Anda di halaman 1dari 4

Hukum Harta Perkawinan

Untuk memenuhi keperluan hidup berumah tangga, diperlukan harta kekayaan yang disebut harta
perkawinan atau harta keluarga.
Harta perkawinan atau harta keluarga dapat dibedakan dalam 4 golongan, yaitu:
1. Barang-barang yang diperoleh secara warisan atau penghibahan
- Barang-barang ini tetap milik suami atau isteri yang menerima warisa atau
penghibahan
- Barang-barang ini hanya jatuh kepada anak-anak sebagai warisan.
- Jika terjadi perceraian dan apabila tidak mempunyai anak, maka barang-barang ini
kembali kepada asalnya.
2. Barang-barang yang diperoleh atas jasa sendiri
- Barang-barang ini diperoleh suami atau isteri sebelum kawin
3. Barang-barang diperoleh dalam masa perkawinan
- Kekayaan milik bersama disebut :
o Harta suarang (Minangkabau)
o Barang perpantangan (Kalimantan)
o Barang cakkara (Bugis)
o Harta gonogini (Jawa)
o Guna kaya, campura kaya, barang sekaya (Sunda)
4. Milik bersama isteri adalah semua kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya
perkawinan asalkan kedua-duanya bekerja untuk kepentingan rumah tangga. Semua
kekyaan yang diperoleh suami menjadi milik bersama1
Yursprudensi M.A. tanggal 07 November 1956, mengatakan: semua kekayaan selama
berjalannya perkawinan merupakan harta gono gini, biarpun hanya kegiatan suami saja
- Menurut hukum adat suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya transaksi
barang-barang campur kaya dapat dilakukan oleh isteri apabila suami tidak ada
ditempatdan isteri disini bukan mewakili suami akan tetapi sebagai pemilik sendiri. Jadi
istri dapat mengambil keputusan sendiri
- Hak milik bersama dapat dipakai untuk membayar hutang baik hutang suami maupun
hutang isteri apabila harta gonogini tidak cukup, maka dapat dipakai harta asal.2
Pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian :
- Prinsipnya milik bersama dibagi antara kedua belah pihak masing-masing pada umumnya
mendapat separuh.
- Ada beberapa daerah yang mempunyai kebiasaan sedemikian rupa sehingga suami lebih
besar dari pada isterinya yaitu dua- pertiga untuk suami dan sepertiga untuk isteri, yang
disebut “sagen dong sapikul” (Jawa).
1
Bewa Ragawino,S.H.,M.SI “Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat di Indonesia” (Universitas Padjajaran,2008),69
2
Marhaeni Ria Siombo,Asas-asas Hukum Adat (Jakarta:Gunung Agung,2016),
http://repository.ut.ac.id/4065/1/HKUM4204-M1.pdf
- Kebiasaan sagendong sapikul lambat laun berubah akibat kesadaran masyarakat dan
masalah ini tidak sesuai dengan kesadaran adanya persamaan hak.
- Keputusan Mahkamah Agung tangga 25 Pebruari 1959 Reg. No. 387 K/Sip/1960
menyatakan bahwa menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah seorang janda
mendapat separuh dari harta gono gini.
- Selanjutnya Keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 April 1960 Reg. No. 120 K/Sip/1960
menetapkan bahwa harta pencaharian itu harus dibagi sama rata antara suami isteri.
- Apabila salah seorang (suami atau isteri) meninggal biasanya semua harta bersama
dibawah kekuasaan yang masih hidup guna keperluan hidupnya.
- Selama seorang janda belum kawin lagi barang-barang bersama dikuasai olehnya tidak
dapat dibagi-bagi, guna menjamin hidupnya (Keputusan Mahkamah Agung tanggal 8 Juli
1959 Reg. No. 189 K/Sip/19593.
Hukum Adat Waris
1. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang
sistem dan azas-azas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta
cara bagaimana harta warisan itu dialihkan oenguasaan dan pemilikannya dari pewris
kepada ahli waris. Hukum waris adat merupakan hukum penerusn harta kekayaan dari
suatu generasi kepada ketrunannya. Huum kewarisan tersebut ada dasarnya bersendikan
prinsip-prinsip komunaal atau kebersamaan sebagai bagin dari kepribadian bangsa
Indonesia. Pinsip kebersamaan dalam hukum waris adat tidak mengenal bagian-bagian
tertentu untuk para ahli waris dalam sistem pembagiannya.4
Adapun pengertian hukum adat waris menurut para tokoh adalah :
a. Menurut Ter Haar, hukum waris adat adalah aturanaturan hukum yang
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari
harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
b. Menurut Iman Sudiyat, hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan
keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus/
pengoperan dan peralihan/ perpindahan harta kekayaan materiil dan
immateriil dari generasi ke generasi.
c. Menurut Hilman Adikusuma, hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris
tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
d. pendapat Soepomo, hukum adat waris yaitu memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda
dan barang-barang yang tidak berwujud benda immateriele goederen dari
suatu angkatan manusia kepada turunannya. Oleh karena itu, untuk terjadinya
pewarisan dalam hukum adat waris haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu:
1. Adanya pewaris
3
Ragawino, Pengantar dan asas-asas hukum adat di Indonesia,71.
4
Ragawino, Pengantar dan asas-asas hukum adat di Indonesia, 80
2. Adanya harta waris
3. Adanya ahli waris
4. Penerus dan pengoperan harta waris5
2. Sifat Hukum Waris Adat
Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang
berbeda dari hukum islam maupun hukum Barat. Perbedaan tersebut karena latar
belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat
yang Bhinneka Tunggal Ika. Sifat yang terdapat dalam latar belakang tersebut adalah
saling tolong-menolong guna mewujudkan kerukunan, keselarasan dan kedamaian di
dalam hidup.
Adapun sifat hukum waris adat secara umum yaitu,
a. Harta warisan dalam sistem hukum adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi
atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
ahli waris.
b. Hukum waris adat tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak.
c. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.6
3. Azas Pewarisan Dalam Hukum Adat
Pada azasnya hukum waris adat mengenal beberapa azas umum yaitu,
i. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini
dilakukan secara ke atas atau ke samping. Artinya, yang menjadi ahli
waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan mereka.
Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu
jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya ke atas. Kalau ini juga tidak ada
yang mewarisi adalah saudara-saudara sipeninggal harta dan keturunan
mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis kesamping, dengan
pengertian bahwa keluarga yang terdekat mengecualikan keluarga yang
jauh.
ii. Menurut hukum adat tidaklah selalu harta peninggalan seseorang itu
langsung dibagi diantara para ahli waris adalah sipewaris meninggal
dunia, tetapi merupakan satu kesatuan yang pembagiannya ditangguhkan
dan adakalanya tidak dibagi sebab harta tersebut tidak tetap merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dibagi untuk selamanya.
iii. Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat Plaats Vervulling.
Artinya, seorang anak sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat dari
anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi (cucu

5
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat (Aceh:Unimal Press,2016),81
6
Ragawino, Pengantar dan asas-asas hukum adat di Indonesia, 82
dari si pewaris). Dan bagaimana dari cucu ini adalah sama dengan yang
akan diperoleh ayahnya sebagai bagian warisan yang diterimanya.
iv. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi). Dimana hak dan
kedudukan juga bisa seperti anak sendiri (kandung).
Pada hukum waris adat juga terdapat beberapa asas-asas yang khusus yang
berpangkal pada sila-sila Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, yaitu :
a. Azas ketuhanan dan pengendalian diri.
Dengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan Yang Maha
Esa, karena iman dan taqwanya ia mengendalikan diri menahan nafsu
kebendaan dan untuk dapat mengendalikan diri dalam masalah kewarisan,
sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup antara para ahli waris dan
anggota keluarga dari pertentangan.
b. Azas kesamaan hak dan kebersamaan hak.
Adanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan menentukan
banyaknya bagian warisan yang harus diutamakan, tetapi kepentingan dan
kebutuhan para waris yang dapat dibantu oleh adanya warisan itu. Sehingga
pembagian tidak selalu sama hak dan sama banyak bagian pria dan wanita.
c. Azas kerukunan dan kekeluargaan.
Suatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan
kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan
memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam
menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang dibagi.
d. Azas musyawarah dan mufakat.
Dalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota waris
mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban
yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama.
e. Azas keadilan dan pengasuhan.
Azas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan
keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya. Dengan demikian,
meskipun bukan ahli waris juga wajar untuk diperhitungkan mendapat
bagian harta warisan.7

7
Yulia, Buku Ajar Hukum Adat ,83

Anda mungkin juga menyukai