Anda di halaman 1dari 58

Hk.

Waris Adat

RIKA SARASWATI
 Prof.Dr.R.Soepomo, S.H., 1986, Bab-bab tentang
Hukum Adat, Pradnya Paramita. Cet 10
 Tamakiran S, SH., 1992, Asas-asas Hukum
Waris:Menurut Tiga Sistim Hukum, Pionir Jaya.
 Ter Haar, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat,
Diterjemahkan oleh K. Ng. Soebekti Proesponoto,
PradnyaParamita, Jakarta, 1982,
Pengertian

Menurut Ter Haar


hukum waris adat merupakan hukum yang bertalian
dengan proses aturan-aturan penurunan dan peralihan
kekayaan materiil dan immateriil dari turunan ke turunan.

Menurut Soepomo
hukum waris adat sebagai hukum yang menurut
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan
serta mengalihkan barang-barang harta benda dan barang-
barang tidak berwujud dari suatu angkatanmanusia
kepada turunannya.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa:
 Hukum waris adat itu meliputi keseluruhan asas, norma
dan keputusan hukum yang bertalian dengan proses
penurunan serta pengalihan harta benda ( material ),
harta cita ( nonmaterial ) dari generasi satu kepada
generasi berikutnya.
 Mengatur pewarisan akibat kematian seseorang
saja,melainkan juga mengatur pewarisan sebagai akibat
pengalihan harta kekayaan. Kekayaan tersebut baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, baik yang
bernilai uang maupun yang tidak bernilai uang dari
pewaris kepada ahli warisnya, baik ketika masih hidup
maupun sesudah meninggal dunia.
 Jadi ada tiga unsur dalam hk.waris adat:
1.Proses pengoperan atau hibah atau penerusan
warisan;
2.Harta benda materiil dan immateriil;
3.Satu generasi ke generasi selanjutnya.

 Hukum Adat Waris bersendi atas prinsip-prinsip


yang timbul dari aliran-aliran pikiran komunal dan
konkrit dari Bangsa Indonesia.
Subyek hukum waris

 Pewaris: seseorang yang meninggalkan


harta warisan
 Ahli waris : seseorang atau beberapa orang yang
merupakan penerima harta warisan
Harta Waris
Ada dua macam harta waris dalam hk waris adat,
yaitu: dibagi-bagi dan tidak dibagi-bagi.
1. Dibagi-bagi: setelah si pewaris meninggal dunia
maka hartanya dibagi-bagikan kepada ahli
warisnya dan di dalam hal ini kepada anak-
anaknya (laki-laki atau perempuan).
2. Tidak dibagi-bagi adalah: harta peninggalan yang
memiliki nilai magis-religius
Proses pewarisan dalam hukum adat

1. Pada saat pewaris meninggal dunia


Pada masyarakat dengan sistem kewarisan mayorat,
maka beralihnya hartawarisan kepada ahli waris
terjadi pada saat pewaris meninggal dunia;
2. Semasa pewaris masih hidup: dilakukan dengan
cara-cara pengalihan (lintiran), Penunjukan atau
wasiat (pesan, wekas, weling; jawa, umanat; minang).
Pengalihan (lintiran)

Pengalihan (lintiran)
 Hak milik atas harta telah dialihkan dari pewaris
kepada ahli waris (sudah dipindahtangankan),
dalam hal ini melalui hibah, sehingga ahliwaris
mempunyai kekuasaan penuh layaknya seorang
pemilik;
HIBAH

Latar belakang pemberian hibah dalam hukum adat:


1. Sebagai modal dasar bagi ahliwaris untuk biaya
hidup di kemudian hari;contoh: memulai usaha,
membangun rumah;
2. Untuk menghindari perselisihan (perebutan harta
warisan oleh para ahli waris atau anak-anak
setelah pewaris meninggal) sehingga dapat hidup
rukun dan terjamin
3. Sebagai koreksi terhadap hukum waris adat
HIBAH

 Ketentuan koreksi sistem pewarisan terhadap


pewarisan dalam hukum adat, karena tidak
memuaskan para ahli waris, juga apabila
dihubungkan dengan perkembangan
masyarakat,misalnya;
 Di Minang , anak tidak mendapat warisan dari
ayahnya sehingga ayah memberikan hibah kepada
anaknya
 Di Batak, perempuan bisa mendapatkan warisan
dengan hibah yang dinamakan paseung saba
bangunan, indaha narian.
HIBAH

Hibah bisa, termasuk menjadi:


1. Harta asal, apabila hibah tersebut oleh penghibah
ditujukan kepada orang tertentu, misalnya kepada
suami saja, maka menjadi harta asal suami;
2. Harta gono-gini, apabila ditujukan kepada suami
isteri (keduanya), kecuali apabila nilainya besar,
seperti mobil sebagai hadiah perkawinan orangtua
kepada mempelai wanita.
HIBAH

Tujuan pewarisan secara hibah wasiat,yaitu:


1.Untuk mewajibkan para ahli waris untuk membagi-
bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut
anggapan pewaris
2. Untukmencegahterjadinyaperselisihan
3. Dengan hibah wasiat, pewaris menyatakan secara
mengikat sifat-sifat dari barang- barang harta yang
ditinggalkan, seperti barang-barang pusaka, barang-
barang yang dipegang dengan hak gadai, barang yang
disewa dan sebagainya.
Penunjukan (cungan; jawa, dijenken; lampung

 Penunjukan adalah Hak milik atas harta belum


dialihkan (masih tetap hak milik pewaris),dan ahli
waris hanyamempunyai hak pakai atas tanah itu
atau hak atas hasilnya.
Wasiat (pesan, wekas, weling; jawa, umanat;
minang)

 Wasiat merupakan suatu perbuatan hukum yang


menggantungkan syarat, yaitu setelah meninggalnya
pewaris, ahli waris baru memiliki harta yang
diwariskan.
SISTEM KEWARISAN

a. Sistem Kolektif
b. Sistem Mayorat
c. Sistem individual
Sistem Kolektif

 Para ahli waris tidak boleh memiliki harta


peninggalan secara pribadi,melainkan
diperbolehkan untuk memakai,mengusahakan
atau mengolahkan dan menikmati hasilnya;
 Sistem kewarisan kolektif terjadi pada harta
peninggalan leluhur yang disebut harta pusaka, yang
berupa bidang tanah(pertanian) dan atau barang-
barang pusaka;
 Kewarisan kolektif adalah para pewaris
mendapatkan harta peninggalan yang diterima
mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang
tidak terbagi- bagi secara perseorangan; Seperti
tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang,
yang dikuasai oleh mamak kepala waris dan
digunakan oleh para kemenakan secara bersama-
sama.
Sistem Mayorat

 Sistem kewarisan mayorat adalah harta pusaka yang


tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak
tertua,yang berarti hak pakai, hak mengolah dan
memungut hasil dikuasai sepenuhnya oleh anak
tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan
memelihara adik-adiknya yang pria dan wanita
sampai mereka dapat berdiri sendiri.
CONTOH
 Di daerah Lampung, seluruh harta peninggalan
dikuasai anak lelaki maka anak lelaki disebut sebagai
anak penyimbang sebagai mayorat pria;
 Di daerah Samendo Sumatera Selatan, seluruh harta
peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang disebut
tunggu tubang(penungguharta) yang sebagai
mayorat wanita.
SISTEM INDIVIDUAL

 Sistem kewarisan individual adalah harta warisan


yang dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara
perorangan dengan hakmilik, yang berarti setiap
waris berhak memakai, mengolah dan menikmati
hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama
setelah pewaris wafat;
 Sistem kewarisan individual banyak berlaku
dikalangan masyarakat parental.
Pembagian

 Ahli waris dalam hk.waris adat digolongkan


berdasarkan sifat kekeluargaan masing-masing.
 Hukum Waris Adat dapat dibagi berdasarkan sistem
kemasyarakatannya:
a) Sistem masyarakat Parental;
b) Sistem masyarakat Matrilineal;
c) Sistem masyarakat Patrilineal.
 Ketiga sistem pewarisan tersebut masing-masing
tidak langsung menunjuk pada suatu bentuk
susunan masyarakat tertentu tempat sistem
pewarisan itu berlaku.
 Sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam
berbagai bentuk susunan masyarakat, bahkan dalam
satu bentuk susunan masyarakat dapat ditemui lebih
dari satu sistem pewarisan.
Waris Parental

 Parental:berdasarkan orangtua; atau bilateral:


masyarakat yang menarik garis keturunan melalui
kedua belah pihak ibu dan bapak.
 Jika salah satu meninggal maka harta benda
perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda
asal ditambah setengah harta benda perkawinan.
 Yang berhak mewarisi adalah semua anak-anak
(laki-laki atau perempuan) dengan pembagian
sama.
Waris Parental
 Pembagian untuk anak laki-laki dan anak
perempuan sama, tetapi tidak menurut jumlah
angka. Biasanya didasarkan kebutuhan dan
kepatutan.
 Proses meneruskan dan mengoperkan barang
harta keluarga kepada anak, turunan keluarga
telah dimulai pada saat orangtua masih hidup.
 Contoh: suatu keluarga di Jawa, terdiri suami, istri,
dua anak laki-laki dan dua anak perempuan.
Waris Parental
 Anak lelaki tertua telah dewasa dan cakap bekerja
(kuat gawe). Ayahnya memberi (mengoper)
sebidang tanah. Pemberian ini bersifat mutlak-
tanah didaftarkan dan disaksikan kepala desa.
Unsur ‘terang’ terpenuhi.
 Pemberian mutlak ini bersifat pewarisan-
pengoperan harta benda di dalam lingkungan
keluarga.
Waris Parental

 Anak kedua perempuan kemudian menikah, diberi


sebuah rumah oleh ayahnya;
 Kemudian ayah meninggal dunia meninggalkan
janda serta anak laki-laki dan perempuan yang
belum dewasa;
 Harta benda keluarga telah dikurangi dengan
sebidang tanah yang dioperkan kepada anak lelaki
tertua dan sebuah rumah untuk anak perempuan.
Keduanya sudah mentas dan telah membentuk
keluarga baru;
Waris Parental

 Harta benda yang masih di tangan Bapak pada


waktu ia meninggal tidak dibagi karena harta itu
digunakan sebagai dasar kehidupan janda dengan
kedua anak yang belum dewasa;
 Apabila anak perempuan kemudian menikah maka
ia akan mendapat bagian dari harta yang ada, tetapi
bukan rumah yang ditempati si ibu dan anak yang
belum dewasa;
 Rumah tetap didiami si ibu dan anak yang paling
kecil hingga dewasa.
Waris Parental

Dari proses tadi dapat disimpulkan bahwa:


1.Dalam pewarisan hk adat, para waris tidak mendapat
bagian yang ditentukan menurut ilmu berhitung,
meskipun pada dasarnya semua anak sama haknya
atas harta peninggalan orang tua mereka;
2. Ketentuan dalam BW bahwa seseorang waris tidak
wajib tinggal tetap dalam harta peninggalan yang tidak
dibagi-bagi, dan bahwa tiap waris setiap waktu berhak
menuntut supaya harta peninggalan itu dibagi-bagi,
adalah bertentangan dengan sifat hukum adat waris;
Waris Parental
 Apabila orang yang meninggal itu memberikan
suatu barang dari hartanya semasa hidupnya
kepada seorang atau beberapa anaknya, maka
pemberian itu diperhatikan pada waktu harta
peninggalan dibagi-bagi setelah meninggalnya
orang tersebut;
 Harta peninggalan tetap tidak dibagi-bagi, selama
masih perlu untuk penghidupan keluarga yang
ditinggalkan dan keluarga itu (janda dan anak)
masih tetap tinggal berkumpul.
Waris Parental

 Putusan MA No 110K/SIP/1960 tanggal 13/4/1960,


antara Sinuh v.s. Mbok Sukijah dkk.
 Pertimbangan MA: menurut Hukum di Jawa
Tengah, Janda dan anak-anak sebagai keseluruhan
berhak akan harta peninggalan almarhum suaminya,
walaupun janda itu tidak selalu mendapat bagian
tertentu dari harta warisan, melainkan hanya
sekedar cukup untuk melanjutkan hidup.
Hk.waris dalam masyarakat keibuan/matrilineal

 Masyarakat keibuan/matrilineal adalah masyarakat


yang anggotanya menarik garis garis keturunan
melalui garis ibu. Misalnya : Minangkabau;
 Dalam masyarakat ini, anak-anak merupakan bagian
dari klan ibunya, sedangkan ayahnya masih tetap
bagian dari keluarganya;
Waris matrilineal

 Perkawinannya disebut ‘exogam semendo’ yaitu


perkawinan di mana laki-laki didatangkan atau
dijemput oleh pihak wanita tapi laki-laki tidak
termasuk klan istrinya, melainkan tetap menjadi
klan ibunya.
 Sifat garis ibu kekeluargaan di Minangkabau
memperlihatkan adanya sekumpulan barang-barang
yang merupakan harta pusaka milik suatu keluarga
yang hanya dapat dipakai oleh segenap anggota
keluarga itu, tidak dimiliki oleh mereka masing-
masing secara individual.
Waris matrilineal

 Di Minangkabau tidak ada hukum


warisan antara orang-perorangan—
disebut sistem kewarisan kolektip, yang
cirinya adalah bahwa harta peninggalan
itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris.
 Di Minangkabau sejak dahulu sampai
sekarang berlaku sistem keturunan dari
pihak ibu (matrilineal) yang berasal dari
satu ibu asal yang dihitung menurut garis
ibu.
Waris matrilineal: Ahli Waris
 Hukum waris adat dengan system kekeluargaan
matrilineal ini menentukan bahwa anak-anak hanya
dapat menjadi ahli waris dari ibu, baik harta
pencaharian maupun harta bawaan (harta pusaka);
 “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan
persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah
tertentu yang dinamakan “tanah ulayat”.
 Kaum serta anggota kaum diwakili keluar oleh seorang
“mamak kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi
mamak kepala waris lazimnya adalah saudara laki-laki
yang tertua dari ibu.
 Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum
terletak pada rapat kaum, bukan pada mamak kepala
waris. Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan
kemenakan ini adalah ahli waris.
Harta pusaka minangkabau terbagi tiga, yaitu:
 1. Harta pusaka tinggi;
 2.Harta Pusaka rendah;
 3. Harta Suarang
Harta Pusaka Tinggi

 Cara pembagiannya berlaku system kewarisan


kolektif, yaitu seluruh harta pusaka tinggi diwarisi
oleh sekumpulan ahli waris dan tidak
diperkenankan dibagi-bagi pemilikannya.
 Walaupun tidak boleh dibagi-bagi pemilikannya di
antara para ahli waris, harta pusaka tinggi dapat
diberikan sebagian kepada seorang anggota kaum
oleh mamak kepala ahli waris selanjutnya dijual
atau digadaikan guna keperluan modal berdagang
atau merantau, asal saja dengan sepengetahuan
dan seizin seluruh ahli waris.
Disamping itu harta pusaka tinggi dapat dijual atau
digadaikan, guna keperluan:
 Untuk membayar hutang kehormatan
 Untuk membayar ongkos memperbaiki Bandar
sawah kepunyaan kaum
 Untuk membayar hutang darah
 Untuk menutupi kerugian bila ada kecelakaan kapal
di pantai
 Untuk ongkos naik haji ke Mekkah.
Harta Pusaka Rendah

 Semula harta pusaka rendah adalah harta pecaharian.


 Harta pencaharian mungkin milik seseorang laki-laki
atau perempuan. Pada mulanya harta pencaharian
seseorang diwarisi oleh kaum masing-masing.
 Akan tetapi dalam perkembangan berikutnya karena
hubungan seorang ayah dengan anaknya bertambah
erat dan juga sebagai pengaruh agama Islam, maka
seorang ayah dengan harta pencahariannya dapat
membuatkan sebuah rumah untuk anak-anaknya atau
menanami tanah pusaka istrinya dengan tanaman
keras, misalnya pohon kelapa, pohon durian dll. Hal
ini dimaksudkan untuk membekali istri dan anak-anak
manakala ayah telah meninggal dunia.
Harta Suarang

 Harta suarang berbeda sama sekali dengan harta


pencaharian sebab harta suarang adalah seluruh harta
yang diperoleh oleh suami isteri secara bersama-sama
selama dalam perkawinan.
 Kriteria untuk menentukan adanya kerja sama dalam
memperoleh harta suarang, dibedakan dalam dua
periode, yaitu dahulu ketika suami masih merupakan
anggota keluarganya, ia berusaha bukan untuk anak
isterinya melainkan untuk orang tua dan para
kemenakannya sehingga ketika itu sedikit sekali
kemungkinan terbentuk harta suarang sebab yang
mengurus dan membiayai anak-anak dan isterinya
adalah saudara atau mamak isterinya.
 Sedangkan pada dewasa ini adanya kerja sama yang
nyata antara suami isteri untuk memperoleh harta
suarang sudah nampak, terutama masyarakat
Minangkabau yang telah merantau jauh keluar tanah
asalnya telah menunjukkan perkembangan ke arah
pembentukan hidup keluarga (somah), yaitu antara
suami, isteri, dan anak-anak merupakan satu kesatuan
dalam ikatan yang kompak.
 Dalam hal demikian suami telah bekerja dan berusaha
untuk kepentingan isteri dan anak-anaknya sehingga
dalam kondisi yang demikian keluarga tadi akan
mengumpulkan harta sendiri yang merupakan harta
keluarga yang disebut harta suarang.
 Harta suarang dapat dibagi-bagi apabila perkawinan bubar, baik
bercerai hidup atau salah seorang meninggal dunia.
 Harta suarang dibagi-bagi setelah hutang suami-isteri dilunasi
terlebih dahulu. Ketentuan pembagiannya sebagai berikut:
(a) Bila suami-isteri bercerai dan tidak mempunyai anak,
harta suarang dibagi dua antara bekas suami dan bekas
isteri.
(b) Bila salah seorang meninggal dunia dan tidak mempunyai
anak, maka sebagai berikut:
-Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi dua,
separoh merupakan bagian jurai si suami dan separoh lagi
merupakan bagian janda.
-Jika yang meninggal isteri, harta suarang dibagi dua, sebagian
untuk keluarga/jurai suami dan sebagian lagi untuk duda.
(c) Apabila suami-isteri bercerai hidup dan
mempunyai anak, harta suarang dibagi dua antara
bekas suami dan bekas isteri, anak-anak akan
menikmati bagian ibunya.
(d) Apabila salah seorang meninggal dunia dan
mempunyai anak, bagian masing-masing sebagai
berikut:
- Jika yang meninggal suami, harta suarang dibagi
dua antara suami dengan janda beserta anak
- Jika yang meninggal isteri, harta suarang seperdua
untuk suami dan seperdua lagi untuk anak serta
harta pusaka sendiri bagian ibunya.
 Berkaitan dengan pembahasan harta suarang, di
bawah ini akan ditunjukkan beberapa putusan
pengadilan mengenai harta suarang sebagai bukti,
bahwa antara suami-isteri orang Minangkabau
dalam perkembangan selanjutnya telah terjalin kerja
sama dalam satu kesatuan unit yang disebut somah
(gezin) sehingga terbentuk harta keluarga
Putusan2 tentang Harta Suarang
 (i) Putusan Landraad Talu tanggal 23 januari 1937 No. 5 tahun 1937
yang dikuatkan oleh Raad Van Justitie Padang tanggal 13 Mei 1937 (T.
148/508) menentukan bangunan yang didirikan atau tanaman yang
ditanami di atas tanah harta kaum isteri bukanlah harta suarang.

 (ii) Putusan Landraad Payakumbuh tanggal 13 Juni 1938 No. Perdata 11


Tahun 1938, yang dikuatkan oleh Raad van Justitie Padang tahun 1938
mengatakan: bila suami meninggalkan beberapa orang janda, maka
pembagian harta suarang menjadi sebagai berikut: separoh dari harta
suarang menjadi pusaka rendah jurai si suami dan separoh lagi
merupakan bagian para janda yang masih hidup.

 (iii) Putusan Pengadilan Bukittinggi No. 46/1953 tanggal 26 september


1953 yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Medan tanggal 13 Maret
1956 No. 23/1954, yang menetapkan, bahwa harta suarang bertanggung
jawab atas hutang suami. Kemudian adanya rumah di atas tanah kaum
tidak dengan sendirinya membuktikan, bahwa rumah itu kepunyaan
kaum, mungkin saja rumah itu kepunyaan isteri bersama sebagai harta
suarang.[8]
Hukum Waris Patrilineal

 Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik


garis keturunan ayah atau garis keturunan nenek
moyangnya yang laki-laki.
 Pada keluarga besar Patrilineal, bapak memiliki status yang
lebih tinggi dengan peran dan otoritas yang lebih besar
dalam budaya keluarga.
 Anak laki-laki adalah keturunan yang lebih diutamakan
dari pada anak perempuan dalam kehidupan keluarga,
kelangsungan generasi dan budaya.
 Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada
masyarakat-masyarakat di Tanah Gayo, Alas, Batak,
Ambon, Papua, Timor, dan Bali.
 Kelemahan keluarga besar Patrilineal adalah terdapat
diskriminasi status, peran dan otoritas antara laki-laki dan
perempuan. Perempuan dianggap sebagai pihak yang
memiliki kehidupan keluarga sehingga perannya pun
hampir tidak berarti apa-apa kecuali sebagai sumber
kelahiran anak.
 Selain itu, karena anak perempuan dianggap sudah lepas
dari keluarganya sendiri, dan masuk kedalam keluarga
suaminya. Maka anak perempuan itu bukanlah ahli waris
dari orang tuanya yang meninggal dunia.
Hk. Waris Bali

 Dalam masyarakat Bali sistem kewarisannya ialah


menyoroti laki-laki, dimana anak laki-laki sepeninggal
ayahnya beralih untuk menduduki tempatnya. Ia menjadi
pemilik kekayaan, tetapi ia mempunyai kewajiban
memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka.
Memberi sokongan dalam perjuangan hidupnya.
 Terdapat beberapa daerah kabupaten di Bali, yaitu
Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem yang
sudah sejak tahun 1900 telah mengatur mengenai
pewarisan termasuk pewarisan bagi anak perempuan.
Peraturan daerah tersebut dinamakan Peswara 1900
 Pada daerah Kabupaten Buleleng telah di buat
peraturan yang mengatur mengenai pembagian
harta warisan, termasuk pembagian waris untuk
perempuan. Peraturan tersebut bernama Peswara
1900 yang berlaku untuk penduduk Hindu Bali dari
Kabupaten Buleleng atau Bali Utara. Tetapi mulai
tahun 1915 Peswara tersebut di berlakukan juga
untuk seluruh wilayah Bali Selatan.
 Terhadap kedudukan perempuan dalam pewarisan tersebut
dapat diketahui dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peswara
1900, ada pun ketentuannya adalah sebagai berikut:
 (2)Apabila oleh seorang atau beberapa orang anak laki- laki
yang sudah kawin dalam pembagian itu dimintakan
perantara pemerintah, maka pembagian akan diatur
demikian rupa, sehingga janda mendapat satu bagian,
masing-masing anak lelaki dua bagian dan masing-masing
anak perempuan setengah bagian. Bila tidak ada anak laki-
laki, maka semua warisan jatuh kepada wanitawanita
yang masih ada seperti yang disebutkan tadi.
Hk. Waris Batak

 Kekerabatan pada masyarakat Batak memiliki dua


jenis, yaitu kekerabatan yang berdasarkan pada garis
keturunan atau geneologis dan berdasarkan pada
sosiologis.
 Semua suku bangsa Batak memiliki marga, inilah
yang disebut dengan kekerabatan berdasarkan
geneologis. Sementara kekerabatan berdasarkan
sosiologis terbentuk melalui perkawinan. Sistem
kekerabatan muncul di tengah-tengah masyarakat
karena menyangkut hukum antar satu sama lain
dalam pergaulan hidup.
 Istri dari pewaris dalam sistem hukum adat Batak
tidak berhak untuk menguasai harta bawaan
peninggalan dari pewaris. Tapi, istri hanya berhak
untuk memelihara dan menikmati harta bawaan
tersebut sepanjang dia masih dalam ikatan
perkawinan yang sama atau sampai dia menikah
lagi.
 Apabila di kemudian hari dia menikah lagi, maka
penguasaan terhadap rumah tersebut menjadi milik
saudara kandung pewaris (dengan catatan, saudara
kandung yang dapat memiliki rumah tersebut
hanyalah saudara laki-laki dari pewaris).
Contoh:
Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat
Batak Toba menganggap bahwa anak laki-laki lebih
berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada
anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai
pembawa keturunan ataupun penerus marga dari
orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan
“dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan
mengikuti marga suaminya.
 Sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal yang
dianut oleh masyarakat Batak Toba ternyata juga
mempengaruhi kedudukan .
 Oleh sebab itulah, janda pada masyarakat Batak Toba ada
suatu ketentuan, yaitu apabila janda diintegrasikan ke
dalam kerabat suaminya, ia dapat menetap di sana dan
mendapat nafkahnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut
memisahkan diri dari kerabat suaminya, janda tidak akan
pernah berhak membawa benda milik suaminya.
 Maka dalam kenyataannya, seorang janda cerai
karena kematian suaminya maupun janda cerai
hidup tidak berhak mendapatkan warisan dari
suaminya, hanya sebagai pengguna atau pemakai
sebagai sumber hidupnya.
 Harta dari suaminya akan diserahkan kepada anak
laki-lakinya jika ada, jika tidak ada maka akan
diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya.
 Nasib anak perempuan yang tidak mempunyai
saudara laki-laki tidak berhak mendapat hak warisan
dari orangtua dan tidak akan dapat melanjutkan
silsilah keluarganya dan keluarga tersebut akan
hilang begitu saja
 Anak perempuan yang demikian disebut “siteanon”,
artinya semua harta warisan ayahnya tidak boleh ada
padanya dan harus diwarisi anak laki-laki dari
saudara laki-laki ayahnya.
 Anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi
dapat menerima bagian harta warisan sebagai
pemberian.
 Hukum adat Batak yang tidak mendorong
kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan
karena bertentangan dengan hak azasi manusia.
 Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding
laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif
terhadap perempuan.
 Seiring berkembangnya hukum positif di Indonesia yakni
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama bahwa
kompetensi penggunaan waris bagi orang islam harus
menggunakan hukum Islam.
 Dalam Penjelasan Umum telah dinyatakan “Bahwa Para
Pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan
untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam
pembagian warisan, dinyatakan dihapus”. Menurut harfiah
dari Pernyataan dalam Penjelasan Umum tersebut adalah
pilihan hukum sudah tidak dimungkinkan lagi.

Anda mungkin juga menyukai