatu masalah hingga wahyu diturunkan.
c. Nabi tidak memberi jawaban ketika pertanyaan itu ayatnya belum turun.
d. Ijtihad adalah buah karya akal yang kemungkinan sekali untuk menemui
kesalahan, sedangkan Nabi sendiri memiliki sifat ma'shum.
e. Ijtihad boleh berlaku jika nash-nya tidak ada dalam al-qur'an maupun
asshunnah, selagi Nabi masih hidup maka semua problematika bisa
ditanyakan kepadanya, dan hukum ijtihad di sini dilarang selama Nabi
masih hidup.
f. Sebagian ulama berpendapat mengenai kedua pendapat diatas dengan
pernyataan bahwa nabi hanya berijtihad dalam masalah duniawi saja, tidak
kepada hukum syara'.

C. Hukum Berijtihad
sebagian ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya
seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya
secara jelas dan pasti, maka disini peranan ijtihad dihukumi wajib.
D. Syarat-syarat Berijtihad
Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang mujtahid yaitu3 :
1. memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
2. memiliki pemahaman tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh
(sejarah) secara mendalam.
3. memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
4. memiliki keluhuran akhlak yang mulia.

E. Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Hukum Islam

Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an


dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan hukumnya tidak ditemukan
dalam alQur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad
tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan
sabda Rasulullah saw yang Artinya: “Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad
Saw ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan
memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya
akan memutuskan menurut Kitabullah (al-Qur’an). ”Lalu Nabi berkata, “Dan jika
di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz
menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.”
Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu
di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan
akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.”Kemudian, Nabi
bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan
Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)

Rasulullah Saw juga mengatakan bahwa seorang yang berijtihad "sesuai


dengan kemampuan dan ilmunya", kemudian ijtihadnya benar, maka ia akan
mendapatkan dua pahala, dan jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia akan
mendapatkan satu pahala.

Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis yang artinya: “Dari Amr bin
Ash, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad
dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia
mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah,
maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

F. Dasar-dasar ijtihad
Adapun landasan dasar ijtihad adalah4 :
1. Al-Qur’an
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan Rasul-Nya, dan orang-
orang yang memegang kekuasaan (Ulil Amri) diantara kamu,
kemudian bila kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah
ia kepada Allah (jiwa Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Jiwa As-Shunnah)....” (Q.S.
An-Nisa : 59).
2. As-Shunnah
As-Shunnah merupakan proses pengambilan hukum setelah Al-Qur’an,
seperti halnya dialog yang terjadi antara sahabat Mu’adz bin Jabal dengan nabi
tantang proses pengambilan hukum yang tidak terdapat dalam nash al-qur’an
maupun as-shunnah.
3. Dalil Aqly (Rasio)
Sebagaimana yang diketahui bahwa Al-qur’an yang diturunkan itu hanya
sebatas kepada Nabi, sehingga setelah beliau wafat, tapi atas peristiwa yang
pernah terjadi kepada Mu’adz bin Jabal dan kemudian dilegitimasi oleh nabi
mengisyaratkan bahwa peranan rasio dalam ijtihad sangat urgen. Dengan catatan
tetap berpegang teguh pada Al-qur’an dan as-shunnah.

G. Bentuk-bentuk Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam


Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum
terbagi ke dalam beberapa bagian, seperti berikut.
1. Ijma
’ Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan
suatu perkara atau hukum.Contoh ijma’ di masa sahabat nabi adalah
kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-
lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita
saksikan sekarang ini.
2. Qiyas
Qiyas berarti mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak
tercantum dalam al-Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya
dalam al-Qur’an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya. Contoh
qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamr seperti
brendy, vodka, wisky, topi miring, dan narkoba karena memiliki kesamaan
sifat dan karakter dengan khamr, yaitu memabukkan.
3. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah artinya penetapan hukum yang menitikberatkan pada
kemanfaatan suatu perbuatan dan tujuan hakiki-universal terhadap syari’at
Islam.Misalkan seseorang wajib mengganti atau membayar atas kerugian
kepada pemilik barang karena kerusakan di luar kesepakatan yang telah
ditetapkan.
H. Macam-macam ijtihad
Ada beberapa sudut pandang yang juga berbeda mengenai macam-macam
ijtihad, diantaranya5 :
1. Karya ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman ada tiga macam,
yaitu:
a. Ijtihad bayani, yaitu ijtihad untuk menemukan dan memilih hukum yang
terkandung dalam nash (Al-Qurán dan Hadits) dikarenakan adanya definisi
implisit yang berbeda dalam nash.
b. Ijtihad qiyasi, yaitu ijtihad untuk menggali dan menetapkan hukum atas
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash,
juga tidak ada ijma’ sebelumnya.
c. Ijtihad istilahi, yaitu ijtihad untuk menggali, menemukan, dan
merumuskan hukum yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam
nash, juga tidak ada ijma’ sebelumnya.
2. Dari sisi hasil yang dicapai, Al-Syatibi membagi ijtihad dalam dua bentuk,
yaitu:
a. Ijtihad mu’tabar, yaitu ijtihad yang dapat dipandang sebagai penemuan
hukum. Umumnya merupakan ijtihad yang dihasilkan oleh satu atau lebih
pakar.
b. Ijtihad ghairu mu’tabar, yaitu ijtihad yang tidak dapat dipandang sebagai
cara dalam menemukan hukum. Ijtihad dalam bentuk ini dilakukan oleh
orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad
berdasarkan syarat yang ditentukan dan disepakati.
3. Dilihat dari sisi pelaksanaannya, ijtihad memiliki dua bentuk, yaitu:
a. Ijtihad fardi atau ijtihad perorangan, yaitu ijtihad yang pelakunya hanya
satu orang. Ijtihad ini bisa dilakukan oleh setiap muslim jika masalah yang
menjadi objek ijtihad bersifat sederhana dan terjadi di tengah masyarakat
yang sederhana.
b. Ijtihad jama-i atau ijtihad kolektif, yaitu ijtihad yang dilakukan bersama-
sama. Misalnya, untuk menentukan hukum tentang “bayi tabung”.

I. Mujtahid dan Syarat-syaratnya


Mujtahid ialah orang yang berijtihad. Membicarakan syarat-syarat mujtahid
berarti juga membicarakan syarat-syarat ijtihad. Imam al Ghazali menyatakan
mujtahid mempunyai dua syarat :
1. Mengetahui dan menguasai ilmu syara, mampu melihat yang zhanni di dalam
halhal yang syara dan mendahulukan yang wajib.
2. Adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila
mempunyai dua sifat:
1. Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan sepenuhnya, sempurna dan
menyeluruh.
2. Mampu melakukan istimbath berdasarkan faham dan pengertian terhadap
tujuantujuan syari`at tersebut.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili mujtahid mempunyai dua syarat, yaitu : Satria
Efendi. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana 10
1. Mengetahui apa yang ada pada Tuhan, mengetahui/percaya adanya Rasul dan
apa yang dibawanya, juga mukjizat-mukjizat ayat-ayat-Nya.
2. Hendaknya seorang yang pandai (`alim) dan bijaksana (arif) tentang
keseluruhan hukum-hukum syari`at dan pembagian-pembagiannya, jalan-jalan
menetapkannya, segi-segi dalil atas yang didalilinya, perbedaan-perbedaan
tingkatnya, syarat-syarat yang tepat untuk itu dan tahu arah pentarjihannya
ketika terdapat kontradiksi di dalamnya dan tahu pula cara menghasilkan
daripadanya, mampu pula membebaskan maupun menetapkan dan tahu pula
memisahkan keberatan-keberatan yang terdapat di dalamnya.
3. Mengetahui nasih dan mansuh, baik yang terdapat dalam al Qur`an maupun
Sunnah, agar tidak keliru berpegang kepada yang mansuh yang sudah
ditinggalkan padahal ada nasihnya, sehingga menyebabkan ijtihadnya batal.
4. Mengetahui masalah-masalah ijma` dan kedudukan-kedudukannya, sehingga
fatwanya tidak bertentangan dengan ijma` itu.
5. Mengetahui segi-segi dan syarat qiyas yang mutabaroh dan `illat hukum serta
jalan istimbath qiyas terhadap nash-nash, kemaslahatan-kemaslahatan manusia,
dan pokok-pokok syari`at yang umum, menyeluruh, sebab qiyas itu kaidah
ijtihad dan di dalamnya banyak terdiri dari hukum-hukum tafsili (terperinci).
6. Mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, nahwu, shorof, ma`ani, bayan, dan
uslubuslub.
7. Alim dalam ilmu ushul fiqh.
8. Memahami tujuan-tujuan syari`at yang umum dalam meletakkan hukum-hukum.

J. Tingkatan Mujtahid
Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan. Empat
tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke dalam
11 kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid. Di bawah ini diuraikan
masing masing tingkatan itu secara berurutan serta kedudukannya dalam fatwa,
yaitu 7 :
1. Mujtahid Mustaqil
Tingkatan pertama adalah Mujtahid Mustaqil (independen, mandiri).
Untuk mencapai tingkatan ini, harus dipenuhi seluruh persyaratan ijtihad
yang telah disebutkan. Ulama pada tingkatan inilah yang mempunyai otoritas
mengkaji ketetapan hukum langsung dari al-Quran dan Sunnah, melakukan
qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, menetapkan dalil
istihsan dan berpendapat dengan dasar Saddudz Dzara’i.

2. Mujtahid Muntasib
Mereka adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang
(furu’), meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan
yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya.

3. Mujtahid Madzhab
Menurut Madzhab Maliky, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid
madzhab. Tugas mereka dalam ijtihad adalah menerapkan ‘illat-‘illat fiqhy yang
telah digali oleh para pendahulunya terhadap masalah-masalah yang belum
dijumpai di masa lampau. Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak melakukan
ijtihad terhadap masalah masalah yang telah ada ketetapannya di dalam
madzhabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal istinbath ulama
terdahulu (sabiqun) didasarkan pada pertimbangan yang sudah tidak relevan lagi
dengan tradisi dan kondisi masyarakat dari ulama mutaakhkhirin. Sekiranya
ulama sabiqun itu menyaksikan 7 Zahrah , Abu Muhammad. 2000. Ushul al-
Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus 12 kenyataan yang disaksikan ulama sekarang,
niscaya kan mencabut pendapatnya itu.
Fungsi dan peranan mujtahid madzhab pada hakekatnya meliputi dua hal:
a. Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah dipakai para imam
pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum yang
merumuskan dari ‘illat-‘illat qiyas yang telah digali oleh imam-imam besar
tersebut.
b. Menggali hukum-hukum yang belum ada ketetapannya berdasarkan
kaedahkaedah tersebut. Tingkatan inilah yang melahirkan “al-Fiqh al-
Madzhaby” (aliran fiqh) dan meletakkan asas-asas bagi perkembangan
madzhab-madzhab, serta mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum baru
berdasarkan prinsip-prinsip dari madzhabmadzhab tersebut.

4. Mujtahid Murajjih
Mereka tidak melakukan istinbath terhadap hukum-hukumj furu’ yang
belum sempat ditetapkan oleh ulama terdahulu dan belum diketahui
hukumhukumnya.
Yang mereka lakukan hanyalah mentarjih (menggunggulkan) di antara
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamn dengan alat tarjih yang telah
dirumuskan oleh mujtahid pada tingkatan di atasnya.

5. Mujtahid Muwazin
Tingkatan kelima yang disebutkan oleh Ibnu Abidin adalah tingkatan
mujtahid Muwazin, yang membanding-bandingkan antara beberapa pendapat
dan riwayat. Yang mereka lakukan, misalnya, menetapkan bahwa qiyas yang
dipakai dalam pendapat ini lebih mengena dibanding penggunaan qiyas
padapendapat lain. Atau, pendapat ini lebih shahih riwayatnya atau lebih kuat
dalilnya

6. Tingkatan Muhafizh
Tingkatan muhafizh tergolong tingkatan muqallid, hanya saja mereka
mempunyai hujjah dengan mengetahui hasil tarjih ulama terdahulu.

K. Beberapa Persoalan Ijtihad


1. Kekosongan Mujtahid
Al-Zarkasy berpendapat dalam kitabnya Al-Bahr; bahwa ada suatu masa
kekosongan Mujtahid (Mujtahid Muthlaq sekaliber Imam Madzhab) karena
setiap zaman tidak memilki kualitas Mujtahid sekaliber beliau.
2. Metode Ijtihad
Beberapa metode Ijtihad , yaitu:
a. Istihsan
b. Maslahah Mursalah
c. Istishhab
d. 'Adat/U'rf
e. Madzhab Shahabi (Fatwa sahabat secara perorangan)
f. Syar'u Man Qoblina (Syari'at sebelum kita) Metode Ijtihad yang ditempuh
oleh Imam madzhab
3. Fungsi dan Lapangan Ijtihad
Imam Syafi'i penyusun pertama Ushul Fiqh dalam kitabnya Al-Risalah
ketika menggambarkan betapa sempurnanya Al-qur'an, dan beliau yakin bahwa
semua permasalahan yang terjadi itu dapat di jawab oleh al-qur'an, dan dalam
hal ini diperlukan peranan ijtihad untuk memahaminya. Yang jelas bahwa
lapangan ijtihad adalah problematika yang hukum tidak dijelaskan dalam Al-
qur'an ataupun adanya ketidak pastian(dilalah).
Masalah dalam lapangan ijtihad :
a. Masalah Aqliyyah atau Nazhariyyah (Aqidah)
b. Masalah Syar'iyyah.
4. Kebenaran hasil Ijtihad
Ketetapan hukum yang daimbil oleh mujtahid semata-mata adalah hukum
Allah sesuai dengan Q.S.Al-An'am; 57 yang berbunyi: Maksudnya bahwa
hukum yang dapat dicapai oleh mujtahid adalah hukum Allah dalam lisan
mujtahid. Karena mujtahid menginterpretasiakan ayat-ayat yang dinggap
memilki sifat multi interpretasi.
5. Kekuatan Hasil Ijtihad
Hasil yang dapat dicapai oleh seorang Mujtahid bersifat Zhanni, hanya
merupakan dugaan yang kuat yang dicapai dari hasl ijtihadnya.
Setelah periode ijtihad dan masa keemasan fiqh islam berakhir dunia ijtihad
mengalami kemunduran yang disebabkan masing-masing madzhab yang sudah
terbentuk melegitimasi pendapatnya, dan mengklaim bahwa pendapatnyalah
yang paling benar.

L. Sebab-sebab pintu ijtihad ditutup


Adapun sebab-sebab Ijtihad ditutup adalah:
1. Truth Claim yang terjadi dikalangan mujtahid pada masa itu yang
melegitimasi konklusi yang dikeluarkan adalah yang paling benar.
2. Ijtihad yang dilakukan terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih
mengedepankan rasio, sedangkan yang namnya ijtihad itu harus diimbangi
oleh literature Al-qur’an dan As-shunnah (ketakutan para mujtahid keluar dari
jalur Al-qur’an dan As-Shunnah dalam mencari problem solver).

M. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan


pasca tabi’in
Beberapa Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in
dan pasca tabi’in, yaitu:
1. Ijtihad pada masa Rasulullah
Ketika Rasulullah di hadapkan tawanan perang Badar. Rasulullah
meminta pendapat para sahabat, hukuman apa yang pantas di ganjar pada
mereka. Muncul beberapa pendapat dari sahabat. Abu Bakar sebagai sahabat
yang paling bersahaja, berpendapat agar mereka di biarkan hidup dengan di
bebani pajak keamanan. Abu Bakar berharap mereka mau bertaubat
sehingga dapat menunjang kekuatan kaum muslimin dalam melawan
kekufuran.
Umar 9 Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in an’ Rabb
al-‘Alamin, juz 1, (hlm. 85-86) 10Rahman, Dahlan. 2010. Ushul Fiqih.
Jakarta. Amzah (hlm. 341) 18 berpandangan bahwa paratawanan adalah
orang-orang yang yang memusuhi islam dan Rasulullah karena itu, sebagai
imbalannya mereka harus di bunuh.
2. Ijtihad Pada Masa Sahabat
Periode para sahabat, di kenal dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran
terhadap sumber hukum islam, lantaran banyak muncul kasuskasus baru yang
belum terjadi di masa Rasulullah SAW. Untuk memberikan kejelasan hukum,
para sahabat memberi fatwa atau keputusan dengan cara menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadist, sekalipun yang menjadi sumber tetap adalah Al-Qur’an
dan Hadist
3. Ijtihad Pada Masa Tabi’in
a. Kalangan Ahli Al-Hadist
Mereka hanya melakukan penyelesaiyan kasus-kasus riel yang sedang
terjadi di tengah-tengah masyarakat, tanpa memproyeksikan problem yang
belum pernah terjadi untuk di carikan status hukumnya, sehingga pada masa
tabi’in ini (generasi sepeninggalan sahabat), ijtihad terus berlangsung.
b. Kalangan Ahlu Al Ra’yi
Dalam metode ijtihad, mereka selalu menggunakan teori istishlah dan
teori qiyas dengan patokan dan aturan yang sangat jelas, hanya saja belum
sampai di bukukan,baik metode ijtihadnya dalam bentuk ilmu ushul- fiqih
maupun hasil ijtihadnya dalam bentuk fiqih.
c. Ijtihad pasca imam-imam mazhab
Pada periode ini disebut periode taqlid, karena para ulama telah lemah
semangatnya,mereka lemah kembali kepada hukum tasyri’ yang asasi guna
menarik hukum nash Al Qur’an dan Al Sunnah dan lemah semangatnya untuk
menginstinbatkan hukum yang tidak ada nashnya, dengan salah satu dalil
syara’.
ada empat faktor yang menyebabkannya:
1) Daulah islamiyah terbagi bagi dalam sejumlah kerajaan, dimana para
rajanya, penguasanya, dan rakyatnya saling bermusuhan.
2) Para imam-imam mujtahid terbagi bagi menjadi beberapa golongan.
3) Umat islam aga’ mengabaikan prosedur pembuatan dan pengaturan
perundang undangan.
4) Para ulama’ banyak yang menderita penyakit moral, yang menghalangi
mereka untuk menjadi mujtahid.
Al-Gazali mengungkapkan kesetujuannya terhadap golongan yang
menggabungkan antara wahyu dengan akal sebagai dasar penting dalam
membahas sesuatu. Ketika Al-Gazali membahas dalil-dalil pokok (yang utama)
untuk ijma’ ia menempuh tiga jalan.sebagai berikut.
1) Berpegang pada Al Qur’an
2) Berpegang pada pendapat Rasulullah SAW, bahwa umat tidak akan
bersepakat pada kesalahan (kesesatan),
3) Berpegang teguh pada ma’nawi.
BAB III
SIMPULAN

Berdasarkan beberapa tujuan dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan


sebagai berikut.
1. Ijtihad merupakan pencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-
sungguh dalam menetapkan suatu hukum Islam (syara’) dari suatu kasus yang
tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosulullah SAW.
2. Permulaan diberlakukannya ijtihad menjadi sebuah ikhtilaf dikalangan ulama,
menurut Jumhurul Ulama; ijtihad dimulai pada masa Nabi dengan argumen
pada firman Allah Swt Q.S. Al-Hasr; 2.
3. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum ijtihad adalah wajib artinya
seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hukum syara' ketika hal-hal yang berkaitan dengan syara' tidak menetapkannya
secara jelas dan pasti.
4. Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam sangat bergantung pada kecakapan dan
keahlian para mujtahid, diantara syaratnya yaitu memiliki ilmu pengetahuan
yang luas dan mendalam.
5. Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an
dan hadis, sehingga hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis.
6. Adapun landasan dasar ijtihad yaitu al-qur’an, as-sunnah dan dalil aqly/ rasio.
7. Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum
terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu ijma’, qiyas, dan maslahah mursalah.
8. Macam-macam Ijtihad dilihat dari segi dalil yang dijadikan pedoman yaitu,
ijtihad bayani, qiyasi dan istilahi. Dari sisi hasil yang dicapai ada Ijtihad yang
mu’tabar dan ijtihad yang ghairu mu’tabar. Dilihat dari sisi pelaksanaannya
yaitu ijtihad fardhi/perorangan atau jama’i/kolektif.
9. Mujtahid ialah orang yang berijtihad, syaratnya yaitu adil dan mengetahui dan
menguasai ilmu syara’.
10. Ulama ahli Ushul Fiqh membagi ahli fiqh kepada tujuh tingkatan. Empat
tingkatan pertama tergolong mujtahid. Tiga tingkatan berikutnya masuk ke
dalam kategori muqallid, belum mencapai derajat mujtahid.
11. Beberapa persoalan ijtihad yaitu, kekosongan mujtahid, metode ijtihad, fungsi
dan lapangan ijtihad, kebenaran hasil Ijtihad, dan kekuatan hasil Ijtihad.
12. Sebab-sebab Ijtihad ditutup adalah Truth claim dan Ijtihad yang dilakukan
terhegemoni oleh buku-buku filsafat Yunani yang lebih mengedepankan
rasio.
13. Perbedaan metode ijtihad pada masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in dan pasca
tabi’in, yaitu di masa Rosul “Sesungguhnya orang yang menyangka nabi
berijtihad, sesungguhnya ijtihad boleh para nabi jika tidak ada wahyu pada para
nabi dalam masalah yang terjadi di masanya.” Periode para sahabat, di kenal
dengan sebutan priode fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam,
lantaran banyak muncul kasus-kasus baru yang belum terjadi di masa
Rasulullah SAW. Periode tabi’in tebagi kedalam kalangan ahli hadis, kalangan
ahli ra’yi dan kalangan pasca imam-imam madzhab.

 Tambahan
 Pertanyaan dari beberapa kelompok sebagai berikut:
1. Apakah ijtihad bisa dilakukan siapa saja?
2. Bagaimana hukum dalam berijtihad?
3. Apa saja syarat-syarat dala berijtihad?
4. Jelaskan kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum islam?
5. Apa saja fungsi ijtihad utamanya dalam perkembangannya?

 Jawaban dari kelompok kami:


1. Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarangan orang, kecuali orang tersebut telah
memenuhi syarat-syarat dalam berijtihad serta telah mengetauhi dalil-dalil atau
ahli dalam al-quraan terkait dengan hadist
2. Sebagian ulama mengatakan bahwa hokum dala berijtihad adalah wajib artinya
seorang mujtahid wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan
hokum syara ketika hal- hal yang berkaitan dengan syara tidak menetapkannya
secara jelas dn pasti, maka disini peranan ijtihad du hukumi wajib.
3. Syarat- syarat dalam berijtihad yaitu
 Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
 Memiliki pemahaman tentang bahasa arab, ilmu tafsir, ushul fikih dan
tarikh (sejarah) secara mendalam.
 Memahami cara merumuskan hokum (istinbat).
 Memiliki keluhuran akhlak yang mulia.
4. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan hukumnya tidak ditemukan dala al-quran
dan haidst. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh
bertentangan dengan al-quran maupun hadist. Oleh sebab itu ijtihad memiliki
kedudukan sebagai hokum islam setelah al-quran dan hadist.
5. Dalam perkambagan zaman ijtihad sangatlah diperlukan untuk menentukan dasar
hukum yang tidak ditemukan dalam al-quran dan hadist contoh seperti dalam
proses penenntuan 1 ramadhan dan 1 syawal, dimana dalam al-quran maupun
hadist tidak dituliskan kapan penentuan 1 ramadhan dan 1 syawal oleh karena itu,
para ulama menijtihadkan berdasarkan hukum islam untuk menentukan dan
menetapkan 1 syawal.
MAKALAH
IJTIHAD DAN PERKEMBANGANNYA

Dosen pengampu :
DR.H. Rusdin Muhalling. M.EI

Disusun oleh Kelompok 8


Anggota:
1. Rami ( 2021050102070 )
2. Nur Fadillatul Ilmi ( 2021050102055)
3. Riko Pratama ( 2021050102057)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

2021

Anda mungkin juga menyukai