“Bahasa Indonesia”
Dosen Pengampu:
Indah Eftanastarini
TAHUN 2019M/1441H
WALI DARI GARIS IBU DALAM AKAD NIKAH PERSPEKTIF ULAMA
FIQIH DAN KOMPLIKASI HUKUM ISLAM
ABSTRAK
Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang sakral. Oleh sebab itu, institusi perkawinan
harus dihormati, dilaksanakan dan dilstarikan oleh kaum muslimin sebagai bentuk perbuatan rasa
cinta umatnya terhadap sunnah nabi Muhammad SAW. Sebagai institusi yang sakral, perkawinan
dalam ajaran islam sangat erat dengan aturan-aturan syari’at yang sudah baku, yang terdiri dari
syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh rasullulah SAW yang harus di ikuti dan
dipedomani oleh setiap umatnya.
Mengenai perwalian ulama Hanafiyah berbeda dengan ulama fiqh yang lainnya karena
dalam permasalahan walinikah Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanbaliyah memiliki persepsi
menyatakan wali harus Laki-laki dalam akad pernikahan dan sebaliknya Hanafiyah wali tidaklah
menjadi rukun dalam suatu akad nikah, dan kerabat yang bukan ashobah memiliki hak perwalian
untuk mengawinkan manakala tidak ada kerabat ashobah, maka hak perwaliannya bisa digantikan
dari wali garis ibu yakni bapak nya ibu, bapak nya nenek dari bapak.
Berdasarkan pernyataan diatas, maka kajian terhadap wali garis ibu dalam akad nikah
menjadi menarik dan sangat penting, hal ini dikarenakan masih adanya perbedaan pendapat para
ulama Fiqh, tentang masalah wali dan pernikahan. Dalam hal ini, penulis ingin mengkaji lebih
dalam tentang wali garis ibu dalam akad nikah perspektif ulama fiqh dan Kompilasi Hukum Islam.
Peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian Kualitatif, yaitu peneletian yang berusaha
mengungkapkan dengan berusaha mengungkapkan dengan cara mendiskripsikannya melalui
bahasa dalam konteks dan paradigma ilmiah, diperpustakaan dimana objek penelitiannya biasanya
digali lewat beragam informasi kepustakaan.
Berdasarkan study analisa Hukum Islam (pendapat ulama fiqh) dan peraturan
perundang undangan perkawinan di Indonesia, dalam penjelasan tentang pengertian wali
menunjukan bahwa status wali, khususnya dalam pernikahan di Indonesia telah final, yaitu adalah
rukun dalam akad perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki uyang
memenuhi syrat hukum Islam yakni : Muslim, Aqil dan baliqh, serta apabila wali nashab garis
bapak sudah tidak ada maka hak perwaliannya berpindah kepada wali hakim.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan satu-satunya cara yang
dibenarkan Agama Islam untuk menghalalkan hubungan suami istri, hal ini
dibutuhkan oleh semua manusia karena dengan perkawinan itu dapat berlangsung
ataupun ikatan batin saja. Melainkan harus keduanya. Suatu ikatan lahir ialah
ikatan yang dapat dilihat, menggunakan adanya hubungan antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut hubungan
Formil.
mencintai dan kasih sayang antara anggota keluarga. Dalam kompilasi hukum
yang sah dalam masyarakat, yaitu dengan mendirikan rumah tangga yang damai
dan tentram.
َس ُكنُوا ِإلَ ْي َها وَ جَ َع َل بَ ْينَ ُك ْم مَوَ َّد ًة وَ رَ ْح َم ًة ۚ ِإنَّ ِفي ٰ َذلِك ً َوَ مِنْ آيَا ِت ِه َأنْ خَ لَقَ لَ ُك ْم مِنْ َأ ْنف ُِس ُك ْم َأزْ و
ْ َاجا ِلت
ٍ آَل ي
ََات ِل َقوْ ٍم يَتَ َف َّك ُرون
Artinya:
Allah SWT :
وَ ِنسَا ًء ۚ وَ اتَّقُوا اللَّ َه الَّ ِذي تَسَا َءلُونَ ِب ِه وَ اأْل َرْ حَ ا َم ۚ ِإنَّ اللَّ َه َكانَ عَ لَ ْي ُك ْم رَ ِقيبًا
Artinya:
dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam hal
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti
perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya
mengandung arti yang berbeda bahwa dari segi rukun itu adalah sesuatu yang
berada didalam hakekat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya,
sedangkan syarat adalah sesuatau yang berada diluarnya dan tidak merupakan
unsurnya.
syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat
dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang
terlihat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan yaitu: akad perkawinan, laki-
laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai
perempuan, saksi yang akan menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas
kawin.
menduduki peringkat yang paling penting karena masuk dalam suatu rukun dalam
perkawinan. Tanpa wali, jelas tidak akan mungkin terjadi suatu pernikahan, sebab
kepada calon suami. Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan
Artinya:
adalah perwalian ijbar saja, dan hak perwalian ini hanya dimiliki oleh para
kerabat ashabah. Pendapat malikiyah mengenai wali berpendapat bahwa wali itu
ada dua yakni wali ijbar dan wali bukan ijbar, dan perwalian ijbar dimiliki oleh
tuan yang merupakan milik meskipun seorang perempuan, kemudian bapak, dan
orang yang diberikan wasiat oleh bapak ketika bapak tiada. Sedangkan golongan
Syafi’iyah berpendapat perwalian terbagi menjadi dua yaitu: wali mujbir dan
bukan mujbir, dan wali mujbir adalah bapak, kakek, dan nasab keatasnya, serta
tuan, sedangkan wali yang bukan mujbir yaitu : saudara bapak dan saudara kakek
Dalam hal ini penulis berusaha untuk meneliti dasar-dasar para Ulama
Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yakni mengapa wali nikah harus
dari garis laki-laki yaitu bapak, kakek, anak laki-laki, paman dari bapak, dan laki-
laki dari garis bapak, untuk itu bagaimanakah menentukan keberadaan status wali
garis ibu dalam akad pernikahan. Dengan latar belakang yang telah penulis
dengan judul Wali Garis Ibu dalam Akad Nikah (Perspektif Ulama Fiqh dan
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah status wali garis ibu dalam akad nikah Perspektif Ulama Fiqh
2. Kenapa perspektif jumhur ulama fiqh menetapkan wali nikah harus dari nasab
laki-laki ?
Tujuan Penelitian
a. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hukum perwalian dari pihak ibu
Manfaat Penelitian
a. Teoritis :
menurut Perspektif Ulama Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, yang bisa
Memberikan khazanah pada penulis khususnya dan bagi siapa saja yang
membacanya tentang perwalian dari pihak ibu menurut Perspektif Ulama Fiqh
b. Praktis
para dosen dan mahasiswa hukum keluarga untuk mengetahui wali dalam akad
nikah.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum perwalian dari
pihak ibu dalam akad nikah, guna dapat dijadikan pedoman yang bermanfaat
Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and arror”
(suatu langkah kegiatan yang dilakukan untuk mencoba dan mencoba lagi).
Dengan kata lain penelitian kepustakaan (library research) yaitu mencari dan
mengumpulkan data dari bahan-bahan referensi seperti buku, diktat kuliah, dan
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu menjelaskan dalil
serta, berbagai pendapat para Ulama fiqih mengenai penjelasan tentang wali
dari garis ibu dalam akad nikah, serta Kompilasi Hukum Islam pasal 19 dan
Pasal 20 tentng wali nikah, secara jelas sehingga terdapat kesimpulan apa yang
wali nikah garis ibu dalam akad nikah (Perspektif Ulama Fiqih dan Kompilasi
Hukum Islam)
3. Sumber Data
Sumber data yang diperlukan yaitu data skunder, adalah data yang diperoleh
peraturan perundang-undangan.
PEMBAHASAN
Apa yang dirumuskan dan digali oleh para ulama mashab fiqh islam,
yakni Komplikasi Hukum Islam ini, status hukum nya menghapus atau
Syafi’iyah, wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, dan 22 dengan rumusan sebagai
berikut.
yaitu: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi
disebutkan: Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seseorang laki laki yang
Memenuhi syariat hukum ialam yakni: muslim, aqil, dan baliqh. Dan menurut
kedudukannya wali nikah terdiri dari: a) Wali nasab dan b) Wali hakim.
disebutkan dan dijelaskan yaitu: Wali nashab terdiri dari empat kelompkok dalam
urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain
Pertama, kelompok kekerabatan laki laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki laki
kandung atau saudara laki laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,
kelompok kerabat paman, yaikni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi
wali ialah yang lebih dekat drajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
Dan apabila dalam satu kelompok sama drajat kekerabatan maka yang paling
berhak menjadi wali nikah yaitu kerabat kandung dari kekerabatan seayah.
sama-sama drajat kandung atau sama-sama dengan krabat seayah, mereka sama-
sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan
dapat menjadi wali dalam akad perkawinan, dikarenakan udzur maka bisa
digantikan dengan yang lainnya sesuai dengan isi dari pasal 22 yaitu: Apabila wali
nikah yang paling berhak, urutannya tidak mmenuhi syarat sebagi wali nikah atau
Wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatkan sebagai rukun
perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas
nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta
sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan
akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai wali garis ibu
saja,hak perwalian ini hanya dimiliki oleh para kerabat ashbah saja, oleh karena
itu hak perwalian adalah untuk orang yang memiliki hubungan yang paling dekat,
sebab ada riwayat Ali ra. Yang mengatakan, pernikahan dilakukan oleh wali
ashabah yang terurai dalam urutan berikut ini : anak dan anaknya anak dan nasab
dibawahnya ,bapak dan kakek yang asli, dan nasab keatasnya, saudara laki-laki
sekandung dan sebapak dan nasab kebawahnya, kemudian setelah mereka itu
Fikih:
Anak laki-laki(dari
wanita yang akan
1. Ayah menikah Ayah Ayah
itu,sekalipun itu
hasil zina)
bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahinya atau memberi izin
pernikahanya dan wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau
mewakilinya kepada orang lain.Serta yang bertindak sebagai wali adalah seorang
Hukum Islam, yang mana persoalan wali sudah diatur dan dimasukan kedalam
1) Muslim, tidak sah orang yang tidak bergama islam menjadi wali untuk muslim.
2) Sudah dewasa (baliqh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila
Seorang wanita tidak boleh enjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan
dirinya.
terhadap anaknya, artinya wali diambil dari garis nasabnya yang mempunyai
hubungan darah paling dekat dengan anaknya yaitu ayah kandungnya bukan dari
garis ibunya.
Menurut Al-Zuhaily wali nikah harus dari garis nasabnya karena untuk
lemahnya (baik lemah fisik atau lemah akal)si wanita, bisa jadi si wanita salah
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagu kaum wanita,karena Allah telah
PENUTUP
Kesimpulan
1. Ulama fiqh selain Ulama Hanafiyah menyebutkan status wali nikah harus dari
Surah An-nisa Ayat 34: kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,
Disohihkan oleh Al- Albani dalam Shoibul jami’ 7298) Ulama fiqh, sepakat
keharusan adanya wali atau peganti dalam setiap per nikahan adalah wali dari
nashab ayah dan kakeknya dan seterusnya adalah waqli hakim, dan hal ini
sama dengan kompilasi hukum islam ,Pasal 20 : yang bertindak sebagai wali
nikah ialah sesorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni:
2. Faktor yang menyebabkan wali nikah dari garis bapak adalah karena pernasab
anaknya, yang dalam pengertianya wali nasb adalah: pria beragama islam yang
berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut
hukum islam, bukan dari garis keturunan (rahim) ibu (dzail arham).
DAFTAR PUSTAKA
2004.
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Imam Malik, alih bahasa Majid (Solo:Aqwam,
2012).
Majid(Solo:Aqwam, 2012)
(Solo:Aqwam, 2012).
Soedharyo Soimin, hukum orang dan keluarga, (jakarta, Sinar Grafika, 1992) hal
4
Abdurrahman, kompilasi hukum islam, (Jakarta, CV Akademi persindo, 2004) hal
114