Anda di halaman 1dari 6

Pertanyaan

Bagaimana pembagian warisan dari almarhum ayah saya yang meninggalkan 2 istri
(poligami), 1 anak perempuan dan 1 anak laki-laki dari istri pertama dan 1 anak laki-
laki dari istri kedua. Kami beragama Islam. Almarhum ayah meninggalkan rumah
yang didapatkan ketika menikah dengan istri pertama dan meninggalkan mobil, serta
beberapa jumlah motor dan tabungan yang didapat setelah menikah dengan istri
kedua. Almarhum ayah tidak lagi memberi nafkah lahir maupun batin kepada
keluarga dari istri pertama selama beberapa lama setelah menikah dengan istri
kedua, dan sayangnya keberadaan istri pertama tidak jelas di mana dan tidak
diketahui apakah masih hidup atau sudah meninggal. Bagaimanakah pembagian
warisan yang adil secara hukum agama Islam dan hukum perdata Indonesia?

Ulasan Lengkap
 
Poligami yang Sah
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, alangkah baiknya untuk meninjau hukum
tentang poligami terlebih dahulu dan melihat apakah perkawinan poligami yang
dilakukan sah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Hal
ini penting karena akan berakibat kepada pembagian waris bagi anggota keluarga
yang ditinggalkan.
 
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU
Perkawinan”) mengatur bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Namun,
ketentuan Pasal 4 ayat (1) undang-undang yang sama menentukan mengenai sah
atau tidaknya perkawinan poligami yakni:
 
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
 
Pengadilan akan memberikan izin yang dimaksud di atas apabila:[1]
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
 
Selain itu, untuk dapat mengajukan permohonan poligami, syarat-syarat berikut juga
harus terpenuhi:[2]
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka;
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka.

Jika ketentuan-ketentuan di atas telah terpenuhi, maka poligami telah sah secara
hukum, dan dalam kasus Anda, berarti berkawinan dengan istri kedua adalah sah.
 
Ahli Waris yang Tidak Diketahui Keberadaannya
Apabila seseorang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberi kuasa untuk
mewakili urusan-urusannya, dan telah lampau 5 tahun sejak kepergiannya atau
sejak diperoleh berita terakhir yang membuktikan bahwa ia masih hidup, sedangkan
dalam 5 tahun itu tak pernah ada tanda-tanda tentang hidupnya atau matinya, maka
orang yang dalam keadaan tak hadir itu, atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan dan dengan izin Pengadilan Negeri di tempat tinggal yang
ditinggalkannya, boleh dipanggil untuk menghadap pengadilan itu dengan panggilan
umum yang berlaku selama jangka waktu tiga bulan atau lebih dengan 3 kali
panggilan.[3]
 
Jika orang tersebut atau orang lain yang cukup menjadi petunjuk tentang adanya
orang itu tidak datang menghadap, maka Pengadilan Negeri boleh menyatakan
adanya dugaan hukum bahwa orang itu telah meninggal terhitung sejak hari ia
meninggalkan tempat tinggalnya atau sejak hari berita terakhir mengenai hidupnya.
[4]
 
Setelah adanya pernyataan dari Pengadilan Negeri, orang-orang yang diduga
menjadi ahli waris dari orang yang diduga telah meninggal tersebut berhak atas
harta peninggalannya.[5] Namun, barang-barang yang dibagikan kepada ahli waris
dugaan tersebut tidak boleh dipindahtangankan sebelum lewat waktu 30 tahun
setelah hari kematian dugaan, kecuali jika ada alasan penting, dan dengan izin
Pengadilan Negeri.[6] Pembagian barang-barang tersebut kepada ahli waris dugaan
berlaku tetap dan pasti setelah lampaunya waktu 30 tahun tersebut.[7]
 
Harta Waris
Untuk menentukan harta waris dari almarhum ayah Anda, terlebih dahulu, harta-
harta peninggalannya harus dikurangi harta bersama antara almarhum ayah Anda
dan istri pertama serta istri keduanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
128 KUH Perdata dan Pasal 96 ayat (1) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
 
Untuk yang berpoligami dan beragama Islam, maka pembagian harta bersama
didasarkan pada ketentuan Pasal 94 KHI:
 
1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih
dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat
berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.
 
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II telah
memberi penjelasan mengenai pembagian harta bersama untuk para istri dalam
poligami. Harta yang diperoleh oleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan
istri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan istri pertama. Sedangkan
harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan perkawinan dengan istri kedua dan
selama itu pula suami masih terikat perkawinan dengan istri pertama, maka harta
tersebut merupakan harta bersama milik suami istri, istri pertama dan istri kedua
(hal. 146).
 
Bila terjadi pembagian harta bersama bagi suami yang mempunyai istri lebih dari
satu orang karena kematian, maka cara perhitungannya adalah sebagai berikut:
 
Untuk istri pertama 1/2 dari harta bersama dengan suami yang diperoleh selama
perkawinan, ditambah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama
dengan istri pertama dan istri kedua (hal. 146). Sehingga yang didapat istri kedua
adalah 1/3 dari harta bersama yang diperoleh suami bersama dengan istri pertama
dan istri kedua.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pembagian harta bersama antara almarhum
ayah Anda dengan istri pertama dan keduanya adalah sebagai berikut:
 
Rumah yang didapat selama perkawinan dengan istri pertama dibagi dua, ½
bagiannya adalah bagian istri pertama dan ½ lagi menjadi harta peninggalan
almarhum ayah Anda.
 
Sedangkan mobil, serta beberapa jumlah motor dan tabungan yang didapat setelah
menikah dengan istri kedua, 1/3 dari jumlah harta tersebut merupakan bagian istri
pertama, 1/3 lainnya untuk istri kedua, dan 1/3 lainnya menjadi harta peninggalan.
 
Namun, sebagaimana ketentuan Pasal 171 huruf e KHI, harta tersebut harus
dikurangi keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan
jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat terlebih dahulu,
dan sisanya menjadi harta waris.
 
Pembagian Harta Waris Berdasarkan KUH Perdata
Terdapat dua kemungkinan dalam kasus ini, yaitu kemungkinan pertama istri
pertama masih hidup ketika dilakukan pemanggilan oleh pengadilan, dan
kemungkinan kedua istri pertama dinyatakan diduga meninggal dunia.
 
Sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Empat Golongan Ahli Waris Menurut
KUH Perdata, berdasarkan prinsip dalam KUH Perdata, golongan ahli waris yang
dibagi menjadi empat golongan yaitu:
1. Golongan I: suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris.
3. Golongan III: keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu
pewaris.
4. Golongan IV: paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari
pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris,
saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam
dihitung dari pewaris.
 
Maka pada kasus di atas terhadap kemungkinan pertama yaitu jika istri pertama
masih hidup, maka menurut Pasal 852a KUH Perdata, disamakan bagiannya
dengan anak, yakni 1/3 bagian untuk masing-masing.
 
Namun jika istri dalam perkawinan pertama diduga meninggal dunia berdasarkan
pernyataan pengadilan (kemungkinan kedua), maka harta waris yang menjadi
bagian istri pertama berhak jatuh kepada anak dari perkawinan pertama. Sedangkan
untuk pembagian kepada 1 anak laki-laki dan 1 anak perempuan dari hasil
perkawinan pertama dibagikan secara sama rata yakni ½ untuk masing-masing dari
jumlah harta waris untuk perkawinan pertama sesuai ketentuan Pasal 852 KUH
Perdata.
 
Untuk perkawinan kedua, juga berdasarkan Pasal 852 dan Pasal 852a KUH Perdata
harta waris dibagikan kepada istri yang masih hidup dan 1 anak laki-laki dengan
porsi bagian yang sama yakni masing-masing mendapat ½ dari jumlah harta waris.
 
Pembagian Harta Waris Berdasarkan Hukum Islam
Selanjutnya, pembagian harta waris menurut hukum Islam diatur di dalam Pasal
176-191 KHI. Yang termasuk ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam, dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[8]
 
Adapun kelompok-kelompok ahli waris menurut KHI terdiri atas:[9]
 
1. Menurut hubungan darah:
a) Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan
kakek.
b) Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan
nenek.
 
2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
 
Jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanyalah anak,
ayah, ibu, janda atau duda.[10]
 
Adapun mengenai besaran bagian masing-masing ahli waris menurut KHI Pasal 176
sampai Pasal 182 adalah:
 
1. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat 1/2 bagian, bila dua orang
atau lebih mereka bersama-sama mendapat 2/3 bagian, dan apabila anak
perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka perbandingan bagian anak
laki-laki adalah 2:1 dengan anak perempuan.
2. Ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada
anak, ayah mendapat 1/6 bagian.
3. Ibu mendapat 1/6 bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak
ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat 1/3 bagian.
4. Ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
5. Duda mendapat 1/2 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat 1/4 bagian.
6. Janda mendapat 1/4 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila
pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat 1/8 bagian.
7. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara
laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat 1/6 bagian. Bila
mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3
bagian.
8. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat 1/2
bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara
perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-
sama mendapat 2/3 bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama
dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka perbandingan bagian
saudara laki-laki adalah 2:1 dengan saudara perempuan.
 
Maka, pada perkawinan pertama, apabila istri masih hidup, ia mendapat 1/8 bagian
dari harta waris karena meninggalkan anak, dan untuk pembagian anak perempuan
bersama-sama anak laki-laki, maka bagian anak yaitu sebesar 7/8 dengan bagian
anak laki-laki 2:1 satu dengan anak perempuan.
 
Namun, jika istri dalam perkawinan pertama dinyatakan diduga meninggal dunia,
maka pembagian harta waris berhak jatuh kepada anak dari perkawinan pertama,
dan bagian anak laki-laki dengan anak perempuan berbanding 2:1 yakni 2/3 untuk
anak laki-laki dan 1/3 untuk anak perempuan.
 
Pada perkawinan kedua, istri mendapat 1/8 bagian dari harta waris karena
meninggalkan anak, dan sisanya untuk anak laki-laki.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan  sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam.
 
Referensi:
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II, diakses
pada 6 November 2020, pukul 17.55 WIB.
 

[1] Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan

[2] Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan

[3] Pasal 476 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)

[4] Pasal 468 KUH Perdata

[5] Pasal 472 KUH Perdata

[6] Pasal 481 jo. Pasal 484 KUH Perdata

[7] Pasal 484 KUH Perdata


[8] Pasal 171 huruf c KHI

[9] Pasal 174 ayat (1) KHI

[10] Pasal 174 ayat (2) KHI

Anda mungkin juga menyukai