Anda di halaman 1dari 24

19

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. WAKALAH
1. Pengertian Wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh
(penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat) seperti perkataan:
Artinya: “aku serahkan urusanku kepada Allah”.
Secara terminologi (syara’) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:
a) Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
Artinya: “menyerahkan suatu pekerjaaan yang dapat digantikan
kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.
b) Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang
menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”.
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah
adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk
menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika
masih hidup.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat
secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun,
karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang
dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika
seorang (muwakkil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan
urusannya itu seperti orang gila atau anaka kecil maka tidak sah untuk
mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah, seorang mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan
anak perempuannya. Contoh lain seorang terdakwa mewakilkan urusan
kepada pengacarannya.24
Muhammad Syafi‟i Antonio, mengemukakan definisi wakalah
adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertaman
24
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat Cet ke 1
(Jakarta: Kencana, 2010), 187.
19
20

mewakilkan suatu urusan kepada pihak kedua untuk bertindak atas


nama pihak pertama.
Ada beberapa jenis wakalah antara lain sebagai berikut:
a) Wakalah al-Mutlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa batas
waktu dan untuk segala urusan.
b) Wakalah al-Muqayyadah, yaitu penujukan wakil untuk bertindak
atas namanya dalam urusan-urusan tetentu.
c) Wakalah al-Ammah, perwakilan yang lebih luas dari al-Muqayyadah
tetapi lebih sederhana ari pada al-Mutalaqah.25
Dalam aplikasinya pada perbankan syariah, wakalah biasanya
diterapkan untuk penerbitan Letter of Credit (L/C) atau penerusan
permintaan akan barang dalam negeri di luar negeri (L/C ekpor).
Wakalah juga diterpakan untuk mentransfer dana nasabah kepada
pihak lain.
Muammar Arafat Yusmad mengatakan wakalah ialah akad
pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas
(taukil) atas nama pemberi kuasa. Dalam perbankan, wakalah terjadi
apabila nasabah memberi kuasa pada bank untuk mewakili dirinya
untuk melakukan pekerjaan tertentu seperti pembukaan L/C, inkaso dan
transfer uang. Atau dengan kata lain akad pemberian kuasa dari
pemberi kuasa (muwakil) kepada penerima kuasa (wakil) untuk
melaksanakan suatu tugas (taukil) atas nama pemberi kuasa.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
telah menfatwakan wakalah melalui DSN-MUI No.10/DSN-
MUI/IV/2000 tentang wakalah.
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak lain dalam
hal-hal yang boleh diwakilkan.
Praktek wakalah pada LKS dilakukan sebagai salah satu bentuk
pelayanan jasa perbankan syariah kepada nsabah. Adapun ketentuan
tentang wakalah adalah pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakn oleh
para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan
25
Muhammad Syafi‟i Antonio, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah cet 7
(Tanggerang: Azkia Publisher, 2009), 34.
21

(akad). Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh


dibatalkan secara sepihak. 26

2. Rukun dan Syarat Wakalah


a. Rukun wakalah
Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam wakalah
1) Orang yang mewakilkan (muwakkil) syaratnya dia berstatus
sebagai pemilik urusan/benda dan menguasainya serta dapat
bertindak terhadap harta tersebut dengan dirinya sendiri. Jika
muwakkil itu bukan pemiliknya atau bukan orang yang ahli
maka batal. Dalam hal ini, maka anak kecil dan orang gila tidak
sah menjadi muwakkil karena tidak temasuk orang berhak
untuk bertindak.
2) Wakil (orang yang mewakili) syaratnya ialah orang berakal.
Jika ia idiot, gila, atau belum dewasa maka batal. Tapi menurut
Hanafiyah anak kecil yang cerdas (dpat membedakan yang baik
dan buruk) sah menjadi wakil alasannya bahwa Amr bin
Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya kepada
Rasulullah, saat itu Amr masih kecil yang belum baligh. Orang
yang suddah berststus sebagai wakil ia tidak boleh berwakil
kepada orang lain kecuali seizin dari muwakkil pertama atau
karena terpaksa seperti pekerjaan yang diwakilkan terlalu
banyak sehingga ia tidak dapat mengerjakannya sendiri maka
boleh berwakil kepada orang lain. Si wakil tidak wajib untuk
menanggung kerusakan barang yang diwakilkan kecuali
disengaja atau cara di luar batas.27
Menurut kalangan Hanafiyah, rukun wakalah adalah ijab dan
qabul. Ijab berarti ucapan atau tidankan dari orang yang akan
mewakilkan, seperti ucapan “aku wakilkan kepadamu untuk
melakukn hal ini.” Sementara qabul berarti ucapan dari orang yang

26
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan Syariah dari Teori ke Praktek Cet
1 (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018), 62-63.
27
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat Cet ke 1
(Jakarta: Kencana, 2010), 189.
22

menerima atau wakil, seperti ucapan “aku terima”. Ijab ini


adakalanya bersyarat atau bergantung pada sesuatu dan adakalnya
berlaku mutlak. Apabila berlaku mutlak, maka wakil bertanggung
jawab dan berwenang untuk melakukan sesuatu terkait dengan hal
yang diwakilkan.
Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah, rukun
wakalah ada empat, orang yang mewakilkan (muwakkil), orang
yang menerima perwakilan (wakil), objek atau pekerjaan yang
diwakilkan (muwakkil bih), dan sighah (ijab dan qabul). Rukun
wakalah dalam KHES Pasal 457 ayat (1) adalah 1) wakil,
2)muwakkil dan 3) akad.
b. Syarat wakalah
Muwakil fih (sesuatu yang diwakilkan), syaratnya:
1) Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh
orang lain. Oleh karena itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk
mengerjakan ibadah seperti shalat, puasa, dan membaca al-
quran.
2) Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah.
Olehn karena itu, tidak sah berwakil menjual sesuatu yang
belum dimilikinya.
3) Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah
mewakilkan sesuatu yang masih samar seperti “aku jadikan
engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah satu anakku”.
4) Shigat, henaknya berupa lafal yang menunjukan arti
“mewakilkan” yang diiringi kerelaan dari muwakkil seperti
“saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada kamu untuk
mengerjakan pekerjaan ini” kemudian diterima oleh wakil.
Dalam shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya
si wakil tidak mengucapkan qabul tetap dianggap sah.
Akad dalam wakalah terjadi dan diakui secara hukum bila
dilakukan ijab dan qabul. Ijab qabul dapat dilakukan dengan lisan,
tulisan, isyarat atau perbuatan/tindakan. Meskipun orang yang
23

mewakilkan telah melakukan ijab, namun orang yang dituju untuk


menerima perwakilan menolak, maka wakalah semacam ini tidak
sah. Syarat sighah yaitu, pertama, wakala harus dengan ucapan,
tulisan atau perbuatan yang menunjukan adanya kerelaan untuk
mewakilkan, baik secara ekplisit maupun implisit. Kedua, sighah
tidak terikat dan terbatas oleh syara. Persyaratan kedua ini adalah
persyaratan yang dikemukakan kalangan Syafi‟iyyah.
Persyaratan yang terkait dengan orang yang mewakilkan adalah
ia harus cakap hukum. Muwakkil harus berakal, baligh. Tidak sah
hukumnya akad wakalah dari orang gila atau anak kecil yang
belum mumayyiz. Anak kecil boleh mewakilkan bila seizin
walinya. Selain itu, muwakkil harus pihak yang berwenang untuk
melakukan sesuatu yang akan diwakilkan. Misalnya dalam
penerimaan pembayaran utang, ia memang pihak yang berwenang
untuk menerima pembayaran utang tersebut.
Syarat yang terkait dengan orang yang menerima perwakilan
atau wakil adalah, ia harus berakal dan baligh. Meskipun ada
persyaratan baligh, dalam wakalah sah apabila adalah anak kecil
yang berakal dan sudah mumayyiz. Selain itu, wakil harus
mengetahui tentang kewenangan yang diwakilkan kepadanya.
Menurut Ibnu Rusyd, disyaratkan bagi orang yang terhalang
kewenangannya untuk menjalankan kewenangan yang diwakilkan
tersebut.28

3. Landasan Hukum Wakalah


a. Dasar hukum Wakalah dari Al-Quran, sebagai berikut:
Dasar hukum wakalah adalah firman Aallah swt, anatar lain
sebagai berikut:
َ َ ٩١َ...َ‫َُ ِذ ٍَِٓۦَإِلىَ ۡٱلو ِديٌ َِت‬
َٰ ۡ‫فَ ۡٱبعثُ ْٓاََأحد ُكنَبِْ ِرقِ ُكن‬...
Artinya:

28
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer Cet 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2016), 211-212.
24

“... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, ....” (Q.S. Al-Khafi {18}: 19)29

َ َ٥٣ٓ‫ فَ ۡٱبعثُْاََحك ٗواَ ِّه ۡيَأ ُۡلِ ََِۦَّحك ٗواَ ِّه ۡيَأ ُۡلَِِا‬...
Artinya:
“... maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan....” (Q.S. An-Nisa {4}: 35)30

b. Dasar Hukum Wakalah dari Al-Hadis, sebagai berikut:


Hadis yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah
diantaranya:
ِ ِ
‫نصا ِر فَ َز‬ َ ‫صلَّى ا للَّو َعلَْي ِو َو َسلَّ َم بَ َع‬
َ َ‫ث أَ باَ َر ا ف ٍع َوَر ُجال م َن ا أل‬
ِ
َ ‫اَ َّن َر َس ْو َل ا للَّو‬
ِ ‫اْلا ِر‬
‫ث‬ َْ ‫ت‬َ ‫َّو َجا َه َمْي ُمو نَةَ بِْن‬
Artinya:
“Bahwasanya Rasulullah saw. Mewakilkan kepada Abu
Ra‟i dan seorang Anshor untuk mewakilkan mengawini Maimunah
binti-Harits.” (Malil No. 678, kitab al-Muaththa‟, bab haji)
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan
kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah
membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya,
mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan lain-
lain.31

c. Dasar hukum wakalah dari Fuqaha, sebagai berikut:


Jumhur ulama‟, seperti Malik, ats-Tsauri, Laits dan Syafi‟i,
berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah32 tetapi bukan
paman dari ibu, bibi dari ibu, saudara seibu dan keluarga dzawil arham.
Imam Syafi‟i berkata: “ Nikah seorang wanita tidak dapat dilakukan
29
Al-Quran surah Al-Khafi (18) ayat 19 (Tangerang: CV. Norma Pustaka, 2011), 236.
30
Al-Quran surah An-Nisa (04) ayat 35 (Tangerang: CV. Norma Pustaka, 2011), 66.
31
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001),
122.
32
Sa‟id Thalib Al-Hamdani, Risalatun Nikah Cet ke 3 (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), 99.
25

kecuali dengan pernyataan wali qorib „dekat‟. Jika ia tidak ada, boleh
diwakilkan oleh wali yang jauh. Jika ia tidak ada juga, hakim sebagai
walinya.”33 Jika wanita menikahkan dirinya dengan atau tanpa izin
walinya nikahnya itu batal dan tidak sah.

B. MURABAHAH
1. Pengertian Murabahah
Secara bahasa murabahah berasalah dari kata ribh yang bermakna
tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Dalam istilah syariah,
konsep murabahah terdapat berbagai formulasi definisi yang berbeda-
beda menurut pendapat para ulama‟. Diantaranya, menurut utsmani,
murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan
penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok
pembelian) dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam
hrga jual.34
Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayar
dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.35
Pendapat lain dikemukakan oleh al-kasani, murabahah
mencerminkan transaksi jual beli: harga jual merupakan akumulasi
dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk mendatangkan objek
transasksi atau harga pokok pembelian dengan tambahan keuntungan
tertentu yang diinginkan penjual (marjin); harga beli dan jumlah
keuntungan yang diinginkan diketahui oleh pembeli. Artinya, pembeli

33
Tertib wali menurut Imam Syafi‟i adalah: ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki
ayah dan ibu, kemudian saudara laki-laki ayah, kemudian anak paman dari ayah dan ibu, kemudian
anak laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian paman dari ayah, kemudian anak paman dari ayah,
kemudian hakim (mereka ini disebut ashbah). Ini bermakna, seseorang tidak boleh menjadi wali
nikah selama masih ada keluarga yang lebih dekat sebab ia lebih berhak dengan adanya pertalian
ashabah. Jadi, asalah ini hamper sama dengan hokum waris. Sekiranya seseorang diantara mereka
menjadi wali nikah dengan tidak mematuhi susunan tersebut, tentulah nikahnya tidak sah.
34
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 91.
35
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah edisi pertama (Jakarta: Kencana, 2009),
79.
26

diberitahu berapa harga belinya dan tambahan keuntungan yang


diinginkan.
Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan
permintaan konsumen, dan proses penjualan kepada konsumen dengan
harga jual yang merupakan akumulasi dari biaya beli dan tambahan
profit yang diinginkan. Dengan demikian, bila terkait dengan pihak
bank diwajibkan untuk menerangkan tentang harga beli dan tambahan
keuntungan yang diinginkan kepada nasabah dalam konteks ini, bank
tidak meminjamkan uang kepada nasabah untuk membeli komoditas
tertentu, akan tetapi, pihak banklah yang berkewajiban untuk
membelikan komoditas pesanan nasabah dari pihak ketiga, dan
kemudian dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang
disepakati oleh kedua pihak.
Murabahah berbeda dengan jual beli biasa (musawamah). Dalam
jual beli musawamah terdapat peroses tawar menawar (bargaining)
anatara penjual dan pembeli untuk menentukan harga jual, penjual juga
tidak menyebutkan harga beli dan keuntungan yang diinginkan.
Berbeda dengan murabahah, harga beli dan margin yang diinginkan
harus dijelasakan kepada pembeli.

2. Landasan Syariah Murabahah


a. Dasar Hukum Murabahah dari Al-Quran, sebagai berikut:
Al-Quran memang tidak pernah secara spesifik menyinggung
masalah murabahah namun demikian, dalil diperbolehkan jual beli
murabahah dapat dipahami dari keumuman dalil-dalil
diperbolehkannya jual beli,36 murabahah jelas-jelas bagian dari jual
beli, dan jual beli secara umum diperbolehkan. Berdasarkan hal ini,
maka dasar hukum diperbolehkannya jual beli murabahah berdasarkan
ayat-ayat jual beli. diantara ayat-ayat tersebut adalah:

ٖ ‫َل َأىَت ُكْى َتِ َٰجزةً َعيَتز‬


َ‫اض‬ َِ ‫َٰيٓأيُِّا َٱلَّ ِذييَ َءاهٌُْا ََل َت ۡأ ُكلُ ْٓا َأهۡ َْٰل ُكنَب ۡيٌ ُكنََبِ ۡٱل َٰب ِط‬
ٓ َّ ِ‫ل َإ‬
َ َ٩١َ‫ٱّللَكاىَبِ ُكنۡ َر ِح ٗيوا‬ ََّ َ‫ِّهٌ ُكنۡۚۡ ََّلَت ۡقتُلُ ْٓاَأًفُس ُكنۡۚۡ َإِ َّى‬
36
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer Cet 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2016),
69.
27

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa {4}: 29).37

Dalam surat Al-Baqarah, Allah Swt. Berfirman:


ۡۚ
َ َ٩٧٣َ‫ٱّللَُ ۡٱلب ۡيعََّحزَّمَٱلزِّب ََْٰا‬
ََّ ََّ‫ََّۗأحل‬
Artinya:

“...padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan

riba...” (Q.S. Al-Baqarah {2}: 275).38

Dalam ayat ini Allah memeprtegas legalitas dan keabsahan jual


beli secara umum, serta menolak dan melarang konsep ribawi.
Berdasarkan ketentuan ini, jual beli murabahah mendapat pengakuan
dan legalitas dari syariah, dan saha untuk dioprasionalkan dalam
praktik pembiayaan bank syariah karena ia merupakan salah satu
bentuk jual beli dan tidak mengandung unsur ribawi.

b. Dasar Hukum Murabahah dari Al-Hadis, sebagai berikut:


Dari Abu Sa‟id al Khudriy r.a nabi s.a.w. bersabda:
‫صلَي ا للَّوُ َع ْلي ِو َوأَ لِِو َو َسلَّ َم اَا َل‬ ِ ِ ِّ ‫اْل ْد ِر‬
َ ‫ي َرض َي ا للَّوُ َعْنوُ أَ َّن َر ُس ْو الَا للَّو‬
ِِ
ُْ ‫َع ْن أَ ِ ِْب َسعْيد‬

ٍ ‫ إِ ََّّنَا ا لْبَ ْي ُع َع ْن تَ َر ا‬:


)‫ض ( ر و ىا لبيهقي و ابن ما جو وصححو ابن حبا ن‬

Artinya:

Dari Abu Sa‟ad Al-Khudri bahwa Rasulullah saw berasabda,

“sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR.

Al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban).

37
Al-Quran surah An-Nisa (04) ayat 29 (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), 83.
38
Al-Quran surah Al-Baqarah (02) ayat 275 (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), 47.
28

ِ ‫عن‬
َ َ‫ ثَال‬.‫صلَى اللَّو ا َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬
‫ث‬ ِ ِِ ِ َ‫ص َهي‬
َ ‫ اَا َل َر َس ْوا ل ا اللَّو‬.‫ب َع ْن أَ بْيو اَا َل‬ ُ ‫صا ل ِح بْ ِن‬
َ َْ
ِ ‫فِيهن ا لْب ر َكةُ اَ لْب يع ا ََل اَ ج ٍل و ا لْم َقا ر ضةُ و اِ خالَ ُط ا لْ َِب بِا لثَعِ ِري لِلب ي‬
‫ت ِال لِلْبَ ْي ِع ( رواه ا‬ َْ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ َْ ََ َ ْ
) ‫بن ما جو‬

Artinya:

Dari Suhaib Ar Rumi r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda: “ tiga


hal yang didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh,
muqarradah (mudharabah). Dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis riwayat Ibnu Majah tersebut merupakan dalil lain


diperbolehkanya murabahah yang dilakukan secara jatuh tempo.
Meskipun kedudukan hadis ini lemah namun banyak ulama yang
menggunakan dalil ini sebagai dasar hukum akad murabahah atapun
jual beli jatuh tempo. Ulama mensyaratkan bahwa arti tumbuh dan
menjadi lebih baik terdapat pada perniagaan. Terlebih pada jual beli
yang dilakukan secara jatuh tempo atau akad murabahah. Dengan
menujuk adanay keberkahan ini, hal ini mengindikasi diperbolehkanya
praktek jual beli yang dilakukan secara jatuh tempo. Begitu juga
dengan akad murabaha yamng dilakukan secara jatuh tempo. Dalam
arti, nasabah diberi jangka waktu untuk melakukan pelunasan atas
harga komoditas sesuai dengan kesepakatan.

c. Dasar Hukum Murabahah dari Fuqaha, sebagai berikut:


Secara langsung Alqur'an tidak pernah membicarakan tentang
Murabahah, hanyalah sejumlah acuan tentang jual beli, laba, rugi dan
perdagangan. Begitu pula halnya dengan referensi hadist, tidak
ditemukannya ada hadist yang memiliki rujukan langsung kepada
murabahah. Bahkan seorang ulama kontemporer Syed Al-Kaff
menyimpulkan bahwa Murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang
tidak dikenal pada zaman Nabi atau para sahabatnya. Murabahah mulai
dikomentari oleh para ulama pada seperempat pertama abad kedua
Hijriyah atau bahkan lebih akhir lagi. Maka Para Ulama membenarkan
29

murabahah berdasar yang lain, seperti Imam Malik membenarkan


keabsahannnya dengan merujuk kepada 'amalu ahli madinah (praktek
penduduk Madinah) dan Para Ulama Klasik dari mazhab empat
membenarkan keabsahan murabahah dengan ijma' Ulama', seperti Imam
Ibnu Rusydi (Ulama Malikiyah), Imam Al-Kasani (Ulama Hanafiyah),
Imam Nawai (Ulama Syafi'iyah), Ibnu Qudamah (Ulama Hambali ) yang
mengklaim bahwa murabahah adalah bentuk jual beli yang dibolehkan
(halal) oleh mayoritas Ulama dalam bentuk Konstitusi (Ijma'), namun
tidak seorangpun dari mereka secara khusus memperkuat pendapat mereka
dengan satu Hadits apalagi dari Al-Qur'an.39

3. Rukun dan Syarat Murabahah


a. Rukun Murabahah
Menurut jumhur ulama rukun dan syarat yang terdapat dalam
bai’ murabahah sama dengan rukun dan syarat yang terdapat
dalam jual beli, dan hal itu identik dengan rukun dan syarat yang
harus ada dalam akad. Menurut Hanafiyah, rukun yang terdapat
dalam jual beli hanya satu, yaitu: sighah (ijab dan qabul), adapu
rukun-rukun lainya merupakan derivasi dari sighah. Artinya,
sighah tidak akan ada jika terdapat dua pihak yang bertransaksi,
misalnya, penjual dan pembeli dalam melakukan akad (sighah)
tentunya ada sesuatu yang harus ditransaksikan, yakni objek
transaksi.
Ijab dan qabul merupakan reprsentasi dari sighah. Ia merupakan
uangkapan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak yang
bertarnsaksi untuk mengungkapkan keinginan masing-masing guna
mewujudkan atau membangun sebuah kesepakatan/kontrak. Hal itu
bisa dilakukan secara verbal dengan kata-kata, dengan tindakan-

39
M. Ilyas Marwal, “Rekontruksi Murabahah sebuah Ijtihad Solusi Pembiayaan.” 21 Juli
2010. http://permodalanbmt.com/bmtcenter/wp-content/uploads/rekonstruksi-murabahah-sebuah-
ijtihad-solusi-pembiaya.pdf. Diakses 28 Februari 2018. Pukul 03.00 wib.
30

tindakan tertentu, dengan isyarat, lewat suara, e-mail, fax, ataupun


via telepon.40
Dalam ijab dan kabul terdapat beberapa syarat yang harus
dipenuhi menurut Ismail Nawawi sebagai berikut.
1) Adanya kejelasan maksud dari kedua pihak, dalam arti, ijab
dan qabul yang dilakukan harus bisa mengekspresikan tujuan
dan maksud keduanya dalam bertransaksi. Penjual mampu
memamhami apa yang diinginkan oleh pembeli, dan begitu
sebaliknya.
2) Adanya kesesuaian antara iajb dan kabul. Terdapat kesesuaian
antara ijab dan qabul dalam hal objek transaksi ataupun harga,
artinya terdapat kesamaan diantara keduanya tentang
kesepakatan, maksud, dan objek transaksi. Jika tidak terdapat
kesesuaian maka akadnya dinyatakaan batal.
3) Adanya pertemuan antara ijab dan qabul (berurutan dan
bersambung), yakni ijab dan qabul dilakukan dalam satu
majelis. Satu majelis disini tidak berarti harus bertemu secara
fisik dalam satu tempat, yang terpenting adalah kedua pihak
mampu menddengarkan maksud dari kedua pihak, apakah akan
menetapkan kesepakatan atau menolaknya. Majelis akad bisa
diartikan sebagai suatu kondisi yang memungkinkan kedua
pihak untuk membuat kesepakatan, atau pertemuan
pembicaraan dalam satu objek transaksi. Dalam hal ini
disyaratkan adanya:kesepakatan anatara kedua pihak, tidak
menunjukkan adanya penolakan atau pembatalan dari
keduanya.
Menurut Ismail Nawawi, ijab dan kabul akan dinyataakan
batal jika:
a) Penjual menarik kembali ungkapannya sebelum
terdapat qabul dari pembeli;

40
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 93.
31

b) Adanya penolakan ijab oleh pembeli, dalam arti apa


yang diungkapkan penjual tidak disetujui/ditolak oleh
pembeli;
c) Berakhirnya majelis akad, jika kedua pihak belum
mendapatkan kesepakatan dalam majelis akad dan
keduanya telah terpisah maka ijab qabul dinyatakan
batal;
d) Kedua pihak atau salah satu pihak hilang ahliyahnya
(syarat kecakapan dalam melakukan transaksi) sebelum
terjadi kesepakatan;
e) Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qabul atau
kesepakatan.41
Pihak-pihak yang akan melakukan transaksi (aqid) dalam
hal jual beli adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqih
memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh
aqid’, yakni ia harus memiliki ahliyah dan wilayah. Menurut
ismail Nawawi, ahliyah bermakna bahwa keduanya memiliki
kepatutan atau kecakapan untuk melakukan transaksi dan
mendapatkan otoritas syara’. Biasanya, mereka akan meiliki
ahliyah jika telah baligh atau berakal. Sementara wilayah
diartikan sebagai hak atau kewenangannya seorang yang
mendapat legalitas syara untuk melakukan transaksi atau suatu
objek tertentu, artinya orang tersebut memang merupakan
pemilik sah, wali atau wakil atas suatu objek transaksi,
sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk
mentransaksikanny.
Objek transksi (Ma’qud ‘alaih) ialah benda-benda yang
diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual
beli.42 Atau sesuatu yang menjadi objek transaksi dilakukan
sehingga menimbulkan implikasi hukum tertentu. Ma’qud

41
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 94.
42
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah Cet 7 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), 47.
32

‘alaih bisa berupa aset-aset finansial ataupun nonfinansial,


seperti wanita dalam akad penikahan, ataupun bisa berupa
manfaat, seperti halnya dalam akad sewa (ijarah).
Ma’qud ‘alaih memenuhi beberapa persyaratan, menurut
Ismail Nawawi, intinya sebagai berikut:
a) Objek transaksi tersebut harus ada ketika akad/kontrak
sedang dilakukan, tidak diperbolehkan bertransaksi atas
objek yang belum jelas dan tidak hadir dalam waktu
akad, karena hal itu akan menjadi masalah ketika
dilakukan serah terima.
b) Objek transaksi tersebut harus berupa mal mutaqawwim
(harta yang diperbolehkan syara untuk ditranssaksikan)
dan dimiliki penuh oleh pemiliknya. Tidak boleh
mentransaksikan bangkai, darah, babi, anjing, minuman
keras, dan lain-lain. Begitu juga barang yang belum
berada dalam genggaman pemilik, seperti ikan yang
masih berada didasar lautan, burung diangkasa, dan
lain-lain.
c) Objek transaksi bisa diserahterimakan waktu terjadinya
akad atau dikemudian hari. Objek harus bisa
diserahterimakan. Jika tidak walaupun barang tersebut
ada dan dimiliki oleh „aqid maka transaksi dinyatakan
batal.
d) Adanya kejelasan tetang objek transaksi, dalam arti
barang tersebut diketahui dengan sejalas-jelasanya oleh
kedua pihak. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari
terjadinya perselisihan dikemudian hari. Objek transaksi
tidak boleh bersifat majhul (tidak diketahui) dan
mengandung unsur gaharar (ketidak jelasan).
e) Objek tersebut harus suci, tidak najis dan bukan barang
najis. Syarat ini diajukan oleh ulama selain hanafiyah.

b. Syarat Murabahah
33

Dalam jual beli murabahah, Ismail Nawawi menyatakan bahwa


akad bai’ murabahah akan dikatakan sah jika memenuhi beberapa
syarat berikut:
1) Mengetahui harga pokok (harga beli). Disyaratkan bahwa harga
beli harus diketahui oleh pembeli kedua, karenaa hal itu
merupakan syarat mutlak bagi keabsahan bai’ murabahah.
Penjual kedua harus menrangkan harga beli kepada pihak
pembeli kedua. Hal ini juga berlaku bagi jual beli yang
berdasarkan keprcayaan, seperti halnya at-tauliyah, al-israk,
ataupun al-wadi’ah. Akad jual beli ini berdasarkan pada
kejelasan informasi tentang harga beli. Jika harga beli tidak
dijelaskan kepada pembeli kedua dan ia telah meninggalkan
majelis, maka jual beli dinyatakan akadnya batal.
2) Adanya kejelasan keuntungan (margin) yang diinginkan
penjual kedua, keuntungan harus dijelaskan nominalnya kepada
pembeli kedua atau dengan menyebutkan prsentase dari harga
beli. Margin juga merupakan bagian dari harga, karena harga
pokok plus margin merupakan harga jual, dan mengetahui
harga jual merupakan syarat sahnya jual beli.43
3) Modal yang digunakan untuk membeli objek transaksi harus
merupakan barang mitsli, dalam arti terdapat padanannya
dipasaran, alangkah baiknya jika mengunakan uang. Jika modal
yang dipakai merupakan barang qimi/ ghair mitsli, misalnya,
pakaian dan marginya berupa uang maka diperbolehkan.
Misalnya, saya jual sepeda motor Yamaha ini dengan sepeda
motor Honda yang kamu miliki ditambah dengan Rp.
1000.000,- sebagai margin. Bila akadnya demikian maka
diperbolehkan.
4) Objek transaksi dan pembayaran yang digunakan tidak boleh
berupa barang ribawi, seperti halnya menual 100 dollar dengan
110 dollar, margin yang diinginkan (dalam hal ini 10 dollar)
43
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 92-93.
34

bukan merupakan keuntungan yang diperbolehkan, akan tetapi


merupakan bagian dari riba.
5) Akad jual beli pertama harus sah adanya, artinya transaksi yang
dialkukan penjual pertama dan pemebli pertama harus sah. Jika
tidak, trasnsaksi yang dilakukan penjual kedua (pemebeli
pertama) dengan pembeli kedua hukumnya fasid/rusak dan
akadnya batal.
6) Bai’ murabahah merupakan jual beli yang didasarkan pada
sebuah kepercayaan, karena pembelinya percaya atas informasi
yang diberikan penjual tetang harga beli yang diinginkan.
Dengan demikian, penjuual tidak boleh berkhianat.

C. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN SUATU


PERKARA EKONOMI SYARIAH
Dalam memutuskan suatu putusan terhadap perkara sengketa
ekonomi syariah hakim setidaknya ada 3 proses yang harus dilalui, proses
itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Musyawarah Majelis Hakim
Musyawarah Majelis Hakim merupakan perundingan yang
dilaksanakan untuk mengambil keputusan terhadap suatu perkara yang
diajukan kepadanya dan sedang diproses dalam persidangan Pengadilan
Agama yang berwenang. Musyawarah Majelis Hakim dilaksanakan secara
rahasia, maksdunya apa yang dihasilkan dalam rapat Majelis Hakim
tersebut hanya diketahui oleh anggota Majelis Hakim yang memeriksa
perkara tersebut sampai putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum. Tujuan diadakan Musyawarah Majelis Hakim ini adalah untuk
menyamakan persepsi agar terhadap perkara yang sedang diadili itu dapat
dijatuhkan putsan yang seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Ketua majelis hakim memimpin rapat permusyawaratan tersebut
dengan memberikan kesempatan pertama berbicara kepada anggota
majelis yang junior untuk mengemukakan pendapatnya, kemudian baru
35

hakim yang senior dan terakhir baru Ketua Majelis Hakim itu sendiri.
Dalam permusywaratan Majelis Hakim itu setiap hakim mempunyai hak
yang sama dalam hal: (1) mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan
oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui, atau membenarkan
telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut, (2) mengkualifisir
peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang
telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus
dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-
benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan
kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah
dikonstantir itu, (3) mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau
memebrikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.44
Jika dua orang hakim anggota Majelis berpendapat sama terhadap
hal tersebut di atas, maka hakim yang kalah suara itu, (termasuk Ketua
Majelis Hakim) harus menerima pendapat yang telah sama itu. Hakim
yang kalah suaranya tersebut dapat menuliskan pendaptnya dalam sebuah
buku (catatan Hakim) yang khusus disedikan untuk itu yang disimpan oleh
Ketua Pengadilan Agama yang bersifat rahasia.
Jika terjadi masing-masing anggota Majelis Hakim itu berbeda
pendapat satu sama lain terhadap perkara yang sedang mereka periksa dan
adili, dan masing-masing anggota Majelis mempunyai pendapat yang
sama kuat dan akurat analisis yuridis, satu sama lain tidak mendukung
dalam perkara yang dihadapinya, sedangkan pihak pencari kedilan mohon
kepada majelis Hakim agar perkara segera diputus, maka permasalahan
tersebut dapat diselesaikan dengan alternatif yaitu: (1) persoalan tersebut
dibawa ke rapat pleno hakim yang ada dipengadilan Agama tersebut yang
dipimpin oleh Ketua pengadilan Agama, rapat pleno anggota hakim yang
di pengadilan Agama itu dilaksanakan secara tertutup dan rahasia, (2)
Ketua Majelis Hakim karena jabatanya dapat memeprgunakan hak votenya
dalam menyelesaikan perkara tersebut, dengan catatan sebagaimana
tersebut diatas.
44
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradialan Agama
(Yogyakarta: Kencana, 2015), 87-89.
36

Pada dasarnya panitera yang ikut sidang tidak dibenrkan untuk


mengikuti rapat permusywaratan Majelis Hakim yang bersifat rahasia itu.
Ketentuan ini adalah sejalan dengan apa yang tersebut dalam pasal 27 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun demikian, harus diingat bahwa
fungsi panitera/panitera pengganti adalah membatu Majelis Hakim dengan
mengadiri sidang dan mencatat jalannya sidang pengadilan.
Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian para praktisi hukum
dilingkungan Pengadilan Agama adalah ketentuan yang tersebut dalam
Pasal 189 R.Bg, Pasal 178 HIR, dan Pasal 39-41 RO yang menyatakan
bahwa dalam rapat permusywaratan Majelis Hakim itu, karena jabatannya
hakim harus menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh
para pihak, Majelis Hakim wajib memberi keputusan tentang semua
bagian gugatannya dan dialrang memberikan keputusan tentang hal-hal
yang tidak dimohonkan atau memberikan lebih dari yang dimohonkan.
Hasil rapat permusywaratan Majelis Hakim hanya dapat diketahui pada
saat dibacakan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pembacaan putusan dilaksanakan oleh ketua Majelis Hakim, jika
putusan yang dibacakan itu terlalu panjang maka dapat dibacakan secara
bergantian anatara anggota Majelis Hakim yang lain, dengan ketentuan
bagian pendahuluan dibacakan oleh Ketua Majelis, bagian duduknya
perkara dibacakan oleh hakim anggota yang junior dan tetang hukumnya
dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim.
Untuk menghindari adanya perbdaan anatara bunyi putusan yang
diucapkan dalam sidang dengan yang tertulis dalam berita acara
sidang/putusan, maka Mahkama Agung RI dan SEMA Nomor 5 Tahun
1959 tanggal 20 April 1959 dan SEMA Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 2
Maret 1962 mengintruksikan kepada seluruh hakim agar pada waktu
putusan pengadilan diucapkan, minimal konsep jadi putusan telah
dipersiapkan terlebih dahulu dengan sebaik-baiknya dan telah diparaf oleh
37

semua anggota majelis. Alangkah lebih baik lagi kalau pada waktu putusan
itu diucapkan sudah menjadi putusan final.45
2. Metode Penemuan Hukum
Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang
diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit
dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curia
novit), sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab
hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis. Tetapi hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara
yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan
alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Hakim dalam menggali suatu perkara yang diajukan kepadanya
harus mengetahui dengan jelas fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara
tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusanya
terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari
Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim
harus mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut
sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang kongkrit. Setelah Majelis Hakim
menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim
berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap
peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang ditemukan oleh
pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena
jabatanya dapat menambah/melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang
tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara (lihat Pasal 178 ayat (1) HIR
dan Pasal 189 ayat (1) R.Bg).
Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber dengan
mempergunakan metode interpretasi dan kontruksi. Metode interpretasi
45
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 292.
38

adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang


pada bunyi teks itu. Sedangkan metode kontruksi hakim memeprgunakan
penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-
undang, dimana hakim tidak lagi terkait dengan berpegang pada bunyi teks
itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu
sistem.
Penemuan hukum dengan metode interprtasi dapat dibedakan
jenis-jenisnya yaitu: (1) metode penafsiran substantif (2) metode
penafsiran gramatikal (3) metode penafsiran sistematis atau logis (4)
metode penafsiran historis atau sejarah (5) metode penafsiran sosiologis
atau teleologis (6) metode penafsiran komperatif atau perbandingan (7)
metode penfsiran restriktif (8) metode penafsiran ekstensif dan (9) metode
penafsiran futuristis.46
para hakim dalam melakukan kontruksi dalam penemuan dan
pemecahan masalah hukum, harus mengetahui tiga syarat utama yaitu:
pertama kontruksi harus mampu meliputi bidang hukum positif yang
bersangkutan, kedua dalam pembuatan kontruksi tidak boleh ada
pertentangan logis di dalamnya, dan yang terakhir kontruksi kiranya
mengandung faktor keindahan dalam arti tidak dibuat-buat, tetapi dengan
dilakukan kontruksi persoalan yang belum jelas dalam peraturan-peraturan
itu diharapkan muncul kejelasan-kejelasan. Dalam praktik peradilan,
penemuan hukum dengan metode kontruksi dapat dijumpai dalam bentuk
sebagai berikut: (1) Argumen peranalogian (2) metode argumentum
a‟contrario (3) pengkonkretan hukum dan (4) fiksi hukum.47

3. Tehnik Pengambilan Putusan

46
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 295.
47
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 298.
39

dari segi metodologi, para hakim di lingkungan peradilan Agama


dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili
hendaknya melalui proses tahapan sebagai berikut:
a. Perumusan masalah atau pokok sengekta
Perumusan masalah atau sengketa dari suatu perkara dapat
disimpulkan dari informasi baik dari penggugat mapun dari tergugat,
yang termuat dalam gugatanya dan jawaban tergugat, replik dan duplik.
Perumusan pokok masalah dalam proses pengambilan keputusan oleh
hakim merupakan kunci dari proses tersebut. Kalo pokok masalah
sudah salah rumusan masalahnya, maka proses selanjutnya juga akan
salah.
b. Pengumpulan data dalam proses pembuktian
Setelah hakim merumuskan pokok masalahnya, kemudian hakim
menentukan siapa yang dibebani pembuktian untuk pertama kali. Dari
pembuktian inilah, hakim akan mendapatkan data untuk diolah guna
menemukan fakta yang dianggap benar atau fakta yang dianggap salah
(dikonstatir). Data berupa fakta yang dinyatakan oleh alat-alat bukti dan
sudah diuji kebenarannya.
c. Analisis data untuk menemukan fakta
Data yang telah diolah akan melahirkan fakta yang akan diproses
lebih lanjut sehingga melahirkan suatu keputusan yang akurat dan
benar.
d. Penemuan hukum dan penerapaanya
Setelah fakta yang dianggap benar ditemukan, selanjutnya hakim
menemukan dan menerapkan hukumanya. Menemukan hukum tidak
hanya sekedar mencari undang-undangnya dapat diterapkan pada
peristiwa yang kongkrit, tetapi yang dicarikan hukumnya untuk
diterapkan pada suatu peristiwa yang konkrit.
e. Pengambilan keputusan
Jika penemuan hukum dan penerapan hukum telah dilaksanakan
oleh hakim, maka ia harus menuangkanya dalam bentuk tertulis yang
disebut dengan putusan.
40

D. TINJAUAN UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008 DAN Q.S.


AL-KHAFI {18}:19 TENTANG KONSEP DASAR WAKALAH
DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH

1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2008


Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebelum UU Perbankan Syariah
dikenal dengan Bank Prekreditan Rakyat Syariah. Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) juga merupakan lembaga intermediasi
keuangan, akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan kegiatan usaha
dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan Usaha yang dapat dilakukan
oleh BPRS versi UU Perbankan Syariah diatur dalam pasal 2148, yaitu
bahwa kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan Akad Wadi’ah atau Akad lainya yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah, dan;
2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudhaarabah
atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
b. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau
musyarakah;
2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau
istishna;
3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada Nasabah berdarakan Akad ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
5. Pengambialihan utang berdasarkan Akad hawalah;

48
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) Cet
Pertama, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 57-58.
41

c. Menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk titipan


berdasarkan Akad Wadi’ah atau investasi berdasarkan Akad
mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syriah;
d. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan Nasabah melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum
Konvensional, dan UUS, dan;
e. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syriah
lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan
persetujuan Bank Indonesia.
Kegiatan usaha BPRS secara teknis oprasional berkaitan dengan
produk-produknya mendasrkan pada Pasal 2 dan Pasal 3 PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prisnsip Syariah Dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah, serta SEBI No. 10/14/DPbS Jakarta, 17 Maret 2009 Perihal
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, sebagaimana yang
telah dipaparkan di muka.
Berikutnya perlu ditekankan disini bahwa setiap pihak dilarang
melakukan kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk Simpanan atau
Investasi berdasrkan Prinsip Syariah tanpa seizin lebih dahulu dari
Bank Indonesia, kecuali diatur dalam undang-undang lain.49 Dengan
demikian untuk dapat melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana
dimaksud diatas harus ada izin terlebih dahulu kepada Bank Indonesia.

2. Q.S. Al-Khafi {18}:19


Ulama bersepakat untuk mengatakan bahwa Al-Quran adalah
sumber utama islam. Sebagai sumber utama, maka sumber ajaran islam
yang lain seperti ijma, qiyas, dan lainya, harus bermuara pada sumber
utamanya yaitu Al-Quran.

49
Lihat Pasal 22 UU No.21 Tahun 2008
42

Sebagai sumber utama, Al-Quran memuat nilai-nilai atau tata-


aturan dasar. Penjabar dari nilai-nilai dasar itu dapat berupa nilai-nilai
hadits, ijma, qiyas, dan sebagainya. Tetapi, semuanya harus berlandaskan
pada sumber dasarnya, yaitu Al-Quran.
Oleh karena itu, validitas Al-Quran sebagai hujjah adalah mutlak
dan bersifat pasti benarnya (qathi’iyyatud dilalah/َ ‫) َقط ِعيَّتُ َال ِّد ََل َلت‬,
sehingga menggunakan Al-Quran sebagai dasar hukum tidak
membutuhkan bukti, alasan, atau keterengan apapun dari yang lain.50
Ayat dibawah ini adalah salah satu dari sekian banyak yang
menjelaskan tentang konsep dasar jual beli yang erat kaitannya dengan
akad wakalah dalam pembiayaan murabahah, yaitu sebagai berikut:
َ َ ٩١َ...َ‫َُ ِذ ٍَِٓۦَإِلىَ ۡٱلو ِديٌَ َِت‬
َٰ ۡ‫فَ ۡٱبعثُ ْٓاََأحد ُكنَبِْ ِرقِ ُكن‬
Artinya:
“... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, ....” (Q.S. Al-Khafi {18}: 19)51

Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.
Dinamai “Al-Khafi” artinya “Gua” dan “Ashabul Khafi” yang artinya: “penghuni-
penghuni gua”. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam sudat ini
pada ayat 9 samapi dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam
gua bertahun-tahun lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah
dalam cerita surat ini, yang ke semuanya mengandung i’tibar dan pelajaran yang
amat berguna bagi kehidupan manusia.52
Ayat diatas memang tidak menyebutkan wakalah secara eksplisit, namun
apa yang tertulis dan dikisahkan dalam ayat di atas adalah terkait masalah
wakalah. Lafaz-lafaz yang berupa kata perintah dalam ayat di atas menunjukkan
adaanya perwakilan atau wakalah.53

50
M. Ma‟sum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh Cet 1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013), 62.
51
Al-Quran surah Al-Khafi (18) ayat 19 (Tangerang: CV. Norma Pustaka, 2011), 236.
52
Soenarjo, Al-Quran dan Terjemah (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Quran, 1971), 442.
53
Imam Mustofa, fiqih Muamalah Kontemporer Cet ke 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persda, 2016)
208.

Anda mungkin juga menyukai