I. PENDAHULUAN
dari seorang isteri (dalam Hukum Islam maksimal 4 orang) dalam waktu yang
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor
“Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 Ayat (2) Undang-undang ini, maka ia akan wajib
mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.”
Dalam hal putusnya perkawinan karena meninggal dunia bagi suami yang
atau isteri meninggal dunia, maka yang menjadi masalah dalam perkawinan
berhak atas harta bersama tersebut tidak berbeda dengan putusnya perkawinan
karena perceraian harta bersama juga turut andil menjadi timbulnya sengketa
1
Satria Effendi, Problematika Hukum: Kekeluargaan Kontenporer, Kencana, Jakarta, 2010,
hlm. 107.
ii
masalah yang cukup pelik dan rumit dan dapat berakibat pada kerugian bagi
setiap istri, apabila tidak dilakukan pembukuan yang rapi dan akuntabel.
merupakan suatu hal yang krusial, karena isteri atau isteri-isteri dan ahli waris
dalam kasus yang akan penulis teliti sebagaimana terdapat dalam Putusan
dan Kompilasi Hukum Islam serta apa dasar dan pertimbangan hukum dalam
2
Yawirman, Hukum Keluarga, Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minang Kabau, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 219.
iii
Selanjutnya manfaat dari penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan dapat
Sumber dan jenis bahan hukum yaitu terdiri dari bahan hukum primer, sekunder,
dan tersier. Bahan hukum dikumpulkan dengan teknik studi dokumen. Kemudian
II. PEMBAHASAN
perkawinan di atur dalam Pasal 35 Ayat (1), 36 Ayat (1) dan Pasal 37.
masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
harta bendanya.
dalam Peraturan Peralihan, Pasal 65 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan pada Pasal 65 ayat (1) Huruf b Undang-
bersama dari perkawinan suami dengan istri yang pertama, istri ketiga dan
keempat tidak mempunyai hak atas harta bersama dari perkawinan suami
dengan istri pertama dan kedua, sedangkan istri ketiga tidak mempunyai hak
atas harta bersama dari perkawinan suami dengan istri pertama dan kedua.
Kompilasi Hukum Islam atur dalam Pasal 85, 86 Ayat (1), dan Pasal 87 Ayat
(1), (2), akan tetapi dalam Pasal 94 KHI memberikan pengaturan yang
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga
dan seterusnya.
3
Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor 032/SK/IV/2006 tanggal 04 April 2006 Tentang
Pedoman Pelaksaan Tugas Dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II Edisi Revisi tahun 2010
halaman.140.
vi
secara kongkret ketentuan dalam Pasal 65 Ayat (1) huruf b dan c Undang-
Hukum Islam dimana isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai
hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri
kedua atau berikutnya itu terjadi. Artinya dalam hal harta bersama yang
diperoleh sejak perkawinan antara suami dan isteri pertama merupakan hak
secara mutlak yang dimiliki dari pasangan suami isteri tersebut. Sedangkan
isteri kedua, ketiga, dan keempat tidak mempunyai hak dari harta bersama
tersebut. Dan pada pedoman teknis tersebut sudah mengatur secara tegas
terpisah dan berdiri sendiri yang terdapat dalam Pasal 94 Kompilasi Hukum
Islam dengan pengaturan secara rinci harta bersama tersebut karena dalam
pasal tersebut pada keadaan tertentu dapat merugikan isteri yang pertama
Berdasarkan pasal 86 Ayat (1) dan (2) KHI ini dapat pula ditafsirkan
pemisahan harta benda. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan pasal 86 Ayat
(1) KHI: “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
istri karena perkawinan”. Dan pernyataan pasal 86 Ayat (2) KHI: “Harta istri
tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta
suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya”. Ayat (1) Pasal
kolektif suami dan istri dan Ayat (2) Pasal 86 juga secara tegas menguatkan
di Ayat 1 dengan memberikan dasar hukum bagi suami dan istri untuk tetap
4
Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan Di Acara Peradilan Agama, Cet-Ke 3,
Pustaka Kartini, Jakarta, 2013.
viii
secara pribadi antar suami dan istri, berlaku sepenuhnya. Pasal 87 KHI:
1) Ayat 1: harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang
dalam perjanjian perkawinan. 2) Ayat (2): suami dan istri mempunyai hak
3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban;
dan 4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
5
Lubis Haris, Hukum Perkawinan Nasional, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2010. hlm.50.
6
Ibid. hlm.58
ix
ini, terhadap obyek waris tersebut tidak pernah dilakukan pembagian waris,
akan tetapi obyek waris tersebut dikuasai dan dikelola secara sepihak oleh
tahun 2013 tanpa sepengetahuan dan persetujuan Para Penggugat tanah obyek
sengketa 4.5 oleh Para Tergugat telah dijual kepada Turut Tergugat. Untuk itu
bagiannya masing-masing. b. Pasal 4 Ayat (2) huruf a, Pasal 5 Ayat (1) huruf
Para Tergugat dan Turut Tergugat melakukan upaya hukum dalam bentuk
apapun. e. Adanya permohonan penetapan harta bersama. Hal ini telah sesuai
dengan ketentuan yang dimaksud dalam buku II dan majelis hakim telah
bersama berada pada Pemohon dan Termohon. Hal ini menurut penyusun
telah sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
yaitu harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri dan Majelis
hakim telah pula menerapkan tujuan hukum tersebut diatas dengan prioritas
sah dengan 2 orang isterinya yaitu Hj. Nurjanah dan Sapiah alias
(Hj. Nurjanah), namun objek sengketa tersebut di atas oleh Majelis Hakim
Tugas dan Administrasi Peradilan Agama) halaman 146 yang diambil alih
perkawinan dengan isteri pertama, merupakan harta bersama milik suami dan
isteri pertama, sedangkan harta yang diperoleh suami selama dalam ikatan
perkawinan dengan isteri kedua dan selama itu pula suami masih terikat
bersama milik suami, isteri pertama dan isteri ketiga (H. Sarafudin,
(Hj. Nurjanah) hanya sebagai ibu rumah tangga, sedang isteri ketiga bersama
suami sebagai pedagang beras dan biji-bijian yang sukses dan dari hasil/
dari obyek sengketa tersebut di atas, meskipun bagian yang menjadi hak
Hj. Nurjanah tidak sebesar yang diterima oleh H. Sarafudin (suami) maupun
yang diterima isteri ketiga (Sapiah alias Hj. Nurhasanah), oleh karena itu
(isteri ketiga) memperoleh bagian sebesar 2/5 bagian atau 40 % dari harta
% dari harta bersama dan Hj. Nurjanah (isteri pertama) memperoleh bagian
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
perkawinan poligami tetap ada, tetapi dipisahkan antara milik istri pertama,
perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, dihitung
pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang
Perkawinan dan Pasal 96 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang
telah menjadi hukum terapan yang berlaku bagi peradilan agama di Indonesia.
96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam menentukan apabila cerai mati maka
2. Saran
disarankan akta nikah pasangan suami istri disertai dengan ketentuan harta
yang dipakai dalam Peradilan Agama, yakni dengan membagi terlebih dulu
harta bersama dalam perkawinan dan membagi harta warisan sesuai dengan
hakim.