Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

INDIVIDU SOSIOPATIK & REAKSI SOSIAL

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah: Potologi & Rehabilitas Sosial

Dosen Pengampu:
Junaidi, M.Psi, Psikolog

Disusun oleh:

Kelompok A

Annisa Zulfa Wulandari 1904032003

Siti Aisyah Nur Awalin 1904030010

KELAS B

JURUSAN BIMBINGAN PENYULUHAN ISLAM (BPI)


FAKULTAS USSULUDIN ADAB DAN DAKWAH (FUAD)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG
T.A. 1441H/2021

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat Nya,yang telah melimpahkan rahmat,hidayah
dan inayah Nya , Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah INDIVIDU SOSIOPATIK &
REAKSI SOSIAL Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
sekali kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya, Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan
ispirasi bagi kita semuanya.

Metro, Maret 2021

Penulis

DAFTAR ISI

2
COVER............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penulis...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Proses Diperensiasi dan Sosialisasi...................................................... 3
B. Deviasi Primer Dan Deviasi Sekunder................................................. 7
C. Sanksi Sosial Dan Pembatasan Sosio-Kultural..................................... 8
D. Mobilitas Pada Individu-individu Sosiopatoi....................................... 9
E. Penyesuaian Diri,Ketidak mapuan Diri,Individu Marginal ................. 11
F. Reaksi Sosial......................................................................................... 14
G. Organisasi Sosiopatik dan Kebudayaan Eksploitatif............................ 16

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah psikopat yang sejak 1952 diganti dengan Sosiopat dan dalam Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) II 1968 resmi dinamakan Sosiopat.
Hare menyamakannya dengan salah satu kelainan, yaitu Anti Social Personality Disorder
(Hare, Hart & Harpur, 1991). Pada umumnya mayoritas orang menyebut psikopat sebagai
sakit jiwa, karena istilah psikopat berasal dari kata “psyche” yang berarti jiwa dan
“pathos” yang berarti penyakit,namun psikopat tidak dimaksudkan untuk kategori sakit
kejiwaan secara menyeluruh. Penderita psikopat biasanya juga seorang sosiopat, karena
perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang terdekatnya.
Psikopat adalah perilaku psikologis dimana pelaku terus menerus mencari
gratifikasi (pembenaran diri) atas tindakan2 keliru yang dilakukannya.Seorang psikopat
tidak memiliki kemampuan untuk mengenali dan belajar dari kesalahan.Namun dia
memiliki daya analisa yang tinggi dan seringkali tergolong orang yang sangat cerdas.
Banyak psikolog berpendapat, salah satu ciri awal seorang berpotensi menjadi psikopat
adalah ketika dia memiliki rasa cinta pada diri sendiri (narcissistic).
Dalam tingkatan spektum patologi, Narcissistic berada di peringkat terendah
dari gejala kelainan jiwa. Jika kecintaan pada diri sendiri berubah menjadi paranoid (takut
ada orang lain yang lebih cantik / tampan dari dirinya), maka orang itu berada pada
spektrum tengah yang disebut Malignant Narcissism. Dan dalam spektrum tersebut,
psikopat berada di peringkat paling atas dan disebut High-End Narcissism. Menurut
sosiolog tingkah laku sosiopatik adalah tingkah laku yang berbeda dan menyimpang dari
kebiasaan serta norma umum, yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu yang
ditolak sekalipun tingkah laku tersebut di tempat dan waktu lain bisa diterima oleh
masyarakat lainnya.
B. Rumusan Masalah
1. Seperti apa proses diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik ?
2. Apa itu deviasi Primer Dan Deviasi Sekunder ?
3. Bagaimana mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik ?
4. Apa saja Sanksi Sosial dan Pembatasan sosio- Kultural ?
5. Seperti apa penyesuaian diri individu marginal ?
6. Apa reaksi sosial terhadap individu sosiopatik ?
7. Apa saja Organisasi Sosiopatik dan Kebudayaan Eksploitatif ?

4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui diferensiasi dan sosialisasi terhadap individu sosiopatik.
2. Agar memahami apa itu Deviasi Sekunder dan Primer.
3. Untuk mengetahui mobilitas terhadap individu-individu sosiopatik.
4. Agar memahami tentang sanksi sosial dan pembatasan Sosio Kultural.
5. Untuk mengetahui tentang penyesuaian diri individu marginal.
6. Agar memahami bagaimana reaksi sosial terhadap individu sosiopatik.
7. Untuk mengetahui apa saja Organisasi Sosiopatik dan kebudayaan eksploitatif.

BAB II
PEMBHASAN

A. Proses Diferensiasi dan Sosialisasi

5
Pribadi yang menyimpang – dengan tingkah laku menyimpang dari norma-
norma umun- itu merupakan produk dari proses diferensiasi, individualisasi, dan
sosialisasi. Proses diferensiasi: ada orang- orang yang secara individual memang berbeda
dengan orang kebanyakan sejak lahirnya. Misalnya dengan cacat jasmani bawaan, atau
memiliki wajah dan tubuh yang mengerikan. Cacat seperti ini umumnya menimbulkan
perasaan- perasaan inferior ( rasa rendah diri ) yang sangat dalam pada pribadi yang
bersangkutan, sehingga respons sosialnya berkembang menjadi tidak wajar. Selanjutnya,
kondisi kondisi tersebut menjadi lebih parah apabila lingkungan selkitar menghina,
menolak atau mengucilkan dirinya, sehingga dia bisa menjadi sosiopatik.1
Sekelompok individu lainyya tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dalam
lingkungan keluarga atau kelas social yang sangat memilukan. Dimana kejahatan,
kemiskinan kronis, pola asusila, dan dan kebiaasaan mengemis menjadi cara hidup ( way
of life) yang melembaga dalam kelompok tersebut. Dalam situasi dan kondisi demikian,
pertumbuhan sosio-psikologis dari pribadi dan kelompok cenderung menjadi abnormal
atau menyimpang. Sebab kebudayaan dan kerangka organisasi social tersebut
memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga tingkah laku individu menjadi conform
atau cocok dengan pola perilaku lokal, namun dianggap patologis oleh masyarakat luas.
Kontak yang terus menerus dengan orang dewasa yang menyimpang atau abnormal,
mempersiapkan dan membentuk kebiasaan- kebiasaan serta watak yang sosiopatok pada
diri anak-anak dan orang muda. Dengan sendirinya, konsepsi mengenai nilai- nilai moral
diberi isi dan bentuk oleh kode-kode moral yang berlaku dalam komplek- komplek
bermain sesama anak- anak dan oleh masyarakat lokal. Sehingga apabila individu-
individu yang sosiopatik itu berkonflik dengan masyarakat luar, maka konflik ini pada
hakikatnya merupakan konflik antara kebudayaan yang berbeda, yaitu kebudayaan yang
normal melawan kebudayaan yang patologis.
Terjadilah proses sosialisasi pada diri anak dalam pengopenan pola tingkah laku
yang ditolak secara sosial itu ( yang menyimpang/ sosiopatok ). Proses tersebut
berlangsung secara progresif, tidak sadar berangsur- angsur, setahap demi setahap, dan
berkesinambungan. Maka semua bentuk pelanggaran terhadap norma- norma sosial itu
lalu dirasionalisasi secara progresif, dibenarkan – ada proses justifikasi- dan dan akhirnya
dijadikan pola tingkah laku sehari- hari. Perubahan- perubahan sosiopatik demikian bisa
berlangsung pada tingkah laku lahiriah dengan penyimpangan- penyimpangan yang
tampak jelas, maupun tingkah laku yang tersembunyi.
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.hal.34.

6
Tingkah laku kriminal dan menyimpang dari orang dewasa itu diterima oleh
anak- anak dan orang- orang muda lalu diproyeksikan secara simbolis kedalam jiwa
sendiri. Kemudia berlangsung proses internalisasi dan proses pengkondisian tingkah laku
menyimpang secara bertahap. Banyak penulis menyatakan bahwa perubahan tingkah laku
dari normal menjadi abnormal yang langsung dengan tiba- tiba derastis itu jarang terjadi.
Sebab, ada serangkaian transpormasi persiapan yang mengawali berlangsungnya
perubahan tingksh laku menyimpang tadi.Jadi ada pertumbuhan- pertumbuhan dari
potensi- potensi cadangan, dan ada kecenderungan- kecenderungan deviasi yang azali
sifatnya, yang berlangsung dari hari kehari. Ternyata banyak orang normal yang memiliki
potensi- potensi untuk mengembangkan tingkah laku abnormal dengan cara demikian.
Begitu kondisi sosialnya memungkinkan maka dengan mudahnya orang- orang tersebut
berubah menjadi abnormal dan tingkah laku menyimpang dari norma- norma umum.
Alasan-alasan yang dikemukakan di atas memang ada benarnya, karena banyak
individu kriminal dan penyimpangan lainya memiliki sejarah perkembangan kepribadian
demikian. Namun jangan dilupakan bahwa pengalaman-pengalaman traumatis seringkali
menumbuhkan dan mempercepat perubahan-perubahan secara radikal pada pribadi. Maka
perjadilah proses otonomi itu berlangsung satu trauma atau luka jiwa, disebabkan oleh
pengalaman yang sangat memedihkan hati dan melukai jiwa. Oleh pengalaman tersebut,
kehidupan pribadi yang bersangkutan sejak saat itu berubah secara radikal, yaitu
mengalami proses penaikan menjadi lebih baik atau justru mengalami proses penurunan ,
jatuh dalam pelimpahan dan kehinaan yang parah.2
Pengalaman traumatis tersebut memiliki arti dinamis sangat besar. Dinamika
dari situasi tadi menjadi suatu kekuatan yang otonom dan secara fungsional terlepas dari
pengalaman-pengalaman hidup sebelunnya. Peristiwa traumatis itu mempetakan pola
yang dominan terhadap kepribadian seseorang, sehingga menyebabkan berlangsungnya
reorganisasi tiba terhadap mental dan sikap, lalu mengeluarkan diri dari kadar hidup yang
lama. Kemudian terjadilah satu loncatan hidup yang baru, yang memberikan persepektif
hidup yang baru.3
Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi yang tidak sem-
purna. Dalam materi terdahulu, disebutkan bahwa nilai dan norma adalah suatu pedoman
untuk mengatur perilaku manusia. Dalam internalisasi nilai dan norma ini, terjadi proses

2
Ibid…hal: 36

3
Mubarok Ahmad, Konseling Agama Teori Dan Kasus: Jakarta, PT Bank Rena Pariwari, 2002.hal: 149

7
sosialisasi dalam diri seseorang. Ada seseorang yang mampu melakukan proses sosialisasi
dengan baik dan ada pula yang tidak dapat melakukan proses sosialisasi dengan baik.
Dengan demikian, pem- bentukan perilaku menyimpang merupakan suatu proses yang dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang berikut.
Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang dari Sudut Pandang Sosiologi
Kehidupan bersama di dalam suatu kelompok masyarakat melahirkan kebudayaan
yang berisi berbagai tujuan dan cara bersama yang diperkenankan untuk mencapai tujuan
tersebut. Sebagai akibat proses sosialisasi, setiap individu belajar mengenali berbagai tujuan
kebudayaannya. Selain itu, mereka juga mempelajari berbagai cara untuk mencapai tujuan
yang selaras dengan kebudayaannya. Jika kesempatan untuk mencapai tujuan tersebut
tidak tercapai, maka setiap individu mencari cara lain yang terkadang menimbulkan
penyimpangan. Kemungkinan perilaku menyimpang pun semakin besar apabila tiap
individu diberi kesempatan untuk memilih caranya sendiri. Berikut ini adalah penyebab dari
perilaku menyimpang dalam sosiologi.
Perilaku Menyimpang karena Sosialisasi.
Teori ini didasarkan pada pandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat terdapat
norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati oleh seluruh anggotanya. Teori ini
menekankan bahwa perilaku sosial, baik yang bersifat menyimpang maupun tidak,
dikendalikan oleh berbagai norma dan nilai yang dihayatinya. Perilaku menyimpang
disebabkan oleh adanya gangguan pada proses penghayatan dan pengamalan nilai-nilai
tersebut dalam perilaku seseorang. Pada umumnya, seseorang hanya menghayati berbagai nilai
dannormadaribeberapaorangyang memiliki kesamaan dengan dirinya. Akibatnya, jika ia
banyak menghayati nilai atau norma yang tidak berlaku secara umum, maka kecenderungan
ber- perilaku menyimpang akan semakin besar. Terlebih jika sebagian besar teman di
sekelilingnya merupakan orang yang memiliki perilaku menyimpang pula. Perilaku
seseorang dapat menyimpang jika kadar penyimpangannya lebih besar daripada kadar
kewajaran perilakunya yang atau bersifat umum dan diterima masyarakat.
Perilaku Menyimpang karena Anomi (Anomie)
Menurut Durkheim, sebagaimana dikutip Kun Maryati.4 Anomi adalah suatu
situasi tanpa norma dan tanpa arah sehingga tidak tercipta keselarasan antara kenyataan yang
diharapkan dengan kenyataan sosial yang ada. Teori ini menyatakan bahwa penyimpangan
dapat terjadi apabila dalam suatu masyarakat terdapat sejumlah kebudayaan khusus (etnis,
4
Kun Maryati, Sosiologi X, Jakarta:Gelora Aksara Pratama,2006.hlm.57.

8
agama, kebangsaan, kedaerahan, dan kelas sosial) yang dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya kesepakatan nilai (value consensus). Dengan kata lain, anomi menggambarkan
sebuah masyarakat yang memiliki banyak norma dan nilai, tetapi di antara norma dan nilai
tersebut saling bertentangan. Akibatnya, timbul keadaan di mana tidak adanya seperangkat
nilai atau norma yang dapat dipatuhi secara konsisten dan diterima secara luas. Masyarakat
dengan tipe seperti itu tidak memiliki landasan yang kuat untuk dijadikan pedoman nilai
dan penentu arah perilaku masyarakat.
5
Robert K. Merton menganggap bahwa anomi disebabkan oleh adanya
ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara yang dipakai untuk mencapai
tujuan tersebut. Perilaku menyimpang dapat meluas, apabila banyak orang yang semula
menempuh cara-cara pencapaian tujuan dengan wajar ke- mudian beralih pada cara-cara
yang menyimpang. Teori ini sangat tepat untuk menganalisis banyaknya perilaku
menyimpang, seperti KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang dinyatakan sudah menjadi
budaya di Indonesia. Untuk hal itu, terdapat lima cara pencapaian yaitu :
1) Tujuan
2) Inovasi
3) Ritualisme
4) Pengasingan
5) Pemberontakan.

Perilaku Menyimpang karena Hubungan Diferensiasi


Penyimpangan dapat terjadi jika dipelajari terlebih dahulu. Proses belajar ini ter- jadi
akibat interaksi sosial antara seseorang dengan orang lain. Derajat interaksi bergantung pada
frekuensi, prioritas, dan intensitasnya. Semakin tinggi derajat ketiga faktor ini, maka
semakin tinggi pula kemungkinan bagi mereka untuk menerapkan tingkah laku yang sama-
sama dianggap menyimpang.
B. Deviasi primer dan Deviasi Sekunder
Di bagian depan telah diuraikan, bahwa sebab-sebab penyimpangan bisa
ditimbulkan oleh alasan-alasan yang subjektif, jadi, hal tersebut merupakan faktor internal
atau personal. Namun bisa juga disebabkan oleh bermacam-macam pengaruh situasional
dari luar yaitu limitasi eksternal. Juga bisa disebabkan oleh kombinasi dari kedua-
duanya. Penting untuk dicatat, saat deviasi-deviasi tadi terorganisasi secara subjektif

5
Indiarto, Sosiologi Jilid I, Jakarta: Erlangga,2004,hlm.68.

9
dalam diri pribadi, lalu diubah dalam peranan-peranan aktif tertentu.Selanjutnya dijadikan
kebiasaan atau kriteria sosial yang menetap guna mendapatkan status sosial.
Pada akhirnya, individu yang menyimpang itu menyadari betul peranan
patologis yang dilakukannya. Dia memandang hal tersebut sebagai hal yang wajar dan
cocok dengan pola sosial psikologis masyarakat, maka penyimpangan- penyimpangan
deviasinya disebut primer atau situasional. Disebut demikian, selama penyimpangan itu
masih dirasionalisasi, atau ditetapkan sebagai fungsi untuk melakukan peranan sosial
tertentu. Peranan tersebut dianggap wajar oleh pribadi yang bersangkutan, namun
dianggap menyimpang atau sosiopatik oleh sebagian besar masyarakat lainya.
Apabila seorang mulai menggunakan tingkah laku deviasi sebagai alat
pembelaan diri, atau alat menyerang, atau alat penyesuaiaan diri terhadap kesulitan
( kesulitan sebagai produk dari reaksi-reaksi sosial terhadap tingkah laku yang
sosiopatik ), maka penyimpangan disebut sebagai sekunder, dan berlangsung deviasi
sekunder. Dengan kata lain, tingkah laku penyimpangan semacam ini sudah menjadi
propesionalisasi dari deviasi-deviasinya.
Urutan peristiwa yang menyebabkan terjadinya deviasi sekunder itu secara
ringkas dapat dinyatakan sebagai berikut :
1) Dimulai dengan deviasi primer
2) Munculnya kemudian reaksi-reaksi sosial,hukuman dan sanksi-sanksi.
3) Pengenbangan dari deviasi-deviasi primer.
4) Reaksi sosoal dan penolakan yang lebih hebat dari masyarakat.
5) Pengenbangan deviasi lebih lanjut disertai pengorganisasian yang lebih rapi timbul
sikap bermusuh serta dendam penuh kebencian terhadap masyarakat yang
menghukum mereka.
6) Kesabaran masyarakat sudah sampai pada batas terakhir. Dibarengi hukuman,
tindakan-tindakan kekerasan.
7) Timbulnya reaksi kedongkolan dan kebencian dipihak sipenyimpang, disertai”
penghebatan tingkah laku yang sosiopatik, sehingga berkembang menjadi deviasi
sekunder. Hilanglah kontrol-kontrol rasional, dan dirinya menjadi budah dari nafsu
serta kebiasaan-kebiasaan yang sosiopatik atau abnormal. Terjadilah individualisasi
dari pribadi yang sosiopatik.
8) Masyarakat menerima tingkah laku sosiopatik itu sebagai realitas konkret atau sebagai
status sosial.
C. Sanksi Sosial dan Pembatasan sosio- Kultural

10
Sanksi langsung yang dikenakan pada orang-orang yang dianggap mempunyai
stigma sosiopatik yang dikenakan oleh masyarakat pada umumnya, ialah: membatasi
partisipasi sosiaalnya, dalam kegiatan hidup sehari-hari. Mereka tidak boleh memainkan
peranan ekonomi atau sosial tertentu. Misalnya ditolaknya menjadi buruh atau pegawai,
ditolak permohonannya meminta kredit, dilarang bertempat tinggal disatu daerah dan
lain- lain.
Contohnya: bekas pelacur akan sulit mendapatkan pekerjaan sebagai pembantu
rumah tangga, pengasuh anak, atau guru. Bekas maling atau penjahat juga sukar sekali
mendapatkan pekerjaan yang dengan mudah bisa didapatkan oleh orang normal.
Sebabnya karena anggota-anggota sosiopatik itu dianggap” manusia hina dan rusak” dan
lain-lainya.
Sehingga pelaku tersebut akan mendapat sanksi – sanksi sosial dalam bentuk
hambatan atau norma dan larangan dalam memainkan peran sosialnya. Dapat kita lihat
ciri-ciri sosiopatik antara lain dari segi :
 Seks
 Umur
 Kondisi jasmani
 Kelahiran
 Suku bangsa
 Afiliasi religius
 Posisi ekonomi
Dan asal kelas sosialnya Bentuk pembatasan dalam sosio-kultural yang
menghambat partisipasi ekonomi, antara lain :
 Orang cacat jasmani.
 Ketidakmampuan biologis.
 Kurang produktif.

Namun pandapat para seorang majikan salah, karena tidak semua orang cacat
tid Kiak mampu bekerja secara efektif, yang pada awalnya tidak mampu untuk
melakukan hal-hal yang diangggap tidak bisa.

D. Mobilitas pada individu- individu Sosiopatik


Pada umumnya, individu-individu dan kelompok–kelompok yang menyimpang
itu sangat mobile sifatnya, yang mana pribadi-pribadi ini sangat dibatasi ruang geraknya

11
oleh para anggota kelompok atau lingkungan lainnya. Mereka memiliki Afinitas dan
afinitas ini dijelaskan dalam kamus bahasa indonesi ialah(daya kait yang tinggi dengan
anggota-anggota kelompok sendiri atau keterkaitan/simpati yang ditandai oleh persamaan
kepentingan). Sebaliknya,orang-orang yang merasa ditolak oleh lingkungannya, tidak
mempunyai tempat dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan anggota-anggota
kelompoknya, pasti punya kecenderungan kuat untuk keluar dari daerah tempat
tinggalnya. Dan besar keinginannya untuk bermigrasi kedalam masyarakat dengan
struktur organisasi yang berbeda. Tidak jarang mereka untuk berpindah-pindah tempat
tinggal untuk memperluas komunikasi dan habitat atau tempat tinggal, jadi ruang gerak
mereka menjadi lebih luas dan longgar.6
Para penjahat itu pada umumnya merupakan individu dengan mobilitas tinggi.
Namun, pada hakikatnya, mereka itu terisolisasi dari bagian terbesar masyarakat normal.
Biasanya mereka terpaksa meninggalkan pola hidup kawin/ berkeluarga. Sebab risiko
ditangkap dan dimasukkan dalam penjara besar sekali, setiap saat mereka bisa berurusan
dengan polisi. Maka pemuasan dorongan seksual terpaksa disalurkan melalui relasi
dengan tuna-tuna susila atau dengan wanita-wanita “piaraan” yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Hubungan mereka dengan anggota masyarakat nornal sangat
terbatas dan tidak akrab, mereka bahkan diamati dengan rasa curiga, baik oleh pada
anggota masyarakat pada umumnya, maupun penjahat lokal lainnya, oleh polisi dan
penguasa setempat.7
Individu yang dianggap sebagai pesona non grata-pribadi yang tidak diterima,
tidak mendapatkan pengampunan-oleh tingkah lakunya yang menyimpang, praktis akan
dikucilkan atau dikeluarkan sama sekali dari semua partisipasi sosial oleh masyarakat,
dan secara geografis tidak banyak berkomunikasi dengan daerah luar. Khususnya
individu yang dianggap berbahaya oleh kepala suku (clan, kampung, kelompok), akan
ditolak sama sekali bahkan diusir dari daerah tersebut. Maka tekanan-tekanan sosial yang
sentripental-keluar dari tokoh pemimpin yang dianggap sebagai kekuatan suku-
mempunyai daya memaksa yang kuat sekali.
E. Penyesuaian Diri, Ketidak mampuan menyesuaikan Diri, Indivudu Marginal

6
Rama Tri, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia: Surabaya, Karya Agung. Hal.16.

7
Mubarok Ahmad, Konseling Agama Teori dan Kasus: Jakarta, PT Bina Rena Pariwari, 2002.hal.141.

12
Menurut Kartono, penyesuaian diri adalah usaha manusia untuk mencapai
harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungannya. Sehingga permusuhan, kemarahan,
depresi, dan emosi negatif lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang
efisien bisa dikikis. Penyesuaian diri adalah kemampuan mengubah diri sesuai dengan
keadaan lingkungan atau dapat pula mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan atau
keinginan diri sendiri. Penyesuaian diri dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang
mencakup respon-respon mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar dapat
berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan, frustasi, konflik, serta
untuk menghasilkan kualitas keselarasan antara tuntutan dari dalam diri individu dengan
tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat individu berada.
Pendapat umum menyatakan, bahwa individu-individu, yang agak berbeda dan
ditolak oleh masyarakat itu pada galibnya tidak bahagia hidupnya. Mereka mengalami
proses demoralisasi dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Susahnya menerima sesuatu yang sedikit berbeda itulah masalah terbesar bagi seoarang
sosiopatik, Khususnya menyangkut kehidupan para penjahat dan pelacur yang dianggap
menganut pola hidup yang sangat memalukan atau asusila. Sedang orang-orang alkoholik
dan penjudi-penjudi kronis biasanya menempuh kehidupan tanpa harapan atau bahkan
bisa menjadi gila oleh tingkah lakunya sendiri. Bahkan, ada dugaan bahwa para
pencoleng ekonomi atau mafia-mafia ekonomi itu didera oleh perasaan berdosa dan
penyesalan. Pendapat dan perkiraan tersebut di atas tidak selalu mengandung kebenaran.
Sebab segala peraturan dan norma masyarakat itu tidak selamanya mampu memberikan
daya tindisan yang memaksa kepada jiwa/mental pribadi-pribadi sosiopatik tadi.8
Perasaan bahagia dan kemampuan menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan oleh individu yang sosiopatik itu secara kualitatif bergantung pada sikap
peribadinya terhadap Aku sendiri, yaitu bergantung pada proses penamaan diri dan
penentuan diri atau pendefinisian diri. Peristiwa ini dicerminkan oleh perimbangan antara
pendefinisian sosial/ penentuan sosial dengan pendefinisian diri sendiri. Jadi, ada tingkah
laku simbolis yang tersembunyi atau tidak tampak, yang mengolah secara batiniah
penghukuman sosial dan pendifinisian sosial tersebut. Dibandingkan dengan pendifinisian
diri. Bergantung pula pada besarnya penerimaan definisi-sosial tadi yang kemudia dioper
dalampusat kepribadiannya,jadi bergantung pada besarnya introyeksi kedalam diri sendiri
yang dijadikan peristiwa definsi diri.
8
irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/tingkah-laku-sosiopatik.html

13
Jadi, semua itu bergantung pada dinamisme atau mekanisme jiwa dalam bentuk
internalisasi, rasionalisasi, proyeksi, introyeksi, substitusi/penggantian peranan,
pembenaran diri atau selfjustification. Selanjutnya, berlangsunglah peneracaan-imbangan
antara reaksi-sosial/pendefinisian-sosial dengan pendefinisian-diri sendiri antara stempel
sosial yang ditimkan dari luar, dengan mekanisme psikis berwujud (pembenaran tingkah
laku sendiri) Individu yang puas dalam usaha pembenaran-diri dan pendefinisian-diri
sendiri, akan merasa bahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan limgkungannya.
Sebaliknya, dia akan menjadi sangat tidak bahagia atau sengsara, apabila tidak ada
kongruensi atau keseimbangan antara pendefinisian-diri dengan hukuman sosial antara
peranan yang dituduhkan kepada dirinya dan peranan sosial menurut interpretasi
sendiriyang ingin dilakukannya. Jadi, prosesnya berlangsung sebagai bentuk interaksi
antara faktor-faktor subjektif dengan faktor-faktor objektif. Proses demikian tidak jarang
berlangsung melalui banyak konflik batin dan krisis-krisis jiwa.
Pada kasus-kasus yang ekstrem, berlangsunglah ketidakmampuan
menyesuaikan diri secara total; ada personal maladjustment dan kepatahan jiwa secara
total atau complete breakdown. Konflik-konflik hebat disebabkan oleh pembanding
antara hukuman sosial dengan definisi-diri itu bisa membelah kesatuan kepribadian, lalu
mengakibatkan disintegrasi total. Kemudian timbullah Aku-Aku sosial yang saling
bertentangan. Atau pribadi menjadi terintegrasi berdasarkan atas delusi-delusi (ilusi-ilusi
yang keliru) sehingga membuahkan tingkah laku aneh, criminal, dan sangat
membahayakan keamanan umum. Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu
mengadakan penyesuaian diri/adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan
sebagai berikut: ditolak oleh masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat
didambakan. Sebaliknya, menolak peranan-peranan yang disodorkan oleh masyarakat
kepada dirinya atas alasan-alasan subjektif. Orang-orang demikian disebut individu-
individu marginal (pribadi tepian atau setengah-setengah). Pribadi marginal ini adalah
seorang yang dihadapkan pada pilihan peranan. Juga disebabkan oleh keterbatasan
internal atau eksternal tertentu, dia tidak mampu mengintegrasikan hidupnya atas dasar
salah satu peranan tersebut.
Pada kasus para imigran, khususnya dari generasi kedua, sering berlangsung
peristiwa sebagai berikut: mereka ingin membuang kebiasaan dan adat istiadat daerah,
agar bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat baru yang memberikan ruang hidup.
Namun mereka takut mendapatkan kutukan dan sumpah-serapah dari orang tua serta para
leluhur. Sebaliknya, apabila tetap berkukuh pada pola hidup dan kebiasaan lama, mereka

14
merasa tidak bahagia dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang
baru. Sedang kaum intelektual (cerdik pandai) dengan emansipasi tinggi, di satu pihak
mengutuk kelambanan bangsanya dalam mengoper nilai-nilai modernitas. Namun di
pihak lain, tetap saja mereka merasa bingung dan kacau menanggapi gejala-gejala
modernitas itu sendiri merasa tidak bahagia di tengah-tengah yang peristiwa serba
modern.
Pribadi sosiopatik yang setel (adjusted) adalah seorang yang dengan sadar dan
ikhlas menerima statusnya, juga menerima peranan dan pendefinisian-diri sendiri.
Jelasnya dia ikhlas menerima pendefinisian eksternal (penamaan oleh orang luar), yang
kemudian ditransformasikan sebagai pendefinisian-diri. Dia menyadari, bahwa
masyarakat memberikan stempel pada dirinya sebagai orang yang
sosiopatik/menyimpang. Peranan dan stempel demikian menimbulkan perasaan malu dan
bersalah atau berdosa. Namun, dia merasa tidak berdaya untuk meninggalkan kebiasaan
dan tingkah lakunya yang abnormal itu. Misalnya kebiasaan minum-minuman keras,
kesukaan mencuru dan merapok, kesenangan menipu, dan lain-lain. Semua kontrol
rasional dan pertimbangan hati nurani ternyata sia-sia belaka, dan pribadi yang
bersangkutan menjadi budak dari kecenderungan-kecenderungannya yang sosiopatik.
Selanjutnya, dengan ikhlas diterimanya nasib dan status dirinya itu.
Apabila dalam masyarakat yang bersangkutan tidak terdapat organisasi deviasi
dengan pola atau kebudayaan khusus, seperti yang dianut oleh seorang pribadi yang
sosiopatik, maka proses adaptasinya dalam masyarakat menjadi sulit. Karena dialah satu-
satunya individu yang menyimpang atau abnormal misalnya satu-satunya pencoleng atau
penjudi. Sedang organisasi maling atau perjudian tidak ada dalam masyarakat itu.
Penyimpang demikian ini di sebut sebagai isolan atau pribadi yang terisolasi. Lagi pula
dia tidak bisa menambah keterampilan atau teknik-teknik sosiopatik dari para anggota
masyarakat lainnya.
Sebaliknya, apabila dia bisa memasuki satu organisasi sosiopatik yang
berstuktur rapi, maka dia mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya bagian dari
satu sistem kelompok, lalu melakukan identifikasi terhadap nilai-nilai dan norma-norma
organisasi deviasi tadi. Dia bisa menikmati satu solidaritas sosial bersama-sama dengan
kawan-kawan “senasib”. Dan bisa mempertahankan integritas kepribadiannya melalui
proses rasionalisasi dan ideologi-ideologi patologis terhadap agresi-agresi sosial dan
kejaran-kejaran dari luar, hukuman dan sanksi.

15
Oraganisasi-oraganisasi deviasi demikian bisa dibedakan satu sama lain. Yaitu
tergantung pada macam-macam faktor, antara lain: derajat solidaritas dalam kelompok,
besar kelompok dan jumlah anggotanya, sumber-sumber keuangan, kekuatan
sosial/personal dan kekuatan materiilnya, luas daerah operasi, dan kecepatan operasinya.
Ringkasnya, tergantung pada kerapian organisasinya. Dengan sendirinya, diharapkan agar
semua anggota baru yang mengawali kariernya dalam organisasi tersebut mampu
menyesuaikan diri dengan norma kelompoknya. Dengan begitu, dia bisa mengharapkan
tumpuan bantuan dari anggota dan pimpinan kelompok tersebut terhadap serangan-
serangan dari luar, untuk mempertahankan kedirian dan statusnya.
Ada juga pribadi-pribadi yang tidak mampu mengadakan penyesuain diri/
adaptasi terhadap lingkungannya, disebabkan oleh alasan sebagai berikut: ditolak oleh
masyarakat untuk menjalankan peranan-peranan yang sangat didambakannya, sebaliknya
menolak peranan-peranan yang disodorkan oleh masyarakat kepada dirinya atas dasar
alasan-alasan subjektif. Orang-orang yang demikian disebut sebagai individu-individu
marginal( peribadi tepian atau tengah-tengahan ). Pribadi marginal ini adalah otang yang
dihadapkan pada pilihan peranan juga disebabkan oleh keterbatasan internal atau
eksternal tertentu dia tidak mampu mengintegrasikan hidupnya atas dasar salah satu
peranan tersebut.
F. Reaksi Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat disamping dapat dijumpai orang-orang yang
berperilaku baik, banyak juga Penyimpangan- penyimpangan perilaku dalam kehidupan
masyarakat atau lingkungan sosial, biasanya perilaku penyimpangan ini menimbulkan
bermacam-macam reaksi dan sikap.Semuanya bergantung pada derajat atau kualitas
penyimpangan dan penampakannya, juga tergantung pada harapan dan tumtutan-tuntutan
yang dikenakan oleh lingkungan sosial. Maka norma sosial itu sifatnya kompulsif
memaksa. Reaksi sosial itu antara lain berupa: kekaguman, pujian, hormat, pesona,
simpati sikap acuh tak acuh, cemburu, iri hati, ketakutan,penolakan, hukuman,kebencian,
kemarahan hebat, dan tindakan-tindakan konktet.9
Dalam kehidupan bermasyarakat disamping dapat dijumpai orang-orang yang
berperilaku baik, banyak juga Penyimpangan- penyimpangan perilaku dalam kehidupan
9
Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.hal.37

16
masyarakat atau lingkungan sosial, biasanya perilaku penyimpangan ini menimbulkan
bermacam-macam reaksi dan sikap.Semuanya bergantung pada derajat atau kualitas
penyimpangan dan penampakannya, juga tergantung pada harapan dan tumtutan-tuntutan
yang dikenakan oleh lingkungan sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat disamping dapat
dijumpai orang-orang yang berperilaku baik, banyak juga Penyimpangan- penyimpangan
perilaku dalam kehidupan masyarakat atau lingkungan sosial, biasanya perilaku
penyimpangan ini menimbulkan bermacam-macam reaksi dan sikap.
Semuanya bergantung pada derajat atau kualitas penyimpangan dan
penampakannya, juga tergantung pada harapan dan tumtutan-tuntutan yang dikenakan
oleh lingkungan sosial Khususnya mengenai penyimpangan dalam bentuk ide- ide,
pikiran dan perilaku yang dianggap baru, berlangsunglah proses senagai berikut: mula-
mula ditolak hebatg oleh mayarakat luas, kemudia ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh
lambat laun diterima oleh masyarakat dengan sepenuh hati, maka produk dari peristiwa
tersebut berwujud perubahan sosial dan perubahan kultural.
G. Organisasi sosiopatik dan Kebudayaan Eksploitatif
Terhadap organisasi menyimpang dan individu-individu buangan dan daerah-
daerah yang dihuni oleh padra penyimpang itu pada umumnya dikenakan sanksi sebagai
berikut: Lokalisasi, penututpan total, dan lain-lain. Namun, disamping organisasi-
organisasi deviasi yang setengah atau tidak legal itu sering juga dieksploitasi oleh
kelompok-kelompok politik dan sosial lainya. Misalnya oleh para dokter, polisi, psikiater,
jaksa, hakim pejabat lokal dan lain-lain, untuk menjadikan sumber keuwangan
inkonvensional. Juga surat kabar sering kali menbesar-besarkan peristiwa dan
mempertinggi penampakan aktivitas- aktivitas patologis kuna menambah sirkulasi jumlah
korannya.10
Disebabkan oleh kondisi para penyimpang sosiopatik dan oleh statusnya yang
ekstra legal, ambiguis meragukan, sangat lemah, atau mempunyai aspirasi-aspirasi untuk
mendapatkan status normal ( misanya ingin menjadi warga negara indonesia, atau
mendapatkan paspor dan lain-lainnya) maka mereka itu sering dijadikan objek
eksploitasi.

10
Kartono, Kartini: Patologi Sosial, Jakarta: PT Raja Grafindon persada, 2009.hal.55.

17
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
Proses doperensiasi: ada orang- orang yang secara individual memang berbeda
dengan orang kebanyakan sejak lahirnya. Misalnya dengan cacat jasmani bawaan, atau
memiliki wajah dan tubuh yang mengerikan. Cacat seperti ini umumnya menimbulkan
perasaan- perasaan inferior ( rasa rendah diri ) yang sangat dalam pada pribadi yang
bersangkutan, sehingga respons sosialnya berkembang menjadi tidak wajar.
Pada umumnya, individu-individu dan kelompok–kelompok yang menyimpang
itu sangat mobile sifatnya, yang mana pribadi-pribadi ini sangat dibatasi ruang geraknya
oleh para anggota kelompok atau lingkungan lainnya. Mereka memiliki Afinitas dan
afinitas ini dijelaskan dalam kamus bahasa indonesi ialah(daya kait yang tinggi dengan
anggota-anggota kelompok sendiri atau keterkaitan/simpati yang ditandai oleh persamaan
kepentingan).

18
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, Kartini. 2009. Patologi Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Ajjaanamaaa

Ahmad, Mubarok. 2002. Konseling Agama Teori Dan Kasus. Jakarta: PT Bina Rena
Pariwari.

Tri, Rama. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Karya Agung.

Kamanto, Sunarto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas


Indonesia.

Kartono, kartini. 2011. Patologi Sosial, jilid 1, Jakarta: Rajawali Pers.

irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/tingkah-laku-sosiopatik.html

wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/penyesuaian-diri-pertumbuhan-personal-stress/

Maryati, Kun. 2006. Sosiologi X. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

Indiarto. 2004. Sosiologi, Jilid I. Jakarta: Erlangga.

19

Anda mungkin juga menyukai