Anda di halaman 1dari 2

Dijawab oleh: Nurhayati, S.H., M.Si.

(Penyuluh Hukum Ahli Madya)

Terkait siapa yang berhak atas harta gono gini (harta bersama) jika suami meninggal istri dan anaknya
atau anak dan mantan istrinya. Sebelumnya dapat kami sampaikan bahwa dasar hukum yang bisa
digunakan untuk pembagian harta gono-gini cerai mati

1. diatur dalam Pasal 38 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Perkawinan (UU Perkawinan) serta
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Undang-Undang Perkawinan tidak secara khusus menyebutkan cara pembagian untuk kasus cerai
mati. Aturan ini hanya menyebutkan kalau perpisahan dalam sebuah perkawinan bisa diakibatkan
oleh 3 hal, yakni kematian, perceraian, serta keputusan pengadilan (Pasal 38 UU
Perkawinan). Meski tidak diatur dalam UU Perkawinan, tetapi Kompilasi Hukum Islam telah
mengaturnya melalui Pasal 96 dan Pasal 97. Selengkapnya Pasal 96 berbunyi : (1) Apabila terjadi
cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2)
Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus
ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
2. Sedangkan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, "Janda atau duda yang cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian kawin. Terkait harta dalam perkawinan, Pasal 35 UU NO 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur bahwa: Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para
pihak tidak menentukan lain. Dengan demikian Harta Bersama atau harta gono gini adalah harta
yang diperoleh selama perkawinan sehingga antara suami dan isteri punya hak yang sama atas
harta yang dimiliki selama perkawinan tersebut. Bila suami meninggal harta bersama harus dibagi
terlebih dahulu untuk si janda, lalu sisanya baru dibagikan kepada ahli waris.
3. Hal ini ditegaskan di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung dan beberapa putusan pengadilan
diantaranya Putusan Mahkamah Agung No. 3764/Pdt/1992 tanggal 30 Maret 1992 yang kaidah
hukumnya menyatakan: “seorang janda akan mendapat ½ (setengah) bagian dari harta bersama
dan ½ (setengah) bagian lagi selebihnya menjadi harta warisan dari almarhum suaminya, yang
akan dibagi antara janda itu dan anak-anaknya, dan masing-masing mendapatkan bagian yang
sama besarnya” Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Harta bersama dibagi
setengah dulu (50%) untuk si janda, kemudian sisanya (50%) baru dibagi lagi sama rata untuk
janda dan anak-anaknya. Hal ini berarti bahwa selama pernikahan suami dan istri, meskipun
hanya suami yang bekerja mencari nafkah, maka istri pun berhak atas 1/2 dari harta perolehan
suami tersebut. Pada poin kedua, istri yang ditinggalkan juga berhak menerima 1/2 dari harta
Bersama ditambah dengan harta bawaan suami sebelum menikah.
4. Kemudian untuk yang beragama Islam, harta waris yang diperoleh oleh istri diatur dalam Hukum
Islam, maka jika suami meninggal, maka harta tersebut dapat dibagikan setelah melunasi hutang-
hutang yang ditinggalkan pewaris semasa hidupnya terlebih dahulu. Jika memiliki anak, maka
istri berhak mendapatkan warisan dari suaminya sebesar 1/8 bagian dan istri akan mendapatkan
1/4 bagian bila tidak memiliki anak.
5. Berdasarkan Pasal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), apabila
Pewaris meninggal dunia dan meninggalkan suami atau istri beserta anak atau
keturunannya, mereka mewaris bagian yang sama besarnya. Ahli waris ini disebut sebagai
ahli waris Golongan I. Oleh karena itu, berdasarkan pertanyaan saudara yang menjadi ahli waris
adalah istri dan anak-anak pewaris baik anak pewaris yang dari istri terdahulu maupun anak-anak
pewaris dari istri yang sekarang saat pewaris meninggal. Terkait dengan kedudukan mantan istri,
perlu dipahami bahwa bahwa orang yang berhak mendapatkan warisan disebabkan oleh dua hal,
yaitu karena adanya hubungan perkawinan dan hubungan darah. Ketentuan ini diatur dalam Pasal
174 ayat (1) Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), di mana kelompok-kelompok ahli waris dibagi menurut:
hubungan darah: golongan laki-laki, terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman,
dan kakek. golongan perempuan, terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari
nenek. hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Dari ketentuan di atas, maka ketika
suami istri telah bercerai dan telah habis masa idah (masa tunggu)-nya, maka tidak ada lagi
hubungan kewarisan antara keduanya. Hal ini karena hubungan perkawinan keduanya telah putus,
sedangkan anak-anak pewaris dari mantan istrinya tetap berhak mendapatkan waris karena
adanya hubungan darah dengan pewaris. Dengan demikian, mantan istri pewaris tidak berhak atas
harta gono gini namun. Anak-anak pewaris dari mantan istri tetap sebagai ahli waris. Demikian
penjelasan tentang permasalahan hukum saudara, semoga dapat bermanfaat dan membantu.
Disclaimer : Jawaban konsultasi hukum semata-mata hanya sebagai nasihat hukum dan tidak
memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak mengikat sebagaimana putusan pengadilan.

Dasar Hukum : Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).

Anda mungkin juga menyukai