Anda di halaman 1dari 13

WAKALAH

Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Fiqih Mu'amalah
Dosen Pengampu: Imam Mustofa, S.H.I.,M.SI.

Disusun Oleh :

NABILA NAILUL MUNA (1502100281)

Kelas : A

PROGRAM STUDI S1-PERBANKAN SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2016
A. PENDAHULUAN

Makalah ini membahas tentang Wakalah. Kajian tentang Wakalah


penting untuk disajikan pada kelas Perbankan Syariah, karena agar
kita mengetahui bagaimana mengaplikasikan wakalah dalam
kehidupan kita dan semuanya itu sudah ada dan diatur dalam
al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat
oleh ulama terdahulu.

Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian dalam kitab, buku


dan jurnal yang berkaitan langsung dengan masalah wakalah.
Pembahasan dalam makalah ini dimulai dari definisi wakalah, dasar
hukum wakalah, rukun dan syarat wakalah.

Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari.


Karena wakalah dapat membantu seesorang dalam melakukan
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi
pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah
direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah
dianggap sebagai sikap tolong-menolong antar sesama, selama
wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan

2
B. Definisi Wakalah

Selain dengan Istilah Wakalah, digunakan pula istilah Wikalah


(Iqbal & Mirakhor,2007 :105). Dalam Bahasa Inggris, wakalah sama
dengan agency.
Iqbal & Mirakhor memberikan arti bahwa akad wikalah berarti
menunjuk seseorang atau suatu badan hukum untuk bertindak atas nama
orang lain atau sebagai perwakilan seseorang. Suatu akad wikalah
memberikan kuasa atau penugasan sebagai kuasa kepada suatu
perantara keuangan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu (Iqbal &
Mirakhor,2007:105). Biasanya kepada kuasa diberikan sejumlah fee oleh
pemberi kuasa (Khir, Gupta, & Shanmugam, 2008:61)1

Pengertian al-wakalat secara bahasa adalah al-tafwidh


(pendelegasian), al-hifzh (memelihara), al-kifa at (penggantian), dan al–
dhaman(tanggung jawab). Diartikan demikian karena dalam akad ini
terdapat pendegelasian dari pihak pertama kepada pihak kedua untuk
melakukan sesuatu yang didelegasikan kepadanya. Pihak yang
menerima pelimpahan wewenang berkedudukan sebagai wakil,
pemelihara (al-hafizh), penanggung jawab (al-dhamin), dan pengganti (al-
kafi). 2

Wakalah atau wikalah berarti penyerahan, pendegelasian, atau


pemberian mandat. Dalam bahasa arab, hal ini dapat dipahami sebagai
al-tafwidh, contoh kalimat “aku serahkan urusanku kepada Allah”3 Artinya,
Anda menyerahkannya kepada Allah.4

1
Sutan Remy Sjadeini, Perbankan Syariah Produk Produk dan Aspek- Aspek
Hukumnya,(Jakarta:Prenamedia Group,2014),cet.1,h.392-393.

2 Atang Abd. Hakim,Fiqih Perbankan Syariah Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam


Peraturan Perundang-undangan,(Bandung:PT Refika Aditama,2011),cet.1,h.271

3 Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah: Dari Teori Ke


Praktik,(Jakarta:Gema Insani Press,2001),cet.1,h.120

4 Saleh Al-Fauzan,Fiqih Sehari-hari,(Jakarta:Gema Insani Press,2005),cet.1,h.428.

3
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat 19
mendefinisikan wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain
untuk mengerjakan sesuatu.” Kuasa dalam konteks ini kuasa untuk
menjalankan kewajiban dan juga kuasa untuk menerima hak. Kuaa untuk
menjalankan kewajiban misalnya seseorang mewakilkan kepada orang
lain untuk membayar utang. Sementara kuasa untuk menerima hak
seperti mewakilkan untuk menerima pembayaran utang. Seorang wakil
sepenuhnya menjalankan dan kewenangan dan tanggung jawab orang
yang diwakilkannya.5

Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga atau juga bermakna


mendelegasikan mandat, menyerahkan sesuatu, seperti halnya firman
Allah dalam QS. Yusuf:55.6

Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan


kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal
hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka penerima kekuasaan
dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.7

C. Dasar Hukum
Dari dulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad
wakalah untuk menyelesaikan segala persoalan hidup mereka. Hal ini
terjadi karena unsur keterbatasan yang senantiasa melingkupi kehidupan
manusia. Untuk itu syari’ah memberikan legalitas atas keabsahan akad
tersebut.8

5Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl al-Sarakhsi sebagaimana dikutip oleh Imam
Mustofa,Fiqih Muamalah Kontemporer,(Metro:STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014),h.206.

6 Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2008),


h.239.

7 Ascarya,Akad dan Produk Bank Syariah,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),h.104.

8 Dimyauddim Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah....,h. 239-240.

4
a. Al Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah
SWT berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi, yang artinya
“Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di
antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka:
“Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)". Mereka menjawab:
"Kita berada (disini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain
lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di
sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia lihat manakah
makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (al-Kahfi:19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang
bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka
dalam memilih dan membeli makanan.9

Dan juga terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang artinya:


“Maka utuslah seorang hakim dari keluarga lelaki dan seorang
hakim dari keluarga perempuan”.(QS. Al-Nisa’: 35)10

Begitu juga terdapat dalam surat Yusuf ayat 93 yang artinya:


“Pergilah kamu membawa bajuku ini, lalu letakanlah ia kemuka
bapaku, nanti dia dapat melihat kembali dan bawalah kemari
keluargamu semuanya kepadaku”.(QS. Yusuf: 93)11

9 Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktik..,h. 121.

10 Rizal,”Implementasi Wakalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah”,Equilibrium,

( Vol. 3, No. 1, Juni 2015), h.128.

11 Ibid.

5
b. Al-Hadits
Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah,
diantaranya,
Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakim bin
Nizam atau ‘Urwah al Bariqi untuk membeli domba kurban.
(HR. Abu Daud)12

Rasul telah mengutus Rafe’i dalam menerima pernikahan Maimunah


binti Haris (HR. Bukhari Muslim) 13

Dalam kehidupan sehari hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada


orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar
utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan
pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-lainya 14

c. Ijma’
Para ulama pun bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya
dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong
menolong atas dasar kebaikan dan takwa. Tolong menolong diserukan
oleh Al-Qur’an dan disunnahkan oleh Rasulullah saw. Allah berfirman
yang artinya
“....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan....”(al-Maa’idah:2)15

12 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah...., h.240

13
Sutan Remy Sjadeini, Perbankan Syariah Produk Produk dan Aspek- Aspek
Hukumnya... h.394

14 Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktik....,


h.122

15 Ibid,..

6
D. Rukun Wakalah
Rukun wakalah ada tiga yaitu :
1. Dua orang yang melakukan transaksi, yaitu orang yang mewakilkan
dan yang menjadi wakil.
2. Shighat (Ijab Kabul).
3. Muwakal fih (sesuatu yang diwakilkan)16

Menurut kalangan Hanafiyah, rukun wakalah adalah ijab dan


kabul. Ijab berarti ucapan atau tindakan dari orang yang akan
mewakilkan, seperti ucapan atau tindakan dari orang yang akan
mewakilkan, seperti ucapan “Aku wakilkan kepadamu untuk
melakukan hal ini.” Sementara kabul berarti ucapan dari orang yang
menerima wakil, seperti ucapan “Aku terima”. Ijab ini adakalanya
bersyarat atau bergantung pada sesuatu dan ada kalanya berlaku
mutlak. Apabila berlaku mutlak, maka wakil bertanggung jawab dan
berwenang untuk melakukan sesuatu terkait dengan hal yang
diwakilkan. 17

Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah, rukun


wakalah ada empat antara lain :
1). Orang yang mewakilkan (muwakkil)
2). Orang yang menerima perwakilan (wakil)
3). Objek atau pekerjaan yang diwakilkan (muwakkal bih)
4). Sighah (ijab dan kabul)18

16 Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,(Jakarta:Kencana,2012),h.300

Alaudin Abu Bakar Mas’ud al-Kasani sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa, Fiqih
17

Muamalah Kontemporer,(Metro:STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014),h. 210

18 Ibid,..

7
Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-
MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000 tentang Wakalah, Rukun wakalah
sebagai berikut :
a.Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil)
b.Orang yang diberi kuasa (al Wakil);
c.Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil;
d.Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul).19

E. Syarat Wakalah
1. Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas
suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan
alasan, orang yang tidak memiliki otoritas sebuah transaksi, tidak bisa
memindahkan otoritas tersebut kepada orang lain. Akad wakalah tidak
bisa dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ahliyyah, seperti orang
gila, anak kecil yang belum tamyiz. Ulama fiqh selain Madzhab
Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah tidak bisa dilaksanakan oleh
anak kecil secara mutlak.
2. Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz.
Anak kecil, orang gila, anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil,
ini menurut Hanafiyyah. Ulama selain Hanafiyyah juga menyatakan
hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karena mereka
belum bisa terbebani dengan hukum hukum syar’i. Segala tindakan
yang dilakukan, belum bisa diakui.
3. Objek yang diwakilkan, harus memenuhi beberapa syarat. Objek
tersebut harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas
apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.
Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara’, seperti
mencuri, merampok dan lain lain. Objek tersebut memang bisa

19Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000 sebagaimana dikutip oleh Indah Nuhyatia,”


Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”, Economic: Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam, (Vol. 3, No. 2,2013) h.104

8
diwakilkan dan didelegasikan (diwakilkan) kepada orang lain, seperti
akad jual beli, ijarah dan lain – lain. (Zuhaili,1898,IV, hal. 153-154).20

Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-


MUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000 tentang Wakalah, syarat wakalah
sebagai berikut :
a. Orang yang memberikan kuasa (al-Muwakkil) disyaratkan cakap
bertindak hukum, yaitu telah balig dan berakal sehat, baik laki-laki
maupun perempuan, boleh dalam keadaan tidak ada di tempat (gaib)
maupun berada di tempat, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat.
Orang yang menerima kuasa (al-Wakil),disyaratkan :
 Cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki
pengetahuan yang memadai tentang masalah yang diwakilkan
kepadanya, serta amanah dan mampu mengerjakan pekerjaan yang
dimandatkan kepadanya.
 Ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan
penunjukkan harus tegas sehingga benar-benar tertuju kepada wakil
yang dimaksud. Tidak menggunakan kuasa yang diberikan
kepadanya untuk kepentingan dirinya atau di luar yang disetujui oleh
pemberi kuasa.
 Apabila orang yang menerima kuasa melakukan kesalahan tanpa
sepengetahuan yang memberi kuasa sehingga menimbulkan
kerugian, maka kerugian yang timbul menjaditanggungannya.
b. Perkara yang Diwakilkan/Obyek Wakalah, Sesuatu yang dapat
dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat dikerjakan
orang lain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara‟,
memiliki identitas yang jelas, dan milik sah dari al Muwakkil , misalnya :
jual-beli, sewa-menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama
usaha, penukaran mata uang, pemberian gaji, akad bagi hasil, talak,
nikah, perdamaian dan sebagainya.

20 Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah...., h.242

9
c. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul,Kesepakatan kedua belah pihak
baik lisan maupun tulisan dengan keikhlasan memberi dan menerima
baik fisik maupun manfaat dari hal yang ditransaksikan.
d. Pembatalan Wakalah dan Berakhirnya Wakalah
1. Apabila Pemberi kuasa berhalangan Tetap , Dalam hal pemberi
kuasa berhalangan tetap (wafat), maka pemberian kuasa tersebut
batal, sebagaimana halnya batal dengan adanya pembebasan atau
pengunduran diri pemberi kuasa, kecuali diperjanjikan lain.
2. Perselisihan antara pemberi kuasa dengan yang diberi
kuasa,apabila terjadi perselisihan antara orang yang diberi kuasa
dengan orang yang memberi kuasa, khususnya kehilangan barang
yang dikuasakan, maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan
orang yang menerima kuasa disertai dengan saksi. Apabila
sengketa disebabkan pembayaran, maka yang dipegang adalah
perkataan penerima kuasa dengan bukti-buktinya.Jika penerima
kuasa melakukan suatu perbuatan yang dianggap salah, sedangkan
ia beranggapan bahwa pemberi kuasa menyuruhnya demikian,
maka yang dijadikan pegangan adalah perkataan penerima kuasa
selama penerima kuasa adalah orang yang terpercaya untuk
melakukan perbuatan.
e. Berakhirnya Wakalah
 Matinya salah seorang dari shahibul akad (orang-orang yang
berakad), atau hilangnya cakap hukum.
 Dihentikannyaaktivitas/pekerjaan dimaksud oleh kedua belah pihak.
 Pembatalanakad oleh pemberi kuasa terhadap penerima kuasa, yang
diketahui oleh penerima kuasa.
 Penerimakuasa mengundurkan diri dengan sepengetahuan pemberi
kuasa.
 Gugurnyahak pemilikan atas barang bagi pemberi kuasa21

21 Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000 sebagaimana dikutip oleh Indah Nuhyatia,”

Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”, Economic: Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam, (Vol. 3, No. 2,2013) h. 104-105

10
F. Penutup

 KESIMPULAN
Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan
kekuasaan oleh satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal
hal yang boleh diwakilkan. Atas jasnya, maka penerima kekuasaan dapat
meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah. Dasar hukum wikalah
yaitu Al Qur’an, Al Hadits dan Ijma’. Wakalah dapat dilakukan jika
memenuhi rukun dan syarat wakalah.
Rukun Wakalah :
1. Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil)
2. Orang yang diberi kuasa (al Wakil);
3. Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil;
4. Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul).
Syarat Wakalah :
1. Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas
suatu pekerjaan yang akan didelegasikan kepada orang lain. Dengan
alasan, orang yang tidak memiliki otoritas sebuah transaksi, tidak bisa
memindahkan otoritas tersebut kepada orang lain. Akad wakalah tidak
bisa dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ahliyyah, seperti orang
gila, anak kecil yang belum tamyiz. Ulama fiqh selain Madzhab
Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah tidak bisa dilaksanakan oleh
anak kecil secara mutlak.
2. Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz.
Anak kecil, orang gila, anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil,
ini menurut Hanafiyyah. Ulama selain Hanafiyyah juga menyatakan
hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karena mereka
belum bisa terbebani dengan hukum hukum syar’i. Segala tindakan
yang dilakukan, belum bisa diakui.

11
3. Objek yang diwakilkan, harus memenuhi beberapa syarat. Objek
tersebut harus diketahui oleh wakil, wakil mengetahui secara jelas
apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang diinginkan.
Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar’i. Tidak
diperbolehkan mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara’, seperti
mencuri, merampok dan lain lain. Objek tersebut memang bisa
diwakilkan dan didelegasikan (diwakilkan) kepada orang lain, seperti
akad jual beli, ijarah dan lain – lain.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ascarya,Akad dan Produk Bank Syariah,Jakarta:Rajawali Pers,2011.

Atang Abd. Hakim,Fiqih Perbankan Syariah Transformasi Fiqih Muamalah ke


dalam Peraturan Perundang-undangan,Bandung:PT Refika Aditama,2011.

Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah,Yogyakarta:Pustaka


Pelajar,2008.

Imam Mustofa,Fiqih Muamalah Kontemporer,Metro:STAIN Jurai Siwo Metro


Lampung,2014.

Indah Nuhyatia,”Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank
Syariah”, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam,Vol. 3, No. 2,2013.

Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,Jakarta:Kencana,2012.

Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah: Dari Teori Ke


Praktik,Jakarta:Gema Insani Press,2001.

Rizal,”Implementasi Wakalah pada Lembaga Keuangan Mikro


Syariah”,Equilibrium,Vol. 3, No. 1, Juni 2015.

Saleh Al-Fauzan,Fiqih Sehari-hari,Jakarta:Gema Insani Press,2005.

Sutan Remy Sjadeini,Perbankan Syariah Produk Produk dan Aspek- Aspek


Hukumnya,Jakarta:Prenamedia Group,2014.

13

Anda mungkin juga menyukai