Anda di halaman 1dari 12

PERWAKILAN DALAM AKAD

Untuk Memenuhi Tugas Materi:

Hukum Perjanjian Dalam Islam

Dosen pengampu:

Ustadz Hendri Setiyo Wibowo, S.Th.I.,M.H,

Disusun Oleh:

Akbar Miftakhul Shalis (422021322012)

FAKULTAS SYARIA

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR

TAHUN AKADEMIK 1444 H / 2023 M

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akad atau perjanjian dalam kehidupan masyarkat menduduki posisi
yang sangat penting. Akad merupakan salah satu dasar dari sekian banyak
aktivitas keseharian manusia. Melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan
usaha manusia dapat dijalankan. Akad memfasilitasi setiap orang dalam
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Karena akad itulah yang
membatasi hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam usaha
tersebut dan akan mengikat hubungan itu dimasa sekarang maupun masa
yang akan datang1 . Warisan ilmu fikih memuat berbagai rincian dan
penetapan dasar perjanjian usaha tersebut sehingga dapat merealisasikan
tujuannya, memenuhi kebutuhan umat pada saat yang sama, serta melahirkan
beberapa kaidah dan pandangan bagi umat islam untuk digunakan memenuhi
kebutuhan modern saat ini
Akad yang digunakan untuk bertransaksi sangat beragam, diantaranya
sesuai dengan spesifikasi kepentingan dan karakteristik, serta tujuan antar
pihak. Akad atau perjanjian tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia,
hal tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, karenanya dapat
dibenarkan bila dikatakan bahwa akad merupakan sarana sosial umat manusia
untuk mendukung kehidupannya sebagai makhluk sosial.
Islam telah mengatur mengenai syarat, rukun, tujuan, macam dan
bentuk suatu akad. Dalam Islam unsur akad sangat diperhatikan, seperti pihak
yang berakad, syarat dan rukun akad harus lah terpenuhi, dan yang terpenting
adalah tidak ada unsur penipuan, ataupun unsur lainnya yang dilarang oleh
syara’.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan syarat sahnya akad wakalah?
2. Apa saja yang membatalkan akad wakalah?

2
3. Bagaimana contoh implementasi akad wakalah dalam kehidupan
sehari-hari?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Perwakilan
1. Pengertian Wakalah
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti
menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan
wakil.1 Al-Wakalah juga berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan
(al-Hifdh). Menurut kalangan Syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau
penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada orang lain (al-wakil) supaya
melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu
anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan
pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih
hidup.2Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan
keahlian atau perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel
diturunkan yang berarti menunjuk seseorang untuk mengambil alih atas suatu
hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun ke orang lain.3
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah
akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu
kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan
tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah akad yang digunakan oleh
seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau mengerjakan sesuatu
yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta orang lain untuk
melaksanakannya.

1
Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000, hlm. 693.
2
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20
3
Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009,
hlm. 529.

3
2. Landasan Hukum Wakalah
Landasan hukum wakalah adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
Dalam Al-Quran di jelaskan dalam firman Allah SWT Surat
Yusuf ayat 55 yang Artinya “Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang
pandai menjaga, lagi berpengetahuan". (Qs. Yusuf:55)
Ayat-ayat tersebut menyimpulkan bahwa dalam hal muamalah
dapat dilakukan perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa
diambil manakala manusia mengalami kondisi tertentu yang
mengakibatkan ketidak sanggupan melakukan segala sesuatu secara
mandiri, baik melaui perintah maupun kesadaran pribadi dalam
rangka tolong menolong, dengan demikian seseorang dapat
mengakses atau melakukan transaki melaui jalan Wakalah.
b. Sunnah
Dalam Hadits nabi dijelaskan dalam Riwayat Ibnu Malik Yang
Artinya : "Bahwasannya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu
Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah
binti Harits" (HR. Malik)
c. Ijma
Para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka mensunnahkan wakalah dengan alasan bahwa
wakalah termasuk jenis ta‟awun atau tolong menolong atas dasar
kebaikan dan takwa.4
3. Rukun dan Syarat Wakalah
Adapun rukun dan syarat wakalah adalah sebagai sebagai berikut:
a. Rukun wakalah
1) Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil)

4
Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hlm. 122.

4
2) Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)
3) Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)
4) Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul).
b. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
Muwakkil merupakan orang yang berwakil disyaratkan sah
melakukan apa yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah
kekuasaannya orang yang berwakil disyaratkan sah melakukan apa
yang diwakilkan, sebab milik atau di bawah kekuasaannya Syarat-
syarat muwakkil adalah:
1) Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang
diwakilkan.
2) Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu,
yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan
untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.5
c. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
Syarat-syarat wakil adalah sebagai berikut:
1) Cakap hukum, cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang
lain, memiliki pengetahuan yang memadai tentang masalah yang
diwakilkan kepadanya, serta amanah dan mampu mengerjakan
pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
2) Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya.
3) Wakil adalah orang yang diberi amanat.
d. Perkara yang diwakilkan/obyek wakal
Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang
dapat dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan
dibenarkan oleh syara’, memiliki identitas yang jelas, dan milik sah
dari al-Muwakkil, misalnya: jual-beli, sewa-menyewa, pemindahan
hutang, tanggungan, kerjasama usaha, penukaran mata uang,

5
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada, Jakarta,
2006, hlm. 65.

5
pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan
sebagainya.
e. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul)
Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan dengan
keikhlasan memberi dan menerima baik fisik maupun manfaat dari
hal yang ditransaksikan.6
4. Jenis-jenis Wakalah
Wakalah dapat dibedakan menjadi: al-wakalah al-ammah dan
alwakalah al-khosshoh, al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah
mutlaqoh.
a. Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang
untuk menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik.
Dan spesifikasinyapun telah jalas, seperti halnya membeli Honda
tipe X, menjadi advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu
b. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang
bersifat umum, tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku
mobil apa saja yang kamu temui.
c. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh. Adalah akad
dimana wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-
syarat tertentu. Misalnya jualah mobilku dengan harga 100 juta jika
kontan dan 150 juta jika kredit. Sedangkan al-wakalah al-
muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang dan wakil tidak
dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya jualah mobil
ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan7

Berdasarkan jenis-jenis dari wakalah tersebut akan dapat


terimplementasi dalam akad-akad yang ada di masyarakat. Akad wakalah
sudah menjadi bagian penting dalam transaksi-transaksi, baik dalam kegiatan
profit oriented maupun non profit oriented. Oleh sebab itu dalam

6
Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung Persada, Jakarta,
2006, hlm. 67.
7
Muhammad Ayub, Op. Cit, hlm. 530.

6
pelaksanaannya harus benar-benar di perhatikan aturannya menurut syariat.
Setiap kegiatan wakalah dalam implementasinya mendapat bentuk yang
berbeda-beda dalam kegiatannya. Oleh sebab itu harus di pahami benar-benar
dan di identifikasi masing-masing dari jenis-jenis akad wakalah tersebu

5. Operasionalisasi Hukum Wakalah


Di antara hukum-hukum wakalah adalah sebagai berikut:
1) Wakalah sah dengan perkataan apa saja yang menunjukkan adanya izin.
Jadi, tidak di syaratkan teks khusus.
2) Wakalah sah berlaku pada hak-hak manusia, misalnya, jual beli,
pernikahan, ruju‟, pembatalan jual beli, perceraian, dan khulu‟. Wakalah
juga sah berlaku pada hak-hak Allah yang di perbolehkan diwakilkan,
misalnya, memisahkan harta zakat atau haji mewakili orang yang telah
meninggal dunia, atau mewakili orang yang tidak bisa mengerjakannya.
3) Wakalah diperbolehkan untuk memverifikasi hukuman dan
melaksanakannya, karena Rasulullah saw. bersabda Unais r.a.: yang
artinya : “Pergilah hai Unais kepada wanita tersebut. Jika ia mengakui
perbuatannya maka rajamlah dia”. (HR. Bukhari).
4) Wakalah boleh dengan upah, namun besar upahnya harus ditentukan dari
jenis pekerjaan yang akan dikerjakan wakil.
5) Wakalah secara mutlak diperbolehkan. Jadi, menunjuk seseorang sebagai
wakil dalam semua hak-hak pribadi itu di perbolehkan. Kemudian, wakil
bertindak dalam semua hak-hak pribadi orang yang mewakilinya kecuali
dalam perceraian, karena perceraian diharuskan karena keinginan dan
tekad perceraian.
6. Berakhirnya Akad Wakalah
Transaksi wakalah dinyatakan berakhir atau tidak dapat dilanjutkan
dikarenakan oleh salah satu sebab di bawah ini:8
1) Matinya salah seorang dari yang berakad.
2) Bila salah satunya gila.
3) Pekerjaan yang dimaksudkan dihentikan.
8
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Kencana: Prenada Media Group, 2012),

7
4) Pemutusan oleh muwakkil terhadap wakil, meskipun wakil tidak
mengetahui (menurut Syafi‟i dan Hambali) tetapi menurut Hanafi wakil
wajib tahu sebelum ia tahu maka tindakannya seperti belum ada
pemutusan.
5) Wakil memutuskan sendiri. Menurut Hanafi tidak perlu muwakkil
mengetahuinya.
6) Keluarnya orang yang mewakilkan (muwakkil) dari status kepemilikan
B. Contoh-contoh Penerapan Perwakilan dalam Akad
1. Akad Perwakilan Dalam Jual Beli
Apabila seseorang mewakilkan penjualan suatu barang tanpa
menentukan harga dan cara pembayarannya, maka wakil harus menjualnya
dengan harga pasaran yang berlaku dan dengan cara pembayaran tunai.
Apabila wakil itu tidak menjual barang tidak dengan harga pasar atau dengan
cara pembayaran angsur, maka jual beli seperti ini tidak dibolehkan kecuali
dengan kerelaan muwakkil, karena penjualan itu bertentangan dengan
kemashlahatan orang yang mewakilkan dan muwakkil adalah orang yang
berhak menentukan bagaimana barangnya harus dijual.
Oleh karenanya, seorang wakil terikat pada kebiasaan jual beli yang
dilakukan para pedagang dan harus berusaha mendatangkan mashlahat bagi
orang yang mewakilkannya. Namun, Imam Hanafi berpendapat bahwa wakil
boleh menjual sekehendaknya, baik tunai maupun angsur, harga umum atau
tidak, mata uang setempat atau mata uang asing. Dan ini merupakan wakalah
yang bersifat mutlak.
Para Imam Mazhab berbeda pendapat tentang wakil yang membeli
barang untuk dirinya sendiri, yang mana ia diperintahkan untuk menjual
barang tersebut oleh pemberi perwakilan. Imam Hanafi dan Syafi’i
berpendapat bahwa penjualan itu tidak sah. Imam Maliki berpendapat bahwa
tidak sah wakil membeli dari dirinya untuk dirinya sendiri dengan menambah
harga. Dalam hal ini Imam Hambali juga menyatakan tidak boleh
bagaimanapun keadaannya.

8
Sedangkan wakalah dimana muwakkil memberi kuasa untuk membeli,
pembelian yang dilakukan oleh wakil terikat dengan syaratsyarat yang telah
ditentukan oleh muwakkil. Si wakil wajib menaati ketentuan tersebut, baik
yang berkenaan dengan harga pembelian maupun jenis barangnya. Apabila si
wakil menyalahi dan membeli barang yang berbeda dengan apa yang diminta
oleh muwakkil, atau ia membeli dengan harga yang lebih mahal dari apa yang
telah ditetapkan atau dari harga umum, maka pembelian tersebut dianggap
untuknya (wakil), bukan untuk orang yang mewakilkan (muwakkil). Namun,
ia diperbolehkan menyalahi perintah dengan tujuan mendapatkan hal yang
lebih baik.9
2. Akad Perwakilan dalam Investasi
Praktik kegiatan investasi reksa dana syariah tujuannya tidak hanya
untuk mendapatkan return dan maksimalisasi kesejahteraan, namun juga
memperhatikan portofolio agar tetap berlandaskan aturan syariah. Maka dari
itu, dalam dunia investasi syariah sangat memperhatikan dan menekankan
masalah akad. Secara istilah fiqih akad adalah kesepakatan antara pihak ijab
(penawaran salah satu pihak) dengan pihak qabul (jawaban persetujuan dari
penawaran) sesuai dengan tuntunan syariah dan berlandaskan pada keridhaan
dari kedua pihak yang melakukan akad. Dalam reksa dana syariah terdapat
dua akad yaitu Akad Wakalah bil Ujrah dan juga Akad Mudharabah.
Wakalah berasal dari bahasa Arab wakala yang artinya fardhu
ilaihi atau dalam bahasa Indonesia artinya menyerahkan atau
mempercayakan, Sedangkan Ujrah adalah upah atau imbalan yang diterima
oleh muwakkil (manajer investasi) atas jasa yang telah diberikan dalam
memproduksi barang atau jasa. Akad Wakalah bil ujrah berarti memberikan
kepercayaan kepada muwakkil (wakil) yaitu manajer investasi dan kemudian
memberikan imbalan/upah atas jasa yang telah dilakukan oleh muwakkil. 
Akad wakalah dilakukan saat transaksi antara pemodal dengan
manajer investasi berlangsung. Akad wakalah digunakan dalam kontrak

9
Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq (Pustaka Al-
Kautsar, 2013)

9
antara investor dengan manajer investasi sebagai perjanjian pemberian kuasa
kepada manajer investasi untuk melaksanakan pengelolaan dana yang telah
dipercayakan, dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan dari dana
yang diinvestasikan. Dalam akad wakalah, menunjukkan bahwa tidak ada
jaminan atas hasil investasi tertentu kepada investor.10
3. Akad Perwakilan dalam Pemberian Amanah
Amanah adalah menyampaikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak
mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain,
baik berupa harga maupun jasa. Amanah berkaitan dengan akhlak yang lain,
seperti kejujuran, kesabaran, atau keberanian. Amanah juga bisa
dikategorikan antara sifat terpuji dan akhlak seseorang. Amanah dengan arti
kata lain ialah tanggung jawab yang diterima oleh seseorang yang kepadanya
diberikan kepercayaan bahwa ia dapat melaksanakannya sebagaimana yang
dituntut, tanpa mengabaikannya. Apabila tanggung jawab itu ditunaikan dan
kepercayaan yang diberikan itu dihargai, maka orang yang menerima dan
melaksanakannya mendapati dirinya tenteram, aman, selamat dan harmoni
Selain beberapa indikator dalam amanah antara lain: patuh terhadap
hukum, bertanggung jawab terhadap tugas (baik dalam konteks ibadah
maupun terhadap muamalah), kesetiaan komitmen, teguh dalam memegang
janji, kejujuran pada diri sendiri, menjaga hubungan silaturahmi, dan
menjaga alam.
Salah satu Contoh wakalah yaitu ketika ada seorang terdakwa
mewakilkan urusan kepada pengacaranya. Selain itu, yang termasuk contoh
wakalah juga jika ada seorang mewakilkan kepada orang lain untuk menjadi
wali nikah anak perempuan dalam pernikahan.

10
www.bions.id/edukasi/reksadana

10
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Wakalah adalah akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk
melakukan suatu kegiatan dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi
melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah pada hakikatya adalah akad
yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan orang lain atau
mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta
orang lain untuk melaksanakannya.
Dalam wakalah terdapat Jenis-jenisnya antara lain:
1. Al-wakalah al-khosshoh,
2. Al-wakalah al-ammah,
3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh.

Dalam implementasi akad wakalah ini terdapat banyak contoh dalan


kehidupan sehari-hari antara lain: Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan
secara langsung dari Al-Muwakkil kepada Al-Wakil, kemudian Al-
Wakil memberikan uangnya secara langsung kepada nasabah yang
dituju. Selanjutnya Transfer uang melalui cabang suatu bank. Dalam contoh
ini, Al-Muwakkil memberikan uangnya secara tunai kepada bank yang
merupakan Al-Wakil, tetapi bank tidak memberikannya secara langsung
kepada nasabah yang dikirim. Pihak bank akan mengirimkannya kepada
rekening nasabah yang dituju tersebut melalui proses transfer. 

11
DAFTAR PUSTAKA
Tim Kashiko, Kamus Arab-Indonesia, Kashiko, 2000, hlm. 693.

Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 20

Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance, Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta, 2009, hlm. 529.

Muhammad Syafi’i Antonio, Op. Cit., hlm. 122.

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung


Persada, Jakarta, 2006, hlm. 65.

Dewan Syariah Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Gaung


Persada, Jakarta, 2006, hlm. 67.

Muhammad Ayub, Op. Cit, hlm. 530.

Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Kencana: Prenada Media Group,


2012),

Syaikh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq
(Pustaka Al-Kautsar, 2013)

www.bions.id/edukasi/reksadana

12

Anda mungkin juga menyukai