Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FIQIH MUNAKAHAT

LI’AN, ILA’, DAN ZIHAR

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Akademis


Dalam Menyelesaikan Pendidikan Tingkat Sarjana
(Strata-1)
Program Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Sekolah Tinggi Ilmu Al Qur’an (STIQ) Isy Karima

Dosen Pengampu : Ustadz Ipmawan Muhammad Iqbal


Disusun oleh : Muhammad Ridwan Abror
NIM : Q.190364
NIRM : 19/X/38.3.4/0337

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI ILMU AL-QURAN ISY KARIMA
KARANGANYAR
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu


wa Ta’ala atas limpahan rahmat, hidayah serta inayahNya yang kemudian diiringi
do’a dan ikhtiar sehingga penulis mampu menyelesaikan laporan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) ini. Sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad, keluarga,
sahabat, dengan segenap umat beliau hingga hari kiamat.
Makalah ini dibuat adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan Strata Satu (S1) Program studi Ilmu Al-Quran dan Tafsir.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tuga mata kuliah fiqih munakahat.
Dalam penulisan laporan ini penyusun telah mendapatkan bantuan dari beberapa
pihak, Sehingga penulis dapat membuat makalah ini dengan lancar. Oleh karena
itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen pengampu dan
teman-teman sekalian.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala kita kembalikan semua
urusan dan semoga PKL ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan para pembaca pada umumnya. Semoga Allah Subhanahu wata’ala
meridloi dan mencatat sebagai amal ibadah disisi-Nya Aamiin.

Karanganyar, 16 Mei 2023


Mahasiswa

M. Ridwan Abror

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dasar hukum li’an, ila’, dan zihar
1. Li’an
a. Pengertian Li’an
b. Hukum-Hukum yang Menimpa Orang yang Melakukan Li’an
2. Ila’
a. Pengertian Ila’
3. Zihar…………………………………………………………………....5
a. Pengertian Zihar……………………………………………………5
b. Hukum Zihar……………………………………………………….6
BAB III PENUTUP…………………………………………………………...7
A. Kesimpulan…………………………………………………………….7
B. Saran……………………………………………………………………7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh setiap orang
Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai pelengkap keislaman seseorang
didalm ibadah ialah juga agar agar dapat membangun keluarga yang sakinah, sehingga
membuahkan mawadah wa rahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada
keturunannya yang tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya.
Namun disamping itu yang sudah tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim
bahwa kerap kali didalam membangun rumah tangga seperti yang dicitacitakan oleh
rasulullah sering kali menghadapi problematika-problematika hidup, baik itu dari segi
bathiniyah maupun dhohiriyah yang dewasa ini sering kita kenal dengan faktor intern dan
faktro ekstern.
Oleh karena itu perlu kiranya bagi kita semua sebagai seorang muslim, bagi kami
khususnya (pemakalah) untuk mempelajari, mengerti serta memahami tentang Ila’, Li’an,
Zihar,

B.     Rumusan Masalah
a.      Apa pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar?

C.    Tujuan
a.      Untuk mengetahui pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar

3
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian, dasar hukum ‘Ila, Lian dan Zhihar


1.      LIAN
a.        Pengertian Lian
Li’an secara etemologi adalah bermakna muba’adah (jauh) dalam arti adanya li’an ini
menyebabkan pasangan suami istri jauh dari rahmat Allah atau menyebabkan terjadinya
perpisahan di antara keduanya. Secara terminologi adalah kalimat-kalimat tertentu yang
dijadikan argumentasi bagi orang yang berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah
menodai kesucian istrinya. Sedangkan dasar pijakan dalam persoalan ini adalah firman Allah
Surat An-Nur ayat 6-9 yang berbunyi :
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak mempunyai
saksi-saksi selain dari mereka sendiri, maka kesaksian masingmasing orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata
benar. Dan sumpah yang kelima bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk
orang yang berdusta. Dan istri itu terhindar dari hukuman apabila dia bersumpah empat kali
atas (nama) Allah bahwa dia (suaminya) benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta.
Dan (sumpah) yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia
(suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar”
Dan apabila ada seorang laki-laki yang sudah aqil baligh menuduh zina terhadap
istrinya, baik tuduhan tersebut bersifat jelas seperti mengatakan “engkau telah berzina”, atau
tidak jelas (kinayah) seperti mengatakan “wahai orang yang durhaka atau fasiq dan
sebagainya”, maka pernyataan ini berkonsekuensi had bagi si suami. Apabila suami tidak
mampu mendatangkan saksi atau tidak melakukan li’an.

b.      Hukum-Hukum Yang Menimpa Orang Yang Melakukan Li’an


Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya
hukum-hukum berikut ini :
1.      Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan
isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”[4]
2.        Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang
saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak
(boleh) ruju’ buat selama-lamanya.”[5]
3.      Wanita yang bermula’anah berhak memiliki mahar
4.       Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
5.      Isteri yang bermula’anah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.

2. ‘ILA
a. Pengertian Ila.
Ila’ menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu,
sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri.

4
Menurut Rijal ( 1997 : 250 ) ila’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli
istrinya dalam waktu selama empat bulan atau tanpa ditentukan.
Menurut Hakim dalam bukunya hukum perkawinan islam ( 2000 :
180) ila adalah sumpah suami untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan
istrinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jaman jahiliyah untuk menyusahkan istrinya selama
satu tahun atau dua tahun. Perbuatan ini tentu akan menyiksa istrinya dan menjadikan
statusnya menjadi tidak jelas, yaitu hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Menurut Rasjid dalam bukunya fiqih islam ( 1996 : 410 ) ila artinya sumpah suami
tidak akan mencampuri istrinya dalam masa lebih dari empat bulan atau tidak menyebutkan
jangka waktunya.
Apabila seorang suami bersumpah sebagaimana sumpah tersebut, hendaklah
ditunggu selama empat bulan. Kalau dia kembali baik kepada istrinya, sebelum sampai empat
bulan, dia diwajibkan membayar denda sumpah ( kaparat ) saja. Tetapi sampai empat bulan
dia tidak kembali baik dengan istrinya, hakim berhak menyuruhnya memilih dua perkara,
yaitu membayar kaparat sumpah serta berbuat baik pada istrinya, atau menalak istrinya.
Kalau suami itu tidak mau menjalani salah satu dari kedua perkara tersebut, hakim berhak
menceraikan mereka secara terpaksa.
Sebagian ulama berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali
( tidak campur ), maka dengan sendirinya kepada istri itu jatuh talak bain, tidak perlu
dikemukakan kepada hakim.
    Firman allah SWT dalam Q.S Al-baqarah ayat 226-227.

ْ ‫ص َأ ْربَ َع ِة َأ‬
‫ش ُه ٍر فَِإنْ فَآ ُءو فَِإنَّ هللاَ َغفُور َّر ِحي ُُم َوِإنْ َع َز ُموا‬ َ ِّ‫لِّلَّ ِذينَ يُْؤ لُونَ ِمن ن‬
ُ ُّ‫سآِئ ِه ْم ت ََرب‬
‫ع َعلِي ُُم‬eٌ ‫س ِمي‬ َ َ‫الطَّال‬
َ َ‫ق فَِإنَّ هللا‬
     Artinya :
“ Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh empat bulan( lamanya)
kemudian jika mereka kembali ( kepada istrinya ), maka sesungguhnya Allah SWT maha
pengampun lagi maha penyayang.  Dan jika mereka berazam ( bertetap hari untuk)talak,
maka sesungguhnya Allah SWT maha mendengar lagi maha mengetahui.

3.  ZHIHAR
a.  Pengertian Zihar
        Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami
mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah
seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya.
          Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-
lamanya.Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar
bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang
menzihar istrinya harus membayar kafarat.[6]
Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan
(mahram) baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan
orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
            Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau
menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti
punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa
dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.

5
Dalil Zihar dalam Al-Qur’an adalah Surah Al-Mujadalah ayat 2-4 :

2. “Orang-orang yang menzihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

3. Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka
ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami
istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa
yang kamu kerjakan.

4. “Siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya)
memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat
pedih.”

b. Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang
melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini
berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya
zihar:
1.         Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2.         Penzihar wajib membayar kafarat zihar.[7]
             Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada
istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak
sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang
kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus
membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan
budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut,
jika tidak mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.

           Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin
menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim.
Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan
berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau
berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.[8]
Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu
adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung
bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan mahram suaminya, misalnya suami
mengatakan " Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung
saudara perempuanku.
Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan mahram suami adalah
zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya
mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang mahramnya yang

6
haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena rada'ah adalah
termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-
lamanya.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah tersebut dapat diambil kesimpulan yaitu : Khulu’ adalah
perceraian yang diminta oleh istri dari suaminya dengan memberikan ganti sebagai
tebusannya. Li’an adalah kalimat tertentu yang dijadikan argumentasi bagi orang yang
berkeinginan menuduh zina terhadap orang yang telah menodai kesucian istrinya. Ila’
menurut bahasa artinya bersumpah takkan melakukan sesuatu, sedangkan menurut syara’
yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan menyetubuhi istri  Zihar di ambil dari kata Zahr
yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya
Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah
menzihar istrinya.

B.     Saran
Didalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak kekeliruan yang
mungkin tidak disadari oleh penulis. Dari itu, diharapkan kepada seluruh pembaca, jika
menemukan kekeliruan dalam makalah yang kami buat ini, maka penulis berharap pembaca
dapat memberikan kritik dan saran yang membangun, supaya penulis tidak lagi melakukan
kesalahan yang sama. Dan demi mewujudkan karya-karya ilmiah yang lebih baik.

7
[1] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 86.
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006, hl. 231.

[3] Amir, Hukum Perkawinan .., hl. 232


[4] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IX: 458 no: 5314, Muslim II: 1133 no: 9 dan 1494.
[5] Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2104 dan 'Aunul Ma'bud VI: 337 no: 2233 serta Baihaqi VII: 410.
[6] Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari 1X: 452 no: 5309, Muslim II: 1129 no: 1492 dan ‘Aunul Ma’bud VI: 339 no:
2235.
[7] Djamaan Nur.Fiqh Munakahat : hal 154
[8] Ibid……..155
[9] http://www.rahima.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=793:membincang-
masalah-khulu-gugat-cerai-istri-dalam-islam-suplemen-edisi-15ed-35-
&catid=49:suplemen&Itemid=319

Anda mungkin juga menyukai