Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KONSEP ADIL DALAM POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM


DAN HUKUM POSITIF

A. Konsep Adil dalam Poligami Menurut Hukum Islam


1. Konsep Adil
Banyak istilah dalam bahasa Indonesia yang memiliki pengertian yang
kompleks dan sukar untuk merumuskannya secara baku. Oleh karena istilah
tersebut menyangkut hal yang abstrak, bersifat relatif dan memiliki unsur
subyektifitas. Kata adil misalnya, ketika dipahami lebih dari satu orang, maka
mereka akan berbeda penilaian tentang adil yang dimaksud. Adil menurut
suatu masyarakat, juga belum tentu adil bagi masyarakat yang lain. Adil bagi
orangsekarang belum tentu adil untuk orang yang hidup di masa datang. 21
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adil mengandung banyak
arti:
a. Tidak berat sebelah, tidak memihak,
b. Berpihak kepada yang benar,
c. Berpegang kepada kebenaran,
d. Sepatutya, tidak sewenang-wenang.
Secara terminologi adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang
lain baik dari segi ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah
dan tidak berbeda sama lain.
Dalam poligami diisyaratkan bagi suami untuk berlaku adil, menurut
Muhammad Husein al-Zahabi mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan
dalam memberikan nafkah dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam
batas yang mampu dilakukan oleh manusia. Selanjutnya Mustafa al-Sibai
mengatakan bahwa keadilan material seperti yang diperlukan dalam poligami
adalah keadilan material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal,
pakaian, makanan, minum, perumahan dan lain-lain.
Secara umum ada empat konsep keadilan. Pertama, adil dalam arti
“sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh konsepsi tersebut adalah

21
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan
Lampiran UU No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 13.

16
17

persamaan dalam hak. Setiap suami wajib melaksanakan keadilan terhadap


istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu ialah persamaan diantara dua yang
sama. Dan persamaan di antara istri-istri itu menjadi hak dari setiap istri,
sebagai haknya dalam statusnya sebagai istri, dan memperhatikan sebab
apapun yang berhubungan dengan dirinya. Karena hubungan suami dengan
masing-masing istrinya itu adalah hubungan suami istri. 22
Konsep adil yang kedua adalah adil yang ditunjukkan untuk
pengertian “seimbang”. Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang
didalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan syarat ini,
kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan
ini identik dengan kesesuaian (keproposionalan), bukan lawan kata
kezaliman. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat
bagi semua unit agar seimbang.
Konsep adil yang ketiga adalah adil yang berarti perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya.
Pengertian ini pulalah yang mengandung suatu pemahaman bahwa
pengabaian terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan kepada pemiliknya
dapat dikatakan suatu kezaliman.
Yang keempat adalah adil yang dinisbatkan kepada Ilahi. Konsep adil
ini berarti memelihara kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak
mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat
banyak kemungkinan untuk itu. Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah.
Keadilan Ilahi pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk
diperoleh sejauh mahluk itu dapat meraihnya.
Dilihat dari definisi di atas, maka dapat dipahami bahwa para ulama di
atas mendefinisikan adil yang hanya sebatas dapat dihitung dengan angka-
angka yang menjadi bagian setiap masing-masing istri atau yang bersifat
kuantitatif. Padahal menurut fatwa Abduh, bahwa adil dalam poligami itu

22
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan
Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm. 206.
18

bersifat kaulitatif, sepertikasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak


dapat diukur dengan angka-angka. Maka di sini dibutuhkan sifat adil yang
kualitatif bagi setiap istri-istri. Sifat adil yang kualitatif memang sangatlah
susah
2. Konsep Poligami
Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang
sejarah peradaban manusia itu sendri. Sebelum Islam datang ke jazirah Arab,
poligami merupakan sesuatu yang telah menjadi tradisi bagi masyarakat
Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak berbatas. Lebih dari itu,
tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan
sepenuhnya siapa yang paling dia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki
secara tidak terbatas. Para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha
untuk memperoleh keadilan. 23
Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya, kendatipun tidak
menghapus praktik ini, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya
sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti
keharusan berlaku adil diantara para istri. Syarat-syarat ini ditemukan
didalam dua ayat poligami yaitu surat An-Nisaa’ ayat 3 dan ayat 129.

           

            

     


Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,24
maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (QS. An-Nisaa’ ayat 3).25

23
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 111
24
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
25
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Cet. I, (Jakarta:
PT Hati Emas, 2014), hlm. 78
19

Surat An-Nisaa’ ayat 3 turun setelah perang Uhud, di mana banyak


sekali pejuang muslim yang gugur, yang mengakibatkan banyak istri menjadi
janda dan anak menjadi anak yatim. Dari persoalan tersebut maka perkawinan
adalah satu-satunya jalan untuk memecahkan persoalan tersebut. Sebagai
akibatnya banyak perkawinan poligami dengan tujuan melindungi janda-
janda dan anak yatim yang terlantar.
Syarat adil yang dimaknai pada surat An-Nisaa’ ayat 3 tersebut bukan
sekaligus sebagai anjuran untuk berpoligami, hal tersebut dapat dilihat pada
asbabun nuzul turunnya ayat tersebut. Untuk menjadi sebuah aturan,
pemaknaan adil sebagai syarat dalam poligami haruslah memiliki kajian yang
komprehensif, sehingga tidak menimbulkan mudharat dalam penerapannya. 26
Selain itu, poligami dijelaskan juga dalam surat An-Nisaa’ ayat 129,
yaitu:

           

          

 

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS. An-Nisaa’ayat 129).27

Dalam surat An-Nisaa’ ayat 129 ini dijelaskan bahwa Allah SWT
memperingatkan bahwa pentingnya nilai kedilan dalam poligami. Oleh ulama
fiqh klasik (Imam Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi) ayat ini ditafsirkan

26
Zakiyuddin Baidhawy, Rekonstruksi Keadilan, hlm. 16
27
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 100
20

sebagai ketidakmampuan manusia untuk berbuat adil dalam hal kasih sayang
dan hubungan seksual. Untuk itu, mereka tidak memasukkan perasaan kasih
sayang dan seksual sebagai kategori keadilan yang harus dipenuhi oleh
seorang suami yang berpoligami. Para fuqaha klasik menganggap kebolehan
untuk menikah sampai empat istri membawa kekuatan hukum, sedangkan
tuntutan berlaku adil untuk mereka semata-mata dianggap anjuran, tanpa efek
ikatan tertentu.
Dengan demikian, para fuqaha mengambil ayat-ayat khusus
(kebolehan poligami) sebagai aturan yang mengikat dan prinsip-prinsip
umum sebagai anjuran.
Dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat tersebut menjelaskan
betapa Al-Qur’an begitu berat untuk menerima institusi-institusi poligami,
tapi hal itu tidak bisa di terima dalam situasi yang ada maka Al-Qur’an
membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan cara harus
adil. Dengan mengutuip al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat diatas
sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. 28
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan
pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa
membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal
dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami
khawatir berbuat dzalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka,
maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga
maka haram baginya menikah dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup
memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga istri. Begitu
juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang
perempuan, maka haram baginya melakukan poligami. 29

28
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 112-113
29
Tihami, Fiqh Munaqahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 362
21

3. Asbabun Nuzul Ayat Poligami


Untuk mengetahui lebih jauh tentang poligami, kita perlu melihat
asbabun nuzul surat An-Nisa’ ayat 2 dan 3 serta ayat 129 yang selama ini
digunakan sebagai dalil poligami.
Penjelasannnya dapat dipahami dari hadits berikut:
‫ض َي هللاُ َع ٌْ َِا ع َْي َُ ِر ٍِ االَ َي ِت‬ ِ ‫ع َْي َعسْ َّةَ ب ِْي الَز ِبي ِْس اًَََُّ َسا ِئ ُل خَالَ ِت َِ عَا ِئ َشتَ ا ُ ُّم ْال ُو ْؤ ِه ٌِ ْييَ َز‬
ِ ‫ت ياَا ْبيَ ا ُ ْخ ِتي َُ ِر ٍِ ْال َي ِت ْي َوتُ تَ ُكْْ ىُ ِف ْي َحجْ ِس َّ ِل ْي َِا يُ َشسِّ ُك َِا ِف ْي َها ِل َِا َّ َيع‬
‫ْجبَُُ َهالَ َِا‬ ْ َ‫فَقَال‬
ِ ‫ْط ْي َِا ِه ْث َل َها َيع‬
‫ْط ْي‬ ِ ‫صدَا ِق َِا فَ ََل َيع‬ َ ‫َّ َج َوالَ َِا َّي ُِس ْي ُد اَ ْى َيتَزَ ِّّ َج َِا ِه ْي َغي ِْس اَ ْى َي ْق ِسطَ ِف ْي‬
َ َ‫اب لَُِ ْن ِهيَ الٌِّ َسا ِء َه ْثٌَى َّ ثُل‬
‫ث‬ َ َ‫َاق فٌََِ َْْا ع َْي َذ ِلكَ َّ ا ُ ِهسُّْ ا اَ ْى َي ٌْ ِكحُْْ ا َها ط‬ ِ ‫صد‬ َّ ‫اتسابِا ِهيَ ال‬
. َ ‫َّ ُز َب‬

Artinya:“Bahwa „Urwah bertanya kepada bibinya, „Aisyah ummu al-Mukminin


R.A tentang ayat ini. „Aisyah menjawab: hai anak laki-laki saudara
perempuanku, bahwa anak yatim ini dalam kekuasaan walinya, (si
wali) menggabungkan hartanya dengan harta yatim, dan kecantikan
serta harta si yatim membuatnya tertarik. Kemudian wali bermaksud
menikahi tanpa berbuat adil dalam persoalan mahar; artinya dia
tidak memberi mahar sesuai ketentuan umum. Cegahlah dia dari
berbuat demikian dan perintahkanlah untuk menikahi wanita yang
disenangi dua, tiga atau empat”.30

Hamka, dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan Q.S. An- Nisa’ 2-3 tersebut
sebagai berikut:
“Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara
anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih
dari satu, sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk soal, lebih
baik kita terangkan tafsiran dari Aisyah, istri Rasulullah sendiri,
tentang asal mula datangnya ayat ini, karena menjawab pertanyaan
Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah. Urwah bin Zubair ini
sebagai anak kakak Aisyah, kerapkali bertanya kepada beliau tentang
masalah agama yang musykil. Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah.
Maka ditanyakanlah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri
lebih dari satu, sampai dengan empat dengan alasan memelihara harta
anak yatim. (Riwayat dari Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, al-Baihaqi dan
tafsir dari Ibnu Jarir)”.31

30
Dr. Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj Juz 5,
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t), h.233
31
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 4, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), h. 287
22

Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah R.A:
"Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di
dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta
walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu.
Maka bermaksudlah dia hendak menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan
tidak hendak membayar maskawinnya secara adil, sebagaimana pembayaran
maskawinnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini,
dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika
dibayarkan maskawin itu secara adil seperti kepada perempuan lain. Daripada
berbuat sebagaimana niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik
menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat.
Lalu Aisyah meneruskan pembicaraannya: kemudian ada orang
meminta fatwa kepada Rasulullah SAW tentang perempuan-perempuan itu
sesudah ayat ini turun. Maka turunlah ayat (Surat An-Nisa' ini juga, ayat
127).

            

           

         

       


Artinya:“Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang orang-orang
perempuan. Katakanlah, “Allah akan memberi keterangan kepadamu
tentang mereka, dan juga apa-apa yang dibacakan kepadamu Al-
Qur‟an (juga memfatwakan) tentang perempuan yatim yang kamu
tidak berikan sesuatu (mas kawin) yang ditetapkan untuk mereka,
sedang kamu ingin menikahi mereka”. (Q.S. An-Nisa‟: 127)

Maka kata Aisyah selanjutnya: "Yang dimaksud dengan yang


dibicarakan kepadamu dalam al-Qur’an ialah ayat yang pertama itu, yaitu
"jika kamu takut tidak akan berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim,
maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi. "Kata Aisyah
selanjutnya: Ayat lain mengatakan: "Dan kamu ingin menikah dengan
23

mereka.. "Yaitu tidak suka kepada anak yang dalam asuhannya itu karena
hartanya sedikit dan tidak begitu cantik. Maka dilaranglah dia menikahi anak
itu selama yang diharapkan hanya harta dan kecantikannya, dan baru boleh
dia nikahi kalau maskawinnya dibayar secara adil. 32
Setelah menilik riwayat yang shahih dari Aisyah ini maka mendapat
satu kesimpulan mengapa ada hubungan antara perintah memelihara anak
yatim perempuan dengan keizinan beristri lebih dari satu sampai dengan
empat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa surat An-Nisa’
ayat 2 dan 3 serta ayat 129 serta hadits di atas merupakan ayat dan hadis yang
mengangkat harkat dan martabat wanita. Dengan ayat tersebut maka kaum
pria tidak diperkenakan memperlakukan wanita semena-mena.
Khusus mengenai pembahasan tentang keadilan, banyak teks Alquran
yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk keadilan sesuai dengan konteks
yang sedang dibicarakan. Keadilan diungkapkan oleh Alquran antara lain
dengan kata-kata al-„adl, al-qist, al-mizan atau menafikan kezaliman,
walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim dari kezaliman.
Kata al-„adl yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak atau
lebih, karena jika ada hanya satu pihak tidak terjadi “persamaan”. Al-Qist arti
asalnya adalah “bagian”. Dan bagian biasanya dapat diperoleh oleh satu pihak
saja, karena itu kata al-Qist lebih umum daripada kata al-„adl, dan karena itu
pula ketika Alquran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya
sendiri, kata al-Qist itulah yang digunakan.
Jadi pembicaraan tentang keadilan dalam Alquran tidak hanya dalam
proses penetapan hukum atau terhadap pihak berselisih, melainkan alquran
juga menuntut keadilan terhadap dirinya sendiri, baik ketika berucap, menulis
atau bersikap batin.33
Kemudian hubungan antar kata al-„adl dan al-qist dalam Alquran, dua
kata tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga penulis mengambil kata
al-tawāzun sebagai titik temu dan mata rantai pengikat dalam dua kata

32
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 4, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), h. 287
33
M. Quraisy Syihab, Wawasan Alquran: Tafsir Al-Ma‟udu‟I Atas Berbagai
Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), h. 114.
24

tersebut. Sedangkan letak perbedaannya ialah bahwa kata al‟adl merupakan


keadilan yang tidak nampak secara langsung (tersembunyi), sedangkan al-qist
merupakan perbuatan yang lebih banyak berbicara langsung tentang sesuatu
yang nampak, jelas (zahir) dan bersifat materil, seperti memenuhi timbangan
dan takkaran.
4. Syarat Berlaku Adil dalam Poligami
Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi
perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di
masyarakat. Apa sebenarnya yang dimaksud berlaku adil dan dalam hal apa
suami harus berlaku adil.
Menurut Muhammad Husein al-Zahabi yang dikutip Amiur Nuruddin,
mendefinisikan adil sebagai adanya persamaan dalam memberikan nafkah
dan pembagian hari terhadap sesama istri dalam batas yang mampu dilakukan
manusia. Selanjutnya juga mengutip pendapatnya Mustafa al-Siba’i
mengatakan bahwa keadilan yang diperlukan dalam poligami adalah keadilan
material seperti yang berkenaan dengan tempat tinggal, pakaian, makanan,
minum, perumahan dan hal-hal yang bersifat kebutuhan materii l istri.
Para ulama fiqh cenderung memahami keadilan disini secara
kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka, padahal sebagaimana
keadilan yang di syaratkan Al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif
seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan
angka-angka. Apakah keadilan kualitatif ini mungkin diwujudkan dan
bagaimana pula cara mengukurnya. Sebagian besar ahli hukum Islam
menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil bisa
diwujudkan. 34
Abdurrahman Al-Jaziri di dalam kitabnya menuliskan, bahwa
mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-
istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami. Karena,
sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih
sayang, dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Adalah sesuatu yang
wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi

34
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, hlm. 171
25

yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar kontrol
manusia.35
Keadilan merupakan ajaran sentral dalam Islam dan bersifat universal.
Sifat universal itu dapat dilihat dari keberadaan manusia di mana pun dan
kapan pun yang selalu mendambakan hadirnya keadilan. Al-Qur’an sebagai
kitab suci umat Islam menunjukkan praktik penegakan keadilan, menghargai
dan mengangkat derajat orang-orang yang berbuat adil, serta melarang dan
mencela tindak ketidakadilan. Al-Qur’an juga menempatkan keadilan sebagai
asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam seluruh aktivitas
kehidupannya. Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan takwa
karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. 36
Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 8:

             ....
Artinya: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah ayat 8).37

Keadilan adalah hak yang sangat asasi dan merupakan prinsip yang
harus ditegakkan di muka bumi ini. Pelaksanaan ajaran Islam yang benar
akan mewujudkan rasa keadilan. Sebaliknya, penyelewengan dari ajaran
Islam akan membuahkan kerusakan atau penindasan. Sistem perkawinan
dalam ajaran Islam pada dasarnya menganut ajaran monogami tetapi
disamping itu Islam juga memberikan kelonggaran dengan diperbolehkannya
poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang
istri dan sebaliknya, seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi Islam
tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki untuk memiliki lebih dari
seorang istri dimana hal itu sudah berjalan sejak dahulu kala.38
Sedangkan menurut Quraish Shihab secara umum ada empat konsep
keadilan. Adapun keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut:

35
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, hlm. 239-240
36
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), hlm. 125
37
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 109
38
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, hlm. 125
26

1. Adil dalam arti “sama”. Maksud persamaan yang dikehendaki oleh


konsepsi tersebut adalah persamaan dalam hak. Setiap suami wajib
melaksanakan keadilan terhadap istri-istrinya. Dan prinsip keadilan itu
ialah persamaan diantara dua yang sama. Dan persamaan di antara istri-
istri itu menjadi hak dari setiap istri, sebagai haknya dalam statusnya
sebagai istri, dan memperhatikan sebab apapun yang berhubungan dengan
dirinya. Karena hubungan suami dengan masing-masing istrinya itu
adalah hubungan suami istri. Dan atas landasan ini tidak ada perbedaan
anatara gadis dan janda, istri lama atu istri baru, istri yang masih muda
atau yang sudah tua, yang cantik ataupun yang buruk.
2. Adil yang ditunjukkan untuk pengertian “seimbang”. Keseimbangan
ditemukan pada suatu kelompok yang didalamnya terdapat beragam
bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar
terpenuhioleh setiap bagian. Dengan syarat ini, kelompok itu dapat
bertahan dan berjalan memenuhi kehadirannya. Keadilan ini identik
dengan kesesuaian, bukan lawan kata kedzaliman. Keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua unit agar
seimbang.
3. Adil yang berarti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan
hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian ini pulalah yang
mengandung suatu pemahaman bahwa pengabaian terhadap hak-hak yang
seharusnya diberikan kepada pemiliknya dapat dikatakan suatu
kedzaliman.
4. Adil yang dinisbatkan kepada Illahi. Konsep adil ini berarti memelihara
kewajaran atas keberlanjutan eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan.
Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Illahi pada
dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya mengandung konsekuensi
bahwa rahmat Allah SWT tidak tertahan untuk diperoleh sejauh mahluk
itu dapat meraihnya. 39

39
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udui Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 114-116
27

Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil
terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan
poligami, sebagaimana dalam surat An-Nisaa’ ayat 3 dan ayat 129, keadilan
yang dimaskud adalah keadilan yang bersifat materialistis yang dapat
mengontrol suami yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik,
pembagian waktu dalam bermalam dan pemberian nafkah hidup. 40
Quraish Shihab memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa
jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan
kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain
yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu.
Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang
perempuan sebagai istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, baik lahir
maupun batin maka kawinilah seorang saja atau kawinilah budak-budak yang
kamu miliki. Demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim dan
mencukupkan satu orang istri, itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri yang dimadu tersebut merupakan
persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat
tersebut.41
Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat
An-Nisaa’, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan
dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin
untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong
untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati
yang tidak dapat dikuasai oleh seseorang jika tidak dapat menguasai
pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini, Allah memberikan keringanan
dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan,
maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan
mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan

40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 582
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 582
28

tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri ridha atas
perlakuannya. 42
Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat
pertama bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan
mampu melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat
dilakukan, seperti menyamakan rumah, nafkah, dan giliran menginap. Disini
adil merupakan suatu tanggungjawab dan suatu perintah yang harus
direalisasikan. Sedangkan pada ayat kedua yaitu adil yang setiap orang tidak
akan sanggup melakukannya yakni adil yang bersifat maknawi. 43
Abdurrahman al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas
kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini
bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia,
orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih
sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami
hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang
semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia. 44
5. Keadilan Merupakan Perintah Allah
Allah SWT mengutus Rasul-Nya agar menegakan keadilan dan
memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat dan berlaku adil, sebagaimana
firman Allah SWT. pada Q.S. An-Nahl ayat 90 :

......       


Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan,...” (QS. An-Nahl : 90)

Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT Untuk menegakan keadilan


di antaranya agar :
a. Manusia menegakkan kehidupan yang berkeadilan,disebutkan pada surah
al-Hadid ayat 25 dan surah An-Nahl ayat 90.

42
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid V, (Semarang: CV Toha Putra,
1993), hlm. 289
43
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, hlm. 130.
44
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, hlm. 239
29

b. Kepemimpinan yang adil melahirkan tanggung jawab memberi


perlawanan kepada kedzaliman, disebutkan pada surah Al-Baqarah ayat
124.
c. Menjadi misi ke-Nabi-an atau ke-Rasul-an Nabi Muhammad SAW.
keadilan menjadi syarat terwujudnya ketaqwaan, disebutkan pada surah
Al-Maidah ayat 8.
Dengan demikian keadilan menjadi sebuah halyang sangat penting
dimiliki dan diwujudkan dalam kehidupan masyarakat, khususnya seorang
suami yang dalam keluraga menjadi Imam ( pemimpin), sebab menjadi misi
ke-Rasulan Nabi Muhammad SAW. yang merupakan tanggung jawab
kepemimpinan yang harus ditegakan sebagai salah satu syarat dalam
mewujudkan ketaqwaan kepada Allah SWT.45

B. Konsep Adil dalam Poligami Menurut Hukum Positif di Indonesia


Masalah poligami merupakan masalah yang cukup kontroversial,
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pihak yang mendukung adanya
poligami berdasarkan pada kaidah ketentuan agama. Sedangkan pihak yang kontra
memandang poligami sebagai tindakan sewenang-wenang dan merupakan bentuk
pengunggulan kaum laki-laki.
Dianutnya asas monogami dalam ketentuan pasal 3 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan mencerminkan pengutamaan diterapkannya asas monogami
dalam setiap perkawinan. Namun, dalam hal kondisi tertentu dan darurat,
dimungkinkan adanya poligami dengan dasar alasan ketat dan persyaratan yang
sangat berat. Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menghargai pandangan
sebagian masyarakat muslim yang membolehkan poligami dengan syarat harus
mampu berlaku adil. Menurut Nur Rasyidah Rahmawati dalam bukunya wacana
poligami di Indonesia bahwa :
Dicantumkan ketentuan yang membolehkan adanya poligami dalam pasal
3 ayat 2 Undang-undang Perkawinan bukan dimaksudkan sebagai bentuk
pelecehan, diskriminasi, dan pengunggulan kaum laki-laki. Praktik dalam

45
Ambo Asse, Konsep Adil dalam Al-Qur‟an, (Al-Risalah : Volume 10 Nomor 2,
Nopember 2010), hlm. 278
30

masyarakat tentang poligami sering menampakkan kesewenang-wenangan


suami terhadap istri tidak dapat digunakan untuk menggeneralisasi bahwa
poligami pasti diskriminatif, wujud penindasan kaum suami terhadap
istri.46
Dalam pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang apabila, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak
dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk berpoligami
kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas-asas yang dianut
sebenarnya bukan asas monogami mutlak melainkan disebut monogami terbuka.
Poligami di tempatkan pada status hukum darurat, disamping itu lembaga
poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari
hakim (pengadilan). 47
Demikian juga perundang-undangan Indonesia terlihat berusaha
menghargai istri sebagai pasangan hidup suami. Terbukti, bagi suami yang akan
melaksanakan poligami, suami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan
para istri. Pada sisi lain, peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan praktik
poligami menjadi sangat menentukan bahkan dapat dikatakan satu-satunya
lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan poligami.
Mengenai syarat-syarat poligami, seperti yang dijoelaskan pada Pasal 4
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyebutkan
bahwa seorang yang ingin beristri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan
pemohonan poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada Pasal 5 ayat
(1) menerangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mrngajukan
permohonan izin, yaitu :
a. Adanya persetujuan dari istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri
dan anak-anak mereka;

46
Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005),
hlm. 146
47
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan,
1975), hlm. 25-26
31

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 57 juga menyebutkan
alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut
berbunyi : “Pengadilan Agama hanya memvberikan izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
1) Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isstri;
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3) Istri tdak dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami
meskipun dengan alasan sangat ketat jelaslah bahwa asas Undang-undang
perkawinan bukanlah asas monogami mutlak, melainkan asas monogami terbuka.

C. Prosedur Poligami
1. Prosedur Poligami menurut KHI48

48
Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP
No.9/1975. Pada Pasal 40 dinyatakan:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis ke pengadilan
Sedangkan tugas pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No.9/1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara
tempat bekerja
2. Surat keterangan pajak penghasilan
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42 dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri untuk memberikan
penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu
selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami, lengkap
dengan persyaratannya.
Pasal 43: apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk
beristri lebih dari seorang.
Pasal 44: Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.
pasal 45: apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut, maka
akan dikenakan sanksi pidana. (lihat Bab. IX Pasal 45 PP No. 9 tahun 1975)
32

Di Indonesia, suami yang ingin berpoligami, maka dia harus


memohonkan izin ke Pengadilan Agama untuk diperiksa dan diputus oleh
hakim. Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama, poligami
bukan semata-mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan
negara yakni mesti adanya izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan
Agama dianggap poligami liar. Dia tidak sah dan tidak mengikat. Perkawinan
tetap dianggap never existed tanpa izin Pengadilan Agama, meskipun
perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. 49
Menurut Mohammad Daud Ali, dalam rangka mengatasi masalah ini,
izin pengadilan agama tidak boleh dianggap sebagai syarat sah perkawinan
kedua. Cukuplah dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka
melindungi kaum perempuan dan anak-anak. Disamping itu untuk
mengurangi poligami dapat juga ditempuh cara dengan memberikan sanksi
pidana bagi suami yang menikah untuk kedua kalinya, tanpa melalui izin
Pengadilan Agama.50 Mengenai batasan jumlah bagi suami yang ingin
berpoligami, tampaknya KHI konsisten dengan ayat Al-Qur’an Surat An-
Nisaa’ ayat: 3 yang hanya memberikan batasan sampai empat orang dalam
waktu yang bersamaan. 51
Dalam Kompilasi Hukum Islam prosedur atau tata cara poligami telah
diatur sebagai berikut:
Pasal 55:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya
sampai emat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

49
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hlm. 43
50
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,
1997), hlm. 32
51
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, hlm. 170
33

Pasal 56:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:
31. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
32. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
istri pada sidang Pengadilan Agama.
33. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
34

Pasal 59:
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan
izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri
yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka suami dilarang
memadu istrinya dengan seorang wanita yang memiliki hubungan nasab atau
susunan dengan istrinya:
a. Saudara sekandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 52
Jadi, dari penjelasan diatas tata cara atau prosedur permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama sebagai berikut:
a. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri
harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai
dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
b. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama
yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai
dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
c. Surat permohonan harus memuat:
1) Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon
yaitu istri atau istri-istri.
2) Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang
3) Petitum.
d. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus
ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan
gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan.
e. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan
mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan

52
Tihami, Fiqh Munaqahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, hlm. 370
35

menurut tatacara pemanggilan yang diatur dalam hukum acara perdata


biasa dan ini diatur dalam pasal 390 HIR dan pasal-pasal yang berkaitan.
f. Pemeriksaan izin poligami dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-
lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-
lampirannya dan ini sesuai dengan pasal 42 ayat 2 Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975. Pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang terbuka
untuk umum, kecuali apabila karena alasan-alasan tertentu menurut
pertimbangan hakim yang dicatat dalam Berita Acara Persidangan,
pemerikasaan dapat dilakukan dalam sidang tertutup sesuai dengan pasal
17 ayat 1 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
g. Upaya perdamaian dapat dilakukan pada sidang pertama pemeriksaan
perkara izin poligami dalam usaha hakim untuk mendamaikan dan ini
sesuai dengan pasal 130 ayat 1 HIR, dan apabila perdamaian tersebut
tercapai, maka perkara tersebut dicabut kembali oleh pemohon.
h. Dalam hal pembuktian, hakim meriksa mengenai:
Ada tidaknya alasan suami yang memungkinkan seorang suami
kawin lagi, sebagai syarat alternatif yaitu:
a) Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri,
b) Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan; atau
c) Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan.
1) Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan
ataupun tertulis yang harus dinyatakan didepan sidang.
2) Ada atau tidaknya kemampuan suami dapat berlaku adil terhadap
istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
3) Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan:
a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani
oleh bendahara tempat bekerja, atau
b) Surat keterangan pajak penghasilan, atau
36

c) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.


i. Apabila sudah ada persetujuan tertulis dari istri persetujuan ini harus
dipertegas dengan persetujuan lisan didepan sidang, kecuali dalam hal
istri telah dipanggil dengan patut dan resmi tetapi tidak hadir dalam
sidang dan tidak pula menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Dan
persetujuan dari istri tidak diperlukan lagi dalam hal:
1) Istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak mungkin menjadi pihak dalam perjanjian; atau
2) Tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun;
atau
3) Karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian hakim
Pengadilan Agama.
j. Jika Pengadilan Agama berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan Agama memberikan
putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, dengan
putusan ini maka suami dan istri dapat melakukan upaya hukum berupa
mengajukan banding atau kasasi.
k. Membayar biaya dalam perkara dibebankan kepada pemohon dan ini
sesuai dengan pasal 89 ayat 1 Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
l. Adapun pelaksanaan poligami, bagi Pegawai Pencatat Nikah dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebelum ada izin dari Pengadilan Agama
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.53
Penting untuk dicatat, ketentuan hukum yang mengatur tentang
pelaksanaan poligami mengikat semua pihak, pihak yang akan
melangsungkan poligami dan pegawai pencatat perkawinan. Apabila mereka
melakukan pelanggaran, maka dikenakan sanksi pidana. Melihat prosedur
pelaksanaan poligami di atas tampak jelas semangat kehati-hatian yang

53
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. VI, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 241-243
37

dikandung oleh undang-undang agar terciptanya kemaslahatan bagi semua


pihak, baik bagi istri atau istri-istri, suami dan anak-anak.
2. Prosedur Poligami menurut UU dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun
1974
Berkenaan dengan prosedur poligami dimana suami harus
mendapatkan izin dari pengadilan, menimbulkan persoalan tersendiri. Apakah
izin pengadilan itu merupakan syarat sah perkawinan kedua itu? Kalau “ya”
maka hal tersebut bertentangan dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1
Tahun 1974 yang secara tegas menyatakan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya.
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan mengenai tata
cara poligami disebutkan pada Bab I tentang dasar Perkawinan sebagai
berikut :
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib
38

mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat


tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak
diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-
kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Adapun dalam Peraturan Pemerintah Indonesia No. 9 tahun 1975
tentang pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
Bab VIII tentang beristri lebih dari seorang sebagai berikut :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia
wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
39

Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan
itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteriyang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
40

Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.

D. Persepsi Hakim
1. Pengertian Persepsi Hakim
Persepsi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “perception”
yang berarti tanggapan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi
merupakan tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. 54 Para ahli
memberi titik tekan yang sama dalam mendefinisikannya, yaitu:
a. Dimyati mengatakan bahwa persepsi adalah menafsirkan stimulus yang
telah ada di dalam otak.55
b. Slameto berpendapat bahwa persepsi adalah proses yang menyangkut
masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. 56
c. Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa persepsi merupakan pengalaman
tentang obyek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 57
Persepsi adalah pengamatan; penyusunan dorongan-dorongan dalam
kesatuan-kesatuan; hal mengetahui, melalui (indra); daya memahami. 58 Dari
beberapa batasan-batasan yang telah dikemukakan para ahli di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa persepsi pada prinsipnya adalah tanggapan
terhadap suatu obyek dengan memberikan penilaian terhadap obyek tersebut.
Sedangkan hakim adalah mengetahui yang benar, pengadil, yang
mengadili perkara.59 Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang

54
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 759
55
Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, Cet. I, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hlm.
41
56
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. III, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), hlm. 102
57
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cet. XX, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2003), hlm. 50
58
M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 591
59
M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, hlm. 211
41

terrtuang pada Pasal 11 ayat (1) berbunyi Hakim pengadilan adalah pejabat
yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. 60
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
persepsi hakim adalah tanggapan pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman terhadap suatu obyek, dan memberikan penilaian terhadap suatu
obyek tersebut, dalam hal ini yaitu syarat adil dalam berpoligami.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi seseorang terhadap suatu objek tertentu tentunya tidak timbul
begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan dua orang yang melihat sesuatu yang sama akan
memberikan interpretasi yang berbeda tentang yang dilihat itu. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor Pelaku Persepsi
Yang dimaksud faktor pelaku persepsi adalah faktor yang timbul
dari orang yang mempersepsi. Sikap, motif, kepentingan, minat,
pengalaman, dan harapan akan mempengaruhi tanggapan seseorang
terhadap sesuatu. Persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk
rangsangan, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon terhadap
rangsangan itu. Karena pengalaman menentukan terbentuknya persepsi
maka sifat persepsi tersebut adalah subyektif, yang bisa dipengaruhi juga
dengan kepribadian, pendidikan maupun kondisi keberadaan hakim. 61
b. Faktor Sasaran Persepsi
Yang dimaksud dengan faktor sasaran persepsi yaitu faktor yang
muncul dari apa yang akan dipersepsi, misalnya hal-hal baru seperti
gerakan, tindak tanduk dan ciri-ciri yang tidak biasa akan turut juga dalam
menentukan persepsi orang yang melihatnya.
c. Faktor Situasi Persepsi
Yang dimaksud faktor situasi persepsi yaitu faktor yang muncul
sehubungan karena situasi pada waktu mempersepsi. Contohnya, orang

60
Undang-undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
61
Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, hlm. 41
42

yang memakai pakaian renang di tempat yang tidak ada hubungannya


dengan renang tentu akan mempengaruhi persepsi yang melihatnya. 62
Dari beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi di atas dapat
disimpulkan bahwa faktor situasi dan sasaran lebih bersifat obyektif, artinya
individu mempunyai kecenderungan yang sama terhadap obyek yang
dipersepsi, sedangkan faktor pelaku lebih subyektif karena individu lebih
banyak dipengaruhi oleh keadaan psikisnya.
3. Proses Terjadinya Persepsi
Individu mengenali suatu obyek dari dunia luar dan ditangkap melalui
inderanya. Bagaimana individu menyadari, mengerti apa yang diindera, ini
merupakan suatu proses. Jadi persepsi adalah suatu proses, bagaimana proses
itu sesungguhnya dijelaskan sebagai berikut:
a. Proses Fisik atau Kealaman
Maksudnya adalah tanggapan tersebut dimulai dengan obyek yang
menimbulkan stimulus dan akhirnya stimulus itu mengenai alat indera atau
reseptor.
b. Proses Fisiologis
Yang dimaksud dengan proses fisiologis yaitu stimulus yang
diterima oleh alat indera kemudian dilanjutkan oleh syaraf sensorik ke
otak.
c. Proses Psikologis
Yang dimaksud dengan proses psikologis adalah proses yang
terjadi dalam otak sehingga seseorang dapat menyadari apa yang diterima
dengan reseptor itu, sebagai suatu akibat dari stimulus yang diterimanya. 63
Jadi proses terjadinya persepsi itu berawal dari obyek yang menimbulkan
stimulus kemudian stimulus itu mengenai alat indera, kemudian
dilanjutkan oleh syaraf sensorik ke otak, dalam otak stimulus itu diproses
sehingga seseorang dapat menyadari apa yang diterima dengan reseptor

62
Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, Cet. II, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995), hlm. 101-105
63
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003),
hlm. 58
43

itu, sehingga timbulah persepsi seseorang terhadap sesuatu objek


berdasarkan penginderaannya.

E. Hikmah Poligami
Poligami disyariatkan oleh Allah Ta‟ala yang mempunyai nama al-Hakim,
artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah yang
maha sempurna, maka tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di
antaranya :
a. Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan
keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta‟ala
berfirman,

             
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu
Maha Kuasa” (Q.S al-Furqan:54).

Maka poligami (adalah sebab) terjalinnya hubungan dan kedekatan


(antara) banyak keluarga, dan ini salah satu sebab poligami yang dilakukan
oleh Rasulullah shallallāhu „alaihi wa sallām.
b. Diantara kaum laki-laki ada yang memiliki nafsu syahwat yang tinggi (dari
bawaannya), sehingga tidak cukup baginya hanya memiliki seorang istri,
sedangkan dia orang yang baik dan selalu menjaga kehormatan dirinya.
Akan tetapi dia takut terjerumus dalam perzinahan, dan dia ingin
menyalurkan kebutuhan (biologis)nya dalam hal yang dihalalkan (agama
Islam), maka termasuk agungnya rahmat Allah Ta‟ala terhadap manusia
adalah dengan dibolehkan-Nya poligami yang sesuai dengan syariat-Nya.
c. Terkadang poligami harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Misalnya jika
istri sudah lanjut usia atau sakit, sehingga kalau suami tidak poligami
dikhawatirkan dia tidak bisa menjaga kehormatan dirinya. Atau jika suami
dan istri sudah dianugerahi banyak keturunan, sehingga kalau dia harus
menceraikan istrinya, dia merasa berat untuk berpisah dengan anak-
44

anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika
tidak berpoligami.
d. Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita,
dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya
hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini
merupakan tuntutan syariat.
e. Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan
kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba
waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan
sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat
merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang
yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun
terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-
Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah
menunaikan perintah Allah Ta‟ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan
hukum yang disyariatkan-Nya.

Anda mungkin juga menyukai