Anda di halaman 1dari 22

ILA’

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kuliah Fikih Munakahat 2


Dosen pengampu: Dr. Hj. Mesraini, S.Ag., SH., M. Ag

Disusun Oleh:
Fahriatu Saidah 11220440000005
Ahmad Ardiansyah 11220440000030
Fadia Fauzia Racma 11220440000033

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmanirrahim
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Puji
syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul ILA’.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu dalam rangka memenuhi tugas pada mata
kuliah Fikih Munakahat 2. Harapannya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi para pembacanya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu dosen pengampu mata kuliah Fikih
Munakahat 2, Dr. Hj. Mesraini, S.Ag., SH., M.Ag. Yang telah memberikan arahan serta bimbingan
dalam tugas makalah ini.
Kami sebagai penyusun makalah menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan dan penyusunan makalah ini. Kami mengharapkan kritik dan saran agar makalah yang
kami susun dapat menjadi lebih baik.

Ciputat, 17 Oktober 2023

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ila’ ................................................................................................ 2
B. Hukum Ila’ ...................................................................................................... 4
C. Hikmah Ila’ ..................................................................................................... 5
D. Rukun dan syarat Ila’ ...................................................................................... 6
E. Pelaksanaan dan Hukum Ila’ ........................................................................ 15
F. Kewajiban Kafarat Ila’ .................................................................................. 16
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Secara etimologis atau bahasa, kata Ila’ berarti melarang diri dengan menggunakan
sumpah. Sedangkan menurut istilah terminologis, kata ila’ berarti sumpah untuk
tidak mencampuri lagi istri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak

menyebutkan jangka waktunya. Kata ila’ berasal dari bahasa arab dari kata: -‫يؤلى‬-‫ألى‬

‫ إيالء‬yaitu ‫ اخللف‬yang berarti sumpah. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Hamid
Hakim. Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-ila’ ialah menolak sesuatu dengan cara
bersumpah atau mengelak terhadap masalah itu. Al-Jaziri memberi keterangan bahwa
kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara syara’ dimana syara’
mengkhususkan hanya terhadap soal wata’ dari suami kepada istrinya. Dengan
demikian sumpah tidak makan, minum atau yang lainnya tidak termasuk sumpah ila’
B Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Ila’
2. Apa saja Hukum-hukum Ila’
3. Apa saja Hikmah Ila’
4. Apa saja Rukun dan syarat Ila’
5. Bagaimana Pelaksanaan dan Hukum Ila’
6. Apa saja Kewajiban Kafarat Ila’
C Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertia Ila’
2. Untuk mengetahui Hukum-hukum Ila’
3. Untuk mengetahui Hikmah Ila’
4. Untuk mengetahui Rukun dan syarat Ila’
5. Untuk mengetahui Pelaksanaan dan Hukum Ila’
6. Untuk mengetahui Kewajiban Kafarat Ila’

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ila’ dan Dasar Hukumnya


Secara etimologis atau bahasa, kata Ila’ berarti melarang diri dengan
menggunakan sumpah. Sedangkan menurut istilah terminologis, kata ila’ berarti
sumpah untuk tidak mencampuri lagi istri dalam waktu empat bulan atau dengan
tidak menyebutkan jangka waktunya.1

Kata ila’ berasal dari bahasa arab dari kata: ‫ىإيالء‬-‫يؤل‬-‫ ألى‬yaitu ‫ اخللف‬yang berarti
sumpah. Hal senada juga diungkapkan oleh Abdul Hamid Hakim (Hakim 1977, 124).
Menurut Sayyid Sabiq bahwa al-ila’ ialah menolak sesuatu dengan cara bersumpah atau
mengelak terhadap masalah itu (Sabiq 2008, 373). Al-Jaziri memberi keterangan bahwa
kata ila’ secara bahasa lebih umum dari pengertian secara syara’ dimana syara’
mengkhususkan hanya terhadap soal wata’ dari suami kepada istrinya. Dengan demikian
sumpah tidak makan, minum atau yang lainnya tidak termasuk sumpah ila’.2 Adapun
pengertian ila’ menurut istilah Al-Jaziri adalah sumpah kepada istrinya untuk

tidak mengkumpulinya selama empat bulan atau selama-lamanya. Dan menurut istilah
fiqih, terbagi menjadi 4 pengertian:
1. Dalam pendapat Imam Abu Hanifah:
Artinya : Ila’ adalah sumpah suami dengan menyebut nama Allah SWT
atau salah satu sifat-Nya, atau dengan nazar, atau ta’lik talak
untuk tidak menggauli istrinya selama waktu tertentu (az- Zuhaili 1989, 503).

1
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Cet. ke-IV (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,2004), hlm. 289
2
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-kutub al-‘Ilmiyah,
t.th., hlm. 413

2
2. Dalam pendapat Imam Malik:

Artinya : Ila’ adalah sumpah suami yang muslim dan mukallaf suami
mempunyai kemampuan untuk menggauli istrinya dengan
menggunakan nama Allah dan salah satu sifat-Nya untuk tidak
menggauli istrinya lebih dari empat bulan(Malik 2006, 778).

3. Dalam pendapat Imam Syafi’i:

Artinya : Ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak
menggauli istrinya secara mutlak (tanpa batas waktu) ataudalam
masa lebih empat bulan (az-Zuhaili 1989, 503)

4. Dalam pendapat Imam Ahmad bin Hambali:

Artinya : Ila’ adalah sumpah suami yang sanggup untuk menggauli


istrinya dengan nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya
untuk tidak menggauli istrinya walaupun sumpah itu sebelum
menggauli istrinya, baik sumpah secara mutlak atau lebih dari
empat bulan (az-Zuhaili 1989, 503)

3
Contoh ucapan ila yang diucapkan suami kepada istrinya, antara lain:
a. Demi Allah, saya tidak akan menggauli istriku
b. Demi kekuasaan Allah, saya tidak akan mencampuri istriku selama limabulan.
c. Demi Allah saya tidak akan mendekati istriku selamanya.

B. Dasar Hukum Ila’


Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yang pada masa itu sumpah
ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan
tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang Perempuan yang tidak
mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut enggan tidak
membatasi waktu dalam bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.3
Kemudian seiring dengan perubahan dan kemajuan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw,
terjadi pula perubahan pada ketentuan sumpah ila’ berupa risalah wahyu yang mana
diberi batasan tenggang waktu empat bulan, hal ini yang demikian tersebut agar hak-hak
seorang istri dapat terlindungi. Adapun dasar hukum ila’itu terdapat dalam al-Qur'an, yaitu
firman Allah Swt yang berbunyi:

ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ ِّ
‫}ى ى‬226‫يم ُُى{ى‬ ُ ُّ‫ينىيُ ْؤلُو َىنىمنىن َسآئ ِّه ْمىتَ َرب‬
ُ ‫صىأ َْربَ َعةىأَ ْش ُه ٍرىفَإ ْنىفَآءُوىفَإ َّنىهللاَى َغ ُف‬
ُ ‫ور ُُ َّىرح‬ َ ‫للَّذ‬

ِّ ‫ىَسيع‬
ِّ
‫}ى‬227‫يم ُُى{ى‬ َ ٌ َ َ‫ىعَزُمواىالطَّالَ َقىفَإِّ َّنىهللا‬
ُ ‫ىعل‬ َ ‫َوإِّ ْن‬

Artinya: “Bagi para suami yang mengila’ istrinya, maka menunggu selama empat
bulan,bila dia kembali maka sesungguhnya Allah Swt Maha Pengampun dan
Maha Penyayang. Bila dia ingin mentalaknya, maka sesungguhnya Allah Swt Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui”. (al-Baqarah: 226-227).

3
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-kutub al-‘Ilmiyah,
t.th., hlm. 41315 Departemen Agama RI, loc. cit., hlm. 559

4
Adapun dasar hukum ila’ yang bersumber dari hadits adalah:

Artinya: “Dari Ali ra. Ia berkata: apabila seorang lelaki ila’ (bersumpah) dengan
istrinya maka tidak terjadi talak, meskipun telah lewat empat bulan, hingga dia
dihentikan: maka ada halnya dia mentalak (istrinya) dan ada halnya dia mencabut
sumpahnya”. (HR. Malik).

‫سلَّ َم مِ ْن‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫ع ْنهُ قَا َل الَى َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ٌ‫سلَ ْي َما ُن قَا َل َحدَّثَنِي ُح َم ْيد‬
ِ ‫ع ْن اَن ٍَس َر‬
َ ‫ض‬ ُ ‫َحدَّثَنَا خَا ِلدُ ْب ُن َم ْخلَ ٍد َحدَّثَنَا‬
‫ش ْه َر تِ ْس ٌع‬ َ ‫علَى‬
َّ ‫ش ْه ٍر قَا َل ا َِّن ال‬ َ َ‫َّللا اِنَّكَ الَيْت‬ ُ ‫ش ْه ًرا َوقَ َعدَ فِي َم ْش ُربَ ٍة لَهُ فَنَزَ َل ِلتِس ٍْع َو ِع ْش ِرينَ فَقِي َل يَا َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬ َ ‫سائِ ِه‬
َ ِ‫ن‬
)‫َو ِع ْش ُرونَ (رواه البخاري‬

Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Makhlad Telah menceritakan kepada kami
Sulaiman ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Humaid dari Anas radliyallahu 'anhu,
ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersumpah untuk tidak mendekati isteri-
isterinya selama satu bulan. Kemudian beliau pun duduk di tempat minum miliknya, lalu
beliau mendatangi mereka -para isterinya- pada hari kedua puluh sembilan, maka
dikatakanlah pada beliau: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anda telah bersumpah untuk
sebulan." Maka beliau bersabda: "Sesungguhnya bilangan bulan itu adalah dua puluh
sembilan hari." (Riwayat al-Bukhori)

C. Hikmah Ila’

Melindungi Hak-Hak Istri: Ila' memberi perlindungan kepada istri terhadap


penolakan suami untuk berhubungan intim dengannya tanpa alasan yang sah. Ini
memberikan kepastian kepada istri bahwa suami tidak dapat sewenang-wenang menolak
kewajibannya untuk berhubungan intim.

Mendorong Komunikasi: Ila' dapat mendorong komunikasi antara suami dan istri.
Ketika suami merasa perlu melakukan ila', itu bisa menjadi peluang untuk membahas

5
masalah atau ketidakpuasan dalam pernikahan. Ini bisa memicu diskusi yang konstruktif
antara pasangan.

Pengendalian Terhadap Suami: Ila' memberikan kerangka hukum yang jelas


untuk membatasi sumpah suami. Dalam banyak kasus, suami mungkin berpikir dua kali
sebelum mengucapkan sumpah ila' karena mereka tahu akan ada konsekuensi hukum jika
mereka melanggar sumpahnya.

Perlindungan Terhadap Suami: Sementara ila' memberi perlindungan kepada


istri, itu juga memberi perlindungan kepada suami terhadap penyalahgunaan sumpah oleh
istri. Suami memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum jika istri
melakukan sumpah serupa.

Mengatur Periode Iddah: Ila' juga mengatur periode iddah (periode tunggu) bagi
istri, yang penting dalam konteks pernikahan yang mungkin telah berakhir atau
menghadapi ketidakpastian. Selama iddah, status pernikahan masih berlaku, dan istri
memiliki waktu untuk mempersiapkan diri secara fisik dan emosional.

D. Rukun dan Syarat Ila’


a. Rukun Ila’

Menurut Madzhab Hanafi rukun ila’ adalah sumpah untuk tidak mendekati istrinya
dalam bebrapa masa, meskipun suami adalah ahli dhimmah. Atau dengan menggunakan
ucapan yang membuat ila’ terlaksana, yang terdiri dari lafal yang bersifat terang-terangan
ataupun lafal yang bersifat sindiran, sebagaimana yang tadi telah disebutkan. Ila’
sebagaimana yang lainnya terlaksana, baik dalam kondisi rela maupun dalam kondisi
marah4.

Menurut Jumhur Fuqaha, ila’ memiliki empat rukun yaitu al-halif (orang yang
bersumpah), al-mahluf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah), almahluf ‘alaih (objek
sumpah), dan masa.

1.) al-Halif (orang yang bersumpah)

4
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’asir, 1989), 466.

6
Menurut Madhhab Maliki dia adalah suami muslim yang ‘aqil – baligh yang
dapat dibayangkan jatuhnya ila’ darinya, orang yang merdeka ataupun budak, sehat
atau sakit. Maka tidak sah ila’ yang dilakukan oleh ahli dhimmah. Menurut Madhhab
Hanafi dia adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak.
Yaitu semua orang yang ‘aqil – baligh, yang memiliki pernikahan, dan
disandarkannya kepada kepemilikan pernikahan. Atau orang yang tidak dapat
istrinya kecuali dengan sesuatu yang berat yang harus dia penuhi. Tidak sah ila’ yang
dilakukan oleh anak kecil dan orang gila karena keduanya bukan orang yang mampu
menjatuhkan talak.

Ila’ yang dilakukan oleh orang kafir sah, karena orang kafir adalah orang yang
mampu menjatuhkan talak. Ila’ yang dilakukan oleh seorang budak sah dengan
perkara yang tidak berkaitan dengan harta. Misalnya dia berkata,, “jika aku dekati
kamu maka aku harus melakukan ibadah puasa, atau haji, atau umrah”, atau ‚ “istriku
tertalak”, atau ‚ “demi Allah aku tidak akan mendekatimu”. Jika dia langgar
sumpahnya ini, dia harus menebusnya dengan berpuasa. Sedangkan perkara yang
berkaitan dengan harta, misalnya dia berkata, ‚ “Jika aku dekati kamu maka aku harus
membebaskan seorang budak” atau “aku harus mengeluarkan sedekah ini”, maka
tidak sah karena dia tidak memiliki kepemilikan harta. Juga tidak sah ila’ jika seorang
laki-laki berkata kepada perempuan yang bukan istrinya, atau kepada perempuan
yang telah dia talak tiga, karena dia tidak memiliki pernikahan dengan perempuan
ini. Akan tetapi, dia sandarkan ucapannya ini kepada kepemilikan pernikahan, yaitu
dengan berkata kepada perempuan yang bukan istrinya atau yang telah ditalak tiga, ‚
“jika aku kawini kamu maka demi Allah aku tidak dekati kamu” maka dengan ucapan
ini dia telah melakukan ila’5.

Menurut Madhhab Shafi’i, orang yang melakukan ila’ adalah semua suami yang
sah talaknya, atau semua suami yang telah ‘aqil – baligh yang mampu untuk
melakukan persetubuhan. Tidak sah ila’ yang dialakukan oleh anak kecil, orang gila,
orang yang dipaksa, orang yang dikebiri dan lumpuh. Juga menurut Mazhab tidak
sah ila’ yang dilakukan kepada istri yang vaginanya terhalang dengan daging ataupun

5
Ibid....467

7
tulang karena dengan adanya cacat ini tidak dapat dicapai maksud menyakiti dan
mendatangkan kemudharatan, karena cacat ini menghalangi terwujudnya maksud ini.
Sah ila’ yang dilakukan oleh orang yang sakit, orang yang ditawan, orang merdeka,
dan budak, orang muslim, orang kafir, orang yang impoten, orang yang mabuk yang
melakukan kemabukan dengan secara sengaja, karena sah talaknya secara global.

Orang yang melakukan sumpah ila’ menurut Mazhab Hambali adalah setiap
suami yang dapat mealakukan persetubuhan, yang bersumpah dengan nama SWT,
atau dengan salah satu sifat-Nya, untuk tidak menyetubuhi istrinya yang dapat
disetubuhi dalam masa yang melebihi empat bulan. Oleh karena itu, tidak sah ila’
yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu untuk melakukan persetubuhan, seperti
orang yang impoten, yang dikebiri dan yang lumpuh. Juga yang dilakukan yang
dilakukan dengan nazar atau talak, dan perkara lain yang sejenisnya. Juga tidak sah
ila’ yang dilakukan kepada permpuan yang vaginanya tertutup dengan daging dan
perkara lain yang sejenisnya. Juga tidak sah ila’ yang dilakukan oleh anak kecil yang
telah mengerti, atau orang gila, atau orang yang tengah pingsan. Sah ila’ yang
dilakukan oleh orang kafir, budak, orang yang tengah marah, orang yang tengah
mabuk, orang yang tengah sakit yang diharapkan kesembuhannya, dan orang yang
belum sempat menyetubuhi istrinya. Dengan jabaran ini telah jelas bahwa jumhur
ulama membolehkan ila’ yang dilakukan oleh orang kafir, sedangkan Mazhab Maliki
tidak membolehkannya6.

2.) Al-Mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah)


Allah SWT juga sifat-sifat-Nya menurut kesepakatan fuqaha. Begitu juga
halnya pendapat jumhur fuqaha yang selain mazhab Hambali, yaitu setiap sumpah
yang dilazimkan darinya hukum seperti talak, pemerdekaan, dan nazar, dengan
puasa atau shalat, atau haji dan perkara yang lain. Mazhab Hambali mengkhususkan
al-mahluf bihi dengan Allah SWT, atau salah satu sifat-Nya, bukan dengan talak
atau nazar dan perkara lain yang sejenis keduanya. Mazhab Maliki dan Hambali
berpendapat, orang yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah
dilazimkan hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh

6
Ibid....468

8
sebab itu, ditetapkan untuknya masa selama empat bulan. Kemudian ditetapkan
untuknya hukum ila’ karena dia tidak menyetubuhi istrinya sebagai upaya untuk
mendatangkan kemudharatan baginya, maka mirip dengan orang yang melakukan
ila’7.
3.) Al-Mahluuf a‘alaih (objek sumpah)
Objek sumpah itu adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung
pengertian persetubuhan. Misalnya, “aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak mandi
junub darimu, aku tidak dekati kamu”, serta berabagai lafal lain yang bersifat
terang-terangan dan sindiran yang tadi tela disebutkan yang mirip dengan lafal ini.
Menurut Ibnu Qudamah ila’ itu harus dalam bentuk sumpah tidak melakukan
hubungan kelamin dengan istri. Perbuatan lain dari itu tidak dinamakan ila’ seperti
bersumpah tidak akan mencium istri8.
4.) Masa
Menurut pendapat jumhur fuqaha selain Mazhab Hanafi yaitu si suami
bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya selama lebih dari empat bulan.
Sedangkan menurut pendapat mazhab Hanafi, masa yang paling minimal adalah
lebih dari empat bulan. Oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama tiga bulan,
atau empat bulan maka menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ila’. Menurut
Mazhab Hanafi, dia melakukan ila’ dengan sumpah masa empat bulan. Dia tidak
melakukan ila’ masa yang kurang dari empat bulan. Sebab perselisihan pendapat
diantara mereka adalah kembali kepada perselisihan pendapat mereka mengenai al-
Fay’, yang merupakan tindakan kembali mendekati istri. Apakah dilakukan
sebelum lewat masa empat bulan ataukah setelah lewat masa empat bulan.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa al-fay’ dilakukan sebelum lewat masa empat
bulan. Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat, alfay’ dilakukan setelah lewat masa
empat bulan, maka ila’ lebih panjang dari masa empat bulan9

7
Ibid....468
8
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), 281.
9
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami..., 469.

9
b. Syarat Ila’
Menurut Mazhab Hanafi syarat ila’ ada enam macam sebagaimana dijelaskan berikut ini:
1.) Posisi perempuan sebagai istri, meskipun hanya sekedar dari tinjauan hukum, seperti
istri yang tengah berada pada masa iddah dari talak raj’i pada waktu terjadinya ila’. Jika
perempuan tertalak ba’in dari suaminya dengan talak tiga atau dengan lafal talak ba’in
maka tidak sah ila’ dilakukan kepadanya
2.) Suami memiliki kemampuan untuk menjatuhkan talak. Maka sah ila’ yang dilakukan
oleh ahli dzimmah dengan sesuatu yang bukan sekadar perbuatan ibadah, seperti haji
dan puasa. Faedah disahihkannya ila’ yang dilakukan oleh ahli dzimmah meskipun dia
tidak dilazimkan untuk menebus sumpahnya adalah jatuhnya talak dengan tidak
mendekati istrinya pada masa ila’.
3.) Jangan sampai ila’ ini diikat dengan tempat, karena bisa saja dia dekati istrinya ditempat
yang lain. Misalnya, apabila suai bersumpah tidak akan mencium istrinya, maka ila’nya
tidak sah. Karena permasalahan pokok dalam ila’ adalah tidak melakukan senggama
dengan istri.
4.) Jangan sampai dia gabungkan antara istrinya dengan perempuan lain yang bukan istri,
karena bisa saja dia dekati istrinya saja dengan tanpa kelaziman apa-apa.
5.) Larangan yang dia miliki hanyalah mendekati saja..
6.) Meninggalkan al-fay’, maksudnya hubungan persetubuhan pada masa yang telah
ditetapkan, yaitu empat bulan karena Allah SWT menjadikan tekad talak sebagai syarat
jatuhnya ila’ dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah; “jika mereka berazam
(bertetap hati untuk) talak, sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha
mengetahui”. Kalimat “in”(jika) untuk syarat. Maksud tekad untuk talak adalah
meninggalkan penebusan pada masa ila’.Dalil mereka bahwa masa ila’ adalah selama
empat bulan adalah sesungguhnya penebusan dilakukan pada masa empat bulan bukan
setelahnya.

Mazahab Hambali dan mazhab-mazhab yang lain menyebutkan empat syarat bagi ila’,
yang akan diuraikan berikut ini:

1.) Suami bersumpah dengan nama Allah SWT, atau salah satu dengan sifat-Nya,
seperti Yang Mahakasih, dan Tuhan sekalian alam, bahwa dia tidak menyetubuhi

10
istrinya lebih dari empat bulan. Atau menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanafi,
dia bersumpah tidak melakukan persetubuhan dengan talak, atau pemerdekaan, atau
nazar sedekah harta, atau haji atau zihar. Berdasrkan apa yang diakatakan oleh Ibnu
Abbas, “setiap sumpah yang mencegah persetubuhan adalah ila’”. karena ini adalah
sumpah yang mencegah persetubuhan kepada istri, maka ini adalah ila’ yang seperti
halnya bersumpah dengan nama Allah. Jika dia berkata, “jika aku setubuhi kamu
maka aku harus melakukan puasa atau haji, atau umrah”. Maka ucapan ini adalah
ila’ menurut jumhur ulama. Mazhab Hanafi mengikatnya dengan perbuatan yang
memiliki kesulitan, bukan dengan melakukan shalat dua raka’at. Hal ini bukanlah
penebus ila’ karena tidak memiliki tingkat kesulitan. Pelaksanaan shalat sebanyak
seratus rakaat dapat menjadi penebus ila’. Menurut mazhab Hanafi, jika dia
bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan dengan nazar, sedekah harta, haji,
zihar, pengharaman perkara mubah, dan perkara lain yang sejenisnya tidak 48
dianggapa sebagai ila’. Dengan ucapan ini, suami tidak melakukan ila’ karena dia
tidak bersumpah dengan nama Allah SWT, mirip dengan jika dia bersumpah dengan
nama ka’bah.
2.) Dia bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan selama lebih dari empat bulan
karena Allah SWT menjadikan orang yang mengucapkan sumpah menunggu
selama empat bulan. Jadi jika dia bersumpah dengan empat bulan atau kurang dari
empat bulan, maka tidak ada makna menunggu karena masa ila’ habis sebelum masa
itu atau hilang bersama habisnya masa empat bulan itu. Jadi hal ini menunjukkan
bahwa masa yang kurang dari masa empat bulan ila’, karena kemudharatan tidak
terwujud dengan tidak melakukan persetubuhan pada masa kurang dari empat
bulan. Dengan dalil yang diriwayatkan dari Umar r.a., bahwa dia bertanya, “berapa
lama seorang istri merasa sabar untuk berpisah dari suaminya?” Pertanyaan ini
dijawab dengan perkataan, “dua bulan, dalam tiga bulan kesabaran semakin
berkurang, dan pada masa empat bulan hilang kesabarannya.” Jika telah hilang
kesabaran perempuan, maka dia akan meminta, oleh karena itu mesti lebih dari
waktu empat bulan. Dan cukup tambahannya dengan hanya sesaat saja10.

10
Ibid..., 470.

11
3.) Suami bersumpah untuk tidak melakukan persetubuhan di bagian vagina. Jika dia
tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah dan dengan tanpa tujuan
memberikan kemudharatan, maka dia tidak melakukan ila’, bagi zahirnya ayat,
“kepada orang-orang yang mengiala’ istrinya”. Jika dia berkata, “aku tidak
menyetubuhimu di bagian dubur” maka ucapan ini bukan tindakan ila’ karena dia
tidak meninggalkan persetubuhan yang wajib untuk dilakukan, dan istri tidak
mendapatkan kemudharatan dengan meninggalkan persetubuhan ini.
4.) Yang dijadikan objek sumpah adalah istri, berdasarkan firman Allah SWT, “kepada
orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh selama empat bulan (lamanya).”
Karena orang selain istri tidak memiliki hak untuk disetubuhi oleh si suami, maka
suami tidak dapat melakukan ila’ kepada perempuan yang selain istri, seperti halnya
perempuan asing. Jika suami bersumpah meninggalkan persetubuhan dengan
perempuan yang bukan istrinya, kemudian dia nikahi perempuan tersebut, bererti
dia tidak melakukan ila’ karena jika sumpah ini dia ucapkan sebelum pernikahan,
berarti dia tidak bertujuan untuk memberikan kemudharatan, maka dia mirip
dengan orang yang menolak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah. Sah
ila’ yang dilakukan kepad istri yang ditalak raj’i pada masa iddah menurut
kesepakatan fuqaha, karena dia sedang berada dalam hukum perkawinan yang dapat
dikenakan talak, maka dapat juga dikenakan ila’. Ila’ tidak sah dilakukan terhadap
perempuan yang ditalak ba’in, karena talak bai’n ikatan perkawinan telah putus. Ila’
sah dilakukan kepada setiap istri, baik istri yang muslimah maupun ahli dzimmah,
baik merdeka ataupun budak, karena keumuman Firman Allah SWT”kepada orang-
orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh selama empat bulan (lamanya)”. Dan
juga karena masing-masing dari mereka adalah istri, maka sah dilakukan ila’
kepadanya, bagaikan halnya perempuan merdeka dan beragama Islam. Sah
dilakukan ila’ sebelum dan sesudah terjadi persetubuhan, karenan keumumanayat
ini, juga terpenuhinya makna karena suami tidak mau menyetubuhi istrinya dengan
sumpahnya, maka mirip dengan ila’ yang terjadi setelah persetubuhan. Ila’ juga sah
dilakukakn kepada perempuan yang gila dan masih kecil. Kecuali dalam ila’ ini
suami tidak diminta untuk menebus sumpahnya pada anak kecil dan orang gila
karena keduanya tidak memiliki kemampuan untuk menuntut. Menurut Mazhab

12
Maliki syarat-syarat orang yang melakukan sumpah yaitu seorang suami yang aqil
baligh yang mampu untuk melakukan persetubuhan dan orang muslim. Maka tidak
sah ila’ yang dilakukan oleh orang selain suami, anak kecil dan orang gila karena
keduanya bukanlah orang yang dibebankan kewajiban. Syaikh Hasan Ayyub
menjelaskan bahwa ila’ sah dilakukan oleh setiap suami yang mukallaf dan mampu
melakukan persetubuhan. Ila’ tidak diisyaratkan dalam kondisi suami sedang marah
terhadap istrinya dan bermaksud merugikannya menurut sebagian ulama. Menurut
sebagian yang lain, suami disebut mu’li ketika ia berupaya memperoleh kebaikan,
tidak marah, dan tidak bermaksud merugikan11.
Juga tidak sah ila’ yang dilakukan oleh suami yang penisnya terputus dan lumpuh
karena dia tidak mampu melakukan persetubuhan, dan dia tidak dapat
melakukannya sebelum dia mengucapkan kata sumpah. Istri tidak terkena
kemudharatan dengan sumpah suami. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hambali sah
ila’ yang dilakukan oleh orang muslim, orang kafir, orang merdeka, hamba, orang
yang normal, yang dikebiri, orang yang sakit yang penyakitnya memiliki harapan
untuk disembuhkan, orang yang ditawan, orang yang mabuk, karena mereka
memiliki kemampuan untuk melakukan persetubuhan, maka sah penghalangan
mereka dari persetubuhan, juga berdasarkan keumuman ayat ila’. Menurut Mazhab
Maliki tidak sah ila’ yang dilakukan oleh orang kafir karena dia bukan orang yang
memiliki kemampuan untuk melakukan kafarat sumpah. Juga karena dia bukan
orang yang dapat diberikan ampunan dan rasa kasih yang berupa penebusan sumpah
yang disebutkan di dalam ayat ini, “kemudian jika mereka kembali (kepada
istrinya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang.”(Al-
Baqarah 226) Sesungguhnya orang kafir tidak mendapatkan ampunan dan rahmat
berupa penebusan sumpah. Sah ila’ yang terjadi pada kondisi rela dan marah. Dalam
ila’ tidak disyaratkan terjadi dalam kondisi marah. Juga tanpa maskud menciptakan
kemudharatan berdasarkan keumuman ayat ila’. Juga karena ila’ seperti talak,
zhihar, dan semua sumpah, baik dalam kondisi marah dan ridha, maka begitu juga
dalam ila’12.

11
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam..., 151
12
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami..., 472

13
Syarat-syarat ila’ menurut Jumhur Ulama adalah sebagai berikut;

1. Suami bersumpah dengan nama Allah SWT atau salah satu sifat pNya
2. Objek sumpahnya itu adalah senggama dengan faraj istrinya dalam jangka
waktu lebih dari empat bulan
3. Wanita itu masi berstatus istrinya, sekalipun secara hukum dalam masa iddah
Dari penjelasan di atas maka yang menjadi syarat ila’ adalah
1.) Syarat suami
a.) Islam
b.) Mampu dan cakap untuk melakukan thalak (baligh dan berakal)
c.) Mampu atau sanggup melakukan persetubuhan
2.) Syarat istri
a.) Mempunyai status istri sah, meskipun dalam masa iddah
b.) Tidak dalam masa menyusukan bayi
3.) Syarat sighat sumpah
a.) Memakai salah satu nama Allah atau salh satu sifat-Nya
b.) Ditujukan khusus untuk melakukan persetubuhan
c.) Sighat itu tidak mengandung dua tujuan yaitu tidak melibatkan wanita
selain istri
d.) tidak dikaitkan dengan suatu tempat tertentu
4.) Syarat al-mahlu alaih
Objek sumpah itu haruslah tidak melakukan persetubuhan pada istri
5.) Syarat jangka waktu ila’
a.) Menurut ulama Mazhab Hanafi jangka waktu ila’ itu adalah empat
bulan
b.) Menurut jumhur jangka waktu ila’ itu lebih dari empat bulan

14
E. Pelaksanaan dan Hukum 'Ilaa
Menurut mazhab Hanafi, Terdapat 2 macam hukum terhadap sumpah ilaa' ,yaitu; hukum
akhirat dan hukum dunia13 :

1. Hukum Akhirat
Adalah berdosa jika seorang suami tidak atau enggan menggauli istrinya secara
mutlak atau dalam batas waktu empat bulan atau lebih. Ini sebagaimana dalam firman
Allah Ta'ala:
ٌ ُ‫غف‬
‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ َّ ‫ُّص أ َ ْربَعَ ِة أ َ ْش ُه ٍر ۖ فَإِن فَا ٓ ُءو فَإِ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬ َ ِ‫ِللَّذِينَ يُؤْ لُونَ مِ ن ن‬
ُ ‫سآئِ ِه ْم ت ََرب‬
“Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian
jika mereka kembali (kepada isterinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (Q.S al-Baqarah (2): 226)

Menurut jumhur fuqoha, ila’ merupakan perkara yang haram karena bertujuan berbuat
aniaya kepada istrinya, bagi siapapun yang melakukan itu maka akan mendapat dosa. Hal
ini dikarenakan di dalam hukum ila’ yaitu ketika seorang suami yang bertekad untuk tidak
menggauli istrinya , sedangkan bagi istri untuk mendapat nafkah batin dari suami adalah
hak untuknya yang berarti kewajiban bagi suami, Ketika suami tidak mengerjakan atau
menjalankan kewajibannya dalam memberi nafkah batin kepada istri berupa jima, maka
suami sungguh telah berdosa atas perbuatannya itu. Sedangkan menurut ulama hanafiyah
ila' memiliki hukum makruh tahrim.
2. Hukum Dunia
Memiliki 2 konsekuensi; Pertama, jika suami melanggar sumpahnya dengan
menggauli dan kembali kepada istrinya pada 4 bulan pertama, maka baginya adalah
membayar kafarat sumpah. Kedua, jika suami menepati sumpahnya yaitu dengan tidak
menggauli istrinya, maka menurut hanafiyah telah terjadi talak ba'in tanpa harus
mengangkatnya ke hakim, cukup hanya dengan berlalunya waktu saja. Namun, menurut
jumhur perlu mengangkat perkara ini kepada hakim, sehingga hakim meminta kepada
suami untuk kembali menggauli istrinya, jika suami tetap tidak mau maka hakim
memutuskan talak dan terhitung talaknya sebagai talak raj'i.
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat terkait kapan jima' dapat dilakukan.
Menurut jumhur ulama, jima dapat dilakukan sebelum atau sesudah berakhirnya waktu,
adapun Hanafiyah menentukan bahwa jima' dapat dilakukan sebelum berakhirnya waktu.
Sedangkan perihal jatuhnya talak, maka menurut jumhur talak tidak langsung otomatis
jatuh dengan berakhirnya waktu, namun dapat terjadi dengan penjatuhan talak dari suami
atau hakim, jika hal ini dibawa sampai keperadilan dan istri terkena talak ba'in menurut

13
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu ,(Banten: Darulfikir) , Jilid 9, Hal.472

15
Hanafiyah dengan hanya berlalunya waktu selama empat bulan14. Ulama Hanafiyah
berlandaskan pada firman Allah Swt,
‫علِي ٌم‬
َ ‫سمِ ي ٌع‬ َ َّ ‫ط َٰلَقَ فَإِ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬ ۟ ‫عزَ ُم‬
َّ ‫وا ٱل‬ َ ‫َوإِ ْن‬
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. al-Baqarah (2): 227)

Sedangkan jumhur fuqaha menilai pada firman Allah Swt,


ٌ ُ‫غف‬
‫ور َّرحِ ي ٌم‬ َ َّ ‫… فَإِن فَا ٓ ُءو فَإِ َّن‬
َ ‫ٱَّلل‬
"Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), Maka sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi Maha penyayang" (Q.S. al-Baqarah (2): 226)

Menurut Prof. Wahbah az-Zuhaili15, pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur. Karena
jika jatuh talak dengan berakhirnya masa iilaa berarti tidak ada kebutuhan untuk bertekad
melakukan pembatalannya setelah terjadi iilaa'. Karena dengan diberikannya
penangguhan waktu kepada si suami untuk mengevaluasi dirinya sendiri dan menyadari
kesalahannya, lebih baik daripada menjatuhkan talak dan mengakhiri perkawinan.

F. Kewajiban Kafarat ilaa’


Bagi pelaku ilaa’, apabila ia melanggar atau membatalkan sumpah ilaa’ nya dengan menggauli
istrinya maka baginya dikenakan konsekuensi hukum harus membayar kafarat yamin
(sumpah). Berdasarkan firman Allah SWT,
ْ ُ ‫سطِ َما ت‬
َ‫ط ِع ُم ْون‬ َ ‫عش ََرةِ َمسَٰ ِكيْنَ مِ ْن اَ ْو‬ َ ‫ِطعَا ُم‬ ْ ‫ارت ُ ٓه ا‬ َۚ ‫عقَّدْت ُّ ُم ْاَلَ ْي َم‬
َ َّ‫انَ فَ َكف‬ َ ‫َّللاُ بِاللَّ ْغ ِو ف ِْٓي ا َ ْي َمانِ ُك ْم َو َٰلك ِْن ي َُّؤاخِ ذُ ُك ْم بِ َما‬
‫ََل ي َُؤاخِ ذُ ُك ُم ه‬
‫ظ ْٓوا اَ ْي َمانَ ُك ْم ۗ ك ََٰذلِكَ يُ َب ِي ُن ه‬
ُ‫َّللا‬ َ َّ‫ص َيا ُم ث َ َٰلثَ ِة اَي ٍَّام َٰۗذلِكَ َكف‬
ُ َ‫ارة ُ ا َ ْي َما ِن ُك ْم اِذَا َحلَ ْفت ُ ْم َۗوا ْحف‬ ِ َ‫ا َ ْه ِل ْي ُك ْم اَ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم ا َ ْو تَحْ ِري ُْر َرقَ َب ٍة ۗفَ َم ْن لَّ ْم َي ِجدْ ف‬
‫لَ ُك ْم َٰا َٰيت ِٖه لَ َعلَّ ُك ْم ت َ ْش ُك ُر ْون‬.
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja,
maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin,
yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka
pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu
melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-
hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya)”. (Q.S al-Maidah (5): 89)
Bentuk kafarat ilaa’ adalah sama dengan kafarat sumpah, Dari ayat diatas, maka diketahui
siapa saja yang melanggar sumpah maka akan dikenakan kafarat (denda),berupa memberi
makanan kepada sepuluh orang miskin, memberi pakaian kepada mereka, memerdekakan
budak, atau berpuasa selama tiga hari. Denda kafarat ini bersifat pilihan, sehingga dapat

14
Tim Ulin Nuha Ma'had Aly An-Nur, Fiqih munakahat, (Solo: Kiswah media), hal. 222
15
Op.cit .hal. 480

16
dipilih dari salah satu yang empat ini sesuai dengan kemampuan orang yang melanggar
sumpah.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ila’ menurut Imam Syafi’i adalah Ila’ adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk
tidak menggauli istrinya secara mutlak (tanpa batas waktu) ataudalam masa lebih empat
bulan. Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yang pada masa itu sumpah ila’
merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dengan tujuan
agar istrinya merasa terkatung-katung seperti seorang Perempuan yang tidak mempunyai suami
dan merasa tersiksa dengan keadaan demikian tersebut enggan tidak membatasi waktu dalam
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya tersebut.

18
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Cet. ke-IV (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,2004), hlm.
289
Abdul Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Ala Madzahib al-Arba’ah, Juz IV, Bairut: Libanon, Daar al-
kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 413
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’asir, 1989),
466.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2009), 281.
Tim Ulin Nuha Ma'had Aly An-Nur, Fiqih munakahat, (Solo: Kiswah media), hal. 222
1
Op.cit.hal. 480

19

Anda mungkin juga menyukai