Anda di halaman 1dari 9

Tugas Kelompok 10

Restu Amin (21080072)

Aulia Syahbana (21080058)

WAKALAH

BAB I

A. Latar Belakang
Melihat kehidupan sekarang perlu kiranya kita mengetahui akad dalam muammalah
yang sekarang ini akan kita bahas adalah wakalah (perwakilan), yang semuanya itu
sudah ada dan diatur dalam al Qur’an, Hadist, maupun dalam kitab-kitab klasik yang
telah dibuat oleh ulam terdahulu. Untuk mengetahui tentang hukm wakalah,
sumbersumber hukum wakalah, dan bagaimana seharusnya wakalah diaplikasikan
dalam kehidupan kita.

Wakalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena wakalah dapat
membantu seesorang dalam melakukan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh
orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih tetap berjalan seperti layaknya yang
telah direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh, karena wakalah dianggap sebagai
sikap tolong-menolong antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada
kebaikan.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Wakalah
2. Landasan Hukum Wakalah
3. Rukun dan Syarat Wakalah
4. Hal-Hal Yang Boleh Diwakilkan
5. Berakhirnya Akad Wakalah
1. Pengertian Wakalah
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan atau
mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Al-Wakalah juga
berarti penyerahan (al Tafwidh) dan pemeliharaan (al-Hifdh). Menurut kalangan
Syafi‟iyah arti wakalah adalah ungkapan atau penyerahan kuasa (al-muwakkil) kepada
orang lain (alwakil) supaya melaksanakan sesuatu dari jenis pekerjaan yang bisa
digantikan (annaqbalu anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan
ketentuan pekerjaan tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup.
Wakalah dalam arti harfiah adalah menjaga, menahan atau penerapan keahlian atau
perbaikan atas nama orang lain, dari sini kata tawkeel diturunkan yang berarti menunjuk
seseorang untuk mengambil alih atas suatu hal juga untuk mendelegasikan tugas apapun
ke orang lain. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa wakalah adalah
akad yang memberikan kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana
yang memberi kuasa tidak dalam posisi melakukan kegiatan tersebut. Akad wakalah
pada hakikatya adalah akad yang digunakan oleh seseorang apabila dia membutuhkan
orang lain atau mengerjakan sesuatu yang tidak dapat dilakukannya sendiri dan meminta
orang lain untuk melaksanakannya.

Berikut definisi dan pengertian wakalah dari beberapa sumber buku:

a. Menurut Anshori (2009), wakalah adalah tindakan seseorang mewakilkan dirinya


kepada orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang merupakan haknya yang
tindakan itu tidak dikaitkan dengan pemberian kuasa setelah mati, sebab jika
dikaitkan dengan tindakan setelah mati berarti sudah berbentuk wasiat.
b. Menurut Muhammad (1995), wakalah adalah penyerahan sesuatu oleh seseorang
yang mampu dikerjakan sendiri sebagian dari suatu tugas yang bisa diganti, kepada
orang lain, agar orang itu mengerjakannya semasa hidupnya.

2. Landasan Hukum Wakalah


Landasan hukum wakalah adalah sebagai berikut: a)
Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya wakalah adalah firman Allah
SWT yang berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi.

Artinya: "... Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota
dengan membawa uang perakmu ini,...."(Q.S. Al-Khafi: 19).

Artinya: "... Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan,...."(Q.S. An-Nisa: 35).

b) Al-Hadis
Rasulullah SAW semasa hidupnya pernah memberikan kuasa kepada sahabatnya, di
antaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya,
mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain yang kemudian
dapat dijadikan landasan keabsahan wakalah. Salah satu Hadis yang menjadi
landasan wakalah yaitu:
Artinya: "Dan dari Sulaiman bin Yasar: Bahwa Nabi SAW, mengutus Abu Rafi’,
hamba yang pernah dimerdekakannya dan seorang laki-laki Anshar, lalu kedua
orang itu menikahkan Nabi dengan Maimunah binti Harits dan pada saat itu (Nabi
SAW) di Madinah sebelum keluar (ke mieqat Dzil Khulaifah)" (HR. Maliki
No.678, Kitab al-Muaththa').

c) Ijma Ulama
Menurut Antonio (2008), para ulama berpendapat dengan ijma atas dibolehkannya
wakalah. Mereka mensunahkan wakalah dengan alasan bahwa wakalah termasuk
jenis ta'awun atau tolong menolong atas dasar kebaikan dan takwa.

3. Rukun dan Syarat Wakalah


Menurut jumhur ulama, rukun wakalah ada empat, yaitu:
• Orang yang memberi kuasa (al-Muwakkil)
• Orang yang diberi kuasa (al-Wakil)  Perkara/hal yang dikuasakan (al-Taukil)
• Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul).

Adapun penjelasan ke-empat rukun wakalah tersebut adalah sebagai berikut (Suhendi,
2002).
a. Orang Yang Memberi Kuasa (Muwakkil)
 Seseorang yang mewakilkan, pemberi kuasa, disyaratkan memiliki hak untuk
tasharruf pada bidang-bidang yang didelegasikannya. Karena itu seseorang tidak
akan sah jika mewakilkan sesuatu yang bukan haknya.
 Pemberi kuasa mempunyai hak atas sesuatu yang dikuasakannya, disisi lain juga
dituntut supaya pemberi kuasa itu sudah cakap bertindak atau mukallaf. Tidak
boleh seorang pemberi kuasa itu masih belum dewasa yang cukup akal serta pula
tidak boleh seorang yang gila.
b. Orang Yang Diberi Kuasa (Al-Wakil)
 Penerima kuasa pun perlu memiliki kecakapan akan suatu aturan-aturan yang
mengatur proses akad wakalah ini. Sehingga cakap hukum menjadi salah satu
syarat bagi pihak yang diwakilkan.
 Seseorang yang menerima kuasa ini, perlu memiliki kemampuan untuk
menjalankan amanahnya yang diberikan oleh pemberi kuasa. ini berarti bahwa ia
tidak diwajibkan menjamin sesuatu yang di luar batas, kecuali atas
kesengajaannya.

c. Objek/Perkara/Hal Yang Dikuasakan (Al-Taukil)


 Objek mestilah sesuatu yang bisa diwakilkan kepada orang lain, seperti jual beli,
pemberian upah, dan sejenisnya yang memang berada dalam kekuasaan pihak
yang memberikan kuasa.
 Para ulama berpendapat bahwa tidak boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah badaniyah, seperti salat, dan boleh menguasakan sesuatu yang bersifat
ibadah maliyah seperti membayar zakat, sedekah, dan sejenisnya. Selain itu
halhal yang diwakilkan itu tidak ada campur tangan pihak yang diwakilkan.
 Tidak semua hal dapat diwakilkan kepada orang lain. Sehingga objek yang akan
diwakilkan pun tidak diperbolehkan bila melanggar syari'ah Islam.

d. Pernyataan Kesepakatan (Ijab dan Qabul)


 Dirumuskannya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
dari mulai aturan memulai akad Wakalah ini, proses akad, serta aturan yang
mengatur berakhirnya akad Wakalah ini.
 Isi dari perjanjian ini berupa pendelegasian dari pemberi kuasa kepada penerima
kuasa.
 Tugas penerima kuasa oleh pemberi kuasa perlu dijelaskan untuk dan atas
pemberi kuasa melakukan sesuatu tindakan tertentu.

Adapun Syarat-Syarat Wakalah adalah Sebagai Berikut:


1) Pekerjaan/urusan itu dapat diwakilkan atau digantikan oleh orang lain. Oleh karena
itu, tidak sah untuk mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti salat, puasa, dan
membaca alquran.
2) Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah. Oleh karena itu, tidak
sah berwakil menjual sesuatu yang belum dimilikinya.
3) Pekerjaannya itu diketahui secara jelas. Maka tidak sah mewakilkan sesuatu yang
masih samar seperti "aku jadikan engkau sebagai wakilku untuk mengawini salah
satu anakku".
4) Shigat, hendaknya berupa lafal yang menunjukkan arti mewakilkan yang diiringi
kerelaan dari muwakkil seperti "saya wakilkan atau serahkan pekerjaan ini kepada
kamu untuk mengerjakan pekerjaan ini" kemudian diterima oleh wakil. Dalam
shigat qabul si wakil tidak syaratkan artinya seandainya si wakil tidak mengucapkan
qabul tetap dianggap sah.

Jenis-Jenis Wakalah

1. Menurut Ayub (2009), terdapat tiga jenis wakalah, yaitu sebagai berikut:
Al-wakalah al-khosshoh, adalah prosesi pendelegasian wewenang untuk
menggantikan sebuah posisi pekerjaan yang bersifat spesifik. Dan
spesifikasinyapun telah jelas, seperti halnya membeli Honda tipe X atau menjadi
advokat untuk menyelesaikan kasus tertentu.
2. Al-wakalah al-ammah, adalah prosesi pendelegasian wewenang bersifat umum,
tanpa adanya spesifikasi. Seperti belikanlah aku mobil apa saja yang kamu
temui.
3. Al-wakalah al-muqoyyadoh dan al-wakalah mutlaqoh, adalah akad dimana
wewenang dan tindakan si wakil dibatasi dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya
juallah mobilku dengan harga 100 juta jika kontan dan 150 juta jika kredit.
Sedangkan al-wakalah al-muthlaqoh adalah akad wakalah dimana wewenang
dan wakil tidak dibatasi dengan syarat atau kaidah tertentu, misalnya juallah
mobil ini, tanpa menyebutkan harga yang diinginkan.
4. Hal-Hal Yang Boleh di Wakilkan
Muwakkal fiih adalah milik muwakkil. Tidak terbayangkan orang yang tidak memiliki
kewenangan terhadap suatu perkara melimpahkan suatu tindakan hukum terhadap
perkara tersebut kepada orang lain. Dan syarat ini disepakati oleh seluruh dunia.
Muwakkal fiih tersebut diketahui sebagian aspeknya, maksudnya ketidakjelasan dan
ketidakpastian didalamnya tidak berat. Ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh para
ulama Mazhab Syafi’i. Muwakkal fiih secara syara bisa diwakilkan oleh orang lain,
yaitu semua urusan keuangan dan yang lainnya yang bisa diwakili oleh orang lain.
Contohnya
 Menyembelih binatang kurban
 Membagi zakat
 Perniagaan atau jual beli.

5. Berakhirnya Akad Wakalah


a) Muwakkil memberhentikan wakilnya
b) Muwakkil melakukan sendiri perkara yang diwakilkan
c) Selesainya tujuan dari akad wakaalah
d) Muwakkil atau wakil kehilangan kecakapan untuk melakukan tindakan hukum
e) Muwakkil pindah ke darul harb dalam keadaan murtad
f) Muwakkil menghentikan wakil atau wakil mundur dari akad wakaalah
g) Rusak atau hilangnya objek wakaalah karena tindakan yang diwakilkan terhadapnya
h) Keluarnya sesuatu yang diwakilkan dari kepemilikan muwakkil
i) Bangkrut
j) Pengingkaran
k) Pelanggaran wakil
l) Kefasikan
m) Perceraiaan
n) Berakhirnya masa wakaalah
6. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan al-wakaalah ialah penyerahan
dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selam
yang mewakilkan masih hidup. Dan dasar hukum al-wakalah adalah firman allah Swt.
”Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini.” (Q.S. Al-Kahfi:19).
Wakaalah mempunyai empat rukun , yaitu orang yang mewakilkan (muwakkil), orang
yang mewakili (wakiil), sesuatu yang diwakilkan (al-muwakkalfiih), dan sighah (ucapan
atau perbuatan yang menunjukkan ijab dan qabul).

DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2008. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani.
Karim, Helmi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ayub, Muhammad. 2009. Understanding Islamic Finance. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Anshori, Abdul Ghofur. 2009. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Muhammad, Abu Bakar. 1995. Fiqh Islam. Surabaya: Karya Abbditama.
Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Dewan Syariah Nasional. 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Jakarta:
Gaung Persada.

Anda mungkin juga menyukai