Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS)

HUKUM KEWARISAN ISLAM

Oleh:

MUHAMMAD ABDILLAH (1730101112)

Dosen Pengampu:

M. KHOMSUL FAUZI, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2019
PERSOALAN

1. Temukan sebuah kasus khusus tentang sengketa / permasalahan pembagian ahli waris
di daerah tempat tinggal masing-masing. Tugas;
a. Apa yang menarik dari kasus tersebut?
b. Identifikasi, penyelesaian masalah melalui Hukum Positif dan Kompilasi Hukum
Islam!
c. Selesaikan kasusnya (sertakan perhitungan dan masuk dalam kategori apa;
Umum/Aul/Radd, dst!

2. Saat menyelami kasus pembagian harta waris, kita akan menemui kasus pewaris
pengganti. Ada 2 pandangan terkait hal ini, pendukung dan penentang pemberlakuan
pewaris pengganti. Tugas;
a. Jika masyarakat meminta anda menyelesaikan kasus ini, anda akan berada pada
posisi mana? Kemukan sandaran pemikiran anda dari berbagai sumber.
b. Bagaimana Dekonstruksi Hukum Progresif dalam penyelesaian kasus tersebut?

JAWABAN
1. Pembagian harta waris anak bungsu di desa upang marga kecamatan air salek
kabupaten banyuasin.
a. Karena hukum Islam tidak ada menerangkan kewarisan anak bungsu ini secara
khusus begitu pula di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dari
kitab BW (Burgerlijk Wetboek).
Pembagian warisan anak bungsu ini banyak dipengaruhi oleh adat dan tradisi
yang sudah berlaku secara turun-temurun dari nenek moyang terdahulu akan
tetapi meskipun demikian tidak ada perselisihan yang timbul karena sistem
yang dipakai di Desa Upang Marga ini karena biasanya didahului dengan
bermusyawarah bersama para ahli waris dan pewaris ketika masih hidup.
Namun terkadang keadaan ekonomi para ahli waris dapat menjadi
pertimbangan terhadap jumlah bagian harta waris yang diterima misalkan ada
diantara para ahli waris yang kurang mampu, tidak memiliki lahan pertanian,
ataupun belum memiliki rumah sedangkan ahli waris yang lain sudah
memiliki hidup yang berkecukupan maka dalam keadaan seperti ini seorang
ahli waris dapat dilebihkan bagiannya dari ahli waris lain.
b. Karena pada dasarnya kasus tersebut yang terdapat di daerah banyuasin
terkhusus pada desa. upang marga kecamatan air salek Menggunakan hukum
adat setempat, walaupun mereka menggunakan hukum adat tapi mencapai
keadilan yang mambawa kemaslahatan.
Nurseli menjelaskan dalam keluarganya harta warisan orang tuanya
dibagikan dengan cara membagi rata kepada seluruh anak almarhum baik itu
laki-laki ataupun perempuan semuanya mendapatkan bagian yang sama
jumlahnya, harta peninggalan almarhum yang disebutkan yaitu berupa emas,
uang dan tanah sebesar 12 x 15 Meter yang di atasnya berdiri rumah pewaris,
setelah pengurusan jenazah dan pelunasan utang-utang pewaris, barulah harta
berupa emas dan uang tersebut dibagi sama rata kepada seluruh ahli waris
akan tetapi Nurseli sebagai anak bungsu mendapatkan bagian yang lebih
dibandingkan ahli waris lain yaitu berupa rumah pusaka atau rumah
peninggalan orang tua. Berikut adalah para ahli waris:
 Solima (anak pertama),
 Muhammad Teguh (anak kedua)
 Muhammad Deket (anak ketiga)
 Nurseli (anak terakhir)

Pembagian waris dengan cara di atas tidak dipertentangkan oleh para ahli
waris lain karena hal semacam ini sudah biasa dilakukan akan tetapi akan
lebih baik jika kepemilikan rumah orang tua dibuat bukti persetujuan yang
ditandatangani oleh para ahli waris, agar tidak ada perselisihan dikemudian
hari.

c. Karena pada dasarnya kasus tersebut menggunakan hukum adat jadi terbilang
lebih mudah dalam pembagiannyan, yaitu dengan membagikan harta waris
dengan bagian yang sama. Tapi, untuk anak bungsu mendapatkan warian
rumah.
2. Makna pergantian tempat dalam hukum waris yaitu meninggal dunianya seseorang
dengan meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meinggal dunia terlebih dahulu.
Cucu ini menggantikan posisi orang tua yang telah meninggal dunia terlebih dahulu
untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya. Besar bagian yang diterima
oleh seorang cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya
sekiranya mereka masih hidup.
a. Jika masyarakat meminta saya untuk menyelesaikan kasus ini, saya akan berada
pada posisi mendukung pembagian waris pengganti, selama tidak merugikan atau
tidak ada mudharat bagi semua orang.
Hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI)
adalah berupa pemberian hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada
keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi
Hukum Islam yang lengkapnya adalah:
1) Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut
dalam Pasal 173.
2) Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.
Ketentuan Pasal 185 KHI, dipertegas lagi dalam Buku Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang asas ahli waris langsung dan
asas ahli waris pengganti adalah:
1) Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal
174 KHI.
2) Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur
berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris
yang disebutkan dalam Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak lakilaki/
perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi
dan keturunannya. (Paman walaupun keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli
waris pengganti, karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut dalam
Pasal 174 KHI).
Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya pergantian tempat
ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat menggantikan posisi yang
meninggal terlebih dahulu adalah anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa
ahli waris yang dapat menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang
berdasarkan hukum atau putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tidak
dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat para pewaris; tidak dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan
pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa yang dapat
menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari anak laki-laki dan keturunan
anak perempuan. Hal ini bermakna bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan
cucu perempuan dari anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti,
demikian pula cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari
anak perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan ini sangat
berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak membenarkan keturunan anak
perempuan menjadi ahli waris pengganti (baca konsep tanzil), bahkan keturunan
anak laki-laki (cucu) tidak mendapat harta warisan, jika dalam ahli waris
tersebut terdapat anak laki-laki. Dengan demikian, cucu dari keturunan anak
laki-laki yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris menjadi terhijab.
Persoalannya adalah apa yang menjadi landasan pikiran para perumus KHI
terutama Pasal 185.

Contoh: Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki dan seorang
anak perempuan, serta saudara laki-laki kandung, dan harta warisan Rp.180 juta.
 Ayah : 1/6
 Anak laki-laki : asabah
 Cucu dari anak laki-laki : asabah
 Anak perempuan : asabah bil ghairi
 Saudara laki-laki kandung : mahjub karena ada anak.

Pembagiannya:
Asal masalah 6
Ayah 1/6 X 180 Rp.30.000.000,-
Anak laki-laki 2/6 X 180 Rp.60.000.000,-
Cucu dari anak laki-laki 2/6 X 180 Rp.60.000.000,-
Anak perempuan 1/6 X 180 Rp.30.000.000,-
18 : Jumlah Rp.180.000.000,-

Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual plaatsvervulling, maka ahli waris
pengganti adalah termasuk golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian
ahli waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang diperoleh anak
perempuan pewaris yang masih hidup akan mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris
yang diganti itu anak perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak perempuan.
Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang terbaik.

b. Untuk penyelesaian kasus pewaris pengganti telah diatur dalam KHI dan bisa
diselesaikan di pengadilan Agama melalui jalur hukum sebagai berikut.
Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, seorang
hakim harus mampu melakukan terobosan baru dalam menerapkan ketentuan Pasal
185 KHI, sehingga nilai keadilan dan kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI,
terutama dalam pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam keluarga
memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan keturunannya yang masih
hidup, dan anak-anak orang yang meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan
kedudukan bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya.
Hal ini terbukti dari adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang
lembaga pergantian tempat ahli waris berupa Putusan Mahkamah Agung RI No.
Reg. 391/K/Sip/1958 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959.
Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dinyatakan bahwa;
menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, hak menggantikan seseorang
ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada pewarisnya, ada pada
keturunan garis menurun. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No.
Reg. 141/K/Sip/1959 diputuskan; penggantian waris dalam garis ke atas pun
mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup di kalangan
masyarakat yang bersangkutan.
Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai pergantian tempat ahli
waris dapat dtemukan paling tidak dua hal. Pertama, yurisprudensi Mahkamah
Agung hanya berlaku di lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli
waris masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya memperkuat
hukum yang hidup (living law) terutama mengenai ahli waris pengganti. Kedua,
pergantian tempat ahli waris, bukan hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik
dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke
atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung tidak merinci
tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli waris pengganti dari garis lurus ke
atas, sehingga Mahkamah Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk
menentukan sendiri.
Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai pergantian tempat ahli
waris dapat dtemukan paling tidak dua hal. Pertama, yurisprudensi Mahkamah
Agung hanya berlaku di lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli
waris masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya memperkuat
hukum yang hidup (living law) terutama mengenai ahli waris pengganti. Kedua,
pergantian tempat ahli waris, bukan hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik
dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke
atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung tidak merinci
tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli waris pengganti dari garis lurus ke
atas, sehingga Mahkamah Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk
menentukan sendiri.
Di lingkungan Peradilan Agama, penerapan ketentuan hukum pergantian ahli
baru dimulai dilaksanakan sejak lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun
1991. Sebelumnya, lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal adanya pergantian
tempat ahli waris, karena hukum materil yang dipergunakan pada Pengadilan
Agama adalah kitab-kitab fiqh yang tidak memberikan ruang bagi penerapan
konsep pergantian ahli waris. Pada sisi lain, keberanian hakim juga cuku terbatas
untuk keluar kitab-kitab fiqh standar yang menjadi hukum materiil pada Pengadilan
Agama, dan sangat terbatas kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang hidup
di dalam masyarakat (living law).
Kompilasi Hukum Islam membawa perubahan yang agak fundamnetal
terutama dalam hal pergantian tempat ahli waris, namun di dalam praktek pada
Pangadilan Agama masih banyak ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185
KHI, sebagaimana disebutkan dalam contoh-contoh penyelesaian perkara
pergantian tempat ahli waris pada sub bab analisis KHI dalam tulisan ini. Contoh
kendala penerapan Pasal 185 KHI di lingkungan Peradilan Agama terlihat dari
putusan Pengadilan Agama di Selong Kab. Lombok Timur No.
111/Pdt/G/1997/PA.SEL, tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan denga 22 Rabiul
Akhir 1418 H. Putusan tingkat pertama ini menerapkan ketentuan Pasal 158 KHI
yang menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri atas; cucu perempuan dari anak
perempuan (1/18 bagian) dan cucu laki-laki dari anak perempuan (2/18 bagian).
Putusan PA Selong ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram
dengan nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret 1998
bertepatan dengan tangga 29 Dzul Qaidah 1418 H. PTA Mataram beralasan bahwa
ahli waris pengganti yang ditetapkan oleh PA Selong termasuk dalam kategori
zhawil arham, sehingga ia tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui ahli
waris pengganti.

Anda mungkin juga menyukai