Anda di halaman 1dari 7

A.

PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang Wakalah. Kajian tentang Wakalah penting untuk
disajikan pada kelas Perbankan Syariah, karena agar kita mengetahui bagaimana
mengaplikasikan wakalah dalam kehidupan kita dan semuanya itu sudah ada dan diatur
dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang telah dibuat oleh ulama
terdahulu. Kajian dalam makalah ini berdasarkan kajian dalam kitab, buku dan jurnal
yang berkaitan langsung dengan masalah wakalah. Pembahasan dalam makalah ini
dimulai dari definisi wakalah, dasar hukum wakalah, rukun dan syarat wakalah. Wakalah
sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat membantu
seesorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut,
tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang telah direncanakan.
Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong
antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan.
B. Definisi Wakalah
Selain dengan Istilah Wakalah, digunakan pula istilah Wikalah (Iqbal &
Mirakhor,2007 :105). Dalam Bahasa Inggris, wakalah sama dengan agency.
Iqbal & Mirakhor memberikan arti bahwa akad wikalah berarti menunjuk
seseorang atau suatu badan hukum untuk bertindak atas nama orang lain atau sebagai
perwakilan seseorang. Suatu akad wikalah memberikan kuasa atau penugasan sebagai
kuasa kepada suatu perantara keuangan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu (Iqbal &
Mirakhor,2007:105). Biasanya kepada kuasa diberikan sejumlah fee oleh pemberi kuasa
(Khir, Gupta, & Shanmugam, 2008:61).1

Pengertian al-wakalat secara bahasa adalah al-tafwidh (pendelegasian), al-hifzh


(memelihara), al-kifa at (penggantian), dan al– dhaman(tanggung jawab). Diartikan
demikian karena dalam akad ini terdapat pendegelasian dari pihak pertama kepada pihak
kedua untuk melakukan sesuatu yang didelegasikan kepadanya. Pihak yang menerima
pelimpahan wewenang berkedudukan sebagai wakil, pemelihara (al-hafizh), penanggung
jawab (al-dhamin), dan pengganti (alkafi). 2

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat 19 mendefinisikan


wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.” Kuasa
dalam konteks ini kuasa untuk menjalankan kewajiban dan juga kuasa untuk menerima
hak. Kuaa untuk menjalankan kewajiban misalnya seseorang mewakilkan kepada orang
lain untuk membayar utang. Sementara kuasa untuk menerima hak seperti mewakilkan
untuk menerima pembayaran utang. Seorang wakil sepenuhnya menjalankan dan
kewenangan dan tanggung jawab orang yang diwakilkannya.3

1
Sutan Remy Sjadeini, Perbankan Syariah Produk Produk dan Aspek- Aspek Hukumnya,
(Jakarta:Prenamedia Group,2014),cet.1,h.392-393.
2
Atang Abd. Hakim,Fiqih Perbankan Syariah Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam Peraturan
Perundang-undangan,(Bandung:PT Refika Aditama,2011),cet.1,h.271
3
Abu Bakar Muhammad bin Abi Sahl al-Sarakhsi sebagaimana dikutip oleh Imam Mustofa,Fiqih
Muamalah Kontemporer,(Metro:STAIN Jurai Siwo Metro Lampung,2014),h.206.
Secara linguistik, wakalah bermakna menjaga atau juga bermakna mendelegasikan
mandat, menyerahkan sesuatu, seperti halnya firman Allah dalam QS. Yusuf:55.

Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan kekuasaan oleh satu pihak
(muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal hal yang boleh diwakilkan. Atas jasanya, maka
penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.4

C. Dasar Hukum
Dari dulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad wakalah untuk
menyelesaikan segala persoalan hidup mereka. Hal ini terjadi karena unsur keterbatasan
yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Untuk itu syari’ah memberikan legalitas
atas keabsahan akad tersebut.5
1. Al Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya al-wakalah adalah firman Allah SWT
berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi, yang artinya “Demikianlah Kami
bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri.
berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu
berada (disini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (disini) sehari atau
setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara
kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah
ia lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah ia Berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.” (al-Kahfi:19)
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang
bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam
memilih dan membeli makanan.6
Dan juga terdapat dalam surat al-Nisa’ ayat 35 yang artinya: “Maka
utuslah seorang hakim dari keluarga lelaki dan seorang hakim dari keluarga
perempuan”.(QS. Al-Nisa’: 35)

4
Ascarya,Akad dan Produk Bank Syariah,(Jakarta:Rajawali Pers,2011),h.104.
5
Dimyauddim Djuwaini,Pengantar Fiqih Muamalah....,h. 239-240.
6
Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah:Dari Teori Ke Praktik..,h. 121.
2. Al-Hadits

Banyak hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah,


diantaranya, Suatu ketika Rasulullah pernah mewakilkan dirinya kepada Hakim
bin Nizam atau ‘Urwah al Bariqi untuk membeli domba kurban. (HR. Abu Daud)7

Rasul telah mengutus Rafe’i dalam menerima pernikahan Maimunah binti


Haris (HR. Bukhari Muslim)

Dalam kehidupan sehari hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang


lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar utang, mewakilkan
penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi
kandang hewan, dan lain-lainya.

3. Ijma’

Para ulama pun bersepakat dengan ijma atas dibolehkannya wakalah.


Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal
tersebut termasuk jenis ta’awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan
takwa. Tolong menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunnahkan oleh
Rasulullah saw. Allah berfirman yang artinya “

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,


dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan...”(al-
Maa’idah:2)8

D. Rukun Wakalah
Rukun wakalah ada tiga yaitu :
1. Dua orang yang melakukan transaksi, yaitu orang yang mewakilkan dan yang menjadi
wakil. 2. Shighat (Ijab Kabul).
3. Muwakal fih (sesuatu yang diwakilkan).

Menurut kalangan Hanafiyah,


7
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah...., h.240
8
Muhammad Syafi’i Antonio,Islamic Banking Bank Syari’ah: Dari Teori Ke Praktik...., h.122
rukun wakalah adalah ijab dan kabul. Ijab berarti ucapan atau tindakan dari orang
yang akan mewakilkan, seperti ucapan atau tindakan dari orang yang akan mewakilkan,
seperti ucapan “Aku wakilkan kepadamu untuk melakukan hal ini.” Sementara kabul
berarti ucapan dari orang yang menerima wakil, seperti ucapan “Aku terima”. Ijab ini
adakalanya bersyarat atau bergantung pada sesuatu dan ada kalanya berlaku mutlak.
Apabila berlaku mutlak, maka wakil bertanggung jawab dan berwenang untuk melakukan
sesuatu terkait dengan hal yang diwakilkan.
Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah, rukun wakalah ada empat
antara lain :
1). Orang yang mewakilkan (muwakkil)
2). Orang yang menerima perwakilan (wakil)
3). Objek atau pekerjaan yang diwakilkan (muwakkal bih)
4). Sighah (ijab dan kabul)9

Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSNMUI/IV/2000,


tanggal 13 April 2000 tentang Wakalah, Rukun wakalah sebagai berikut : a.Orang yang
memberi kuasa (al Muwakkil) b.Orang yang diberi kuasa (al Wakil); c.Perkara/hal yang
dikuasakan (al Taukil; d.Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul).10

E. Syarat Wakalah

1. Seorang muwakkil, disyaratkan harus memiliki otoritas penuh atas suatu pekerjaan yang akan
didelegasikan kepada orang lain. Dengan alasan, orang yang tidak memiliki otoritas sebuah
transaksi, tidak bisa memindahkan otoritas tersebut kepada orang lain. Akad wakalah tidak bisa
dijalankan oleh orang yang tidak memiliki ahliyyah, seperti orang gila, anak kecil yang belum
tamyiz. Ulama fiqh selain Madzhab Hanafiyyah menyatakan, akad wakalah tidak bisa
dilaksanakan oleh anak kecil secara mutlak.

2. Seorang wakil, disyaratkan haruslah orang yang berakal dan tamyiz. Anak kecil, orang gila,
anak belum tamyiz, tidak boleh menjadi wakil, ini menurut Hanafiyyah. Ulama selain

9
Mardani,Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah,(Jakarta:Kencana,2012),h.300
10
Fatwa DSN-MUI No: 10/DSN-MUI/IV/2000 sebagaimana dikutip oleh Indah Nuhyatia,” Penerapan dan Aplikasi
Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”, Economic: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, (Vol. 3, No. 2,2013)
h.104
Hanafiyyah juga menyatakan hal yang sama. Anak kecil tidak boleh menjadi wakil, karena
mereka belum bisa terbebani dengan hukum hukum syar’i. Segala tindakan yang dilakukan,
belum bisa diakui.

3. Objek yang diwakilkan, harus memenuhi beberapa syarat. Objek tersebut harus diketahui oleh
wakil, wakil mengetahui secara jelas apa yang harus dikerjakan dengan spesifikasi yang
diinginkan. Sesuatu yang diwakilkan itu, harus diperbolehkan secara syar’i. Tidak diperbolehkan
mewakilkan sesuatu yang diharamkan syara’, seperti mencuri, merampok dan lain lain. Objek
tersebut memang bisa diwakilkan dan didelegasikan (diwakilkan) kepada orang lain, seperti akad
jual beli, ijarah dan lain – lain.11

11
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah...., h.242

Anda mungkin juga menyukai