21
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan
Lampiran UU No. 1 tahun 1974, (Jakarta: Tintamas, 1975), hlm. 13.
16
17
22
Abdul Nasir Taufiq al-Attar, Poligamy Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial, dan
Perundang-Undangan, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th), hlm. 206.
18
23
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 111
24
Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat,
giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
25
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Cet. I, (Jakarta:
PT Hati Emas, 2014), hlm. 78
19
Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu
cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan
jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang”. (QS. An-Nisaa’ayat 129).27
Dalam surat An-Nisaa’ ayat 129 ini dijelaskan bahwa Allah SWT
memperingatkan bahwa pentingnya nilai kedilan dalam poligami. Oleh ulama
fiqh klasik (Imam Syafi’i, Hambali, Maliki dan Hanafi) ayat ini ditafsirkan
26
Zakiyuddin Baidhawy, Rekonstruksi Keadilan, hlm. 16
27
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 100
20
sebagai ketidakmampuan manusia untuk berbuat adil dalam hal kasih sayang
dan hubungan seksual. Untuk itu, mereka tidak memasukkan perasaan kasih
sayang dan seksual sebagai kategori keadilan yang harus dipenuhi oleh
seorang suami yang berpoligami. Para fuqaha klasik menganggap kebolehan
untuk menikah sampai empat istri membawa kekuatan hukum, sedangkan
tuntutan berlaku adil untuk mereka semata-mata dianggap anjuran, tanpa efek
ikatan tertentu.
Dengan demikian, para fuqaha mengambil ayat-ayat khusus
(kebolehan poligami) sebagai aturan yang mengikat dan prinsip-prinsip
umum sebagai anjuran.
Dalam penafsiran Asghar, sebenarnya dua ayat tersebut menjelaskan
betapa Al-Qur’an begitu berat untuk menerima institusi-institusi poligami,
tapi hal itu tidak bisa di terima dalam situasi yang ada maka Al-Qur’an
membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan cara harus
adil. Dengan mengutuip al-Tabari, menurut Asghar, inti ayat diatas
sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil
terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. 28
Syariat Islam memperbolehkan poligami dengan batasan sampai
empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka, baik dalam urusan
pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa
membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal
dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah. Bila suami
khawatir berbuat dzalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka,
maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga
maka haram baginya menikah dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup
memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga istri. Begitu
juga kalau ia khawatir berbuat dzalim dengan mengawini dua orang
perempuan, maka haram baginya melakukan poligami. 29
28
Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, hlm. 112-113
29
Tihami, Fiqh Munaqahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
hlm. 362
21
Hamka, dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan Q.S. An- Nisa’ 2-3 tersebut
sebagai berikut:
“Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara
anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih
dari satu, sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk soal, lebih
baik kita terangkan tafsiran dari Aisyah, istri Rasulullah sendiri,
tentang asal mula datangnya ayat ini, karena menjawab pertanyaan
Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah. Urwah bin Zubair ini
sebagai anak kakak Aisyah, kerapkali bertanya kepada beliau tentang
masalah agama yang musykil. Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah.
Maka ditanyakanlah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri
lebih dari satu, sampai dengan empat dengan alasan memelihara harta
anak yatim. (Riwayat dari Bukhari, Muslim, an-Nasa'i, al-Baihaqi dan
tafsir dari Ibnu Jarir)”.31
30
Dr. Wahbah Zuhaily, Tafsir Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj Juz 5,
(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir, t.t), h.233
31
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 4, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), h. 287
22
Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itu dijawab oleh Aisyah R.A:
"Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di
dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta
walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu.
Maka bermaksudlah dia hendak menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan
tidak hendak membayar maskawinnya secara adil, sebagaimana pembayaran
maskawinnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini,
dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika
dibayarkan maskawin itu secara adil seperti kepada perempuan lain. Daripada
berbuat sebagaimana niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik
menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat.
Lalu Aisyah meneruskan pembicaraannya: kemudian ada orang
meminta fatwa kepada Rasulullah SAW tentang perempuan-perempuan itu
sesudah ayat ini turun. Maka turunlah ayat (Surat An-Nisa' ini juga, ayat
127).
mereka.. "Yaitu tidak suka kepada anak yang dalam asuhannya itu karena
hartanya sedikit dan tidak begitu cantik. Maka dilaranglah dia menikahi anak
itu selama yang diharapkan hanya harta dan kecantikannya, dan baru boleh
dia nikahi kalau maskawinnya dibayar secara adil. 32
Setelah menilik riwayat yang shahih dari Aisyah ini maka mendapat
satu kesimpulan mengapa ada hubungan antara perintah memelihara anak
yatim perempuan dengan keizinan beristri lebih dari satu sampai dengan
empat.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa surat An-Nisa’
ayat 2 dan 3 serta ayat 129 serta hadits di atas merupakan ayat dan hadis yang
mengangkat harkat dan martabat wanita. Dengan ayat tersebut maka kaum
pria tidak diperkenakan memperlakukan wanita semena-mena.
Khusus mengenai pembahasan tentang keadilan, banyak teks Alquran
yang menjelaskan tentang bentuk-bentuk keadilan sesuai dengan konteks
yang sedang dibicarakan. Keadilan diungkapkan oleh Alquran antara lain
dengan kata-kata al-„adl, al-qist, al-mizan atau menafikan kezaliman,
walaupun pengertian keadilan tidak selalu menjadi antonim dari kezaliman.
Kata al-„adl yang berarti sama, memberi kesan adanya dua pihak atau
lebih, karena jika ada hanya satu pihak tidak terjadi “persamaan”. Al-Qist arti
asalnya adalah “bagian”. Dan bagian biasanya dapat diperoleh oleh satu pihak
saja, karena itu kata al-Qist lebih umum daripada kata al-„adl, dan karena itu
pula ketika Alquran menuntut seseorang untuk berlaku adil terhadap dirinya
sendiri, kata al-Qist itulah yang digunakan.
Jadi pembicaraan tentang keadilan dalam Alquran tidak hanya dalam
proses penetapan hukum atau terhadap pihak berselisih, melainkan alquran
juga menuntut keadilan terhadap dirinya sendiri, baik ketika berucap, menulis
atau bersikap batin.33
Kemudian hubungan antar kata al-„adl dan al-qist dalam Alquran, dua
kata tersebut saling terkait satu sama lain, sehingga penulis mengambil kata
al-tawāzun sebagai titik temu dan mata rantai pengikat dalam dua kata
32
Hamka, Tafsir Al Azhar Jilid 4, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1999), h. 287
33
M. Quraisy Syihab, Wawasan Alquran: Tafsir Al-Ma‟udu‟I Atas Berbagai
Permasalahan Umat, (Bandung: Mizan, 2003), h. 114.
24
34
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, hlm. 171
25
yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar kontrol
manusia.35
Keadilan merupakan ajaran sentral dalam Islam dan bersifat universal.
Sifat universal itu dapat dilihat dari keberadaan manusia di mana pun dan
kapan pun yang selalu mendambakan hadirnya keadilan. Al-Qur’an sebagai
kitab suci umat Islam menunjukkan praktik penegakan keadilan, menghargai
dan mengangkat derajat orang-orang yang berbuat adil, serta melarang dan
mencela tindak ketidakadilan. Al-Qur’an juga menempatkan keadilan sebagai
asas yang harus dipegang oleh setiap manusia dalam seluruh aktivitas
kehidupannya. Adil merupakan kebajikan yang paling dekat dengan takwa
karena keadilan merupakan refleksi dari ketakwaan. 36
Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah surat Al-Maidah ayat 8:
....
Artinya: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Maidah ayat 8).37
Keadilan adalah hak yang sangat asasi dan merupakan prinsip yang
harus ditegakkan di muka bumi ini. Pelaksanaan ajaran Islam yang benar
akan mewujudkan rasa keadilan. Sebaliknya, penyelewengan dari ajaran
Islam akan membuahkan kerusakan atau penindasan. Sistem perkawinan
dalam ajaran Islam pada dasarnya menganut ajaran monogami tetapi
disamping itu Islam juga memberikan kelonggaran dengan diperbolehkannya
poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang
istri dan sebaliknya, seorang istri hanya memiliki seorang suami. Tetapi Islam
tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki untuk memiliki lebih dari
seorang istri dimana hal itu sudah berjalan sejak dahulu kala.38
Sedangkan menurut Quraish Shihab secara umum ada empat konsep
keadilan. Adapun keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut:
35
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, hlm. 239-240
36
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, (Yogyakarta: Al-Kautsar, 1990), hlm. 125
37
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 109
38
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, hlm. 125
26
39
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an; Tafsir Ma‟udui Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 114-116
27
Para ulama sepakat berdasarkan dalil yang kuat bahwa berlaku adil
terhadap semua istri adalah kewajiban seorang suami, sekaligus dihalalkan
poligami, sebagaimana dalam surat An-Nisaa’ ayat 3 dan ayat 129, keadilan
yang dimaskud adalah keadilan yang bersifat materialistis yang dapat
mengontrol suami yang menjadi kesanggupannya, seperti perlakuan baik,
pembagian waktu dalam bermalam dan pemberian nafkah hidup. 40
Quraish Shihab memahami ayat tersebut dengan mengatakan bahwa
jika suami takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan
kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain
yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu.
Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang
perempuan sebagai istri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, baik lahir
maupun batin maka kawinilah seorang saja atau kawinilah budak-budak yang
kamu miliki. Demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim dan
mencukupkan satu orang istri, itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Persyaratan berlaku adil terhadap istri-istri yang dimadu tersebut merupakan
persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat
tersebut.41
Menurut mufassir Ahmad Musthafa al-Maraghi tentang ayat 129 surat
An-Nisaa’, bahwa keadilan yang dibebankan pada manusia disesuaikan
dengan kemampuannya. Dengan syarat harus berusaha semaksimal mungkin
untuk dapat menegakkan keadilan, sebab faktor terbesar yang mendorong
untuk cenderung berbuat adil adalah tidak lain kecenderungan jiwa dan hati
yang tidak dapat dikuasai oleh seseorang jika tidak dapat menguasai
pengaruh-pengaruh yang alami. Atas dasar ini, Allah memberikan keringanan
dan menjelaskan bahwa jika keadilan yang sempurna tidak akan ditegakkan,
maka hendaknya tidak benar cenderung kepada istri yang dicintai dan
mengabaikan istri yang lainnya, yang mana seakan-akan tidak bersuami dan
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 582
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, hlm. 582
28
tidak pula diceraikan. Maka paling tidak hendak membuat para istri ridha atas
perlakuannya. 42
Sifat adil yang menjadi syarat bolehnya berpoligami pada ayat
pertama bukanlah sifat adil pada ayat kedua dimana setiap orang tidak akan
mampu melakukannya. Adil pada ayat pertama adalah adil yang dapat
dilakukan, seperti menyamakan rumah, nafkah, dan giliran menginap. Disini
adil merupakan suatu tanggungjawab dan suatu perintah yang harus
direalisasikan. Sedangkan pada ayat kedua yaitu adil yang setiap orang tidak
akan sanggup melakukannya yakni adil yang bersifat maknawi. 43
Abdurrahman al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas
kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini
bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia,
orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih
sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami
hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang
semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia. 44
5. Keadilan Merupakan Perintah Allah
Allah SWT mengutus Rasul-Nya agar menegakan keadilan dan
memerintahkan kepada umatnya untuk berbuat dan berlaku adil, sebagaimana
firman Allah SWT. pada Q.S. An-Nahl ayat 90 :
42
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid V, (Semarang: CV Toha Putra,
1993), hlm. 289
43
Bibit Suprapto, Liku-liku Poligami, hlm. 130.
44
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala al-Madzahib al-‟Arba‟ah, hlm. 239
29
45
Ambo Asse, Konsep Adil dalam Al-Qur‟an, (Al-Risalah : Volume 10 Nomor 2,
Nopember 2010), hlm. 278
30
46
Nur Rosyidah Rahmawati, Wacana Poligami di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005),
hlm. 146
47
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading Co Medan,
1975), hlm. 25-26
31
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anaknya.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 57 juga menyebutkan
alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut
berbunyi : “Pengadilan Agama hanya memvberikan izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila :
1) Istri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isstri;
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3) Istri tdak dapat melahirkan keturunan.
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami
meskipun dengan alasan sangat ketat jelaslah bahwa asas Undang-undang
perkawinan bukanlah asas monogami mutlak, melainkan asas monogami terbuka.
C. Prosedur Poligami
1. Prosedur Poligami menurut KHI48
48
Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat dilihat di dalam PP
No.9/1975. Pada Pasal 40 dinyatakan:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis ke pengadilan
Sedangkan tugas pengadilan diatur di dalam pasal 41 PP No.9/1975 sebagai berikut:
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila
persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan
sidang pengadilan.
c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
1. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara
tempat bekerja
2. Surat keterangan pajak penghasilan
3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk
yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42 dijelaskan keharusan pengadilan memanggil para istri untuk memberikan
penjelasan atau kesaksian. Di dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu
selama 30 hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami, lengkap
dengan persyaratannya.
Pasal 43: apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk
beristri lebih dari seorang.
Pasal 44: Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.
pasal 45: apabila melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal tersebut, maka
akan dikenakan sanksi pidana. (lihat Bab. IX Pasal 45 PP No. 9 tahun 1975)
32
49
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, hlm. 43
50
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers,
1997), hlm. 32
51
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, hlm. 170
33
Pasal 56:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin
dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9
Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa
izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57:
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58:
31. Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka.
32. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat
diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada
persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan
istri pada sidang Pengadilan Agama.
33. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang
suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau
apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2
tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.
34
Pasal 59:
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan
izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan
yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri
yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka suami dilarang
memadu istrinya dengan seorang wanita yang memiliki hubungan nasab atau
susunan dengan istrinya:
a. Saudara sekandung seayah atau seibu serta keturunannya.
b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya. 52
Jadi, dari penjelasan diatas tata cara atau prosedur permohonan izin
poligami di Pengadilan Agama sebagai berikut:
a. Poligami atau seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang istri
harus harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama dan ini sesuai
dengan pasal 56 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam.
b. Permhonan izin poligami merupakan kewenangan relatif Peradilan Agama
yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya sesuai
dengan pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan.
c. Surat permohonan harus memuat:
1) Nama, umur, dan tempat kediaman pemohon yaitu suami dan termohon
yaitu istri atau istri-istri.
2) Alasan-alasan untuk beristri lebih dari seorang
3) Petitum.
d. Permohonan izin poligami merupakan perkara contentius, karena harus
ada persetujuan istri. Karena itu, perkara ini diproses di kepaniteraan
gugatan dan didaftar dalam register induk perkara gugatan.
e. Pemanggilan pihak-pihak, Pengadilan Agama harus memanggil dan
mendengar pihak suami dan istri ke persidangan. Panggilan dilakukan
52
Tihami, Fiqh Munaqahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, hlm. 370
35
53
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cet. VI, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 241-243
37
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,
ialah :
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun
tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan
itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja; atau
ii. surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
(1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteriyang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan
beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk
beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
40
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
D. Persepsi Hakim
1. Pengertian Persepsi Hakim
Persepsi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “perception”
yang berarti tanggapan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi
merupakan tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu atau proses
seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancainderanya. 54 Para ahli
memberi titik tekan yang sama dalam mendefinisikannya, yaitu:
a. Dimyati mengatakan bahwa persepsi adalah menafsirkan stimulus yang
telah ada di dalam otak.55
b. Slameto berpendapat bahwa persepsi adalah proses yang menyangkut
masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. 56
c. Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa persepsi merupakan pengalaman
tentang obyek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. 57
Persepsi adalah pengamatan; penyusunan dorongan-dorongan dalam
kesatuan-kesatuan; hal mengetahui, melalui (indra); daya memahami. 58 Dari
beberapa batasan-batasan yang telah dikemukakan para ahli di atas, dapat
diambil kesimpulan bahwa persepsi pada prinsipnya adalah tanggapan
terhadap suatu obyek dengan memberikan penilaian terhadap obyek tersebut.
Sedangkan hakim adalah mengetahui yang benar, pengadil, yang
mengadili perkara.59 Menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang
54
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 759
55
Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, Cet. I, (Yogyakarta: BPFE, 1990), hlm.
41
56
Slameto, Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya, Cet. III, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1991), hlm. 102
57
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cet. XX, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2003), hlm. 50
58
M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 591
59
M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, hlm. 211
41
terrtuang pada Pasal 11 ayat (1) berbunyi Hakim pengadilan adalah pejabat
yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. 60
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian
persepsi hakim adalah tanggapan pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman terhadap suatu obyek, dan memberikan penilaian terhadap suatu
obyek tersebut, dalam hal ini yaitu syarat adil dalam berpoligami.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Persepsi seseorang terhadap suatu objek tertentu tentunya tidak timbul
begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan dua orang yang melihat sesuatu yang sama akan
memberikan interpretasi yang berbeda tentang yang dilihat itu. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Faktor Pelaku Persepsi
Yang dimaksud faktor pelaku persepsi adalah faktor yang timbul
dari orang yang mempersepsi. Sikap, motif, kepentingan, minat,
pengalaman, dan harapan akan mempengaruhi tanggapan seseorang
terhadap sesuatu. Persepsi tidak ditentukan oleh jenis atau bentuk
rangsangan, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon terhadap
rangsangan itu. Karena pengalaman menentukan terbentuknya persepsi
maka sifat persepsi tersebut adalah subyektif, yang bisa dipengaruhi juga
dengan kepribadian, pendidikan maupun kondisi keberadaan hakim. 61
b. Faktor Sasaran Persepsi
Yang dimaksud dengan faktor sasaran persepsi yaitu faktor yang
muncul dari apa yang akan dipersepsi, misalnya hal-hal baru seperti
gerakan, tindak tanduk dan ciri-ciri yang tidak biasa akan turut juga dalam
menentukan persepsi orang yang melihatnya.
c. Faktor Situasi Persepsi
Yang dimaksud faktor situasi persepsi yaitu faktor yang muncul
sehubungan karena situasi pada waktu mempersepsi. Contohnya, orang
60
Undang-undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
61
Dimyati Mahmud, Psikologi Suatu Pengantar, hlm. 41
42
62
Sondang P. Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya, Cet. II, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
1995), hlm. 101-105
63
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003),
hlm. 58
43
E. Hikmah Poligami
Poligami disyariatkan oleh Allah Ta‟ala yang mempunyai nama al-Hakim,
artinya Zat yang memiliki ketentuan hukum yang maha adil dan hikmah yang
maha sempurna, maka tentu memiliki banyak hikmah dan faidah yang agung, di
antaranya :
a. Pernikahan merupakan sebab terjalinnya hubungan (kekeluargaan) dan
keterikatan di antara sesama manusia, setelah hubungan nasab. Allah Ta‟ala
berfirman,
Artinya: “Dan Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah
(hubungan kekeluargaan karena pernikahan), dan adalah Rabbmu
Maha Kuasa” (Q.S al-Furqan:54).
anaknya, sementara dia sendiri takut terjerumus dalam perbuatan zina jika
tidak berpoligami.
d. Poligami merupakan sebab terjaganya (kehormatan) sejumlah besar wanita,
dan terpenuhinya kebutuhan (hidup) mereka, yang berupa nafkah (biaya
hidup), tempat tinggal, memiliki keturunan dan anak yang banyak, dan ini
merupakan tuntutan syariat.
e. Dan termasuk hikmah agung poligami, semakin kuatnya ikatan cinta dan
kasih sayang antara suami dengan istri-istrinya. Karena setiap kali tiba
waktu giliran salah satu dari istri-istrinya, maka sang suami dalam keadaan
sangat rindu pada istrinya tersebut, demikian pula sang istri sangat
merindukan suaminya.
Masih banyak hikmah dan faedah agung lainnya, yang tentu saja orang
yang beriman kepada Allah dan kebenaran agama-Nya tidak ragu sedikitpun
terhadap kesempurnaan hikmah-Nya dalam setiap ketentuan yang disyariatkan-
Nya. Cukuplah sebagai hikmah yang paling agung dari semua itu adalah
menunaikan perintah Allah Ta‟ala dan mentaati-Nya dalam semua ketentuan
hukum yang disyariatkan-Nya.