Anda di halaman 1dari 16

“WALI DARI GARIS IBU DALAM AKAD NIKAH PERSPEKTIF ULAMA

FIQIH DAN KOMPLIKASI HUKUM ISLAM”

Jurnal ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah :

“Bahasa Indonesia”

Dosen Pengampu:

Indah Eftanastarini

Disusun oleh kelompok :

Nurul Qomariyah (1904032012)

Robi Nur Hakiki (1904031012)

FAKULTAS USHLUHUDIN ADAB DAN DAKWAH

PRODI BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM

IAIN METRO LAMPUNG

TAHUN 2019M/1441H
WALI DARI GARIS IBU DALAM AKAD NIKAH PERSPEKTIF ULAMA
FIQIH DAN KOMPLIKASI HUKUM ISLAM

ABSTRAK

Oleh : Agung Tri Nugroho

Perkawinan adalah sebuah perjanjian yang sakral. Oleh sebab itu, institusi perkawinan
harus dihormati, dilaksanakan dan dilstarikan oleh kaum muslimin sebagai bentuk perbuatan rasa
cinta umatnya terhadap sunnah nabi Muhammad SAW. Sebagai institusi yang sakral, perkawinan
dalam ajaran islam sangat erat dengan aturan-aturan syari’at yang sudah baku, yang terdiri dari
syarat-syarat dan rukun nikah yang telah diajarkan oleh rasullulah SAW yang harus di ikuti dan
dipedomani oleh setiap umatnya.

Mengenai perwalian ulama Hanafiyah berbeda dengan ulama fiqh yang lainnya karena
dalam permasalahan walinikah Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanbaliyah memiliki persepsi
menyatakan wali harus Laki-laki dalam akad pernikahan dan sebaliknya Hanafiyah wali tidaklah
menjadi rukun dalam suatu akad nikah, dan kerabat yang bukan ashobah memiliki hak perwalian
untuk mengawinkan manakala tidak ada kerabat ashobah, maka hak perwaliannya bisa digantikan
dari wali garis ibu yakni bapak nya ibu, bapak nya nenek dari bapak.

Berdasarkan pernyataan diatas, maka kajian terhadap wali garis ibu dalam akad nikah
menjadi menarik dan sangat penting, hal ini dikarenakan masih adanya perbedaan pendapat para
ulama Fiqh, tentang masalah wali dan pernikahan. Dalam hal ini, penulis ingin mengkaji lebih
dalam tentang wali garis ibu dalam akad nikah perspektif ulama fiqh dan Kompilasi Hukum Islam.
Peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian Kualitatif, yaitu peneletian yang berusaha
mengungkapkan dengan berusaha mengungkapkan dengan cara mendiskripsikannya melalui
bahasa dalam konteks dan paradigma ilmiah, diperpustakaan dimana objek penelitiannya biasanya
digali lewat beragam informasi kepustakaan.

Berdasarkan study analisa Hukum Islam (pendapat ulama fiqh) dan peraturan
perundang undangan perkawinan di Indonesia, dalam penjelasan tentang pengertian wali
menunjukan bahwa status wali, khususnya dalam pernikahan di Indonesia telah final, yaitu adalah
rukun dalam akad perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki uyang
memenuhi syrat hukum Islam yakni : Muslim, Aqil dan baliqh, serta apabila wali nashab garis
bapak sudah tidak ada maka hak perwaliannya berpindah kepada wali hakim.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan satu-satunya cara yang

dibenarkan Agama Islam untuk menghalalkan hubungan suami istri, hal ini

dibutuhkan oleh semua manusia karena dengan perkawinan itu dapat berlangsung

keturunan dari generasi kegenerasi sehingga manusia dapat menjalankan tugasnya


sebagai Khalifah dibumi ini. Pemikiran itu tidak hanya cukup adanya ikatan lahir

ataupun ikatan batin saja. Melainkan harus keduanya. Suatu ikatan lahir ialah

ikatan yang dapat dilihat, menggunakan adanya hubungan antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut hubungan

Formil.

Pernikahan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling

mencintai dan kasih sayang antara anggota keluarga. Dalam kompilasi hukum

Islam Pasal 3 perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga

yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Perintah Allah SWT., kapada hamba Nya untuk memperoleh keturunan

yang sah dalam masyarakat, yaitu dengan mendirikan rumah tangga yang damai

dan tentram.

َ‫س ُكنُوا ِإلَ ْي َها وَ جَ َع َل بَ ْينَ ُك ْم مَوَ َّد ًة وَ رَ ْح َم ًة ۚ ِإنَّ ِفي ٰ َذلِك‬ ً َ‫وَ مِنْ آيَا ِت ِه َأنْ خَ لَقَ لَ ُك ْم مِنْ َأ ْنف ُِس ُك ْم َأزْ و‬
ْ َ‫اجا ِلت‬

ٍ ‫آَل ي‬
َ‫َات ِل َقوْ ٍم يَتَ َف َّك ُرون‬

Artinya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih

dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”(QS. Ar-Rum : 21)


Rasulullah SAW., melarang kerahiban, hidup menyendiri dengan tidak

menikah yang menyebabkan hilangnya keturunan dan melenyapnya umat, firman

Allah SWT :

َّ ‫ْس وَ ا ِح َد ٍة وَ خَ لَقَ ِم ْن َها زَ وْ جَ َها وَ ب‬


‫َث ِم ْن ُهمَا ِرجَ ااًل َكثِيرً ا‬ ٍ ‫يَا َأيُّ َها النَّاسُ اتَّقُوا رَ بَّ ُك ُم الَّ ِذي خَ لَ َق ُك ْم مِنْ نَف‬

‫وَ ِنسَا ًء ۚ وَ اتَّقُوا اللَّ َه الَّ ِذي تَسَا َءلُونَ ِب ِه وَ اأْل َرْ حَ ا َم ۚ ِإنَّ اللَّ َه َكانَ عَ لَ ْي ُك ْم رَ ِقيبًا‬

Artinya:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah

menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada

Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta

satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”( QS.An-Nisa:1)

Hukum perkawinan ada rukun dan syaratnya yang harus dilaksanakan

gunanya untuk menentukan suatu perbuatan hukum terutama yang menyangkut

dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Dalam hal

perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam arti

perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya

mengandung arti yang berbeda bahwa dari segi rukun itu adalah sesuatu yang

berada didalam hakekat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya,
sedangkan syarat adalah sesuatau yang berada diluarnya dan tidak merupakan

unsurnya.

Hukum perkawinan, menempatkan mana yang rukun dan mana yang

syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak bersifat

subtansial, perbedaan diantara perbedaan tersebut disebabkan oleh karena berbeda

dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang

terlihat dan yang harus ada dalam suatu perkawinan yaitu: akad perkawinan, laki-

laki yang akan kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai

perempuan, saksi yang akan menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau mas

kawin.

Dimana syarat perkawinan harus adanya seorang wali, sebab wali

menduduki peringkat yang paling penting karena masuk dalam suatu rukun dalam

perkawinan. Tanpa wali, jelas tidak akan mungkin terjadi suatu pernikahan, sebab

wali adalah orang yang akan menikahkan (mengawinkan) mempelai perempuan

kepada calon suami. Makna perwalian menurut bahasa adalah rasa cinta dan

pertolongan, sebagaimana Allah SWT berfirman :

َ‫وف وَ يَ ْن َهوْ نَ عَ ِن ا ْل ُم ْن َك ِر وَ يُ ِقيمُون‬ ٍ ‫ض ُه ْم َأوْ ِليَا ُء بَ ْع‬


ِ ‫ض ۚ ي َْأ ُم ُرونَ ِبا ْل َم ْع ُر‬ ُ ‫وَ ا ْلم ُْؤ ِمنُونَ وَ ا ْلم ُْؤ ِمنَاتُ بَ ْع‬

َ َ‫صاَل َة وَ ي ُْؤتُونَ ال َّز َكا َة وَ ي ُِطيعُونَ اللَّ َه وَ رَ سُولَ ُه ۚ أُو ٰلَئِك‬


‫سيَرْ حَ ُم ُه ُم اللَّ ُه ۗ ِإنَّ اللَّ َه عَ ِزي ٌز حَ ِكي ٌم‬ َّ ‫ال‬

Artinya:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian

mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka

menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,


mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan

Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(QS.At-Taubah:71)

Menurut Ulama Fiqh dalam menjelaskan tentang persoalan perwalian

terjadi perbedaan pendapat, pertama Hanafiyah berpendapat bahwa perwalian

adalah perwalian ijbar saja, dan hak perwalian ini hanya dimiliki oleh para

kerabat ashabah. Pendapat malikiyah mengenai wali berpendapat bahwa wali itu

ada dua yakni wali ijbar dan wali bukan ijbar, dan perwalian ijbar dimiliki oleh

tuan yang merupakan milik meskipun seorang perempuan, kemudian bapak, dan

orang yang diberikan wasiat oleh bapak ketika bapak tiada. Sedangkan golongan

Syafi’iyah berpendapat perwalian terbagi menjadi dua yaitu: wali mujbir dan

bukan mujbir, dan wali mujbir adalah bapak, kakek, dan nasab keatasnya, serta

tuan, sedangkan wali yang bukan mujbir yaitu : saudara bapak dan saudara kakek

dan orang lain yang tidak memiliki hubungan ashabah.

Dalam hal ini penulis berusaha untuk meneliti dasar-dasar para Ulama

Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, yakni mengapa wali nikah harus

dari garis laki-laki yaitu bapak, kakek, anak laki-laki, paman dari bapak, dan laki-

laki dari garis bapak, untuk itu bagaimanakah menentukan keberadaan status wali

garis ibu dalam akad pernikahan. Dengan latar belakang yang telah penulis

gambarkan, penulis mengungkap bahasa tersebut dalam bentuk tulisan Jurnal

dengan judul Wali Garis Ibu dalam Akad Nikah (Perspektif Ulama Fiqh dan

kompilasi Hukum Islam)

Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah status wali garis ibu dalam akad nikah Perspektif Ulama Fiqh

dan Kompilasi Hukum Islam ?

2. Kenapa perspektif jumhur ulama fiqh menetapkan wali nikah harus dari nasab

laki-laki ?

Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

a. Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hukum perwalian dari pihak ibu

menurut para Ulama Fiqh

b. Untuk menjelaskan faedah-faedah Perspektif Ulama Fiqh dan Kompilasi

Hukum Islam dalam menetapkan wali nikah dalam perkawinan

Manfaat Penelitian

a. Teoritis :

Dapat memberikan penjelasan dalam menetapkan wali dalam akad nikah

menurut Perspektif Ulama Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam, yang bisa

memberikan kontribusi dalam dunia akademik.

Memberikan khazanah pada penulis khususnya dan bagi siapa saja yang

membacanya tentang perwalian dari pihak ibu menurut Perspektif Ulama Fiqh

dan Kompilasi Hukum Islam.

b. Praktis

Berguna untuk para praktisi hukum keluarga Islam di Indonesia, khususnya

para dosen dan mahasiswa hukum keluarga untuk mengetahui wali dalam akad

nikah.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang hukum perwalian dari

pihak ibu dalam akad nikah, guna dapat dijadikan pedoman yang bermanfaat

dalam menjaga Iman dan menjauhi segala larangan syariat Islam.

Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) sehingga

penelitian yang dilakukan bukanlah aktivitas yang bersifat “trial and arror”

(suatu langkah kegiatan yang dilakukan untuk mencoba dan mencoba lagi).

Dengan kata lain penelitian kepustakaan (library research) yaitu mencari dan

mengumpulkan data dari bahan-bahan referensi seperti buku, diktat kuliah, dan

makalah yang bersangkutan dengan topik yang diteliti oleh penulis.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat deskriptif yaitu menjelaskan dalil

serta, berbagai pendapat para Ulama fiqih mengenai penjelasan tentang wali

dari garis ibu dalam akad nikah, serta Kompilasi Hukum Islam pasal 19 dan

Pasal 20 tentng wali nikah, secara jelas sehingga terdapat kesimpulan apa yang

menjadi penetapan dalam perundang-undangan yang ada di Indonesia, tentang

wali nikah garis ibu dalam akad nikah (Perspektif Ulama Fiqih dan Kompilasi

Hukum Islam)

3. Sumber Data

Sumber data yang diperlukan yaitu data skunder, adalah data yang diperoleh

dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek


penelitia, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan

peraturan perundang-undangan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan teknik dokumentasi, yaitu:

penelitian dengan menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku fiqh

munakahat, kitab fiqih, majalah, dokmen, peraturan undang-undang, tesis,

skripsi, desertasi, catatan-catatan. Penelitian ini dilakukan dengan cara

membaca dan menela’ah buku-buku tersebut.

PEMBAHASAN

Wali Garis Ibu Menurut Kompilakasi Hukum Islam

Apa yang dirumuskan dan digali oleh para ulama mashab fiqh islam,

secara dinamis diformulasikan kembali dalam bentuk legislasi hukum Islam,

yakni Komplikasi Hukum Islam ini, status hukum nya menghapus atau

menyempurnakan dari berbagai mazhab fiqh tersebut, Secara khusus.

Komopolikasi Hukum Islam berkenan dengan wali ini menjelaskan secara

lengkap dan keseluruhannya mengikuti fiqh Mazhab jumhur Ulama Khusus

Syafi’iyah, wali ini diatur dalam pasal 19, 20, 21, dan 22 dengan rumusan sebagai

berikut.

Pengertian wali nikah pada Pasal 19 didalam Komplikasi Hukum Islam

yaitu: Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi

calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya.

Dan orang yang melakukan akad dalam perkawinan dalam pasal 20

disebutkan: Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seseorang laki laki yang
Memenuhi syariat hukum ialam yakni: muslim, aqil, dan baliqh. Dan menurut

kedudukannya wali nikah terdiri dari: a) Wali nasab dan b) Wali hakim.

Mengenai pembagian wali dalam Komplikasi Hukum Islam Pasal 21

disebutkan dan dijelaskan yaitu: Wali nashab terdiri dari empat kelompkok dalam

urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain

sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kekerabatan laki laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek

dari pihak ayah dan seterusnya. Kedua, kelompok kerabat saudara laki laki

kandung atau saudara laki laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga,

kelompok kerabat paman, yaikni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah

dan keturunan laki-laki mereka. Kempat, kelompok saudara laki-laki kandung

kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Kemudian apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa

orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi

wali ialah yang lebih dekat drajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

Dan apabila dalam satu kelompok sama drajat kekerabatan maka yang paling

berhak menjadi wali nikah yaitu kerabat kandung dari kekerabatan seayah.

Serta apabila dalam satu kelompok, drajat kekrabatannya sama yakni

sama-sama drajat kandung atau sama-sama dengan krabat seayah, mereka sama-

sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan

memenuhi syarat-syarat wali.

Dalam Pasal 22 mengenai wali yang berhak menurut urutannya tidak

dapat menjadi wali dalam akad perkawinan, dikarenakan udzur maka bisa
digantikan dengan yang lainnya sesuai dengan isi dari pasal 22 yaitu: Apabila wali

nikah yang paling berhak, urutannya tidak mmenuhi syarat sebagi wali nikah atau

oleh karena wali nikah itu menderita tuna netra.

Analisis Wali Nikah Garis Ibu Perspektif Ulama Fiqh

Wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad

perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali, wali itu ditempatkan sebagai rukun

dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip, dalam akad

perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas

nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta

persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.Dalam mendudukannya

sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam melakukan

akad terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai wali garis ibu

dalam akad nikah.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perwalian adalah perwalian ijbar

saja,hak perwalian ini hanya dimiliki oleh para kerabat ashbah saja, oleh karena

itu hak perwalian adalah untuk orang yang memiliki hubungan yang paling dekat,

sebab ada riwayat Ali ra. Yang mengatakan, pernikahan dilakukan oleh wali

ashabah yang terurai dalam urutan berikut ini : anak dan anaknya anak dan nasab

dibawahnya ,bapak dan kakek yang asli, dan nasab keatasnya, saudara laki-laki

sekandung, dan saudara laki-laki sebapak,serta anak laki-laki saudara laki-laki

sekandung dan sebapak dan nasab kebawahnya, kemudian setelah mereka itu

orang yang memerdekakan, kemudian kerabat ashabahnya secara nasab,


kemudian penguasa atau wakilnya yang merupakan Qodhi, karena dia adalah

perwakilan kelompok umat islam.

Dibawah ini ditunjukan perbedaan mengenai urutan wali Perspektif Ulama

Fikih:

Urutan Wali Nikah Menurut Ulama Fiqh

N Imam Malik Imam Hanafi Imam Syafi’i Imam


Hambali
O

Anak laki-laki(dari
wanita yang akan
1. Ayah menikah Ayah Ayah
itu,sekalipun itu
hasil zina)

2 Penerima Cucu laki-laki Kake dari pihak Kakek


wasiat dari ayah (dari pihak laki- ayah
laki)
Ank laki-laki
(dari wanita
3 yang akan Ayah Saudara laki-laki Anak laki-
menikah itu, laki
sekalipun hasil
zina)
4 Saudara Kakek Saudara Cucu
laki-laki (dari pihak ayah) laki-laki seayah laki-laki
5 Anak laki-laki Anak laki-laki
dari saudara Saudara kandung dari saudara laki- Saudara laki-
laki-laki laki laki
6 Kakek Saudara laki-laki Paman Keponakan
seayah (saudara ayah)
7 Paman Anak saudara laki- Anak pamanq Paman
(saudara ayah) laki8 sekandung
8 Hakim Anak saudara laki- Hakim Sepupu
laki sekandung
9 - Hakim - Hakim
10 Kerabat yang
- bukan Ashabah - -

Analisa Wali Garis Ibu Menurut Komoplikasi Hukum Islam

Wali dalam suatu pernikahan merupakan hukum yang harus dipenuhi

bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahinya atau memberi izin

pernikahanya dan wali dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau

mewakilinya kepada orang lain.Serta yang bertindak sebagai wali adalah seorang

laki-laki yang memnuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Pandangan komplikasi Hukum Islam mengenai wali garis ibu menyalahi

aturan karena,Undang-undang di Indonesia mengenai pernikahan telah

dirumuskan dan dikodifikasiikan kedalam sebuah catatan yaitu Komplikasi

Hukum Islam, yang mana persoalan wali sudah diatur dan dimasukan kedalam

bagian-bagian,dalam pasal 20 disebutkan; yang bertindak sebagai wali nikah ialah

seorang laki-laki,yang memenuhi syarat hukum islam yakni muslim,akil, dan

baliqh. Maksud dari pengertiannya yaitu;

1) Muslim, tidak sah orang yang tidak bergama islam menjadi wali untuk muslim.

2) Sudah dewasa (baliqh) dan berakal sehat, dalam arti anak kecil atau orang gila

tidak berhak menjadi wali.

3) Laki-laki. Tidak boleh perempuan menjadi wali

Seorang wanita tidak boleh enjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan

dirinya.

Faktor Penyebab Wali Nikah Harus Dari Garis Bapak


Faktor yang mentyebabkan wali nikah dari garis bapak adalah karena

pernasaban itu disandarkan kepada bapaknya yang mempunyai hak penuh

terhadap anaknya, artinya wali diambil dari garis nasabnya yang mempunyai

hubungan darah paling dekat dengan anaknya yaitu ayah kandungnya bukan dari

garis ibunya.

Menurut Al-Zuhaily wali nikah harus dari garis nasabnya karena untuk

menjaga kemaslahatan wanita dan menjaga agar hak-hak si wanita tetap

terlindungi, karena (sifat) lemah yang dimiliki wanita,maksudnya karena

lemahnya (baik lemah fisik atau lemah akal)si wanita, bisa jadi si wanita salah

dalam memilih suami atau menentukan ma kawinnya.

Dasar Al-Qur’an surah An-nisa Ayat 34 yang artinya :

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagu kaum wanita,karena Allah telah

melebihikan sebahagian mereka (laki-laki) sebahagian yang lain..”

PENUTUP

Kesimpulan

1. Ulama fiqh selain Ulama Hanafiyah menyebutkan status wali nikah harus dari

garis laki-laki dan tidak boleh dari garis perempuan,berdasarkan Al-Qur’an

Surah An-nisa Ayat 34: kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,

dan sebagianmana hadist Abu Hurairah, yang mengutip ucapan nabi ;

perempuan juga tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga

tidak boleh mengawinkan dirinya sendiri.( HR. Ad Daruqhutni, 3 ; 227.

Disohihkan oleh Al- Albani dalam Shoibul jami’ 7298) Ulama fiqh, sepakat

keharusan adanya wali atau peganti dalam setiap per nikahan adalah wali dari
nashab ayah dan kakeknya dan seterusnya adalah waqli hakim, dan hal ini

sama dengan kompilasi hukum islam ,Pasal 20 : yang bertindak sebagai wali

nikah ialah sesorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam yakni:

Muslim, aqil, dan baliq.

2. Faktor yang menyebabkan wali nikah dari garis bapak adalah karena pernasab

an itu disandarkan kepada bapaknya yang mempunyai hak penuh terhadap

anaknya, yang dalam pengertianya wali nasb adalah: pria beragama islam yang

berhubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut

hukum islam, bukan dari garis keturunan (rahim) ibu (dzail arham).

DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifudin,Hukum perkawinan Islam Di Indonesia Jakrta, Prenada Media

2004.

Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Imam Malik, alih bahasa Majid (Solo:Aqwam,

2012).

Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Imam Hanbali, alih bahasa

Majid(Solo:Aqwam, 2012)

Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Imam Syafi’i, alih bahasa Majid

(Solo:Aqwam, 2012).

Rahmat Hakim,Hukum Perkawinan Islam, Bandung Pustaka Setia, 2000.

Soedharyo Soimin, hukum orang dan keluarga, (jakarta, Sinar Grafika, 1992) hal

4
Abdurrahman, kompilasi hukum islam, (Jakarta, CV Akademi persindo, 2004) hal

114

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (Beirut:Daral_Fikr), jilid Ke-2. h. 131

Amir Syarifudiin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Cet ke 3, thn


2009

Anda mungkin juga menyukai