Anda di halaman 1dari 12

ILA’

Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah


Fiqih Munakahat Lanjutan
(Dr.Hj. Rusdaya Basri, Lc., M. Ag)

Oleh

WAWAN HERMAWAN : 2020203874230013

NUR AWALIYAH : 2020203874230029

FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

PAREPARE

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt.


yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat dan Salam tetap tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw. Sebagai penutup para nabi.
Atas izin Allah, penulis berhasil menyelesaikan makalah yang
berjudul “ILA’” dengan tepat waktu.
Penulis menyadari dalam pembuatan makalah ini masih perlu saran
dan kritikan dari para pembaca agar kedepannya makalah ini dapat
disempurnakan dengan baik. Dan semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan menjadi pembelajaran khususnya bagi penulis.

Parepare, 20 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 2
A. Pengertian Ila’ ........................................................................................ 2
B. Dasar Hukum Ila’ ................................................................................... 3
C. Rukun dan Syarat Ila’ ........................................................................... 4
D. Hukum Ila’ .............................................................................................. 5
E. Hikmah diberlakukan masa 4 bulan .................................................... 6
F. Kaffarat Ila’ ............................................................................................ 7
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 9
A. Kesimpulan .......................................................................................... 9

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebahagiaan dalam keluarga merupakan keinginan yang diharapkan


semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan apa
yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing baik suami ataupun istri dalam
sebuah keluarga. Oleh karena itu, segala tingkah laku, gerak langkah, selalu
berorientasi kearah itu meskipun dalam pengaplikasiannya memakai cara yang
berlawanan dengan tujuan tadi. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit dalam
sebuah keluarga tidak selalu tenang dan menyenangkan. Ada kalanya
kehidupannya begitu efektif dan memusingkan. Hal tersebut terjadi karena peran
dan fungsi mereka khususnya bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan
apa yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Terlepas dari kewajiban
dan hak seorang istri terhadap suami atau sebaliknya, pada kesempatan kali ini
tidak akan membahas mengenai kewajiban dan hak tersebut akan tetapi akan
membahas mengenai Ila’.

B. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Ila’?


b. Apa dasar hukum Ila’?
c. Apa saja syarat dan rukun Ila’?
d. Bagaimana Hukum Ila’?
e. Apa himah diberlakukannya masa empat bulan dalam Ila’?
f. Bagaimana Kaffarat Ila’?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ila’

Ila’ berasal dari bahasa Arab ala’-yuwalli-ila’ yang berarti sumpah.1 Ila’ secara
bahasa adalah sumpah. Kata ila adalah bentuk masdar dari kata (‫ يولي – إيالء‬- ‫)الئ‬.
Karena itu, para ulama’ mendefinisikan ila’ dengan “sumpah yang diucapkan oleh
suami yang mampu melakukan jimak dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-
sifat-Nya yang serupa untuk meninggalkan jimak dengan istrinya melalui vagina
selama-lamanya 4 bulan atau lebih.2 Ila’ menurut Sayyid Sabiq adalah menolak
sesuatu dengan cara bersumpah atau mengelak terhadap masalah itu. 3 Bila menurut
Weda adalah melarang diri dengan menggunakan sumpah.4

Para ulama mazhab berbeda pendapat dalam mengemukakan definisi Ila’.


Mazhab Hanafi yang definisikan bahwa ila adalah sumpah suami dengan menyebut
nama Allah SWT atau salah satu sifat-Nya atau dengan nazar, atau talik talak untuk
tidak menggauli istrinya selama waktu tertentu. Ila’ dalam pandangan mazhab
Malikiyyah adalah sumpah suami yang muslim dan mukallaf suami mempunyai
kemampuan untuk menggauli istrinya dengan menggunakan nama Allah dan salah
satu sifat-Nya untuk tidak menggauli istrinya lebih dari 4 bulan. Adapun dalam
pandangan as-Syafi'iyah adalah sumpah suami yang sah talaknya untuk tidak
menggauli istrinya secara mutlak atau dalam masa lebih 4 bulan. Sedangkan dalam
pandangan mazhab Hanbali Ila’ adalah sumpah suami yang sanggup untuk
menggauli istrinya dengan nama Allah atau salah satu sifatnya untuk tidak
menggauli istrinya walaupun sumpah itu sebelum menggauli istrinya secara mutlak
atau lebih dari 4 bulan.5
Berdasarkan definisi di atas dapat dipahami bahwa pernyataan suami disebut
Ila’ jika memenuhi 5 keadaan:
1. Suami memungkinkan untuk melakukan hubungan badan.
2. Bersumpah atas nama Allah atau dengan menyebut Salah satu sifat Allah.

1
Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughghah (Beirut: Dar al-Mashruq, 1977), h.17.
2
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 714.
3
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah. (Beirut: Dar al-Fikr, 2008), h. 373.
4
Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1998), h. 488.
5
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fiqr al-Mu’asir, 1989), h.
503-504.

2
3. Sumpahnya berisi menghindari hubungan badan di kemaluan bukan di dubur.
4. Tidak mau jima selama 4 bulan atau lebih.
5. Istri memungkinkan untuk diajak hubungan badan.

Jika kelima syarat ini terpenuhi maka sumpahnya dinamakan Ila’ dan
hukumnya sesuai dengan ketentuan hukum tentang ila’ yang diatur dalam nash.
Dan jika salah satu dari mereka mencabut sumpahnya, maka tidak ada lagi hukum
ila’.6 Hukum ini adalah haram, ila’ pada hakekatnya adalah sumpah untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh suami yaitu nafkah
batin bagi istri.

B. Dasar Hukum Ila’

Ila’ merupakan kebiasaan orang jahiliyah sebelum Islam datang, dan kebiasaan
tersebut berlangsung terus sampai pada permulaan Islam. Menyebabkan
kesengsaraan istri, dimana istri tidak disetubuhi atau tidak pula diceraikan dan hal
ini berlangsung selama 1 tahun atau 2 tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa
istrinya dan menjadikan statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami,
namun juga tidak dicerai. Oleh karena itu, Allah memberi batas sumpah ila
maksimal 4 bulan sebagaimana terdapat dalam Quran surah Al Baqarah ayat 226
dan 227:

َّ ‫عزَ ُموا ال‬


‫طالَقَ فَإِ َّن‬ َ َ‫ُّص أ َ ْربَعَ ِة أ َ ْش ُه ٍر فَإِ ْن فَآ ُءو فَإِ َّن هللا‬
ُ ُ‫غف‬
َ ‫ور َّرحِ ي ُمُُ َوإِ ْن‬ َ ِ‫ِللَّذِينَ يُؤْ لُونَ مِ ن ن‬
ُ ‫سآئِ ِه ْم ت ََرب‬
ُُ‫علِي ُم‬
َ ‫س ِمي ٌع‬
َ َ‫هللا‬

Terjemahannya:

Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh 4 bulan


(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika
mereka ber’azam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

6
Abdur Rahman Ghazali, Fiqhi Munakahat (Jakarta: Kencana, 2003), h. 107.

3
Ayat diatas diturunkan untuk menghapuskan apa yang sudah berlangsung di
masyarakat jahiliyah, yaitu Mengila’ atau menyumpahi istrinya untuk tidak
melakukan hubungan badan suami istri hingga 2 tahun. Berdasarkan ayat di atas,
Allah menghapus kebiasaan tersebut, dan menetapkan jangka waktu maksimal
yaitu 4 bulan.

C. Rukun dan Syarat Ila’

Menurut jumhur fuqaha, ila’ memiliki empat rukun.7

1) Al-haalif (orang yang bersumpah atau Al-mauli)


Al-mauli atau orang yang melakukan ila’, dalam pandangan mazhab
Hanafi adalah setiap suami yang memiliki kemampuan untuk menjatuhkan
talak. Yaitu semua orang yang aqil baligh yang memiliki pernikahan dan
disandarkannya kepada kepemilikian pernikahan. Atau orang yang tidak
dapat mendekati istrinya kecuali dengan sesuatu yang berat yang harus
dipenuhi. Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan ila’
adalah suami yang sah talaknya atau semua suami yang aqil baligh yang
mampu untuk melakukan persetubuhan. Tidak Sah ila’ yang dilakukan
oleh anak kecil, orang gila, orang yang dipaksa, dan orang yang lumpuh.
Menurut mazhab Hambali orang yang melakukan ila’ adalah setiap suami
yang dapat melakukan persetubuhan, yang bersumpah Dengan nama Allah
atau dengan salah satu sifatnya untuk tidak menyentuh istrinya yang dapat
disetubuhi dalam masa yang melebihi 4 bulan.
2) Al-mahluuf bihi (yang dijadikan sebagai sumpah)
Al-mahluuf bihi atau yang dijadikan sebagai sumpah adalah dengan
menyebut nama Allah atau juga dengan menyebut sifat-sifatnya menurut
kesepakatan para fuqaha. Menurut mazhab Hambali dan Maliki orang
yang tidak melakukan persetubuhan dengan tanpa sumpah di lazimkan
hukum ila’ jika dia bertujuan untuk menciptakan kemudharatan. Oleh
sebab itu ditetapkan masa selama 4 bulan.
3) Al-mahluuf alaih (objek sumpah)

7
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, h. 467-471.

4
Objek adalah persetubuhan, dengan semua lafal yang mengandung
pengertian persetubuhan. Misalnya: aku tidak setubuhi kamu dan aku tidak
junub darimu, aku tidak dekati kamu.
4) Masa
Menurut pendapat jumhur fuqaha selain mazhab Hanafi yaitu si suami
bersumpah untuk tidak menyetubuhi istrinya selama lebih dari empat
bulan. Sedangkan menurut mazhab Hanafi masa yang paling minimal
adalah lebih dari 4 bulan, oleh karena itu, jika si suami bersumpah selama
3 bulan atau 4 bulan menurut jumhur fuqaha dia tidak melakukan ila’,
sebab perselisihan pendapat di antara mereka adalah kembali kepada
mereka mengenai Al-Fay yang merupakan tindakan kembali mendekati
istri. Apakah dilakukan sebelum lewat masa 4 bulan ataukah setelah masa
4 bulan.
Setelah lewat dari 4 bulan itu si suami harus memilih satu dari tiga hal
berikut ini:
a. Ia menggauli istrinya, namun sebelumnya ia harus membayar
kafarat sumpahnya.
b. Suami menjatuhkan talak kepada istrinya. Talak itu dihukumi
talak ba’in qubro.
c. Apabila suami tidak melakukan kedua ketentuan diatas maka
istri berhak mengajukan cerai kepada pengadilan.

D. Hukum Ila’

1. Hukum Ukhrawi adalah bahwa para suami yang telah mengila’ istri-
istrinya, kemudian ia tidak kembali menggauli istrinya setelah habis masa
menunggu, berarti ia telah melakukan perbuatan dosa. Apabila ia kembali
mencampuri istrinya sebelum habis masa menunggu, berarti ia telah taubat
dari dosanya. Karena itu Allah tidak akan menghukum sumpahnya, bahkan
Allah akan menerima taubatnya dan mengampuninya.
2. Hukum duniyawi adalah bahwa ia wajib mencerai istrinya setelah habis
masa menunggu, yaitu setelah habis masa 4 bulan atau masa yang telah
ditentukan dalam Sighat Ila’. Seandainya suami melanggar telah

5
memutuskan tidak akan memulangi istrinya itu. Allah mendengar dan
mengetahui segala macam tindakan suami di waktu ia menjatuhkan talak.
Berdasarkan keterangan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
sebagaimana hukum talak, maka hukum asal dari ila’ adalah makruh. Ila’
akan haram hukumnya jika tujuannya adalah untuk menambang istrinya
dan untuk membiarkan istrinya hidup dalam keadaan terkatung-katung.8
Ila’ diperbolehkan untuk memberi pelajaran kepada istri jika dilakukan
kurang dari 4 bulan, karena keumuman ayat al-Baqarah ayat 226 dan juga
Rasulullah SAW pernah mengila’ isterinya selama sebulan penuh.9

E. Hikmah diberlakukan masa 4 bulan

1. Dalam masa 4 bulan memungkinkan jiwa untuk mengembalikan diri dari


menggauli istri.
2. Dalam masa ila’ itu ada kesempatan untuk menjaga kehormatan diri.

Apabila selama 4 bulan maka seorang suami yang mengila’ istrinya jika diberi
tawaran dan diminta fai’ah akan ia mampu untuk melakukannya tetapi ia tidak mau
melakukannya maka ia diperintahkan untuk menceraikan istrinya.

Dengan demikian jika suami menolak melaksanakan kewajiban kepada


istrinya berarti ia telah menolak untuk rujuk dengan cara yang baik pula. Jika ia
berhalangan, maka ia harus menyatakan bersedia kembali secara lisan. Dan jika
sudah mampu bercampur maka ia diperintahkan untuk segera bercampur dan jika
tidak maka diperintahkan untuk menceraikan istrinya tersebut. Demikianlah yang
dikemukakan oleh Syafi'i dan Ahmad.

Jika istri tidak lagi menuntutnya setelah hal itu diwajibkan kepadanya, maka
sebagian ulama Fiqih mengatakan dengan demikian maka haknya sudah gugur dan
ia tidak lagi mempunyai hak untuk melakukan tuntutan. Sedangkan imam Syafi'i
berpendapat hak itu masih ada, dan ia boleh menuntut kapan saja ia kehendaki.

8
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h.
193
9
Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Fiqih Ibadah dari Minhajul Muslim (Surakarta: Media Insani
Publishing, 2006), h. 606.

6
Karena itu adalah sebagai upaya menghindari hal-hal negatif dan ia bahkan
mempunyai hak untuk kembali kepada suaminya.10

F. Kaffarat Ila’

Pada hakekatnya, ila’ adalah sumpah. Oleh karena itu, kafarat ila’ adalah
sebagaimana kafarah sumpah yang disebutkan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah
ayat 89

‫عش ََر ِة َمسٰ ِكيْنَ مِ ْن‬ ْ ‫اَل ْي َما نَ ُ فَ َكفَّا َرت ُ ْۤه ا‬
َ ‫ِط َعا ُم‬ َ ‫ّٰللاُ ِبا للَّ ْغ ِو فِ ْۤ ْي اَ ْي َما نِكُ ْم َو ٰلـك ِْن يُّؤَاخِ ذُكُ ْم ِب َما‬
َ ْ ‫عقَّدْت ُّ ُم‬ ‫ََل يُؤَاخِ ذُكُ ُم ه‬
‫صيَا ُم ثَ ٰلثَ ِة اَيَّا ٍم ُ ٰذلِكَ َكفَّا َرة ُ اَ ْي َما نِكُ ْم‬
ِ َ‫ط ِع ُم ْونَ اَ ْه ِل ْيكُ ْم اَ ْو ِكس َْوت ُ ُه ْم اَ ْو تَحْ ِري ُْر َرقَبَ ٍة ُ فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِجدْ ف‬ ْ ُ ‫سطِ َما ت‬
َ ‫اَ ْو‬
‫اِذَا َحلَ ْفت ُ ْم ُ َوا حْ فَظُ ْۤ ْوا اَ ْي َما نَكُ ْم ُ ك َٰذلِكَ يُبَيِ ُن ه‬
َ‫ّٰللاُ لَـكُ ْم ٰا ٰيت ِٖه لَعَلَّكُ ْم تَ ْشكُ ُر ْون‬

Terjemahannya:
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah sumpahmu yang tidak
disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kaffarahnya (denda pelanggaran
sumpah) adalah memberikan makanan kepada sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka
pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak mampu
melakukannya, berpuasalah tiga hari. Itulah kafarah sumpah-sumpahmu
apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah
menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-
Nya).
Berdasarkan ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kafarat yang harus
dibayar untuk menebus ila’ adalah:

1. Memberikan makan kepada 10 orang miskin, atau


2. Memberikan pakaian kepada 10 orang miskin, atau
3. Memerdekakan seorang budak, titik 4
4. Kemudian, apabila tidak mampu melaksanakan salah satu dari ketiga
alternatif di atas, kaffarahnya adalah berpuasa selama tiga hari.

10
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga (Jakarta: Pustaka Al-Kautsyar, 2001), h. 346-347.

7
Orang yang ingin menebus kaffarah ila’ atau sumpah tidak boleh langsung
memilih alternatif keempat ini, apabila ia secara finansial atau fisik masih mampu
melakukan salah satu dari tiga alternatif kaffarah diatas.

Jika sampai 4 bulan dia belum mau menggauli istrinya, maka dia diperintahkan
untuk menceraikan istrinya, jika istrinya menuntut. Dan jika dia menceraikan
istrinya, berarti tidak melanggar sumpah. Imam Bukhari membawakan keterangan
Ibnu Umar RA: “jika sudah berlalu selama 4 bulan, maka suami yang melakukan
ila’ ditahan, sampai dia menceraikan. Dan tidak jatuh cerai sampai suami
menceraikan istrinya.”

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Ila’ merupakan sumpah yang diucapkan oleh suami yang mampu


melakukan jimak dengan nama Allah SWT atau dengan sifat-sifat-Nya yang
serupa untuk meninggalkan jimak dengan isterinya melalui vagina selama-
lamanya empat bulan atau lebih. Ila’ merupakan kebiasaan orang jahiliyah sebelum
islam datang, dan kebiasaan tersebut belangsung terus-menerus sampai pada
permulaan islam. ila’ menyebabkan kesengsaraan isteri karena sang istri tidak
terpenuhi kebutuhan biologisnya namun tidak pula diceraikan oleh suaminya. Hal
ini tentu akan menyikssa istri dan menjadikan status istri tidak jelas. Allah SWT
memberi bataas sumpah Ila’ maksimal 4 bulan sebagaimana dalam QS. Al-
Baqarah ayat 226-227 dimana ayat ini diturunkan untuk menghapuskan apa yang
sudah berlangsung di masyarakat Jahiliyah. Rukun dan syarat Ila menurut jumhur
fuqaha ada 4, yaitu: 1) Al-halif, 2) Al-Mahluuf bihi, 3) Al-Mahluuf Alaih, 4) Masa.
Adapun hukum ila’ ada dua, yaitu hukum ukhrawi dan hukum dunyawi. Kafarat
Ila’ sama dengan kaffarat sumpah karena pada hakikatnya, ila’ adalah sumpah.

Anda mungkin juga menyukai