Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

AKAD WAKALAH

Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Syahrullah, SE., MM

Disusun guna memenuhi tugas FIKIH MUAMALAH

DISUSUN OLEH :

Sisca Oktaviani
( 200801004 )

FAKULTAS STUDI ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH RIAU
2021
A. PENDAHULUAN

Makalah ini membahas tentang Wakalah. Kajian tentang Wakalah penting untuk
disajikan pada kelas Perbankan Syariah, karena agar kita mengetahui bagaimana
mengaplikasikan wakalah dalam kehidupan kita dan semuanya itu sudah ada dan diatur
dalam al Qur‟an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulama
terdahulu.

Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian dalam kitab, buku dan jurnal yang
berkaitan langsung dengan masalah wakalah. Pembahasan dalam makalah ini dimulai dari
definisi wakalah, dasar hukum wakalah, rukun dan syarat wakalah.

Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat
membantu seesorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang
tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah
direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-
menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan
B. Definisi Wakalah

Pengertian al-wakalat secara bahasa adalah al-tafwidh (pendelegasian), al-hifzh


(memelihara), al-kifa at (penggantian), dan al– dhaman(tanggung jawab). Diartikan demikian
karena dalam akad ini terdapat pendegelasian dari pihak pertama kepada pihak kedua untuk
melakukan sesuatu yang didelegasikan kepadanya. Pihak yang menerima pelimpahan
wewenang berkedudukan sebagai wakil, pemelihara (al-hafizh), penanggung jawab (al-
dhamin), dan pengganti (al-kafi).

Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendegelasian, atau pemberian mandat.


Dalam bahasa arab, hal ini dapat dipahami sebagai al-tafwidh, contoh kalimat “aku serahkan
urusanku kepada Allah” Artinya, Anda menyerahkannya kepada Allah.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat 19 mendefinisikan


wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.” Kuasa
dalam konteks ini kuasa untuk menjalankan kewajiban dan juga kuasa untuk menerima hak.
Kuaa untuk menjalankan kewajiban misalnya seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk
membayar utang. Sementara kuasa untuk menerima hak seperti mewakilkan untuk menerima
pembayaran utang. Seorang wakil sepenuhnya menjalankan dan kewenangan dan tanggung
jawab orang yang diwakilkannya. Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga atau juga
bermakna mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu, seperti halnya firman Allah dalam
QS. Yusuf:55.

Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
(muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya,
maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.

C. Dasar Hukum

Dari dulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad wakalah untuk


menyelesaikan segala persoalan hidup mereka. Hal ini terjadi karena unsur keterbatasan yang
senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Untuk itu syari‟ah memberikan legalitas atas
keabsahan akad tersebut.8 5

a. Al Qur‟an

Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT berkenaan
dengan kisah Ash-habul Kahfi, yang artinya :

“Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka
sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada
(disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata
(yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).
Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang
perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia
membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (al-Kahfi:19)

Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan
atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.

Dan juga terdapat dalam surat al-Nisa‟ ayat 35 yang artinya:

“Maka utuslah seorang hakim dari keluarga lelaki dan seorang

hakim dari keluarga perempuan”.(QS. Al-Nisa‟: 35)

Begitu juga terdapat dalam surat Yusuf ayat 93 yang artinya:

“Pergilah kamu membawa bajuku ini, lalu letakanlah ia kemuka bapaku, nanti dia dapat
melihat kembali dan bawalah kemari

keluargamu semuanya kepadaku”.(QS. Yusuf: 93)

b. Al-Hadits

Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah, diantaranya :

Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakim bin Nizam atau „Urwah al
Bariqi untuk membeli domba kurban.

(HR. Abu Daud)

Rasul telah mengutus Rafe‟i dalam menerima pernikahan Maimunah binti Haris (HR.
Bukhari Muslim)

Dalam kehidupan sehari hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk
berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar utang, mewakilkan penetapan had dan
membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lainya

c. Ijma‟

Para ulama pun bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah. Mereka bahkan
ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis
ta‟awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong menolong diserukan
oleh Al-Qur‟an dan disunnahkan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya

“....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan....”(al-Maa‟idah:2)
D. Rukun Wakalah

Rukun wakalah ada tiga yaitu :

1. Dua orang yang melakukan transaksi, yaitu orang yang mewakilkan dan yang menjadi
wakil.

2. Shighat (Ijab Kabul).

3. Muwakal fih (sesuatu yang diwakilkan)

Menurut kalangan Hanafiyah, rukun wakalah adalah ijab dan kabul. Ijab berarti
ucapan atau tindakan dari orang yang akan mewakilkan, seperti ucapan atau tindakan dari
orang yang akan mewakilkan, seperti ucapan “Aku wakilkan kepadamu untuk melakukan hal
ini.” Sementara kabul berarti ucapan dari orang yang menerima wakil, seperti ucapan “Aku
terima”. Ijab ini adakalanya bersyarat atau bergantung pada sesuatu dan ada kalanya berlaku
mutlak. Apabila berlaku mutlak, maka wakil bertanggung jawab dan berwenang untuk
melakukan sesuatu terkait dengan hal yang diwakilkan.

Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah, rukun wakalah ada empat antara lain :

1). Orang yang mewakilkan (muwakkil)

2). Orang yang menerima perwakilan (wakil)

3). Objek atau pekerjaan yang diwakilkan (muwakkal bih)

4). Sighah (ijab dan kabul)

Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000, tanggal


13 April 2000 tentang Wakalah, Rukun wakalah sebagai berikut :

a.Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil)

b.Orang yang diberi kuasa (al Wakil);

c.Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil;

d.Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul).

E. Syarat Wakalah

1. Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang
akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan, orang yang tidak memiliki otoritas
sebuah transaksi, tidak bisa memindahkan otoritas tersebut kepada orang lain. Akad wakalah
tidak bisa dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ahliyyah, seperti orang gila, anak kecil
yang belum tamyiz. Ulama fiqh selain Madzhab Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah tidak
bisa dilaksanakan oleh anak kecil secara mutlak.

2. Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz. Anak kecil, orang
gila, anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil, ini menurut Hanafiyyah. Ulama selain
Hanafiyyah juga menyatakan hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karena
mereka belum bisa terbebani dengan hukum hukum syar‟i. Segala tindakan yang dilakukan,
belum bisa diakui.

3. Objek yang diwakilkan, harus memenuhi beberapa syarat. Objek tersebut harus diketahui
oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang
diinginkan. Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar‟i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara‟, seperti mencuri, merampok dan
lain lain. Objek tersebut memang bisa diwakilkan dan didelegasikan (diwakilkan) kepada
orang lain, seperti akad jual beli, ijarah dan lain – lain.

Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000, tanggal


13 April 2000 tentang Wakalah, syarat wakalah sebagai berikut :

a. Orang yang memberikan kuasa (al-Muwakkil) disyaratkan cakap bertindak hukum, yaitu
telah balig dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan, boleh dalam keadaan tidak
ada di tempat (gaib)

maupun berada di tempat, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat. Orang yang menerima
kuasa (al-Wakil),disyaratkan :

- Cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki pengetahuan yang memadai
tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta amanah dan mampu mengerjakan
pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.

- Ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan penunjukkan harus tegas
sehingga benar-benar tertuju kepada wakil yang dimaksud. Tidak menggunakan kuasa yang
diberikan kepadanya untuk kepentingan dirinya atau di luar yang disetujui oleh pemberi
kuasa.

- Apabila orang yang menerima kuasa melakukan kesalahan tanpa sepengetahuan yang
memberi kuasa sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian yang timbul
menjaditanggungannya.

b. Perkara yang Diwakilkan/Obyek Wakalah, Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau
suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan
dibenarkan oleh syara‟, memiliki identitas yang jelas, dan milik sah dari al Muwakkil ,
misalnya : jual-beli, sewa-menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama usaha,
penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan
sebagainya.
c. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul,Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun
tulisan dengan keikhlasan memberi dan menerima baik fisik maupun manfaat dari hal yang
ditransaksikan.

d. Pembatalan Wakalah dan Berakhirnya Wakalah

1. Apabila Pemberi kuasa berhalangan Tetap , Dalam hal pemberi kuasa berhalangan tetap
(wafat), maka pemberian kuasa tersebut batal, sebagaimana halnya batal dengan adanya
pembebasan atau pengunduran diri pemberi kuasa, kecuali diperjanjikan lain.

2. Perselisihan antara pemberi kuasa dengan yang diberi kuasa,apabila terjadi perselisihan
antara orang yang diberi kuasa dengan orang yang memberi kuasa, khususnya kehilangan
barang yang dikuasakan, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan orang yang
menerima kuasa disertai dengan saksi. Apabila sengketa disebabkan pembayaran, maka yang
dipegang adalah perkataan penerima kuasa dengan bukti-buktinya.Jika penerima kuasa
melakukan suatu perbuatan yang dianggap salah, sedangkan ia beranggapan bahwa pemberi
kuasa menyuruhnya demikian, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan penerima
kuasa selama penerima kuasa adalah orang yang terpercaya untuk melakukan perbuatan.

e. Berakhirnya Wakalah

- Matinya salah seorang dari shahibul akad (orang-orang yang berakad), atau hilangnya cakap
hukum.

- Dihentikannyaaktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak.

- Pembatalanakad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang diketahui oleh
penerima kuasa.

- Penerimakuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi kuasa.

- Gugurnyahak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa


F. Penutup

KESIMPULAN

Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
(muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal hal yang boleh diwakilkan. Atas jasnya, maka
penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah. Dasar hukum
wikalah yaitu Al Qur‟an, Al Hadits dan Ijma‟. Wakalah dapat dilakukan jika memenuhi
rukun dan syarat wakalah.

Rukun Wakalah :

1. Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil)

2. Orang yang diberi kuasa (al Wakil);

3. Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil;

4. Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul).

Syarat Wakalah :

1. Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang
akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan, orang yang tidak memiliki otoritas
sebuah transaksi, tidak bisa memindahkan otoritas tersebut kepada orang lain. Akad wakalah
tidak bisa dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ahliyyah, seperti orang gila, anak kecil
yang belum tamyiz. Ulama fiqh selain Madzhab Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah tidak
bisa dilaksanakan oleh anak kecil secara mutlak.

2. Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz. Anak kecil, orang
gila, anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil, ini menurut Hanafiyyah. Ulama selain
Hanafiyyah juga menyatakan hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karena
mereka belum bisa terbebani dengan hukum hukum syar‟i. Segala tindakan yang dilakukan,
belum bisa diakui.

3. Objek yang diwakilkan, harus memenuhi beberapa syarat. Objek tersebut harus diketahui
oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang
diinginkan. Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar‟i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara‟, seperti mencuri, merampok dan
lain lain. Objek tersebut memang bisa diwakilkan dan didelegasikan (diwakilkan) kepada
orang lain, seperti akad jual beli, ijarah dan lain – lain.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/30617784/Definisi_Wakalah_Rukun_dan_syarat_wakalah_d
asar_hukum_wakalah

Indah Nuhyatia,”Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”,
Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam,Vol. 3, No. 2,2013.

Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2008.

Imam Mustofa,Fiqih Muamalah Kontemporer,Metro:STAIN Jurai Siwo Metro


Lampung,2014.

Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Jakarta:Kencana,2012.

Anda mungkin juga menyukai