BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. WAKALAH
1. Pengertian Wakalah
Secara bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti al-Tafwidh
(penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandat) seperti perkataan:
Artinya: “aku serahkan urusanku kepada Allah”.
Secara terminologi (syara’) sebagaimana dikemukakan oleh fukaha:
a) Imam Taqy al-Din Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini
Artinya: “menyerahkan suatu pekerjaaan yang dapat digantikan
kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.
b) Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie
“akad penyerahan kekuasaan dimana pada akad itu seseorang
menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk bertindak”.
Dari dua definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah
adalah sebuah transaksi dimana seseorang menunjuk orang lain untuk
menggantikan dalam mengerjakan pekerjaannya/perkaranya ketika
masih hidup.
Dalam wakalah sebenarnya pemilik urusan (muwakkil) itu dapat
secara sah untuk mengerjakan pekerjaannya secara sendiri. Namun,
karena satu dan lain hal urusan itu ia serahkan kepada orang lain yang
dipandang mampu untuk menggantikannya. Oleh karena itu, jika
seorang (muwakkil) itu adalah orang yang tidak ahli untuk mengerjakan
urusannya itu seperti orang gila atau anaka kecil maka tidak sah untuk
mewakilkan kepada orang lain. Contoh wakalah, seorang mewakilkan
kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali nikah dalam pernikahan
anak perempuannya. Contoh lain seorang terdakwa mewakilkan urusan
kepada pengacarannya.24
Muhammad Syafi‟i Antonio, mengemukakan definisi wakalah
adalah akad perwakilan antara dua pihak, dimana pihak pertaman
24
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat Cet ke 1
(Jakarta: Kencana, 2010), 187.
19
20
26
Muammar Arafat Yusmad, Aspek Hukum Perbankan Syariah dari Teori ke Praktek Cet
1 (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2018), 62-63.
27
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, dan Sapiudin Shidiq. Fiqh Muamalat Cet ke 1
(Jakarta: Kencana, 2010), 189.
22
28
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer Cet 1 (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2016), 211-212.
24
“... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini, ....” (Q.S. Al-Khafi {18}: 19)29
َ َ٥٣ٓ فَ ۡٱبعثُْاََحك ٗواَ ِّه ۡيَأ ُۡلِ ََِۦَّحك ٗواَ ِّه ۡيَأ ُۡلَِِا...
Artinya:
“... maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan....” (Q.S. An-Nisa {4}: 35)30
kecuali dengan pernyataan wali qorib „dekat‟. Jika ia tidak ada, boleh
diwakilkan oleh wali yang jauh. Jika ia tidak ada juga, hakim sebagai
walinya.”33 Jika wanita menikahkan dirinya dengan atau tanpa izin
walinya nikahnya itu batal dan tidak sah.
B. MURABAHAH
1. Pengertian Murabahah
Secara bahasa murabahah berasalah dari kata ribh yang bermakna
tumbuh dan berkembang dalam perniagaan. Dalam istilah syariah,
konsep murabahah terdapat berbagai formulasi definisi yang berbeda-
beda menurut pendapat para ulama‟. Diantaranya, menurut utsmani,
murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli yang mengharuskan
penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan komoditas (harga pokok
pembelian) dan tambahan profit yang diinginkan yang tercermin dalam
hrga jual.34
Akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan
menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayar
dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.35
Pendapat lain dikemukakan oleh al-kasani, murabahah
mencerminkan transaksi jual beli: harga jual merupakan akumulasi
dari biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk mendatangkan objek
transasksi atau harga pokok pembelian dengan tambahan keuntungan
tertentu yang diinginkan penjual (marjin); harga beli dan jumlah
keuntungan yang diinginkan diketahui oleh pembeli. Artinya, pembeli
33
Tertib wali menurut Imam Syafi‟i adalah: ayah, kemudian kakek, kemudian saudara laki-laki
ayah dan ibu, kemudian saudara laki-laki ayah, kemudian anak paman dari ayah dan ibu, kemudian
anak laki-laki dari saudara laki-laki, kemudian paman dari ayah, kemudian anak paman dari ayah,
kemudian hakim (mereka ini disebut ashbah). Ini bermakna, seseorang tidak boleh menjadi wali
nikah selama masih ada keluarga yang lebih dekat sebab ia lebih berhak dengan adanya pertalian
ashabah. Jadi, asalah ini hamper sama dengan hokum waris. Sekiranya seseorang diantara mereka
menjadi wali nikah dengan tidak mematuhi susunan tersebut, tentulah nikahnya tidak sah.
34
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 91.
35
Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah edisi pertama (Jakarta: Kencana, 2009),
79.
26
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu (Q.S. An-Nisa {4}: 29).37
Artinya:
“sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.” (HR.
Al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban).
37
Al-Quran surah An-Nisa (04) ayat 29 (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), 83.
38
Al-Quran surah Al-Baqarah (02) ayat 275 (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2006), 47.
28
ِ عن
َ َ ثَال.صلَى اللَّو ا َعلَْي ِو َو َسلَّ َم
ث ِ ِِ ِ َص َهي
َ اَا َل َر َس ْوا ل ا اللَّو.ب َع ْن أَ بْيو اَا َل ُ صا ل ِح بْ ِن
َ َْ
ِ فِيهن ا لْب ر َكةُ اَ لْب يع ا ََل اَ ج ٍل و ا لْم َقا ر ضةُ و اِ خالَ ُط ا لْ َِب بِا لثَعِ ِري لِلب ي
ت ِال لِلْبَ ْي ِع ( رواه ا َْ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ُ َْ ََ َ ْ
) بن ما جو
Artinya:
39
M. Ilyas Marwal, “Rekontruksi Murabahah sebuah Ijtihad Solusi Pembiayaan.” 21 Juli
2010. http://permodalanbmt.com/bmtcenter/wp-content/uploads/rekonstruksi-murabahah-sebuah-
ijtihad-solusi-pembiaya.pdf. Diakses 28 Februari 2018. Pukul 03.00 wib.
30
40
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 93.
31
41
Ismail Nawawi, Fiqh Muamalah Klasik dan Kontemporer Cet 1 (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012), 94.
42
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah Cet 7 (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), 47.
32
b. Syarat Murabahah
33
hakim yang senior dan terakhir baru Ketua Majelis Hakim itu sendiri.
Dalam permusywaratan Majelis Hakim itu setiap hakim mempunyai hak
yang sama dalam hal: (1) mengonstatir peristiwa hukum yang diajukan
oleh para pihak kepadanya dengan melihat, mengakui, atau membenarkan
telah terjadinya peristiwa yang telah diajukan tersebut, (2) mengkualifisir
peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Peristiwa yang
telah dikonstatirnya itu sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi harus
dikualifisir. Mengkualifisir berarti menilai peristiwa yang dianggap benar-
benar terjadi itu termasuk hubungan hukum mana dan hukum apa, dengan
kata lain harus ditemukan hubungan hukumnya bagi peristiwa yang telah
dikonstantir itu, (3) mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya atau
memebrikan keadilan kepada para pihak yang berperkara.44
Jika dua orang hakim anggota Majelis berpendapat sama terhadap
hal tersebut di atas, maka hakim yang kalah suara itu, (termasuk Ketua
Majelis Hakim) harus menerima pendapat yang telah sama itu. Hakim
yang kalah suaranya tersebut dapat menuliskan pendaptnya dalam sebuah
buku (catatan Hakim) yang khusus disedikan untuk itu yang disimpan oleh
Ketua Pengadilan Agama yang bersifat rahasia.
Jika terjadi masing-masing anggota Majelis Hakim itu berbeda
pendapat satu sama lain terhadap perkara yang sedang mereka periksa dan
adili, dan masing-masing anggota Majelis mempunyai pendapat yang
sama kuat dan akurat analisis yuridis, satu sama lain tidak mendukung
dalam perkara yang dihadapinya, sedangkan pihak pencari kedilan mohon
kepada majelis Hakim agar perkara segera diputus, maka permasalahan
tersebut dapat diselesaikan dengan alternatif yaitu: (1) persoalan tersebut
dibawa ke rapat pleno hakim yang ada dipengadilan Agama tersebut yang
dipimpin oleh Ketua pengadilan Agama, rapat pleno anggota hakim yang
di pengadilan Agama itu dilaksanakan secara tertutup dan rahasia, (2)
Ketua Majelis Hakim karena jabatanya dapat memeprgunakan hak votenya
dalam menyelesaikan perkara tersebut, dengan catatan sebagaimana
tersebut diatas.
44
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradialan Agama
(Yogyakarta: Kencana, 2015), 87-89.
36
semua anggota majelis. Alangkah lebih baik lagi kalau pada waktu putusan
itu diucapkan sudah menjadi putusan final.45
2. Metode Penemuan Hukum
Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang
diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit
dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curia
novit), sebenarnya para hakim itu tidak mengetahui semua hukum, sebab
hukum itu berbagai macam ragamnya, ada yang tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis. Tetapi hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara
yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan
alasan hukum tidak ada atau belum jelas, melainkan ia wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
(Lihat Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
Hakim dalam menggali suatu perkara yang diajukan kepadanya
harus mengetahui dengan jelas fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara
tersebut. Oleh karena itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusanya
terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari
Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para
pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, Majelis Hakim
harus mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut
sehingga ditemukan peristiwa/fakta yang kongkrit. Setelah Majelis Hakim
menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim
berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap
peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang ditemukan oleh
pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim karena
jabatanya dapat menambah/melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang
tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara (lihat Pasal 178 ayat (1) HIR
dan Pasal 189 ayat (1) R.Bg).
Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber dengan
mempergunakan metode interpretasi dan kontruksi. Metode interpretasi
45
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 292.
38
46
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 295.
47
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama Cet
ke 8 (Jakarta: Pernadamedia Grup, 2016), 298.
39
48
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perbankan Syariah (UU No. 21 Tahun 2008) Cet
Pertama, (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 57-58.
41
49
Lihat Pasal 22 UU No.21 Tahun 2008
42
Surat ini terdiri atas 110 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.
Dinamai “Al-Khafi” artinya “Gua” dan “Ashabul Khafi” yang artinya: “penghuni-
penghuni gua”. Kedua nama ini diambil dari cerita yang terdapat dalam sudat ini
pada ayat 9 samapi dengan 26, tentang beberapa orang pemuda yang tidur dalam
gua bertahun-tahun lamanya. Selain cerita tersebut, terdapat pula beberapa buah
dalam cerita surat ini, yang ke semuanya mengandung i’tibar dan pelajaran yang
amat berguna bagi kehidupan manusia.52
Ayat diatas memang tidak menyebutkan wakalah secara eksplisit, namun
apa yang tertulis dan dikisahkan dalam ayat di atas adalah terkait masalah
wakalah. Lafaz-lafaz yang berupa kata perintah dalam ayat di atas menunjukkan
adaanya perwakilan atau wakalah.53
50
M. Ma‟sum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh Cet 1 (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2013), 62.
51
Al-Quran surah Al-Khafi (18) ayat 19 (Tangerang: CV. Norma Pustaka, 2011), 236.
52
Soenarjo, Al-Quran dan Terjemah (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penerjemah/Penafsir Al-Quran, 1971), 442.
53
Imam Mustofa, fiqih Muamalah Kontemporer Cet ke 1 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persda, 2016)
208.