Anda di halaman 1dari 15

1.

WAKALAH

A.Pengertian dan Dasar Hukumnya


Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh (penyerahan,
pendelegasian, dan pemberian mandat) seperti perkataan:

Artinya: "Aku serahkan urusanku kepada Allah".


Secara terminology (syara') sebagaimana dikemukakan oleh fuqaha:

1. Imam Taqy al-Din Abu Bakar Ibn Muhammad al-Husaini

Artinya: "Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang lain
agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya".1

2. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie


"Akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain
sebagai gantinya untuk bertindak".2

Dari dua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah adalah sebuah
transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan dalam mengerjakan
pekerjaannya/perkaranya ketika masih hidup.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat secara sah untuk
mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun karena suatu dan hal lain urusan itu ia
serahkan kepada orang lain yang dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena
itu, jika seorang (muwakkil) itu ialah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan urusannya
itu seperti orang gila atau anak kecil maka tidak sah untuk mewakilkan kepada orang lain.
Contoh wakalah, seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali
nikah dalam pernikahan anak perempuannya. Contoh lain seorang terdakwa mewakilkan
urusan kepada pengacaranya.

Landasan Hukum

1Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, (Bandung: PT Al-Maarif, tt), hlm.
283.
2 Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 91.

1
Islam mensyariatkan wakalah karena manusia membutuhkannya. Manusia tidak mampu
untuk mengerjakan segala urusannya secara pribadi. Ia membutuhkan orang lain untuk
menggantikan yang beritindak sebagai wakilnya. Kegiatan wakalah ini, telah dilakukan
oleh orang terdahulu seperti yang dikisahkan oleh al-Qur'an tentang ashabul kahfi, dimana
ada seorag dianatar mereka diutus untuk mengecek keabsahan mata uang yang mereka
miliki ratusan tahun di dalam gua.

Ijma' ulama membolehkan wakalah karena wakalah dipandang sebagai bentuk tolong
menolong atas dasar kebaikan dan takwa yang diperintahkan oleh Allah SWT. dan Rasul-
Nya. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Maaidah ayat 2:

  


    
    
    
 

Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Q.S. Al-Maaidah: 2)

Dalam hadits disebutkan

Artinya: "Allah senantiasa menolong hambanya selama hamba itu menolong saudaranya".

Dalam hadits lain yang sebagaimana dinukil dalam kitab fiqh sunnah bahwa wakalah
bukan hanya diperintahkan oleh Nabi tetapi Nabi sendiri pernah melakukannya. Nabi
pernah mewakilkan kepada Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini
Maimunah. Rasulullah juga pernah mewakilkan dalam membayar utang, mewakili dalam
mengurusi untanya.3

A. Rukun dan Syarat Wakalah

3 Sayyid Sabiq, Op. cit., jilid III, hlm. 895.

2
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah:

1. Orang yang mewakilkan (muwakkil) syaratnya dia berstatus sebagai pemilik


urusan/benda dan menguasainya serta dapat bertindak terhadap harta tersebut
dengan dirinya sendiri. Jika muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang
ahli maka batal. Dalam hal ini, maka anak kecil dan orang gila tidak sah menjadi
muwakkil karena tidak termasuk orang yang berhak untuk bertindak.
2. Wakil (orang yang mewakili) syaratnya ialah orang yang berakal. Jika ia idiot, gila,
atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut Hanafiah anak kecil yang cerdas
(dapat membedakan mana yang baik dan buruk) sah menjadi wakil alasannya
bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada
Rasulullah , saat itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang yang sudah
berstatus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil kepada orang lain kecuali seizing
dari muwakkil pertama atau karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan
terlalu banyak sehingga ia tidak dapat mengerjakannya sendirri maka boleh
berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak wajib untuk menanggung kerusakan
barang yang diwakilkan kecuali disengaja atau cara diluar batas.
3. Muawakkal fih (sesuatu yang diwakilan), syaratnya:
a. Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau diagntikan oleh orang lain. Oleh karena
itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadaha seperti salat, puasa,
dan membaca al-Qur'an.
b. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak
sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
c. Pekerjaan itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang
masih samar seperti "aku jadikan engaku sebagai wakilku untuk mengawini salah
satu anakku"
d. Shigat: shigat hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti "mewakilkan" yang
diiringi kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini
kepada kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil.
Dalam sighat Kabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak
mengucapkan Kabul tetap dianggap sah.

B. Pekerjaan yang Dapat Diwakilkan dan Masa Berakhirnya

3
Pekerjaan yang boleh diwakilkan adalah semua pekerjaan yang dapat diakadkan
oleh dirinya sendiri, artinya secara hukum pekerjaan ini dapat gugur jika digantikan.
Contoh, mewakilkan orang lain untuk menjual barang atau membeli, dan menjadi wali
pernikahan. Adapun sesuatu yang tidak dapat diwakilkan adalah pekerjaan yang tidak ada
campur tangan perwakilan artinya hukum ini tidak gugur jika digantikan oleh orang lain
seperti ibadah badaniyah karena dalam ibadah badaniyah ini tujuannya untuk menguji
ketaatan hamba, yang tidak dapat dicapai tujuan itu jika dilakukan oleh orang lain seperti
shalat, dan puasa.

C. Penerapan Wakalah pada Perbankan Syariah


Bank Syariah dapat memberikan jasa wakalah, yaitu sebagai wakil dari nasabah
sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini, bank
akan mendapatkan upah dan biaya administrasi atas jasa tersebut. Sebagai contoh, Bank
dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telepon kepada
perusahaan listrik atau telepon. Contoh lain adalah Bank mewakili sekolah atau universitas
sebagai penerima biaya SPP dari pelajar untuk biaya studi.4

Contoh lain jasa perbankan syariah yang menggunakan akad wakalah yaitu sebagai
berikut:

Produk/Jasa Akad
Setoran Kliring Wakalah
Kliring Antar Wakalah
RTGS Wakalah
Inkaso Wakalah
Transfer Wakalah
Transfer Valuta Asing Wakalah

Berakhirnya Wakalah
Transaksi wakalah dinyatakan berakhir atau tidak dapat dilanjutkan diakrenakan
oleh salah satu sebab di bawah ini:

1. Matinya salah seorang dari yang berakad.


2. Bila salah satunya gila.
4 Gemala Dewi, et al., Loc. Cit., hlm. 164

4
3. Pekerjaan yang dimakusd dihentikan.
4. Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil, meskipun wakil tidak mengetahui
(menurut Syafi'I dan Hambali) tetapi menurut Hanafi wakil wajib tahu sebelum
ia tahu maka tindakannya seperti sebelum ada pemutusan.
5. Wakil memutuskan sendiri. Menurut Hanafi tidak perlu muwakkil
mengetahuinya.
6. Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari status pemilikan. 5

D. Hikmah Wakalah
Pada hakikatnya wakalah merupakan pemberian dan pemeliharaan amanat. Oleh
karena itu, baik muwakkil (orang yang mewakilkan) dan wakil (orang yang mewakili) yang
telah melakukan kerja sama/kontrak wajib bagi keduanya untuk menjalankan hak dan
kewajibannya, saling percaya, dan menghilangkan sifat curiga dan berburuk sangka. Dari
sisi lain, dalam wakalah terdapat pembagian tugas , karena tidak semua orang memiliki
kesempatan untuk menjalankan pekerjaanya dengan dirinya sendiri. Dengan mewakilkan
kepada orang lain, maka muncullah sikap salin tolong menolong dan memberikan
pekerjaan bagi orang yang sedang menganggur. Dengan demikian, si muwakkil akan
terbantu dalam menjalankan pekerjaanya dan si wakil tidak kehilangan pekerjaanya di
samping akan mendapat imbalan sewajarnya.

2. KAFALAH

A. Pengertian dan Hukum Kafalah


Al-Kafalah menurut bahasa artinya, menggabungkan, jaminan, beban, dan
tanggungan. Kafalah juga disebut dengan al-Dhaman.
Menurut istilah syara' sebagaiman didefinisikan oleh para ulama:

1. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie

Artinya: "Menggabungkan dzimmah (tanggung jawab) kepada dizimmah yang lain dalam
penagihan".6

2. Menurut Madzhab Syafi'i

5 Sayyid Sabiq, Op. Cit,. hlm. 898.


6 Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 86.

5
Artinya: "akad yang menetapkan hak pada tanggungan (beban) yang lain atau
menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya".7

3. Menurut Hanafiyah

Artinya: "proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi tanggungan ashiil dalam


tuntutan/permintaan dengan materi atau utang atau barang atau pekerjaan".8

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kafalah/dhaman


adalah transaksi yang menggabungkan dua tanggungan (beban) untuk memenuhi
kewajiban baik berupa utang, uang, barang, pekerjaan, maupun badan. merupaakn
Kafalah merupakan bentuk kegiatan sosial yang disyariatkan oleh al-Qur'an dan
hadits. Nash yang dapat dijadikan dasar kebolehan kafalah yaitu Al-Qur'an surat Yusuf
ayat 72.

  


 
    
   

Artinya: "Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan


siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan
makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya". (Q.S.
12:72)

B. Rukun dan Syarat Kafalah


Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam transaksi
kafalah:

1. Kafiil, ang dimaksud adalah orang yang berkewajiban melakukan


tanggungan (makfuul bihi). Orang yang bertindak sebagai kafiil
disyaratkan adalah orang dewasa (baligh), berakal, berhak penuh

7 Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh 'Alaa Mazahib al-'Arbaah, hlm. 221.


8 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Beirut: Daar al-Fikr, 2206), jilid III, hlm. 925

6
untuk bertindak dalam urusan hartanya, dan rela dengan kafalah.
Kafiil tidak boleh orang gila dan juga anak kecil sekalipun ia telah
membedakam sesuatu ( tamyiz ). Kafiil juga dapat disebut dhamin
(orang yang menjamin), zaim (penanggung jawab), haamil (orang
yang menanggung beban) atau qaabil (orang yang menerima)
2. Ashiil/makful anhu yaitu orag yang berutang , yaitu orang yang
ditanggung. Tidak disyaratkan baligh, berakal, kehadiran, dan
kerelaanya dengan kafalah.
3. Makful lahu yaitu orang yang memberi utang (berpiutang).
Disyaratkan diketahui dikenal oleh orang yang menjamin. Hal ini
supaya lebih mudah dan disiplin.
4. Makful bihi yaitu sesuatu yang dijamin berypa orang atau barang
atau pekerjaan yang wajib dipenuhi oleh orang yang keadaanya
ditanggung (ashiil/makful anhu).
5. Lafadz yaitu lafal yang menunjukkan arti menjamin.

Dijelaskan oleh Sayyid Sabiq bahwa kafalah dapat dinayatakan


sah dengan menggunakan lafal sebagai berikut: "Aku menjamin si A
sekarang", "Aku tanggung atau aku jamin atau aku tanggulangi atau
aku sebagai penanggung untukmu atau "penjamin" atau "hakmu
padaku" atau "aku berkewajiban". Semua ucapan ini dapat dijadikan
sebagai pernyataan kafalah.
Apabila lafadz kafalah telah dinyatakan maka hal itu mengikat
kepada utang yang kan diselesaikan. Artinya, utang tersebut wajib
dilunasi oleh kafiil secara kontan atau kredit. Jika utang itu harus
dibayar kontan si kafiil dapat minta syarat penundaan dalam jangka
waktu tertentu. Hal ini dibenarkan berdasarkan hadits yang
diriwayatkkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW.
Menanggung sepuluh dinar yang diwajibkan membayarnya selama satu
bulan, beliau melakukannya. 9

C. Macam-Macam Kafalah
Secara garis besar kafalah dibedakan menjadi:
9 Sayyid Sabiq, Op.Cit., Jilid III, hlm. 926

7
a. Kafalah dengan jiwa disebut juga dengan jaminan muka. Yaitu
keharusan bagi si Kafiil menghadirkan orang yang ia tanggung
kepada orang yang ia janjikan tanggungan (makful lahu/ orang
yang berpiutang). Jika persoalannya, menyangkut kepada hak
manusia maka orang yang dijamin tidak mesti mengetahui
persoalan karena ini menyangkut badan bukan harta.
Menurut pendapat yang kuat sebagaimana dijelaskan oleh Imam
Taqiyuddin, sah hukumnya menanggung badan orang yang wajib
menerima hukuman yang menjadi hak anak Adam seperti Qishas dan
Qazaf.10
Jika orang yang ditanggung itu harus menerima hukuman yang
menjadi hak Allah seperti had zina dan had khamr maka kafalah tidak
dibenarkan berdasarkan hadits Nabi.

Artinya: "Tidak ada kafalah dalam masalah had". (H.R. Baihaqi)

b. Kafalah harta yaiu kewajiban yang harus dipenuhi oleh kafiil


dengan pemenuhan berupa harta.
Kafalah dengan harta ini terbagi lagi menjadi:

a. Kafalah bin al-Dain


Yaitu kewajiban membayar utang yang menjadi tanggungan
orag lain. Hal ini didasari oleh Hadits Nabi. Qatadah berkata:

Artinya: "Wahai Rasulullah shalatkanlah dia dan saya yang berkewajiban


umtuk membayar hutangnya. Lalu Rasulullah mensholatkannya". (HR.
Bukhari)

10 Imam Taqidyuddin, Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayat al-Akhyar, terj. K.H. Syarifuddin Anwar,
2007, (Surabaya: Bina Iman, 2007), hlm. 626.

8
Diisyaratkan dalam hutang tersebut sebagai berikut:

1. Hendaknya nilai utang tersebut tetap pada waktu terjadi transaksi


jaminan seperti utang qiradh, upah atau mahar, seperti seseorang
berkata "juallah benda ini kepada si A dan aku berkewajiban
menjamin pembayarannyadengan harga sekian". Maka harga
penjualan tersebut jelas.
2. Barangnya diketahui, menurut Syafi'I dan Ibnu Hazm. Maka tidak sah
menjamin barang yang tidak diketahui karena itu termasuk gharar.
Tetapi menurut Abu Hanifah, Malik dan Ahmad boleh menjamin
sesuatu yang tidak diketahui.
b. Kafalah dengan menyerahkan materi
Yaitu kewajiban menyerahkan benda tertentu yang ada di tangan orang
lain seperti menyerahkan barang jualan kepada si pembeli,
mengembalikan barang yang dighasab dan sebagainya.

c. Kafalah dengan aib


Yaitu menjamin barang, dikhawatirkan benda yang akan dijual
tersebut terdapat masalah atau aib dan cacat (bahaya) karena
waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lain. Maka si kafiil
bertindak sebagai penjamin bagi si pembeli. Seperti jika tampak
bukti bahwa barang yang dijual adalah milik orang lain bukan
milik penjual atau barang itu sebenarnya barang gadaian yang
hendak dijual.

c. Pembayaran Kafiil
Jika kafiil (penjamin) telah melaksanakan kewajibanyya dengan
membayar utang orang yang ia jamin (makfuul anhu) maka si kafiil
boleh meminta kembali kepada makfuul anhu apabila pembayaran itu
dilakukan berdasarkan izinnya. Alasannya, karena si kafiil telah
mengeluarkan harta untuk kepentingan yang bermanfaat bagi si
makfuul anhu. Dalam hal ini keempat imam sepakat. Namun mereka

9
berbeda pendapat jika pembayaran yang dilakukan kafiil tanpa seizin
makfuul anhu, sedangkan si kafiil sudah terlanjur membayar.11
Menurut Syafi'I dan Abu Hanifah bahwa membayar utang orang
yang dijamin tanpa izin darinya hukumnya sunnah. Dhamin (kafiil) tidak
berhak umtuk minta ganti rugi kepada orang yang ia jamin. Tetapi
menurut Maliki dhamin berhak menagih kembali kepada makfuul anhu.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa dhamin tidak berhak menagih
kembali kepada makfuul anhu atas apa yang telah ia bayarkan baik
dengan izin makfuul anhu atau tidak.
Jika makfuul anhu ghaib (tidak ada) kafiil tetap berkewajiban
menjamin. Ia tidak dapat mengelak dari kafalah kecuali dengan
membayar atau orang yang perpiutang menyatakan bebas untuk kafiil
dari utang makfuul anhu.12

d. Hikmah Kafalah
Dhaman (jaminan) merupakan salah satu ajaran Islam. Jaminan
pada hakikatnya usaha untuk memberikan kenyamanan dan keamanan
bagi semua orang yang melakukan sebuah transaksi. Untuk era
sekarang ini kafalah ialah asuransi. Jaminan atau asuransi telah
diisyaratkan oleh Islam ribuan tahun silam. Ternyata, untuk masa
sekarang ini kafalah (jaminan) sangat penting, tidak pernah dilepaskan
dalam bentuk transaksi seperti utang apalai transaksi besar seperti
bank dan sebagainya. Hikmah yang dapat diambil adalah kafalah
mendatangkan sikap tolong menolong, keamanan, kenyamanan, dan
kepastian dalam bertransaksi. Wahbah Zuhaily mencatat hikmah tasry'
dari kafalah untuk memperkuat hak, merealisasikan sifat tolong
menolong, mempermudah transaksi dalam pembayaran utang. harta,
dan pinjaman. Supaya orang yang memiliki hak mendapatkan
ketenangan terhadap hutang yang dipinjamkan kepada orang lain atau
benda yang dipinjam.13

e. Aplikasi Akad Kafalah pada Fiqh Mu'amalah sektor Perbankan Syariah

11 Saayid Sabiq, Op.cit., hlm. 182.


12 Ibid
13 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al Muashir, 2005, jilid IV, hlm. 4143

10
Produk/Jasa Akad
Bank Garansi Kafalah
Kartu Talangan (syariah Charge Kafalah wal Ijarah (pembelian barang),
Card) Al-Qardh wal Ijarah (penarikan tunai)

3. HIWALAH

A. Pengertian Hiwalah
Menurut bahasa, yang dimaksud dengan hiwalah ialah al-intiqal
dan al-tahwil, artinya ialah memindahkan atau mengoperkan. Maka
Abdurrahman al-Jaziri,14 berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya ialah
memindahkan atau mengoperkan.
"Pemindahan dari satu tempat ke tempat yang lain."

Sedangkan, pengertian hiwalah menurut istilah,15 para ulama


berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut Hanafiyah, yang dimaksud hiwalah adalah:

"Memindahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada


yang lain yang punya tanggung jawab kewajiban pula."

2. Al-Jaziri sendiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan


hiwalah ialah:

"Pernikahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung


jawab orang lain."

3. Syihab Al-Din Al-Qalyubi berpendapat bahwa yang dimaksud


dengan hiwalah ialah:

14 al-fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah, hlm. 210


15 Ibid

11
"Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang
kepada yang lain."16

4. Muhammad Syatha al-Dimyati berpendapat bahwa yang


dimaksud hiwalah ialah:

"Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang


menjadi beban orang lain."17

5. Ibrahin Al-Bajuri berpendapat bahwa hiwalah ialah:

"Pemidahan kewajiban dari beban yang memindahkan menjadi beban


yang menerima pemindahan."18

6. Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud dengan hiwalah ialah:

"Pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain." 19

7. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan hiwalah ialah


pemindahan dari tanggungan muhil menjadi tanggungan muhal
'alaih.20
8. Menurut Idris Ahmad, hiwalah adalah semacam akad (ijab kabul)
pemindahan utang dari tanggungan seseorang yang berutang
kepada orang lain, dimana orang lain itu mempunyai utang pula
kepada memindahkannya.21

B. Rukun dan Syarat Hiwalah


Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan
kabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang
menerima hiwalah. Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:

16 Qalyubi wa Umaira, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Indonesia, tth. 318


17 I'anat al-Thalihin, Toha Putra, Semarang. Tth hlm. 74
18 al-Bajuri, Usaha Keluarga, Semarang. Tth. Hlm. 376
19 Kifayat al-Akhyar, hlm. 274
20 Fiqh al-Sunnah, hlm. 42
21 Fiqh al-Syafi'iyah, Karya Indah, Jakarta, tahun 1986 hlm. 57.

12
1. Orang yang memindahkan utang (muhilf) adalah orang yang
berakal, maka batal hiwalah ynag dilakukan muhil dalam
keadaan gila atau masih kecil.
2. Orang yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang
berakal, maka batallah hiwalah yang dilakukan oleh orang yang
tidak berakal.
3. Orang yang dihiwalahkan (mahal 'alah) juga harus orang
berakal dan diisyaratkan pula dia merdhainya.
4. Adanya utang muhil kepada muhal alaih.22
Menurut Syafi'iyah, rukun hiwalah itu ada empat, sebagai berikut:

1. Muhil, yaitu orang yang menghiwalahkan atau orang yang


memindahkan utang.
2. Muhtal, yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang
mempunyai utang kepada muhil.
3. Muhal 'alaih, yaitu orang yang menerima hiwalah.
4. Sighat hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan kata-katanya; "aku
hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada anu" dan
kabul dari muhtal dengan kata-katanya. "Aku terima hiwalah
engkau".23
Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut Sayyid Sabiq
adalah sebagai berikut:

1. Relanya pihak mihil dan muhal tanpa muhal 'alaih, jadi yang
harus rela itu muhil dan muhal 'alaih. Bagi muhal 'alaih rela
maupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi kesalahan hiwalah.
Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak diisyaratkan rela,
yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah
bersabda.

"Dan jika salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang


yang kaya, maka terimalah."

22 Abd al-Rahman al-Jazairi, Fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah, 1969 hlm. 212-213
23 Ahmad idris dalam; Fiqh Al-Syafi'iyah, Karya Indah, Jakarta, tahun 1986 hlm. 57-58.

13
2. Samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya,
penyelesaiannya, tempo waktu, kualitas, dan kuantitasnya.
3. Stabilnya muhal 'alaih, maka penghiwalahan kepada seorang
yang tidak mampu membayar utang adalah batal.
4. Hak tersebut diketahui secara jelas.

C. Beban Muhil Setelah Hiwalah


Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab
muhil gugur. Andaikata muhal 'alaih mengalami kebangkrutan atau
membantah hiwalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak boleh
kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.

Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata


muhal 'alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk
membayar, maka muhal boleh kembali lagi ke muhil. Menurut Imam
Malik, orang yang menghiwalahkan utang kepada orang lain, kemudian
muhal 'alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia
belum membayar kewajiban, maka muhal tidak boleh kembali kepada
muhil.

Abu Hanifah, Syarih, dan Utsman berpendapat bahwa dalam


keadaan muhal 'alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia
maka orang yang mengutangkan (muhal) kembali lagi kepada muhil
untuk menagihnya.24

KESIMPULAN

24 Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah hlm. 44

14
REFERENSI

Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Imam Taqiyuddin. Kifayat al-Akhyar,


(Bandung: PT Al-Maarif).
Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syari'ah
di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)
Ash-Shiddiqi, Hasbi. Pengantar Fiqh Mu'amalah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh 'Alaa Mazahib al-'Arbaah.
Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah (Beirut: Daar al-Fikr, 2206).
Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Imam Taqidyuddin. Kifayat al-Akhyar, terj.
K.H. Syarifuddin Anwar, 2007, (Surabaya: Bina Iman, 2007).
Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al Muashir,
2005, jilid IV
Al-fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah.
Qalyubi wa Umaira, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah Indonesia
I'anat al-Thalihin, (Semarang: Toha Putra).
Bajuri, al-Syaikh Ibrahim. (Semarang: Usaha Keluarga)
Idris, Ahmad. Fiqh al-Syafi'iyah, (Jakarta: Karya Indah, 1986).
Al-Jazairi, Abd al-Rahman. Fiqh 'Ala Madzahib al-Arba'ah, (Beirut: Daarul Al-
Qalam, 1969)

15

Anda mungkin juga menyukai